Aditama melangkah masuk ke dalam kamar milik kedua orang tuanya diikuti Sophia dan Vania. Tiba di dalam sana, terlihat di atas tempat tidur, terbaring tubuh sang Ayah tanpa suara dan dengan keadaan mata terpejam. Melihat hal itu, Aditama langsung merasa tidak karu-karu an. Ternyata benar ... jika sang Ayah sakit parah! Seketika ia diliputi rasa bersalah karena tidak mempercayai ucapan Panji sebelumnya. Aditama lalu memberanikan diri berjalan pelan mendekati tempat tidur.Ia duduk di tepi tempat tidur ayahnya berbaring selagi mengamati kondisi sang Ayah. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya, pria yang dulu begitu gagah, energik dan gesit, bisa terbaring tak berdaya seperti itu.Laksana Gandara baru melewati masa kritisnya dan dua hari yang lalu ia mulai siuman. Sesekali ia akan terjaga dan membuka mata, meski tubuh itu tetap kaku seperti papan.Hanya nama Aditama yang keluar dari mulut pria itu—setiap saat.Stroke yang menyerangnya kali ini jauh lebih kuat dibandingkan serangan p
Vania tidak lagi memanggil Sophia dengan panggilan 'ibu', melainkan 'mama' setelah mengetahui identitas asli sang ibu mertua yang ternyata adalah istri dari Tuan Besar Laksana Gandara.Hingga saat ini, Vania masih tidak menyangka saja jika selama ini ia memiliki ibu mertua yang identitasnya bukan main-main. Ia kira, ibu mertuanya itu hanya lah seorang ibu biasa. Tapi ternyata ... adalah seorang nyonya besar keluarga Gandara. Mendadak, Vania merasa merinding kala memikirkan hal itu. Vania juga dibuat pangling dengan penampilan sang ibu mertua kali ini yang berubah drastis setelah kembali ke keluarganya. Aura nyonya besarnya terpancar jelas dari dalam dirinya. Berbeda sekali pada saat dia masih tinggal di kontrakan kecil. Bahkan, mereka seperti dua orang yang berbeda.Di saat ini, Vania tiba-tiba teringat dengan sikapnya dulu kepada Aditama. Sebagai istri, ia tidak pernah sepenuhnya memperlakukan Aditama sebagai suami. Bahkan, ia memperingati Aditama untuk menjaga jarak!
"Aku telah mencintai Aditama sebelum aku mengetahui identitas aslinya, Ma." ucap Vania sambil mengusap air matanya. Ia merasa harus mengatakan hal itu kepada sang mertua supaya ia tidak dikata sebagai wanita gila harta! Kalau pun Aditama adalah orang miskin, itu tidak masalah baginya karena ia jatuh cinta kepada Aditama dari sifat dan perlakuan sang suami kepadanya. Bukan semata-mata Aditama adalah anak dari keluarga kaya raya. Bukan karena hartanya. Sama sekali bukan! Sophia tersenyum. "Mama sudah tahu hal itu, Van." Vania seketika mendongak, menatap Sophia untuk beberapa saat, kemudian menautkan alis. "Mama ... sudah tahu?" Vania mengulangi perkataan sang ibu mertua dengan hati-hati. "Apakah ... Aditama sudah bercerita kepada mama?" Sophia mengangguk.Selama sesaat, Vania agak gelagapan, lalu lanjut berkata. "Perasaan itu tumbuh dengan sendirinya di dalam hatiku, Ma ... saat Aditama menolak tawaran uang sebesar 2 miliar dari kakekku karena dia tidak mau bercerai denganku,"
Setelah sebelumnya meletakan secangkir teh hangat di atas meja. Lalu, ia duduk di samping Bastian, menatap sang suami dengan rasa penasaran. Bastian menatap Susan sekilas setelah ditanya sang istri. Tapi, bukannya langsung menjawab, ia malah kembali menatap lurus ke depan. Giginya bergemeretak. "Semua orang menggosipkan aku di kantor, Ma. Mereka meragukan posisiku sebagai Presdir perusahaan hanya karena aku tidak berhasil membuat perusahaan kita bekerja sama dengan Gandara corporation!" seru Bastian dengan emosi menggebu. Bastian menghentikan kalimatnya sejenak, dadanya kembang kempis, kentara jika pria itu sedang emosi bukan main. Kemudian, ia mendengus dingin. "Ini semua gara-gara Vania yang malah bisa mewujudkan impian keluarga kita sejak lama dan jadinya, semua orang memandangku sebelah mata, Ma!" "Berita itu cepat sekali menyebar di kantor dan Vania, mendadak dibicarakan oleh para jajaran penting di perusahaan dan juga para karyawan, Ma! Dia juga dipuji habis-habis san
Mendengar hal itu, Vania menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Ternyata sang ibu menentang keputusannya. Sang ibu saja menentang ... apalagi anggota keluarga Hermanto yang lain? Sudah pasti akan menentang juga! Akan tetapi, Vania sama sekali tidak mempedulikannya. Ia tidak takut sedikit pun karena suaminya adalah seseorang yang berkuasa. Namun tiba-tiba Vania mengerutkan kening.Aku tidak mungkin memberitahu identitas Aditama yang sebenarnya kepada mama sekarang. Pikir Vania. Setelah tersadar, Vania buru-buru menatap sang ibu. Dia kemudian berkata. "Ma. Sekarang Aditama sudah banyak berubah loh. Sudah tidak seperti dulu lagi. Ternyata ... dia juga memiliki kenalan-kenalan orang hebat 'kan?" Vania mencoba menghasut pikiran ibunya, supaya sang ibu mau menerima Aditama. "Dan Aditama memiliki kenalan seseorang yang bekerja di Gandara corporation ... Aditama berperan penting dalam terjalinnya kerja sama itu, Ma!" Lanjut Vania. Stephanie mendecakan lidahnya sam
Malam ini, di dalam mau pun luar rumah milik Hermanto telah disulap menjadi tempat pesta. Sejak pukul tujuh, para tamu undangan mulai datang satu persatu dan memenuhi tempat pesta. Tamu undangan yang hadir adalah kerabat, kenalan dan rekan bisnis dari anggota keluarga Hermanto.Dalam sekejab, tempat pesta itu telah ramai oleh obrolan—yang diselingi dengan canda dan tawa. Para pelayan hilir mudik membawa nampan berisi gelas minuman. Meja-meja tersusun rapi dengan menu spesial yang terhidang di atasnya.Sementara para anggota keluarga Hermanto terlihat tengah berkumpul untuk menyambut tamu undangan yang datang. Aditama dan Vania akhirnya tiba di sana.Mereka berdua langsung disambut senyum lebar dan wajah berbinar-binar dari kepala keluarga Hermanto.Tentu saja sambutan seperti itu baru Aditama terima selama ia menjadi menantu di keluarga Hermanto. Di sisi lain, ia menjadi penasaran dengan sikap Hermanto dan Stephanie ke depannya.Apakah mereka akan bersikap baik kepadanya? "I
Melihat hal itu, Bella seketika gelagapan. Bertanya-tanya. Apa yang akan dilakukan Mario kepada Aditama? Yang jelas, pasti dia akan membuat masalah! "Mario! Mau ke mana kamu! Jangan mencari mas—" Tapi, Bella mendadak menghentikan kalimatnya. Ia lalu memasang wajah tak berdaya seraya menghembuskan napas berat, hanya bisa pasrah. Percuma saja ia menahan Mario, sang adik tidak menghentikan langkahnya sama sekali, sepertinya dia sengaja, pura-pura tidak mendengar. Alhasil, ia pun memilih membiarkan Mario. Sementara Bastian dan Susan tidak terlalu fokus memperhatikan apa yang terjadi pada kedua anaknya karena tiba-tiba ada teman mereka yang datang menghampiri dan mengajak ngobrol. "Berani sekali kau menampakan diri di acara keluarga Hermanto?" ucap Mario sambil tersenyum sinis begitu sudah berada di samping Aditama. Mendengar itu, Aditama menoleh—menatap Mario untuk beberapa saat. Tiba-tiba ekspresi wajah Aditama menjadi buruk. Belum sempat Aditama menimpali, Mario sudah bic
Vania menoleh—menatap Aditama yang juga tengah menatapnya dengan senyuman tipis menghiasi bibirnya. Selama sesaat, Vania menatap sang suami dengan melakukan hal yang sama—tersenyum tipis—sebelum kemudian kembali menatap Susan dan Bella. "Suamiku yang membelikan kalung Tiffany & Co ini untukku." Jawab Vania setelah terdiam sebentar. Seketika Susan dan Bella kompak terbelalak diikuti oleh semua orang. Lalu, orang-orang yang ada di situ saling pandang satu sama lain, kasak-kusuk terdengar, membicarakan apa yang baru saja Vania katakan. Selagi semua orang tengah kasak-kusuk, Vania kembali menatap Bella yang masih terdiam kaget. "Kak Bella mengetahui kalung Tiffany & Co yang aku kenakan ini, 'kan? Kak Bella ... mengenalinya,'kan?"Belum sempat Bella menimpali, Vania lanjut berkata. "Kita pernah membicarakanya sebelumnya, bukan, Kak Bella ... tentang kalung ini? Dan bermimpi bisa memilikinya suatu saat nanti ... tapi sekarang aku sudah memilikinya, Kak ... Aditama membelikan
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di