“Ren, ini minumannya.” Vera meletakkan segelas jus.
“Terima kasih. Vera, kamu gak pulang dulu ambil pakaian?”“Nanti saja. Aku mau istirahat dulu. Semalam gak bisa tidur nyenyak. Di kontrakan banyak nyamuk.”Hem, banyak gaya! Banyak nyamuk jadi keluhan.“Oh ya, Ver. Kamu masak gih! Nih, uangnya. Kamu beli sayuran di warung. Di seberang sana, tadi aku lihat ada warung sayur.” Kuberikan uang lima puluh ribu. Vera melihat selembar uang itu dengan lekat.“Gak salah, duitnya cuma segini?”“Ya gak lah ... udah, pokoknya kamu cukup-cukupin aja.”Bibir Vera mengerucut. Dia pasti kesal aku kasih uang segitu. Ah, bodo amat. Aku yakin, selama ini Vera juga menikmati uang hasil keringatku yang dikirim ke rekening Bang Dino. Sekarang saatnya aku balaskan semua perbuatan kalian berdua.“Pelit banget sih kamu, Ren!”Menoleh cepat, memicingkan kedua mata. Aku berdiri, mensejajari tubuhnya.“Kamu bilang apa? Aku pelit?" tantangku, menatapnya lekat.Wanita tidak tahu diri! Tidak tahu terima kasih! Sudah bagus, aku kasih tempat tinggal di sini, masih saja bilang aku pelit.“Ya habisnya, kamu cuma kasih aku duit segini? Mana cukup lah ....” segera, kuambil kembali uang lima puluh ribuan itu dari tangannya. Vera terkejut, kedua matanya membeliak.“Kalau kamu gak mau terima uang ini, gak apa-apa. Gak usah kamu masak! Aku bisa kok makan di luar. Misalnya ... di restoran. Minggir kamu!”Sengaja, aku ancam wanita yang telah merebut suamiku. dia pikir, aku akan mengikuti segala maunya? oh, tidaaak ... aku bukanlah Reni yang dulu! Reni sekarang tidak sebodoh dulu yang terlalu percaya pada Vera dan Bang Dino.“Ren, Reni! Aku ikut, ya? Aku juga lapar. Kasihan calon bayiku dari semalam belum makan apa-apa.”Ck, pembohong! Vera pikir aku akan kasihan padanya? Dia pikir aku akan mengajaknya makan di restoran? Cuih, tidak sudi!“Tadi aku suruh masak gak mau. Katanya duit lima puluh ribu kurang! Memangnya kamu mau makan sama daging Sapi? Daging Ayam? Aku cuma minta kamu beli sayuran. Duit lima puluh ribu pasti cukup kok! Sudahlah, aku mau pergi sendiri. Nanti, kalau Bang Dino sudah balik, suruh dia langsung nge-cat kamarku!" perintahku tegas. Vera menggelengkan kepala, menarik lenganku."Eeehh ... jangan pegang-pegang aku! Apa sih maumu?” Aku semakin kesal dengan sikap Vera yang agak kasar. Kalau dia tidak hamil, aku akan membalasnya.“Oke, oke. Aku mau belanja, aku mau masak. Mana uang tadi?” sebelah tangan Vera menengadah, aku menghela napas panjang. akhirnya si Vera mau juga aku suruh masak.“Yakin, kamu mau belanja dengan uang segini? Yakin, mau masakin aku?”“Iya! Bawel banget. Cepet, ke siniin uangnya!”“Dari tadi ke! Nih, uangnya!”Vera langsung melesat keluar rumah. Aku tersenyum puas sudah membalas rasa sakit yang mereka torehkan padaku. Baru saja hendak brjalan, suara Bang Dino terdengar. Rupanya laki-laki itu sudah membeli beberapa ember cat dan juga koas. Aku berjalan menghampiri lelaki yang tengah mengangkat dua ember kecil cat.“Sayang, Abang udah beli cat-nya nih! Tolong, buatin Abang kopi dulu, ya?”“Iya, Bang. Sebentar ya, aku mau lihat-lihat warna cat-nya dulu. Takutnya salah.”Walaupun Bang Dino sudah menyakitiku, mengkhianati pernikahan kami, aku harus tetap menuruti keingianannya tapi kalau urusan tempat tidur, aku tak mau. Entahlah, mengingat perselingkuhan mereka aku jadi jijik. Setelah memastikan warna cat-nya benar, aku membuatkan kopi.“Bang, kopinya.” Meletakkan kopi di atas meja, duduk di sofa bersebrangan dengan Bang Dino.“Terima kasih, Sayang.”Bang Dino langsung meminum kopi yang aku hidangkan.“Sayang, kayaknya kita harus beli mobil. Abang tadi jatuh dari motor gara-gara menghindari Nenek-nenek yang nyebrang jalan,” kata Bang Dino pilu. Belum apa-apa azab mulai kamu terima, Bang.“Motornya gak kenapa-napa, Bang? Motornya gak ada yang lecet ‘kan? Aduh, Abang ... bukannya hati-hati bawa motornya. Kalau masuk bengkel, nyervisnya pasti mahal.” tanyaku panik, berjingkat keluar rumah, memeriksa sepeda motor. Aku tahu, harusnya lebih mengkhawatirkan kondisi Bang Dino dari pada motor. Mungkin, kalau dia masih suami yang setia, tidak berkhianat, aku akan mencemaskannya. Sekarang? Jangankan cemas, justru aku bahagia karena Bang Dino kena musibah. kalau begini, aku merasa jadi orang yang jahat. astaghfirullah ....“Sayang, motornya gak kenapa-napa. Yang lecet kaki Abang. Tuh lihat!” Bang Dino menunjukkan lututnya yang lecet.“Coba aku lihat, Bang.” Memegang luka di lutut Bang Dino.“Ini, Bang?”“Iya.”“Sakit gak?” Kutekan pelan.“Enggak.”“Kalau gini?”“Awww! Aw, Aw ... Ren, kenapa kamu tekan? Sakit tahu!” Bang Dino membentakku."Tadi katanya gak sakit? Ya udah, nanti aku suruh si Vera beli obat. Dikasih betadine juga pasti sembuh!”“Ada apa, Mas?” Vera tiba-tiba datang membawa sayuran. Berdiri di samping Bang Dino. Pasti akan terjadi adegan yang lebay.“Aku tadi jatuh dari motor, Ver.”“Apa? Jatuh dari motor?” Vera terkejut, aku bersidekap, memutar bola mata malas.“Iya. Nih, kakiku sampai lecet-lecet. Sakit bangeeet ....”Cuih, memuakkan. Muka Dinosaurus memuakkan!Vera membungkukkan badan.“Eh, jangan dipegang! Sakit tahu!” sentak Bang Dino saat Vera mau pegang luka itu.“Orang mau lihat doang, Mas! Lagian cuma lecet begitu, pake ngejerit segala. Aku pikir, kena pisau atau dibacok orang!”Astaga, ternyata omongan si Vera lebih pedas. Aku menahan tawa, memalingkan muka agar mereka tidak melihat.“Kamu ini, Ver. Tega sekali ngomong kayak gitu. Memangnya kamu mau kalau aku dibacok orang?” Kedua mata Bang Dino kayak mau loncat. Aku pergi, meninggalkan perseteruan mereka. Bodo amat ah, mau berantem sampai kiamat juga, aku tidak peduli.Tiba-tiba teringat sesuatu. Vera kan harus memasak. Kalau mereka masih berantem, kapan masaknya. Sudah masuk ke dalam rumah, aku segera membalikkan badan. Berjalan keluar.“Vera, cepet masak!”“Iya, Ren! Sebentar!”Vera tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Lalu, Bang Dino berjalan menghampiriku.“Bang, cepat obatin lukanya. Malam ini, aku ingin kamar itu selesai di cat!” kataku tegas. Bang Dino melongo, mulutnya menganga lebar.“Apa? Malam ini? Jangan malam ini selesainya dong, Sayang. Kasih Abang waktu dua hari!”“Ck, ya udah!”Kutinggalkan Bang Dino yang meringis kesakitan. Berjalan cepat menuju dapur, melihat Vera memasak.“Vera, kamu bikin sayur apa sih? Aromanya sedap banget!" Vera menoleh, tersenyum.“Sop jamur. Kamu pasti suka, Ren. Soalnya ... Mas Di ... Mas Di-to suka banget sama sop jamur buatanku,” katanya yang aku duga adalah dusta. Aku yakin, sebenarnya si Vera mau sebut Mas Dino. Halah, Mas-Mas-Mas ... dulu aja, sebelum aku jadi TKW, dia panggilnya Dino doang. Sekarang jadi Mas?“Oh, nama suami kamu Dito? Kok agak mirip nama Bang Dino, ya? Beda di huruf ketiganya doang. Apa jangan-jangan ... suamimu, suamiku juga. Hahahaha ....”Kulihat wajah Vera cemas. Dia jadi salah tingkah. Dasar sahabat pengkhianat.“Hm ... Ver, kamu sejak kapan panggil Bang Dino jadi Mas Dino? Perasaan dulu, kamu panggilnya Dino doang! Malah kan ... usiamu setahun lebih tua dari dia.”Vera semakin salah tingkah. Pasti bingung mau jawab apa. Aku dengan sabar menunggu jawabnya sambil menatapnya lekat.“Oh ... itu ... i-itu gara-gara ... hmm ... disuruh suamiku! Ya, disuruh suamiku supaya panggil suamimu Mas Dino. Katanya biar sopan. Begitu.”Aku tersenyum miring mendengar jawaban Vera. Jawabanya boleh juga.“Aku jadi penasaran deh, sama suami kamu. Kamu punya handphone ‘kan?”“Punya.”“Boleh gak, aku lihat? Bukan pengen lihat apa-apa. Cuma pengen lihat foto Mas Dino ... eh, maksudku Mas Dito. Pasti ada foto dia di hapemu ‘kan? Katamu ... Kalian sering LDR. Coba dong lihat?”Kulihat Vera salah tingkah. Paling suka lihat dia kayak gitu. Sahabat pengkhianat! Pantas saja dulu dia semangat sekali membantuku kerja di luar negeri. Ternyata ada udang dibalik batu! “Fo-fotonya gak ada, Ren. Mas Dito gak suka difoto!” Hem, alesan! Mana mungkin zaman sekarang ada orang yang gak suka difoto. “Oh gitu. Ya sudah, kamu terusin masaknya. Kalau sudah matang, panggil aku. Aku mau lihat Bang Dino nge-cat dulu.” Berjalan meninggalkan Vera yang masih salah tingkah, menghampiri lelaki yang mengaduk-aduk cat. “Bang?” Panggilku, duduk di sofa. “Iya, Sayang?” jawabnya sok mesra. Memutar bola mata malas, mendengar panggilan ‘Sayang’ dari mulut penuh kebohongan itu. Tapi, aku juga ingin menguji Dinosaurus. “Nama suaminya si Vera siapa, Bang?” Bang Dino menghentikan tangannya yang mengaduk-aduk cat. Tampak berpikir. “Su-suami Vera?” “Iya. Abang tahu kan, nama suami dia siapa?” Mampus lu! Pasti mereka belum sempat berkompromi masalah ini. Kutunjukan ekspresi wajah penasara
“Reni, masakannya sudah siap tuh!”Aku dan Bang Dino menoleh ke asal suara. Vera berdiri di ambang pintu sambil mengelus perutnya."Oh udah matang? Bang, kita makan dulu yuk!” Bang Dino langsung sumringah. Dia tidak tahu saja kalau aku merencanakan sesuatu. Kulirik Vera, bibirnya mengerucut. Kentara sekali kalau dia sedang cemburu melihat aku dan Bang Dino berada di dalam satu kamar.“Boleh. Abang juga kangen pengen makan bareng kamu,” balas Bang Dino mendekatiku.Vera menghentakkan kedua kaki, pergi meninggalkan kami.Aku dan Bang Dino berjalan beriringan. Lelaki itu sempat ingin merangkul pundakku, dengan lembut aku menepisnya. Sungguh, aku tidak mau disentuh lagi.Di ruang meja makan, sudah tersaji sayur sop jamur, goreng tempe dan goreng tahu. Aku dan Bang Dino duduk bersebelahan. “Vera, maaf dong! Ambilkan nasinya!” titahku mengangkat piring, menyerahkan padanya. Meski bibir Vera merengut, tetapi tetap mau mengambil piring yang kusodorkan. Mengambil secantong nasi, tempe dan jug
“Bang, kenapa Abang menampar Vera?” Aku berdiri, terkejut melihat Bang Dino menampar sebelah pipi Vera.Bukan aku tidak suka sikap Bang Dino, tapi ... tidak menyangka saja kalau Bang Dino sampai menamparnya. Padahal tujuanku ingin mereka bertengkar saja.“Dia udah menghina Abang, Ren. Abang gak terima!”Bang Dino pergi meninggalkanku dan Vera. “Vera, sakit, ya?” tanyaku meringis, pura-pura peduli keadaannya. Telapak tangan Bang Dino sampai tercetak di pipi Vera.“Sakit banget, Ren. Aku gak nyangka kalau Mas Dino tega menamparku!”Air mata Vera membasahi pipinya. Aku menghela napas panjang, mengambilkan segelas air minum.“Minum dulu.”“Makasih, Ren.” Vera dan aku duduk di kursi meja makan. Kasihan sekali dia. Selama aku menjadi istri Bang Dino, satu kali pun ia tak pernah berbuat kasar, hanya menghinaku saja.“Vera, aku minta maaf, ya? Bang Dino memang gak suka direndahkan sama wanita,” kataku menenangkan Vera. Ternyata Tuhan Maha Adil. Mereka sekarang mungkin sudah mulai membenci.
“Bu, aku menampar Vera karena dia telah menghinaku? merendahkanku, Bu!"Jelas saja, Bang Dino tidak terima. Sambil berjongkok, aku terus menguping pembicaraan mereka.“Kalau kamu dihina, ya hina balik! Bukan ditampar!” timpal ibu sengit. Aku menggelengkan kepala. Kucoba melihat raut wajah mereka masing-masih. Vera tersenyum licik. Dia pasti bahagia mendapat pembelaan dari Ibu mertua.Bang Dino memalingkan wajah, memegang sebelah pipinya. “Sekarang kita bahas masalah si Reni. Ibu gak mau ada dia di rumah ini! Kalian berdua harus bisa mengusir perempuan mandul itu!”Enak saja mereka mau mengusirku! Aku gak mau mengulur waktu lagi. Sertifikat rumah dan tanah harus segera kualihkan namanya menjadi atas namaku. Dulu, aku terlalu percaya bujuk rayu Bang Dino, mengiyakan saja usulannya ketika dia ingin rumah dan tanah atas nama Dino Saturus. Sudahlah, percuma menyesal juga. Sekarang yang harus aku lakukan, mengganti nama kepemilikan, menggugat cerai Bang Dino, dan mengusir mereka.“Iya, Bu
Kudorong bahu Vera agar menjauh dari depan pintu kamar. “Eh, kamu jangan kurang ajar, Reni! Jaga sikapmu!” Beuh, lagi-lagi Ibu mertua membela Vera. Mungkin bagi Ibu Dewi, Vera adalah menantu idaman. Aku sudah terbiasa diabaikan, apalagi jika berkumpul dengan kedua kakak Bang Dino, Bang Doni dan Bang Dodi, keberadaanku sangat tidak dianggap. Ibu lebih senang mengajak dua menantunya yakni Mbak Sarah dan Mbak Tina untuk berbincang. Tak kuhiraukan bentakan Ibu Dewi, memilih masuk ke dalam kamar dan membanting pintu, menguncinya.“Astaga, Sayang! Abang sampe kaget. Kamu kenapa?” tanya Bang Dino menoleh ke belakang. Bajuku yang agak basah karena sewaktu di dapur membasuh wajah, langsung mengambil pakaian ganti setelah meletakkan segelas jus Mangga. “Aku kesal sama Ibu dan si Vera, Bang! Masa dia bentak-bentak aku gak jelas! ngatain Bang Dino gak punya sopan santun karena ninggalin mereka dan memilih diam di kamar bersamaku!” Lebih baik aku adukan saja sikap Ibu dan Vera. Bang Dino menat
“Kurang ajar!!”“Stop, Vera!” Wow, Bang Dino mencekal pergelangan tangan Vera. Tangan Vera yang hendak menamparku. Cekalan yang kuat membuat si Vera meringis kesakitan. “Lepasin, Bang! Lepasin! Dia sudah keterlaluan! Dia nuduh aku punya suami dua! Padahal suami aku cuma ka---“Mulut Vera langsung dibekap Bang Dino. Kedua matanya melotot.“Aku dan Reni gak peduli siapa suami kamu! Lebih baik kamu diam saja! Jangan mencoba menampar istriku!” Bang Dino terlihat sangat geram. Melihat pembelaan Bang Dino, hatiku tak lantas tersentuh. Mungkin Bang Dino bersikap demikian karena dia sudah dihina Vera. Aku tahu betul sikapnya, Bang Dino paling tak suka ada wanita yang merendahkannya apalagi wanita itu adalah istri sendiri."Dino, lepaskan Vera! Dia lagi hamil besar, Dino! Lepaskan!”Ibu Dewi berusaha melepaskan tangan Bang Dino dari mulut Vera. “Sudahlah, aku malas menghadapi kalian. Bang, berangkat yuk! Jangan lupa, kamar Abang dikunci soalnya ... aku gak mau, ada barang berharga yang hila
“Dino, Reni! Dari mana saja kalian? Jam segini baru pulang!”Lho kok, Ibu mertuaku masih ada di rumah? Duh, pasti karena belum dapat jatah bulanan, makanya Ibu masih ada di rumahku. Wanita itu berjalan ke arah kami.“Mereka habis belanja, Bu.” Vera menjawab, menoleh sinis padaku.“Belanja? Kalian habis belanja?” Kedua mata Ibu Dewi melotot padaku dan Bang Dino. Aku menghela napas berat, membalas tatapannya.“Kalau aku habis belanja memangnya kenapa? belanja juga pake uang aku!” tandasku hendak beranjak, malas meladeni ocehan Ibu.“Eh, kamu mau kemana? Ibu belum selesai bicara!” tukas Ibu. Aku kembali duduk, ibu duduk di sofa satunya bersama Vera. “Kamu dibeliin apa itu, Ver?” tanya Ibu melongok ke dalam isi goodie bag yang dipegang Vera.“Daster doang, Bu! Cuma dua!” jawab Vera acuh tak acuh.“Reni, kamu beliin si Vera daster, ibu mertua sendiri gak dibeliin apa-apa? Gimana sih? Dasar menantu pelit!”Belum apa-apa udah menghakimi.“Memangnya aku tahu kalau Ibu belum pulang? Kalau Ibu
“Gak mau! Enak saja aku disuruh bantuin bikin cilok. Ibu aja yang bantu, kan Ibu yang dapat tiga puluh persen dari hasil penjualan rumah ini!” Aku tersenyum mendengar jawaban Vera. Cerdas juga dia. Tapi, aku harus lebih cerdas. Gak boleh kalah sama mereka. Aku harus mencari tahu keberadaan surat-surat itu sekarang. Pembicaraan mereka tampaknya masih lama. Pintu dapur kukunci. Membiarkan mereka ada di halaman belakang. Paling tidak sampai sore nanti. Tak lupa, mengunci jendela supaya mereka tidak bisa masuk ke dalam rumah. Setelahnya masuk ke dalam kamar yang biasa ditempati Bang Dino. Mencari surat-surat tersebut. Seingatku, Bang Dino selalu menyimpan barang-barang yang menurutnya berharga di bawah tempat tidur. Tidak berpikir lama, mtersebu ke kolong ranjang. Benar, ada tas kantor yang berada di sana. Merayap masuk ke dalam kolong ranjang, mengambil tas tersebut. Tas ini harus dipindahkan ke dalam kamarku. Setelah itu, mengunci pintu kamar. Bergegas keluar rumah, mengunci pintu de
Aku terdiam, tidak langsung menjawab ungkapan perasaan Angga. Lelaki itu lantas mengeluarkan kotak cincin berwarna merah terang. Aku semakin terkejut dan tak percaya, kenapa Angga secepat ini melamarku?"Kalau kamu mau aku ajak menikah dalam waktu dua bulan, kamu bisa mengambil cincin ini. Aku sungguh-sungguh ingin menikahimu."Pandanganku berembun. Terharu sekaligus bingung. "Angga ...." panggilku lirih. Masih berpikir kalau lelaki yang duduk di hadapanku sedang bercanda. "Aku serius, Reni. Aku benar-benar ingin menikahimu."Belum sempat menimpali ucapan Angga, pelayan restoran datang, meletakkan beberapa menu makan kami. "Kita makan dulu. Setelah makan, aku harap kamu mau kasih jawaban."Aku hanya menganggukkan kepala. Bukan aku tak suka pada Angga. Aku rasa, wanita mana pun pasti menyukainya. Angga tipikal lelaki yang sedari dulu tidak banyak tingkah. Mau bergaul dengan siapapun. Tidak melihat dia orang kaya atau orang yang tak punya. "Gimana, Ren? Kamu udah punya jawabannya?"
Sudah dua bulan aku bekerja di perusahaan Angga. Meski hanya sebagai cleaning service. Tapi, aku bahagia. Kerjaannya tidak memberatkan dan santai. Tidak seperti kerja di luar negeri. Walaupun gajinya lebih besar, tapi kerjaannya luar biasa berat. Sudah dua bulan juga kau menyandang status janda. Persidangan perceraianku dengan Dino sudah diputuskan. Sejak saat itu, aku berusaha menghindari Dino dan juga Vera. Aku tidak mau diusik oleh mereka lagi. Mungkin juga sekarang si Vera udah melahirkan. "Reni?" Saat sedang merapikan pantry, seseorang yang suaranya aku kenal memanggil."Iya, Pak Angga?" sahutku formal. Angga tersenyum, menaikkan sebelah alisnya. "Jangan panggil aku, Pak kalau kita lagi berdua, Ren."Terkekeh mendengar ucapan Angga. Dia memang selalu berkata seperti itu. Melarangku memanggilnya dengan sebutan Pak Angga. Katanya kayak ke siapa saja. Lah jelas ke atasanku. Karyawan yang posisi jabatannya tinggi saja memanggil Angga, Pak Angga. Masa aku cuma office girl memanggil
"Barang-barang furniture di rumah kamu gak dibawa semua? Kamu cuma bawa ini doang?" Tiba-tiba Angga bicara. Aku menoleh, menapat lelaki yang berdiri di dekat ruang tamu tanpa ada sofa atau televisi. Apartemen ini memang masih kosong. Belum ada barang-barang rumah tangga lainnya. "Iya. Ribet bawanya. Lagian aku kan cuma hidup sendirian. Paling nanti mau beli alat-alat dapur. Kalau sofa, gampang nyusul," jawabku membuka pintu kamar.Kalau tempat tidur aku sudah membelinya kemarin. Menyuruh penjaga apartemen untuk mengangkat ke atas. Begitu pula lemari pakaian. Selesai memasukkan kedua koper, aku keluar, ke dapur. Di sana baru ada dispenser, kompor dan magicom. "Silakan diminum," ucapku meletakkan kedua gelas di depan Angga dan Windy yang duduk di atas karpet. "Padahal bawa aja, Ren. Barang-barang di rumah sebelumnya kan milikmu," kata Angga sambil menegak air yang aku suguhkan. "Males, Ga.""Dia mah emang begitu, Angga. Orangnya gak mau ribet. Aku juga sempat mengingatkannya, bara
"Pindah? Kamu mau pindah sekarang, Ren?"Dari arah belakang, muncul Vera sambil mengelus perut buncitnya."Iya. Aku mau pindah sekarang," jawabku tanpa beban. Aku sudah tidak sabar hidup seorang diri tanpa bayang-bayang mereka berdua. Sepasang manusia yang udah putus urat malunya. "Terus kami gimana, Ren? Kamu ini kalau jual rumah kok gak mikirin nasib kami sih?"Astaghfirullah ... kok ada manusia gak tau diri seperti si Vera? Amit-amit nauzubillahiminzalik. Aku menggelengkan kepala, mendekati Vera. "Asal kalian tau, aku emang gak pernah mikirin nasib kalian. Ih, amit-amit. Kamu kok Ver, gak punya malu banget. Emang waktu kalian selingkuh, mikirin nasib aku yang bekerja di luar negeri sana? Enggak kan?"Kupelototi dua makhluk yang sifatnya melebih makhluk astral itu. Mereka benar-benar membuatku kesal dan emosi. Kalau si Vera lagi gak hamil besar, ingin sekali tangan ini menjambak rambutnya yang jarang sekali dikeramas. Aku sih bukan menghina, tapi si Vera hamil itu gak cantik sama
"Kamu jangan salah paham dulu, Ren. Aku dari dalam kamar Vera gak ngapa-ngapain. Kita cuma ngobrol aja kok. Sumpah dah." Aku tersenyum miring mendengar alasan Bang Dino. Tidak peduli juga mereka mau ngapain berduaan di dalam kamar. Toh sebentar lagi aku dan Bang Dino akan bercerai. "Bener, Ren. Aku sama Mas Dino cuma ngobrol biasa aja."Halah, si Vera juga ikut-ikutan mengelak. Aku mendekati keduanya. Memandang mereka satu persatu. "Aku ... enggak ... pe-du-li."Membalikkan badan, meninggalkan dua manusia munafik itu. Tak ingin mendengar ucapan atau alasan mereka lagi. Bodo amat. Aku melangkah ke dapur, membuat susu cokelat hangat. Entah mengapa malam ini aku tidak bisa tidur. "Ren, apa kamu gak bisa batalin jual rumah ini?" Tanpa kusadari, Bang Dino sudah berdiri di samping. Menoleh ke belakang, Vera sudah tidak ada. "Enggak bisa," jawabku singkat, mengaduk susu cokelat hangat. "Ren, aku gak mau pisah sama kamu. Kamu jangan ceraikan akulah, Ren. Aku masih cinta kamu, Ren. Masi
PoV VeraSungguh, aku tak menyangka diam-diam Reni mau menjual rumah yang baru ia dan Bang Dino bangun. Aku pikir dia tidak akan mau menjual rumah ini soalnya dibangun dari hasil keringatnya selama bekerja menjadi TKW. Ternyata tanpa aku dan Bang Dino ketahui, Reni sudah berniat menjualnya. Duh, kalau rumah ini dijual, aku mau tinggal di mana? Apalagi tadi Reni sempat bilang, katanya dia akan menggugat cerai bang Dino. Ah, menyebalkan. Kenapa semua rencanaku dan Bang Dino jadi berantakan? Ditambah sekarang para tetangga kanan kiri sudah tahu statusku yang menjadi selingkuhan Bang Dino. Aku tadi benar-benar dibuat malu sama si Reni. Gara-gara dia, warga di sini tahu kalau aku dan Bang Dino berselingkuh. Sialan!Sudah pukul sebelas malam, aku masih enggak bisa tidur. Bang Dino juga belum masuk kamar padahal tadi dia sempat bilang, katanya pengen ngobrol hal penting sama aku. Tok, tok, tok.Suara ketukan pintu membuatku tersentak. Perlahan, aku turun dari ranjang, berjalan dan membuka p
Seharian ini, tubuhku sangat lelah. Usai melakukan pertemuan di cafe tadi, aku dan Windy mencari apartemen. Alhamdulillah kami langsung menemukan apartemen yang cocok harga dan lokasinya. Windy benar-benar sahabat yang sangat baik. Ia mau repot-repot membantuku. Beda sekali dengan Vera. Ah, wanita itu sungguh membuatku kcewa. Tapi, ya sudahlah. Tidak perlu aku sesali lagi yang telah terjadi. Sebentar lagi juga aku akan terlepas dari dua manusia benalu itu, Vera dan Bang Dino.Tiba di rumah, aku langsung menuju ke dapur. Ingin memastikan apakah masakan untuk nanti malam sudah selesai atau belum? Rupanya memang benar, Bang Dino mau membantu Vera memasak. Mereka terlihat saling membantu. Mungkin Bang Dino memang cocok menjadi suami Vera."Ehm, sudah matang masakannya?" tanyaku membuat kedua orang itu menoleh ke belakang. Aku berjalan ke kursi meja makan yang tak jauh dari dapur, duduk. "Kamu udah pulang, Sayang? Tumben gak ngucapin salam?" "Di depan tadi udah ucapin salam, tapi gak ada
Esok harinya, aku ingin ke rumah Rt setempat untuk memberitahu kalau di rumahku akan diadakan acara makan-makan sekaligus ingin berkenalan dengan warga sekitar. Tidak banyak yang aku kenal walaupun hampir tiap hari tetangga sebelah kanan rumahku sering menyapa. "Makan-makannya jadi, Ren?" tanya Bang Dino ketika aku minta diantar ke rumah Rt daerah sini."Iya, Bang. Aku mau minta bantuan pada Pak Rt supaya dia saja yang memberitahu warga kalau kita mau adain acara makan-makan. Ya paling, warga Rt kita aja," jawabku sambil melirik Vera yang menghampiri kami. Wanita itu pasti ingin tahu apa yang aku bicarakan dengan Bang Dino. "Ada apa ini?"Tuh kan, apa kataku? Vera sepertinya sangat cinta sama Bang Dino. Dia selalu ganggu kami kalau sedang ngobrol. Aku menoleh, melihat Vera yang baru saja selesai mencuci piring. Sengaja, aku bicara Bang Dino empat mata saja. Kalau si Vera sampai dengar, bisa-bisa acaraku gagal. "ini, Ver ... Reni mau ajak warga Rt ini makan-makan."Ya ampun, Bang Di
Duh, si Windy kenapa juga harus keceplosan. Aku kan jadi bingung harus jawab apa? Rasanya malu sekali jika mengakui janda. Bukan aku merasa gengsi tetapi menjadi janda bukan pula keinginanku. Andai saja Bang Dino tidak berselingkuh, aku masih bisa bertahan. Kalau masalah ekonomi, aku masih bisa bertahan. Tetapi, kalau perselingkuhan dan pengkhiantan, aku tidak bisa memaklumi. "Hmm ... iya, aku emang ... emang sudah pernah menikah. Dan sekarang, aku masih tinggal satu atap dengan Bang Dino. Cuma emang ... rumah tanggaku sedang ada masalah. Mungkin, sebentar lagi rumah tangga kami akan berakhir."Kulihat Angga mengembuskan napas panjang. Punggungnya bersandar pada sofa. Ia menatapku sangat lekat. Tatapan yang sulit aku mengerti. Windy melirikku. Ia meringis, kedua telapak tangannya terkatup di depan dada."Oke. Kalau begitu aku ingin lihat-lihat rumah ini. Boleh 'kan?" Angga seolah ingin mengalihkan pembicaraan. Tapi, lebih bagus begini sih. Aku agak risih jika ditanya-tanya masalah rum