Ucapan Panji membuat Aditama terkejut. Dia menautkan alis. "Bukankah kamu berada di pihak ayahku? Kenapa kamu memberikan saran seperti itu padaku?"
Mata Panji menutup seiring dia menggelengkan kepala. Dia kemudian berkata, "Saya adalah kepala urusan rumah tangga keluarga Gandara. Saya hanya memikirkan yang terbaik untuk keluarga Gandara."Aditama memicingkan matanya, lalu mendengus dingin. "Gila." Dia berbalik, lalu pergi meninggalkan Panji.**Keesokan harinya, setelah operasi selesai dan berjalan lancar. Aditama tampak tengah memegang tangan sang ibu yang masih tertidur lelap. Wajah wanita paruh baya itu tampak jelas membaik.Mencium tangan ibundanya, Aditama berkata, "Ibu, cepatlah sembuh ...." Kemudian, wajahnya berubah sedikit murung. "Maafkan putramu yang tidak berguna dan harus menggunakan uang pria itu ...."Selagi Aditama tengah memandangi wajah sang ibu, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia segera mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana dan melihat nama sang istri terpampang jelas di layar."Vania?" Aditama bertanya-tanya.Dia pun langsung duduk di kursi yang ada di lorong rumah sakit sembari menerima panggilan masuk dari sang istri."Vania, ada apa?" tanya Aditama begitu menerima panggilan tersebut."Kamu di mana?" Suara Vania terdengar parau, seperti baru saja menangis.Ekspresi wajah Aditama menjadi semakin sendu, berpikir bahwa istrinya itu pasti terkena omelan hebat dari sang kakek dan ibu tadi malam. Akan tetapi, mengingat sifat Vania, Aditama tahu istrinya itu pasti tidak ingin membicarakan masalah kemarin malam."Aku di rumah sakit.""Bagaimana kondisi ibumu?" tanya Vania lagi.Aditama tak elak tersenyum mendengar pertanyaan sang istri. "Baik. Bagaimana denganmu, apa kamu baik-baik saj--""Tama," potong Vania mendadak, membuat Aditama terdiam. "Ayo kita bercerai."Mendengar hal itu, Aditama terkejut bukan main. "Bercerai? Apa maksudmu?" Pegangan Aditama pada ponselnya mengerat.Sehari yang lalu, Vania menolak permintaan sang kakek untuk bercerai darinya. Lalu, kenapa sekarang wanita itu meminta perceraian ini sendiri?!Pasti ada yang terjadi!"Apa yang Kakek katakan padamu setelah aku pergi?" ujar Aditama dengan alis tertaut."Jangan salahkan Kakek," ujar Vania dengan suara bergetar, kentara tengah berbohong. "Keputusanku sudah bulat, Tam dan itu adalah keputusan yang terbaik untuk kita berdua.""Van--"Belum sempat Aditama mengatakan apa pun, Vania mematikan panggilan. Hal tersebut membuat Aditama sangat bingung.Apa yang sebenarnya terjadi!?Kala Aditama memikirkan hal tersebut, ponselnya kembali berbunyi. Tanda ada notifikasi pesan masuk.Aditama segera mengecek ponselnya kembali dan mengernyitkan dahi saat melihat nama Bella yang mengirimkan pesan.Bella adalah sepupu Vania, tapi Aditama tidak pernah dekat sebelumnya dengan wanita itu.Bertanya-tanya, Aditama pun membuka pesan Bella. Ada foto Vania duduk tidak nyaman di sebelah seorang pria muda yang begitu dekat dengannya. Beberapa keluarga Hermanto lain tampak hadir di sana bersama keduanya!Wajah Aditama menggelap, dia mengenali pria muda di sebelah Vania. Pria itu adalah Edward Bintoro, anak dari pemilik Bintoro Group yang sangat kaya raya!Sedari dulu, Edward memang mengincar Vania dan memang Kakek Hermanto dari dulu ingin menjodohkan keduanya!Di bawah foto itu, sebuah pesan dituliskan Bella.[Demi mendapatkan uang untuk operasi ibumu dari Kakek, Vania bersedia menceraikanmu dan dinikahkan dengan Edward Bintoro. Kalau memang kamu suami yang baik, cepatlah datang dan selamatkan istrimu di restoran Hotel Gandhi Life!]Tangan Aditama mengepal. Keterlaluan! Beraninya mereka melakukan ini pada istrinya!?Aditama langsung berdiri, siap untuk pergi menyusul Vania. Akan tetapi, kemudian dia berpikir. Di depan keluarga Hermanto saja dia tidak berdaya, apalagi di hadapan Edward Bintoro!?Di saat itu, benak Aditama pun teringat akan ucapan Panji sebelumnya."Dibandingkan bersikeras menolak dan berpegang pada harga diri, kenapa tidak membalas Tuan Besar dengan mempergunakan segala yang bisa dia berikan?"Mata Aditama menutup. Benci, tapi dia harus akui bahwa ucapan pria tua itu benar adanya.Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, Aditama membuka mata dan menghubungi seseorang."Panji ... aku bersedia kembali."Di ruangan private sebuah hotel mewah, sedang diadakan pertemuan antara keluarga Hermanto dengan Edward.Beberapa anggota keluarga Hermanto tengah saling bercengkrama dan tertawa, kecuali Vania yang duduk dengan kepala menunduk, tampak tidak nyaman berada di tempat itu."Vania ...."Panggilan itu membuat Vania menoleh. "Kak Bella," panggilnya dengan lesu. "Habis dari mana?"Bella terdiam. "Menghubungi seseorang," ucapnya. Dia memegang tangan sang sepupu. "Kamu serius akan menceraikan Aditama?"Vania tersenyum. "Aku tak punya pilihan. Ini yang terbaik untuk kami berdua."Di sebelah Vania, Edward Bintoro mendengar percakapan kedua wanita itu dan berkata dengan wajah menggoda penuh nafsu. "Apa kamu menyesal, Van?" Dia menambahkan, "Apa kamu tidak senang kita akan menikah?"Vania tersentak saat Edward menyentuh tangannya. Dia menarik diri dan berkata, "Walau kita dijodohkan, tapi kita belum menikah. Jadi, tolong jaga sikapmu." Wajahnya tampak tegas.Edward mendengus mengejek. Dia menggeng
Mata semua orang melebar!Menantu tak berguna itu sudah gila!"Aditama! Berani sekali kau melukai Edward?!" Kakek Hermanto berseru marah seraya bangkit dari kursinya. "Menyentuh istriku, tentu saja aku harus memukulnya!" ujar Aditama yang sekarang berada di hadapan Vania, memisahkan wanita itu dari Edward dan keluarga Hermanto yang lain."Pria tidak berguna, apa kamu tahu Edward itu siapa?!" sambung ayah Bella, Bastian, yang juga secara refleks ikutan berdiri."Siapa dirinya, aku tidak peduli! Yang jelas, dia tidak pantas menyentuh istriku!" balas Aditama dengan tegas. "Menyentuh wanita bersuami, apa pria ini masih ada harga diri!?"Walau merasa pukulan Aditama sekeras baja, Edward yang sudut bibirnya berdarah langsung berdiri saat dihina. "Bajingan! Apa kau kira aku akan diam saja!? Keluarga Bintoro tidak akan melepaskanmu!"Aditama mendengus dingin. "Tidak peduli dirimu berasal dari keluarga Bintoro atau keluarga lain, aku tidak takut menghadapimu!"Seisi ruangan terbelalak dengan
"Maksud saya, anda, Tuan Edward!" ucap Joseph menyela Edward dengan cepat.Apa?!Mendengar namanya disebut, Edward gelagapan dan menatap Joseph, diikuti tatapan keterkejutan anggota keluarga Hermanto lainnya.Sementara Vania yang awalnya begitu ketakutan Aditama akan mendapat masalah besar, melebarkan matanya."Tunggu... Pak Joseph tidak salah orang kan?! Pria sampah itu yang seharusnya anda usir! Anda tahu ayah saya kan, keluarga Bintoro yang kaya itu?!" elak Edward tak terima."Betul Pak Joseph, seharusnya bukan Edward yang diusir! Pria ini justru yang tiba-tiba masuk dan mengacau acara kami!" ucap Bastian berusaha menahan Joseph.Seluruh anggota keluarga Hermanto berusaha mendukung Edward dengan segala cara.Jika Edward sampai diusir, maka perjanjian bisnis antara keluarga Hermanto dan keluarga Bintoro akan gagal.Tentu saja hal itu akan membuat keluarga Hermanto sangat dirugikan di sini!"Anda mempertanyakan keputusan saya?! Saya manajer di hotel ini! Ketertiban hotel adalah tangg
Mendengar hal tersebut, Vania terbelalak. "Apa?!" pekiknya seraya menatap sang suami untuk beberapa saat. "K-kamu mendapatkan apartemen untuk tempat tinggal kita?!” Aditama mengangguk seraya tersenyum. Vania terbengong, mencerna perkataan sang suami. "Bagimana mungkin kamu bisa mendapatkan apartemen?" tanyanya setelah terdiam sesaat. "Dari kenalanku yang telah melunasi biaya operasi Ibuku juga, Van. Kebetulan, apartemennya tidak ditinggali dan disewakan kepadaku dengan harga yang murah," jelas Aditama. "Lalu, bagimana caranya kita akan membayarnya, Tam? Gaji kamu itu kecil, Tam. Pasti tidak akan cukup!" "Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Van. Biar aku yang memikirkannya. Untuk sekarang yang terpenting adalah kita sudah mendapatkan tempat tinggal."Vania terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi.Di detik berikutnya, kepalanya mendadak terasa nyut-nyutan.Rasa-rasanya, dia masih belum bisa mempercayai apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Namun tiba-tiba Vania tersadar dan m
Aditama dan Vania tiba-tiba terhenti, lalu menoleh ke arah suara tersebut.Ternyata, seorang satpam bertampang garang mendatangi mereka berdua. Dari mata mereka terpancar perasaan jijik ketika menatap Aditama."Kami penghuni baru di apartemen ini!" ucap Aditama dingin.Vania yang kebingungan mengernyitkan dahinya. Dilihat dari pakaian yang mereka kenakan, mereka memang terlihat agak lusuh. Tapi dipanggil pengemis? Sepertinya itu berlebihan."Penghuni? Saya belum pernah melihat penghuni apartemen mengenakan pakain lusuh seperti yang anda kenakan!" cibir salah satu satpam."Apa apartemen ini juga mengatur cara berpakaian penghuninya? Ini apartemen apa penjara?!" Aditama menatap satpam itu dengan tajam."Apa kau bilang?! Lancang sekali gembel sepertimu berkata seperti itu!"Di saat yang sama, seorang pria dengan pakaian rapi kebetulan melewati keributan itu.Bukannya pria itu Aditama? Sedang apa dia di sini? Pikir pria itu. Ternyata pria itu bernama Evan. Dia adalah mandor di tempat Adi
"Menyedihkan sekali kau, Tam. Ah, aku tahu ... kau pasti melakukan hal ini karena kau sudah lama menginginkan tinggal di hunian elit, tapi sampai sekarang tak pernah terwujud." Ejek Evan. "Makanya kau membual seperti ini, bermimpi tinggal di sebuah apartemen!" "Apa kau bilang?!" Ulang Aditama. Dia kemudian menambahkan seraya tergelak. "Jika dulu memang iya. Aku hanya bisa bermimpi jika menginginkan sesuatu, tapi, untuk sekarang, hal itu sudah tidak berlaku lagi bagiku dan aku sama sekali tidak membual sebagai penghuni baru di apartemen ini! Aku dan istriku memang akan menempati salah satu unit yang ada apartemen ini!" "Memang ya kau itu sudah tak waras, Tam!" Balas Evan dengan gigi gemeretak. Melihat sikap Aditama yang menjengkelkan, dua satpam itu segera bertindak, hendak menggelandang Aditama supaya pergi dari sana.Dua satpam itu lalu mencengkram lengan Aditama dan menyeretnya keluar dengan paksa.Mata Aditama seketika melebar.Apa-apaan ini? Aditama langsung mencoba melep
Kesabaran Aditama sudah habis, Evan harus dikasih paham detik ini juga! Sebenarnya, Evan memiliki dendam kesumat pada Aditama. Pasalnya, dulu semasa ia menjadi mandor, Aditama lah yang membongkar siasat busuknya karena telah menggelapkan dana proyek, termasuk uang makan para pekerjanya. Namun Aditama menyadarinya, ia lalu melaporkan hal itu pada pimpinan proyek dan membuat gajimya pada saat itu dipotong. Semenjak itu, Evan bertekad untuk membuat Aditama menderita. "Kau pasti masih dendam kepadaku karena dulu aku melaporkan perbuatan busukmu itu pada pimpinan proyek kita, kan?!" Ucap Aditama tegas dengan suara tinggi dan wajah mengeras. "Dan seharusnya ... saat itu kau sudah dipecat!" Mendengar ucapan Aditama, Evan langsung mendelik ke arah pria itu. "Apa yang kau katakan, hah!" Evan tiba-tiba gelagapan, pandangannya langsung mengedar ke sekitar. "Berani-beraninya kau mengungkit hal itu di sini!" Sontak saja, para penghuni apartemen yang lain mengerutkan kening, kasak-kusuk me
Clara menatap Aditama dengan tubuh gemetar. Ia masih memproses nama 'Panji' yang barusan dikatakan oleh Aditama. "Apakah ... Anda yang bernama ... Aditama?" Tanya Clara dengan nada hati-hati. Aditama mengangguk. Sontak saja, Clara membeku di tempat.Jadi ... Dia adalah tamu yang amat sangat penting yang sedang aku tunggu kedatangannya?Beberapa detik kemudian, Clara buru-buru mengubah ekspresi wajahnya. Tiba-tiba Clara teringat dengan pesan Panji untuk tidak membocorkan identitas Aditama yang sebenarnya dan memperlakukannya seperti orang biasa.Lalu, Clara menatap semua orang yang ada di situ satu persatu, hingga pandangannya jatuh pada Evan dan kedua satpam tersebut. Clara menggeleng-gelengkan kepala mendapati sikap mereka. Apa yang mereka lakukan kepada Aditama? Apa mereka tidak tahu ... siapa orang yang hendak mereka gelandang itu?Seketika terbit seulas senyum tipis di bibir Aditama melihat Clara bersikap demikian.Ia berharap Clara bisa mengontrol emosinya dan ingat denga
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di