Di dalam kamar, Aisya melepas jilbabnya kasar lalu melemparnya sembarang. Dia masih begitu kesal. KlekPintu terbuka. Bara dengan wajah lelahnya langsung berbaring di kasur. Aisya tak berbicara sepatahpun.Tak lama, dengkur halus mulai terdengar. Rupanya Bara tertidur, membuat Aisya semakin kesal. Panggilan sholat Dhuhur mulai berkumandang dari toa masjid Agung Al-Mubarok. Aisya membangunkan Bara yang baru beberapa menit tertidur. Meskipun sedang marah, Aisya tetap mengingatkan Bara akan kewajibannya sebagai muslim. Aisya lantas mengambil wudhu. Dibentangkannya sajadah bergambar Ka'bah. Mukena putih pemberian Bara ia kenakan. "Mas, sudah adzan. Nanti terlambat sholat," ujar Aisya sambil mengguncang pelan bahu Bara. Bara menggeliat, melemaskan ototnya yang terasa kaku. Lantas dia bangun, lalu pergi ke kamar mandi.Aroma parfum menguar di seluruh kamar. Bara dengan wajah segar, memakai baju koko putih tampak lebih gagah. Tak lupa, songkok ia k
Bara tersenyum melihat tingkah istrinya. Aisya, istrinya yang polos dan manja, selalu membuat hatinya nyaman. "Aku tadi hanya kesal, karena dianggap pembantu," ujar Aisya lagi.Bara juga merasa bersalah, karena tidak membela istrinya tadi. Dikecupnya pipi Aisya, agar istrinya tahu kalau dirinya tidak marah. "Mas mau memaafkanku, 'kan?" tanya Aisya manja. Aisya tahu, kalau Bara suka dengan sikapnya yang manja.Bara menggeleng tidak setuju. "Jadi, Mas enggak mau maafin aku?""Ada syaratnya!" "Syarat?" "Iya. Enak saja tiba-tiba minta maaf setelah marah-marah. Pokoknya aku enggak mau maafin, kalau syaratnya belum terpenuhi," ujar Bara sambil tersenyum penuh makna.Bara menunjuk pipinya sebelah kanan. Aisya mengendikkan bahu tak paham. "Aku kasih contoh," ujar Bara. Aisya tersenyum malu, mengerti apa maksud Bara. Pipinya yang putih, bersemu merah layaknya kepiting rebus. "Buruan!" Bara tak sabar melihat reaksi istrinya. Aisya melakukan yang Bara perintah. Tak hanya pipi kanan, dia
Cintya terdiam, lantas duduk di samping Bara. Dia mencoba mencerna ucapan Bara. Menjaga madunya untuk seminggu ke depan adalah ide gila. Apa Bara tidak takut, kalau dirinya akan melukai Aisya? Bukankah selama ini Bara tahu, kalau Cintya tak pernah akur dengan Aisya? "Apa kamu yakin, menitipkannya padaku?" Sungguh, hati Cintya teriris perih. Dia begitu memikirkan keselamatan Aisya dibanding dirinya."Aku tahu kamu. Kamu enggak mungkin mencelakai Aisya. Tak mungkin aku membawanya. Pekerjaan di proyek tak kenal waktu. Aku takut dia kesepian," ujar Bara sambil menatap wajah Cintya. Cintya-nya masih begitu cantik, di usia yang hampir tiga puluh. Banyak yang mengira, dosen Bahasa Inggris itu berusia dua puluh limaan. "Kamu begitu mengkhawatirkannya, sampai lupa kalau aku yang menemanimu dari nol," ujar Cintya tersenyum getir. Dia masih ingat betul, ketika mereka berboncengan naik motor menembus lebatnya hujan. Cintya juga rela ikut banting tulang, agar mempunyai modal untuk berbisnis.
Tepat pukul delapan malam, Bara keluar kamar Aisya dengan jaket tebal berwarna biru dongker. Aisya membawa koper kecil Bara. Aisya belum rela, ditinggal Bara pergo jauh. Dari tadi dia hanya ingin di dekat Bara. "Kamu baik-baik ya di rumah!" pesan Bara sambil mencubit gemas pipi Aisya. "Kalau sudah selesai langsung pulang ya, aku kangen," rajuk Aisya manja. "Pasti Sayang."Cintya menghampiri kedua insan yang sedang dimabuk asmara. Di tangannya terdapat sekantong kresek kecil. "Jangan lupa bawa ini!" Cintya menyerahkan kantong kresek ke Bara. "Terima kasih Sayang," ujar Bara sambil menerima kantong kresek dari Cintya. "Jaga kesehatan. Semua obat-obatan yang kamu perlukan ada di dalam," ujar Cintya datar. Sekesal apapun dia kepada Bara, namun Bara tetaplah suaminya. Tak ada alasan untuk tidak berbakti padanya. "Jangan tidur larut malam, nanti masuk angin!" imbuh Cintya. Cintya ingat betul, kalau Bara gampang masuk angin ketika suka begadang. Bara mengangguk senang. Ternyata Cin
Senin pagi, Cintya bersiap ke kantor. Sekitar jam lima, mbah Yah sudah datang. Cintya memintanya memasak, karena dia harus berangkat pagi. "Mbah, nanti saya pulang agak sore, jadi mbah Yah di sini dulu saja!" pinta Cintya saat mbah Yah membersihkan kamarnya. "Iya Bu." Cintya kembali mematut dirinya di depan cermin. Disambarnya tas berwarna hitam berisi laptop dan beberapa alat tulis. Tak lupa, jam tangan dia kenakan, agar tak lupa waktu. Dengan sedikit tergesa, Cintya menuruni anak tangga. Dilihatnya kamar Aisya masih tertutup. Cintya lantas ke dapur dan mencomot roti tawar yang sudah disiapkan mbah Yah. "Mbah Yah lihat kunci mobil saya enggak?" teriak Cintya dari bawah. Matanya sambil memindai sekeliling. "Sebentar Bu, saya cari," jawab mbah Yah.Cintya memang sedikit ceroboh. Sudah sering dia lupa membawa kunci mobilnya, namun tetap saja meletakannya sembarang. "Ada Bu!" seru mbah Yah sambil tergesa turun."Ketemu di mana?" tanya Cintya."Di depan cermin Bu," ujar mbah Yah sa
Cintya amat lelah hari ini. Dia memarkirkan mobilnya asal. Pintu rumah terbuka, namun tampak sepi. Mungkin mbah Yah dan Aisya sedang istirahat, batinnya. Dia lantas berjalan ke dalam. Lagi-lagi kamar Aisya masih tertutup. Cintya penasaran, apa yang dilakukan madunya di dalam kamar. Cintya lantas duduk di sofa ruang tengah, sambil menonton televisi. Dia melepas jilbabnya, lalu tiduran di sofa. "Baru pulang Bu?" tanya mbah Yah saat dirinya hampir terlelap."Iya Mbah.""Diminum dulu, Bu."Mbah Yah memberikan segelas air putih. Sudah menjadi kebiasaannya, saat Bara maupun Cintya pulang kerja, dia akan menyiapkan air putih. Sebenarnya Cintya melarangnya, tapi mbah Yah tetap melakukannya."Mau makan sekarang Bu, biar saya hangatkan dulu?" "Enggak usah, saya sudah makan tadi."Mbah Yah lantas meninggalkan majikannya agar bisa istirahat. "Oh iya Mbah, Aisya sudah makan?" tanya Cintya sebelum mbah Yah pergi."Setahu saya belum Bu. Dari tadi pagi saya belum lihat dia keluar kamar."Mbah Ya
"Saya enggak enak makan, Mbak," lirih Aisya. Cintya menghela nafas. "Biar mbah Yah yang suapi," usul Cintya. "Maaf Bu, saya sudah mau pulang, jadi enggak bisa," sanggah mbah Yah di ambang pintu. Cintya melirik jam tangan yang baru menunjukkan pukul tiga lewat sedikit. Dia meminta mbah Yah pulang jam lima, tapi kenapa sekarang mbah Yah sudah ingin pulang. Mbah Yah menggelengkan kepala saat Cintya melihatnya. Terlihat jelas dari raut mukanya, kalau dia malas menyuapi Aisya. Cintya menyadari itu, lalu dia berjalan ke arah mbah Yah. "Demi saya Mbah," ujar Cintya penuh penekanan. Mbah Yah merengut, tapi tetap berjalan ke arah Aisya. Diraihnya piring, lalu membantu Aisya untuk bersandar. "Bu Cintya baik bukan? Beliau masih mau merawat madunya, meskipun hatinya selalu disakiti," ujar mbah Yah tak dapat menahan emosinya. Mbah Yah lantas menyendok nasi, lalu mengarahkan ke mulut Aisya. "Sudah Mbah," tolak Aisya disuapan ke lima. Dia meraih gelas berisi air putih, lalu menenggaknya s
"Halo Mel, secepatnya ke sini. Keadaan semakin darurat!" Tut Cintya mematikan panggilannya secara sepihak. Sudah dipastikan, dokter Mela-sahabatnya mencak-mencak. Namun Cintya tak peduli. Pikirannya terus dihantui oleh kehamilan Aisya. "Mungkin saja dia masuk angin Bu," hibur mbah Yah namun tak bisa membuat hati Cintya lega. Cintya meninggalkan mbah Yah yang masih terbengong seorang diri. Dia lantas mengambil air wudhu. Wajahnya tampak lebih berseri. Dia bergegas mengenakan mukena. Lama sekali Cintya menengadahkan tangan, memohon kepada Sang Pemilik segalaNya. Tin Suara klakson mobil membuat Cintya menghentikan do'anya. Dia bergegas menengok dari balkon kamarnya. Mobil dokter Mela. Cintya lalu turun setelah melepas mukena. "Kamu tidak terlihat sedang sakit?" Tanpa basa-basi sahabatnya langsung masuk. Dokter Mela sudah terbiasa ke rumah ini saat Cintya maupun Bara butuh pertolongannya. "Bukan aku yang sakit," jawab Cintya sambil mempersilakan tamunya masuk. "Bara?" Ci
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.