“Jadi, benar ... Kalau kamu udah dinikahi Bang Dino?” tanyaku sekadar memastikan.Akhirnya pengakuan yang ingin kudengar dari salah satu mulut mereka terjadi juga. Berusaha tetap tenang, tidak boleh tersulut emosi. Aku tidak ingin membuat kegaduhan karena pengakuan Vera. Kalau Vera sudah mengaku, apakah Bang Dino dan Ibu Dewi mengaku juga?“Benar, Reni ... Aku minta maaf telah ... Telah mengkhianatimu. Aku telah berselingkuh dengan suamimu, Ren ....”Ah, syukurlah Vera sadar. Paling tidak dia sadar kalau perbuatannya suatu pengkhianatan. Kulirik Bang Dino dan Ibunya. Mereka sangat terkejut. Mungkin tidak menyangka kalau Vera berkata jujur soal perselingkuhannya.“Jaga bicaramu, Vera! Kapan kamu menikah dengan anakku, heuh? Ngarang saja! Reni, jangan percaya perempuan murahan itu! Dia hanya mengarang!”Oh rupanya, masih ada yang berusaha mengelak. Aku tersenyum simpul, menghela napas dalam. Kembali duduk di kursi yang sebelumnya kutempati.“Benar, Sayang ... Si Vera berbohong! Abang ma
“Gugat cerai? Aku gak mau cerai sama kamu, Sayang!” Bodo amat! Mau atau tidak aku akan tetap menggugat cerai Bang Doni.“Reni, kamu jangan kurang ajar! Tidak baik seorang istri menggugat cerai suaminya! Kualat nanti kamu!”Kualat? Ibu Dewi ada-ada saja. Kalau Bang Dino tidak berselingkuh, aku juga tidak akan menggugat cerai. Semuanya kan karena dia dulu yang bermain api. Bukan aku tidak mau memaafkan kesalahannya. Aku sudah memaafkannya tetapi tidak melupakan perbuatannya.“Reni, Dino sudah menceraikan si Vera. Kenapa kamu malah menggugat cerai? Harusnya kamu bersyukur karena sudah dipilih Dino!” Kulirik Ibu yang semakin geram.Aku tetap diam. Tidak ingin menanggapi ucapan Bang Dino dan Ibunya.“Bu, istri manapun akan kecewa kalau dikhianati suaminya! Harusnya Ibu itu mikir, bagaimana kalau yang menimpa Reni, menimpa Ibu!” Kali ini Vera yang menyela. aku tersenyum miring, menggelengkan kepala. Bicaranya kayak orang benar saja. Dia juga tidak memikirkan perasaanku. Berselingkuh sampa
“Kamu ikutan si Reni mau gugat cerai suamimu?”Weh, kedua mata Ibu Dewi melotot tajam. Ternyata rumah tangga Mbak Sarah dan Bang Dodi juga direcokin Ibu. Tidak menyangka juga kalau Mbak Sarah sangat sabar menghadapi ibu mertuanya. Beruntung, Mbak Sarah memiliki kedua orang tua yang baik dan kaya raya. Untungnya lagi, suami Mbak Sarah mau kerja. Kerja di salah satu pabrik swasta. Masih mending dikasih nafkah walaupun nafkahnya sedikit dibandingkan Ibu Dewi.“Bukan ikutan, Bu! Selama ini aku sudah sabar! Sudah mau mengalah sama Ibu! Bang Dodi ngasih uang banyak ke Ibu dari pada ke aku, gak masalah! Tetapi, karena Ibu tadi bicara seperti itu, lebih baik kami bercerai!” Omongan Ibu tadi memang menyakitkan. Sebaiknya sekarang aku pergi dari sini. Dari pada nanti ketahuan Mbak Sarah mengintip dan menguping, gak enak juga. Aku pun bergegas ke depan, duduk di kursi teras. Ngomong-ngomong Bang Dino dan si Vera kemana? Apa mereka sedang ....Astaghfirullah ... Jangan sampai mereka melakukan h
Selepas pulang dari cafe, kulihat Ibu duduk sendirian di kursi depan teras. “Kamu dari mana, Ren?” “Dari luar, Bu.”Langsung masuk ke dalam rumah, malas beramah-tamah tamah dengan Ibu mertua yang sudah kuketahui kebusukannya. Melihat jam dinding sudah jam satu siang.Dari ruang tengah, kulihat Bang Dino dan Vera sedang bertengkar di dapur. Suaranya tidak terlalu jelas didengar. Kenapa lagi mereka?“Mas, aku mohon jangan ceraikan aku! Aku mencintaimu, Mas!” Samar-samar kudengar suara Vera yang memohon. Aku enggan menghampiri, memilih masuk ke dalam kamar. “Sayang! Ren! Reni!”Ya ampun, ada apa lagi Bang Dino? Kenapa pula dia memanggilku?“Ada apa?” tanyaku, Bang Dino berdiri di depanku. Ia hendak meraih kedua telapak tangan ini, namun segera kutepis. Aku tak mau disentuh olehnya lagi.“Sayang, Abang mohon jangan gugat cerai. Abang akan berubah. Vera sudah Abang ceraikan. Abang gak mau sama dia lagi, Sayang. Beri Abang kesempatan satu kali lagi.”Memalingkan muka, malas menatap waja
Setelah kepergian Ibu Dewi dan anak sulungnya, aku bisa bernapas lega. Paling tidak, ketika calon pembeli datang ke rumah, tidak ada yang mengganggu. Aku berharap, Bang Dino dan Vera juga lama belanjanya. Tadi aku sengaja menyuruh mereka membeli belanjaan yang sulit ditemukan di pasar tradisional. Aku juga berharap, calon pembeli yang belum kuketahui siapa namanya, langsung cocok dengan rumah ini. Harganya pun sesuai dengan keinginanku.Aku berjalan, masuk ke dalam kamar. Menemui Windy yang sedari tadi kutinggalkan seorang diri."Lama amat sih, Ren? Mertuamu udah pada pulang kan?" Windy terlihat kesal karena mungkin aku terlalu lama."Sudah. Mereka semua sudah pergi. Calon pembelinya udah di jalan 'kan?" Rasanya aku tidak sabar menjual rumah ini. Tidak apa-apalah kujual rumah hasil keringatku selama jadi TKW. Toh, nanti uang hasil penjualannya akan aku belikan apartemen yang jauh lebih baik. Intinya aku tidak mau direcoki oleh Bang Dino, Vera dan juga Ibu Dewi. "Lagi di jalan. Mungki
Duh, si Windy kenapa juga harus keceplosan. Aku kan jadi bingung harus jawab apa? Rasanya malu sekali jika mengakui janda. Bukan aku merasa gengsi tetapi menjadi janda bukan pula keinginanku. Andai saja Bang Dino tidak berselingkuh, aku masih bisa bertahan. Kalau masalah ekonomi, aku masih bisa bertahan. Tetapi, kalau perselingkuhan dan pengkhiantan, aku tidak bisa memaklumi. "Hmm ... iya, aku emang ... emang sudah pernah menikah. Dan sekarang, aku masih tinggal satu atap dengan Bang Dino. Cuma emang ... rumah tanggaku sedang ada masalah. Mungkin, sebentar lagi rumah tangga kami akan berakhir."Kulihat Angga mengembuskan napas panjang. Punggungnya bersandar pada sofa. Ia menatapku sangat lekat. Tatapan yang sulit aku mengerti. Windy melirikku. Ia meringis, kedua telapak tangannya terkatup di depan dada."Oke. Kalau begitu aku ingin lihat-lihat rumah ini. Boleh 'kan?" Angga seolah ingin mengalihkan pembicaraan. Tapi, lebih bagus begini sih. Aku agak risih jika ditanya-tanya masalah rum
Esok harinya, aku ingin ke rumah Rt setempat untuk memberitahu kalau di rumahku akan diadakan acara makan-makan sekaligus ingin berkenalan dengan warga sekitar. Tidak banyak yang aku kenal walaupun hampir tiap hari tetangga sebelah kanan rumahku sering menyapa. "Makan-makannya jadi, Ren?" tanya Bang Dino ketika aku minta diantar ke rumah Rt daerah sini."Iya, Bang. Aku mau minta bantuan pada Pak Rt supaya dia saja yang memberitahu warga kalau kita mau adain acara makan-makan. Ya paling, warga Rt kita aja," jawabku sambil melirik Vera yang menghampiri kami. Wanita itu pasti ingin tahu apa yang aku bicarakan dengan Bang Dino. "Ada apa ini?"Tuh kan, apa kataku? Vera sepertinya sangat cinta sama Bang Dino. Dia selalu ganggu kami kalau sedang ngobrol. Aku menoleh, melihat Vera yang baru saja selesai mencuci piring. Sengaja, aku bicara Bang Dino empat mata saja. Kalau si Vera sampai dengar, bisa-bisa acaraku gagal. "ini, Ver ... Reni mau ajak warga Rt ini makan-makan."Ya ampun, Bang Di
Seharian ini, tubuhku sangat lelah. Usai melakukan pertemuan di cafe tadi, aku dan Windy mencari apartemen. Alhamdulillah kami langsung menemukan apartemen yang cocok harga dan lokasinya. Windy benar-benar sahabat yang sangat baik. Ia mau repot-repot membantuku. Beda sekali dengan Vera. Ah, wanita itu sungguh membuatku kcewa. Tapi, ya sudahlah. Tidak perlu aku sesali lagi yang telah terjadi. Sebentar lagi juga aku akan terlepas dari dua manusia benalu itu, Vera dan Bang Dino.Tiba di rumah, aku langsung menuju ke dapur. Ingin memastikan apakah masakan untuk nanti malam sudah selesai atau belum? Rupanya memang benar, Bang Dino mau membantu Vera memasak. Mereka terlihat saling membantu. Mungkin Bang Dino memang cocok menjadi suami Vera."Ehm, sudah matang masakannya?" tanyaku membuat kedua orang itu menoleh ke belakang. Aku berjalan ke kursi meja makan yang tak jauh dari dapur, duduk. "Kamu udah pulang, Sayang? Tumben gak ngucapin salam?" "Di depan tadi udah ucapin salam, tapi gak ada