“Dino, Reni! Dari mana saja kalian? Jam segini baru pulang!”Lho kok, Ibu mertuaku masih ada di rumah? Duh, pasti karena belum dapat jatah bulanan, makanya Ibu masih ada di rumahku. Wanita itu berjalan ke arah kami.“Mereka habis belanja, Bu.” Vera menjawab, menoleh sinis padaku.“Belanja? Kalian habis belanja?” Kedua mata Ibu Dewi melotot padaku dan Bang Dino. Aku menghela napas berat, membalas tatapannya.“Kalau aku habis belanja memangnya kenapa? belanja juga pake uang aku!” tandasku hendak beranjak, malas meladeni ocehan Ibu.“Eh, kamu mau kemana? Ibu belum selesai bicara!” tukas Ibu. Aku kembali duduk, ibu duduk di sofa satunya bersama Vera. “Kamu dibeliin apa itu, Ver?” tanya Ibu melongok ke dalam isi goodie bag yang dipegang Vera.“Daster doang, Bu! Cuma dua!” jawab Vera acuh tak acuh.“Reni, kamu beliin si Vera daster, ibu mertua sendiri gak dibeliin apa-apa? Gimana sih? Dasar menantu pelit!”Belum apa-apa udah menghakimi.“Memangnya aku tahu kalau Ibu belum pulang? Kalau Ibu
“Gak mau! Enak saja aku disuruh bantuin bikin cilok. Ibu aja yang bantu, kan Ibu yang dapat tiga puluh persen dari hasil penjualan rumah ini!” Aku tersenyum mendengar jawaban Vera. Cerdas juga dia. Tapi, aku harus lebih cerdas. Gak boleh kalah sama mereka. Aku harus mencari tahu keberadaan surat-surat itu sekarang. Pembicaraan mereka tampaknya masih lama. Pintu dapur kukunci. Membiarkan mereka ada di halaman belakang. Paling tidak sampai sore nanti. Tak lupa, mengunci jendela supaya mereka tidak bisa masuk ke dalam rumah. Setelahnya masuk ke dalam kamar yang biasa ditempati Bang Dino. Mencari surat-surat tersebut. Seingatku, Bang Dino selalu menyimpan barang-barang yang menurutnya berharga di bawah tempat tidur. Tidak berpikir lama, mtersebu ke kolong ranjang. Benar, ada tas kantor yang berada di sana. Merayap masuk ke dalam kolong ranjang, mengambil tas tersebut. Tas ini harus dipindahkan ke dalam kamarku. Setelah itu, mengunci pintu kamar. Bergegas keluar rumah, mengunci pintu de
“Aku juga gak tahu, Ren. Berarti selama ini suami kamu udah dijebak sama si Vera. Ih, aku gak nyangka kalau Vera sejahat itu.”Sepemikiran denganku. Aku juga gak nyangka kalau Vera tega berbohong pada Bang Dino. “Kalau Bang Dino sudah mau tanggung jawab apalagi sampai menikahinya, ya berarti dia sudah melakukan hubungan suami istri. Makanya Bang Dino merasa menghamili si Vera.”Meskipun ingin menggugat cerai Bang Dino, tetapi jujur saja masih ada rasa cemburu. Ah, aku ini apa? Sudah disakiti masih saja bucin. Aku harus berpikir jernih. Lelaki yang telah mengkhianati cintaku tak sepantasnya dipertahankan.“Sabar, Ren. Suatu saat kamu pasti akan menemukan kebahagiaanmu. Terus, rencana kamu selanjutnya bagaimana?”Windy mengelus punggungku, aku menganggukkan kepala.“Ya itu, Win. Aku ingin mencari pengacara yang mau membantuku mengubah nama kepemilikan sertifikat rumah dan tanah. Paling gak, kalau aku sudah resmi jadi janda nanti, aku masih punya aset yang nantinya bisa dijual buat modal
“Kamu jahat banget sih, Ren? Masa aku tinggal di kontrakan petak? Aku kan lagi hamil ....” Idih, memangnya aku peduli? Mengingat kehamilan Vera, aku jadi penasaran sebenarnya siapa laki-laki yang menghamilinya? Bang Dino jelas bukan! karena ia sudah divonis mandul. Kalau begitu, kemungkinan besar lelaki lain, Bang Dino hanya jadi tumbalnya saja. Kasihan .... “Itu urusanmu! Bukan urusanku!” kataku membuka pintu rumah, masuk lebih dulu dari mereka.“Sayang, memangnya kamu mau beli apartemen di mana? Nanti kalau uangnya masih ada sisa, kita beli mobil, ya?” Percaya diri sekali si Dinosaurus. Dia pikir, aku masih mau menjadi istrinya? Oh tidak. Aku tak Sudi menjalani rumah tangga yang dipenuhi kebohongan.“Gimana nanti aja, Bang!” jawabku sambil membuka kunci pintu kamar, lalu menutupnya kembali.Brukh!Aku menghela napas berat, melihat ketiga manusia tak tahu diri itu masih ada di rumah ini. Aku pikir, Ibu akan pulang. Ternyata ....Sudahlah, lebih baik sekarang aku mandi, lalu memerik
“Gak mungkin, Sayang ... gak mungkin Abang melakukan itu. Cinta Abang Cuma buat kamu, sayang Abang Cuma buat kamu, istri Abang ya Cuma kamu, Sayang ....”Ck, dasar buaya! Pembohong! Mulut ini rasanya sudah sangat gatal ingin memberitahu mereka kalau aku sudah tahu pengkhianatan Dinosaurus dan si Vera.“Sorry, Bang. Aku gak percaya. Oh ya, Bu ... Ibu malam ini mau nginap di sini? Mau tidur di mana? Mau tidur di kamar pembantu bareng si Vera?” Kedua tangan Vera mengepal kuat. Sorot matanya dipenuhi kemarahan. Aku tahu, dia pasti sangat marah mendengar gombalan cinta Dinosaurus. Ditambah aku yang sengaja menyindirnya.“Ibu gak akan pulang kalau kamu belum memberikan jatah bulanan ibu tiga juta!” tandas ibu tanpa tahu malu. Aku mencebik, memalingkan muka."Tiga juta? Tiga ratus ribu saja gak akan aku berikan! Kalau Ibu mau minta uang, minta saja sama Bang Dino!”“Sayang, Abang uang dari mana? Uang dan ATM Abang kan udah diambil kamu.”Aku memutar bola mata malas, mendengar alasan yang dik
“Bukti apa, Sayang? Abang sama Vera gak punya hubungan khusus apalagi sampai menikah. Kamu pasti becanda nih! Pokonya Abang dan Vera gak ada hubungan apa-apa. Lagian kan ... Si Vera sudah punya suami. Eh, Ver! Kamu jangan diam saja dong! Ngomong ke Reni, kalau kita gak ada hubungan khusus apalagi sampai menikah!” Bang Dino mengelak sekaligus menyentak si Verek. Ups, maksudku si Vera. Ya mau bagaimana, kelakuan si Vera memang seperti wanita murahan. Sekarang saja aku tidak yakin kalau lelaki yang menghamili Vera adalah Bang Dino.Mungkin benar, mereka pernah melakukan hubungan suami istri tetapi kalau benih yang dikandung Vera, seratus persen aku yakin itu bukanlah anak biologis Bang Dino.“I-iya benar, Ren. Aku dan Mas Dino gak ada hubungan apa-apa. Ah, lagian ... Mas Dino bukan lelaki idaman aku! CK, dia kan ... lelaki yang gak berguna! Gak bisa kerja apa-apa! Bisanya Cuma ngojek doang! Apaan ngojek? Duitnya aja gak seberapa!”Astaghfirullah, si Vera berani juga menghina Bang Dino. H
Aku merasa menjadi istri yang sangat bodoh! Tidak menaruh curiga sedikit pun kalau Bang Dino dan sahabatku berselingkuh. Sudahlah, percuma juga menyesali diri. Aku harus kuat, harus ikhlas melepas Bang Dino. Lelaki culas dan pembohong itu tidak perlu dikasih hati! Biarkan saja dia hidup bersama Vera. Aku yakin, setiap perbuatan pasti ada balasannya. Perbuatan baik, akan dibalas dengan kebaikan.Perbuatan buruk, akan dibalas dengan keburukan.Tidak akan pernah tertukar.Aku pun yakin Allah Maha Adil. Tidak apa-apa, saat ini aku disakiti, dikhianati mereka. Kedepannya, aku berharap Allah menyiapkan kebahagiaan untukku. Aamiin.“Hotel Melati? Mana ada hotel namanya Melati? Motel atau penginapan kali! Lagian mana mungkin, si Dino mau bayar hotel mahal-mahal Cuma buat ....”Aku mengulum senyum mendengar tanggapan Ibu Dewi. “Iya, Bu. Maksudku Motel Melati. Sama ajalah! Sama-sama penginapan!” Vera masih saja bersikukuh merasa benar. Dari dulu tabiatnya tidak berubah. Selalu ingin menang s
“Jadi, benar ... Kalau kamu udah dinikahi Bang Dino?” tanyaku sekadar memastikan.Akhirnya pengakuan yang ingin kudengar dari salah satu mulut mereka terjadi juga. Berusaha tetap tenang, tidak boleh tersulut emosi. Aku tidak ingin membuat kegaduhan karena pengakuan Vera. Kalau Vera sudah mengaku, apakah Bang Dino dan Ibu Dewi mengaku juga?“Benar, Reni ... Aku minta maaf telah ... Telah mengkhianatimu. Aku telah berselingkuh dengan suamimu, Ren ....”Ah, syukurlah Vera sadar. Paling tidak dia sadar kalau perbuatannya suatu pengkhianatan. Kulirik Bang Dino dan Ibunya. Mereka sangat terkejut. Mungkin tidak menyangka kalau Vera berkata jujur soal perselingkuhannya.“Jaga bicaramu, Vera! Kapan kamu menikah dengan anakku, heuh? Ngarang saja! Reni, jangan percaya perempuan murahan itu! Dia hanya mengarang!”Oh rupanya, masih ada yang berusaha mengelak. Aku tersenyum simpul, menghela napas dalam. Kembali duduk di kursi yang sebelumnya kutempati.“Benar, Sayang ... Si Vera berbohong! Abang ma
Aku terdiam, tidak langsung menjawab ungkapan perasaan Angga. Lelaki itu lantas mengeluarkan kotak cincin berwarna merah terang. Aku semakin terkejut dan tak percaya, kenapa Angga secepat ini melamarku?"Kalau kamu mau aku ajak menikah dalam waktu dua bulan, kamu bisa mengambil cincin ini. Aku sungguh-sungguh ingin menikahimu."Pandanganku berembun. Terharu sekaligus bingung. "Angga ...." panggilku lirih. Masih berpikir kalau lelaki yang duduk di hadapanku sedang bercanda. "Aku serius, Reni. Aku benar-benar ingin menikahimu."Belum sempat menimpali ucapan Angga, pelayan restoran datang, meletakkan beberapa menu makan kami. "Kita makan dulu. Setelah makan, aku harap kamu mau kasih jawaban."Aku hanya menganggukkan kepala. Bukan aku tak suka pada Angga. Aku rasa, wanita mana pun pasti menyukainya. Angga tipikal lelaki yang sedari dulu tidak banyak tingkah. Mau bergaul dengan siapapun. Tidak melihat dia orang kaya atau orang yang tak punya. "Gimana, Ren? Kamu udah punya jawabannya?"
Sudah dua bulan aku bekerja di perusahaan Angga. Meski hanya sebagai cleaning service. Tapi, aku bahagia. Kerjaannya tidak memberatkan dan santai. Tidak seperti kerja di luar negeri. Walaupun gajinya lebih besar, tapi kerjaannya luar biasa berat. Sudah dua bulan juga kau menyandang status janda. Persidangan perceraianku dengan Dino sudah diputuskan. Sejak saat itu, aku berusaha menghindari Dino dan juga Vera. Aku tidak mau diusik oleh mereka lagi. Mungkin juga sekarang si Vera udah melahirkan. "Reni?" Saat sedang merapikan pantry, seseorang yang suaranya aku kenal memanggil."Iya, Pak Angga?" sahutku formal. Angga tersenyum, menaikkan sebelah alisnya. "Jangan panggil aku, Pak kalau kita lagi berdua, Ren."Terkekeh mendengar ucapan Angga. Dia memang selalu berkata seperti itu. Melarangku memanggilnya dengan sebutan Pak Angga. Katanya kayak ke siapa saja. Lah jelas ke atasanku. Karyawan yang posisi jabatannya tinggi saja memanggil Angga, Pak Angga. Masa aku cuma office girl memanggil
"Barang-barang furniture di rumah kamu gak dibawa semua? Kamu cuma bawa ini doang?" Tiba-tiba Angga bicara. Aku menoleh, menapat lelaki yang berdiri di dekat ruang tamu tanpa ada sofa atau televisi. Apartemen ini memang masih kosong. Belum ada barang-barang rumah tangga lainnya. "Iya. Ribet bawanya. Lagian aku kan cuma hidup sendirian. Paling nanti mau beli alat-alat dapur. Kalau sofa, gampang nyusul," jawabku membuka pintu kamar.Kalau tempat tidur aku sudah membelinya kemarin. Menyuruh penjaga apartemen untuk mengangkat ke atas. Begitu pula lemari pakaian. Selesai memasukkan kedua koper, aku keluar, ke dapur. Di sana baru ada dispenser, kompor dan magicom. "Silakan diminum," ucapku meletakkan kedua gelas di depan Angga dan Windy yang duduk di atas karpet. "Padahal bawa aja, Ren. Barang-barang di rumah sebelumnya kan milikmu," kata Angga sambil menegak air yang aku suguhkan. "Males, Ga.""Dia mah emang begitu, Angga. Orangnya gak mau ribet. Aku juga sempat mengingatkannya, bara
"Pindah? Kamu mau pindah sekarang, Ren?"Dari arah belakang, muncul Vera sambil mengelus perut buncitnya."Iya. Aku mau pindah sekarang," jawabku tanpa beban. Aku sudah tidak sabar hidup seorang diri tanpa bayang-bayang mereka berdua. Sepasang manusia yang udah putus urat malunya. "Terus kami gimana, Ren? Kamu ini kalau jual rumah kok gak mikirin nasib kami sih?"Astaghfirullah ... kok ada manusia gak tau diri seperti si Vera? Amit-amit nauzubillahiminzalik. Aku menggelengkan kepala, mendekati Vera. "Asal kalian tau, aku emang gak pernah mikirin nasib kalian. Ih, amit-amit. Kamu kok Ver, gak punya malu banget. Emang waktu kalian selingkuh, mikirin nasib aku yang bekerja di luar negeri sana? Enggak kan?"Kupelototi dua makhluk yang sifatnya melebih makhluk astral itu. Mereka benar-benar membuatku kesal dan emosi. Kalau si Vera lagi gak hamil besar, ingin sekali tangan ini menjambak rambutnya yang jarang sekali dikeramas. Aku sih bukan menghina, tapi si Vera hamil itu gak cantik sama
"Kamu jangan salah paham dulu, Ren. Aku dari dalam kamar Vera gak ngapa-ngapain. Kita cuma ngobrol aja kok. Sumpah dah." Aku tersenyum miring mendengar alasan Bang Dino. Tidak peduli juga mereka mau ngapain berduaan di dalam kamar. Toh sebentar lagi aku dan Bang Dino akan bercerai. "Bener, Ren. Aku sama Mas Dino cuma ngobrol biasa aja."Halah, si Vera juga ikut-ikutan mengelak. Aku mendekati keduanya. Memandang mereka satu persatu. "Aku ... enggak ... pe-du-li."Membalikkan badan, meninggalkan dua manusia munafik itu. Tak ingin mendengar ucapan atau alasan mereka lagi. Bodo amat. Aku melangkah ke dapur, membuat susu cokelat hangat. Entah mengapa malam ini aku tidak bisa tidur. "Ren, apa kamu gak bisa batalin jual rumah ini?" Tanpa kusadari, Bang Dino sudah berdiri di samping. Menoleh ke belakang, Vera sudah tidak ada. "Enggak bisa," jawabku singkat, mengaduk susu cokelat hangat. "Ren, aku gak mau pisah sama kamu. Kamu jangan ceraikan akulah, Ren. Aku masih cinta kamu, Ren. Masi
PoV VeraSungguh, aku tak menyangka diam-diam Reni mau menjual rumah yang baru ia dan Bang Dino bangun. Aku pikir dia tidak akan mau menjual rumah ini soalnya dibangun dari hasil keringatnya selama bekerja menjadi TKW. Ternyata tanpa aku dan Bang Dino ketahui, Reni sudah berniat menjualnya. Duh, kalau rumah ini dijual, aku mau tinggal di mana? Apalagi tadi Reni sempat bilang, katanya dia akan menggugat cerai bang Dino. Ah, menyebalkan. Kenapa semua rencanaku dan Bang Dino jadi berantakan? Ditambah sekarang para tetangga kanan kiri sudah tahu statusku yang menjadi selingkuhan Bang Dino. Aku tadi benar-benar dibuat malu sama si Reni. Gara-gara dia, warga di sini tahu kalau aku dan Bang Dino berselingkuh. Sialan!Sudah pukul sebelas malam, aku masih enggak bisa tidur. Bang Dino juga belum masuk kamar padahal tadi dia sempat bilang, katanya pengen ngobrol hal penting sama aku. Tok, tok, tok.Suara ketukan pintu membuatku tersentak. Perlahan, aku turun dari ranjang, berjalan dan membuka p
Seharian ini, tubuhku sangat lelah. Usai melakukan pertemuan di cafe tadi, aku dan Windy mencari apartemen. Alhamdulillah kami langsung menemukan apartemen yang cocok harga dan lokasinya. Windy benar-benar sahabat yang sangat baik. Ia mau repot-repot membantuku. Beda sekali dengan Vera. Ah, wanita itu sungguh membuatku kcewa. Tapi, ya sudahlah. Tidak perlu aku sesali lagi yang telah terjadi. Sebentar lagi juga aku akan terlepas dari dua manusia benalu itu, Vera dan Bang Dino.Tiba di rumah, aku langsung menuju ke dapur. Ingin memastikan apakah masakan untuk nanti malam sudah selesai atau belum? Rupanya memang benar, Bang Dino mau membantu Vera memasak. Mereka terlihat saling membantu. Mungkin Bang Dino memang cocok menjadi suami Vera."Ehm, sudah matang masakannya?" tanyaku membuat kedua orang itu menoleh ke belakang. Aku berjalan ke kursi meja makan yang tak jauh dari dapur, duduk. "Kamu udah pulang, Sayang? Tumben gak ngucapin salam?" "Di depan tadi udah ucapin salam, tapi gak ada
Esok harinya, aku ingin ke rumah Rt setempat untuk memberitahu kalau di rumahku akan diadakan acara makan-makan sekaligus ingin berkenalan dengan warga sekitar. Tidak banyak yang aku kenal walaupun hampir tiap hari tetangga sebelah kanan rumahku sering menyapa. "Makan-makannya jadi, Ren?" tanya Bang Dino ketika aku minta diantar ke rumah Rt daerah sini."Iya, Bang. Aku mau minta bantuan pada Pak Rt supaya dia saja yang memberitahu warga kalau kita mau adain acara makan-makan. Ya paling, warga Rt kita aja," jawabku sambil melirik Vera yang menghampiri kami. Wanita itu pasti ingin tahu apa yang aku bicarakan dengan Bang Dino. "Ada apa ini?"Tuh kan, apa kataku? Vera sepertinya sangat cinta sama Bang Dino. Dia selalu ganggu kami kalau sedang ngobrol. Aku menoleh, melihat Vera yang baru saja selesai mencuci piring. Sengaja, aku bicara Bang Dino empat mata saja. Kalau si Vera sampai dengar, bisa-bisa acaraku gagal. "ini, Ver ... Reni mau ajak warga Rt ini makan-makan."Ya ampun, Bang Di
Duh, si Windy kenapa juga harus keceplosan. Aku kan jadi bingung harus jawab apa? Rasanya malu sekali jika mengakui janda. Bukan aku merasa gengsi tetapi menjadi janda bukan pula keinginanku. Andai saja Bang Dino tidak berselingkuh, aku masih bisa bertahan. Kalau masalah ekonomi, aku masih bisa bertahan. Tetapi, kalau perselingkuhan dan pengkhiantan, aku tidak bisa memaklumi. "Hmm ... iya, aku emang ... emang sudah pernah menikah. Dan sekarang, aku masih tinggal satu atap dengan Bang Dino. Cuma emang ... rumah tanggaku sedang ada masalah. Mungkin, sebentar lagi rumah tangga kami akan berakhir."Kulihat Angga mengembuskan napas panjang. Punggungnya bersandar pada sofa. Ia menatapku sangat lekat. Tatapan yang sulit aku mengerti. Windy melirikku. Ia meringis, kedua telapak tangannya terkatup di depan dada."Oke. Kalau begitu aku ingin lihat-lihat rumah ini. Boleh 'kan?" Angga seolah ingin mengalihkan pembicaraan. Tapi, lebih bagus begini sih. Aku agak risih jika ditanya-tanya masalah rum