"Saya enggak enak makan, Mbak," lirih Aisya. Cintya menghela nafas. "Biar mbah Yah yang suapi," usul Cintya. "Maaf Bu, saya sudah mau pulang, jadi enggak bisa," sanggah mbah Yah di ambang pintu. Cintya melirik jam tangan yang baru menunjukkan pukul tiga lewat sedikit. Dia meminta mbah Yah pulang jam lima, tapi kenapa sekarang mbah Yah sudah ingin pulang. Mbah Yah menggelengkan kepala saat Cintya melihatnya. Terlihat jelas dari raut mukanya, kalau dia malas menyuapi Aisya. Cintya menyadari itu, lalu dia berjalan ke arah mbah Yah. "Demi saya Mbah," ujar Cintya penuh penekanan. Mbah Yah merengut, tapi tetap berjalan ke arah Aisya. Diraihnya piring, lalu membantu Aisya untuk bersandar. "Bu Cintya baik bukan? Beliau masih mau merawat madunya, meskipun hatinya selalu disakiti," ujar mbah Yah tak dapat menahan emosinya. Mbah Yah lantas menyendok nasi, lalu mengarahkan ke mulut Aisya. "Sudah Mbah," tolak Aisya disuapan ke lima. Dia meraih gelas berisi air putih, lalu menenggaknya s
"Halo Mel, secepatnya ke sini. Keadaan semakin darurat!" Tut Cintya mematikan panggilannya secara sepihak. Sudah dipastikan, dokter Mela-sahabatnya mencak-mencak. Namun Cintya tak peduli. Pikirannya terus dihantui oleh kehamilan Aisya. "Mungkin saja dia masuk angin Bu," hibur mbah Yah namun tak bisa membuat hati Cintya lega. Cintya meninggalkan mbah Yah yang masih terbengong seorang diri. Dia lantas mengambil air wudhu. Wajahnya tampak lebih berseri. Dia bergegas mengenakan mukena. Lama sekali Cintya menengadahkan tangan, memohon kepada Sang Pemilik segalaNya. Tin Suara klakson mobil membuat Cintya menghentikan do'anya. Dia bergegas menengok dari balkon kamarnya. Mobil dokter Mela. Cintya lalu turun setelah melepas mukena. "Kamu tidak terlihat sedang sakit?" Tanpa basa-basi sahabatnya langsung masuk. Dokter Mela sudah terbiasa ke rumah ini saat Cintya maupun Bara butuh pertolongannya. "Bukan aku yang sakit," jawab Cintya sambil mempersilakan tamunya masuk. "Bara?" Ci
Cintya bernafas lega karena dugaannya salah."Obatnya nanti diminum, ada yang sebelum makan dan sesudah makan!""Iya Dok." Cintya semakin bernafas lega. Ketakutannya tidak terbukti. "Mel, yuk ngobrol di luar!" ajak Cintya setelah Mela memberikan obat buat Aisya. "Terima kasih, Dok!" ucap Aisya setelah dokter Mela pamit. "Rajin makan, meskipun sedikit!" ujar dokter Mela sebelum meninggalkan Aisya. Aisya tersenyum bahagia. Ternyata Cintya masih mau merawatnya. Cintya mengajak dokter Mela duduk di taman samping, agar Aisya tak mendengar percakapannya. Dokter Mela semakin dibuat bingung oleh tingkah sahabatnya. "Beneran dia enggak hamil?" Cintya kembali memastikan, setelah keduanya duduk di ayunan. Dokter Mela membenarkan letak kacamata yang bertengger di atas hidungnya yang mancung. "Enggak, dia terkena infeksi usus. Tadi 'kan sudah kubilang.""Syukurlah," jawab Cintya lega. Lagi-lagi dokter Mela heran. Siapa sebenarnya gadis muda tadi, sampai-sampai Cintya begitu khawatir. "D
Dokter Mela tak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak menyangka, Bara yang selama ini dia kenal bisa sejahat itu. "Andai aku bisa hamil, pasti mas Bara tak akan mendua. Apa aku terlalu jahat, ternyata Aisya tidak jadi hamil?" Dokter Mela mencoba memeluk Cintya. Cintya tak menolak. "Sabar, Allah pasti sudah merencanakan yang lebih baik," bisik Mela. Cintya tak mampu menahan tangisnya. Beban yang selama ini tertumpu, dia curahkan kepada Mela. Sesekali, Mela mengusap punggung wanita cantik di pelukannya. "Sudah ah jangan nangis terus, nanti cepet tua!" goda Mela yang dibalas cubitan kecil Cintya. "Aduh, galak amat bu dosen," rintih Mela sambil mengusap lengannya yang merah. "Pasienmu sudah nunggu, pulang saja!" usir Cintya sambil melirik jam tangannya. Jam lima sore, klinik Mela sudah harus buka. Bukannya tersinggung, Mela malah tertawa ngakak. "Kamu belum bayar. Mana bayaranku!" ujar Mela ceplas-ceplos. "Aku enggak punya uang."Mela memutar bola mata malas. Sahabatnya memang
Langkah Cintya mendadak berhenti, mendengar permintaan tak masuk akal dari madunya. Bisa-bisanya Aisya memintanya menghubungi Bara untuknya. Cintya menghirup nafas dalam, lalu mengembuskannya. Dia harus menetralkan emosi yang selalu muncul saat berhadapan dengan Aisya. "Dia bekerja. Jangan diganggu!" pesan Cintya. "Apa sesibuk itu, sampai lupa menghubungiku? Setidaknya menelfon kalau sudah sampai," gerutu Asiya. "Itu belum seberapa, dibanding apa yang aku rasakan sekarang," ujar Cintya sambil terus melenggang masuk. Tak lupa ditutupnya pintu karena hari sudah mulai gelap.Cintya terus melangkah masuk. Dia tak menghiraukan madunya. Rasa sakitnya masih begitu besar, daripada rasa ibanya. Andaikan dia tidak menjadi duri di rumah tangganya, Cintya pasti punya rasa iba. Cintya teringat, kalau dokter Mela belum dibayar. Diraihnya ponsel yang masih tergeletak di meja. Dibukanya aplikasi m-bangking. "Beres," gumamnya.Cintya lantas membereskan tas dan jilbabnya yang masih berserakan di
Cintya sudah berdandan rapi. Rok plisket berwarna krem dipadukan dengan kemeja bermotif bunga berwarna senada. Dengan riasan tipis, wajahnya tampak lebih muda dari usianya. Cintya masuk ke mobilnya yang belum terparkir. "Mau ke mana, Mbak?" tanya Aisya terlihat buru-buru menghampirinya. "Mau keluar. Kenapa?" "Aku takut di rumah sendiri," ujar Aisya seraya menggigit bibir bawahnya. Kali ini Aisya tidak berbohong. "Kamu bukan lagi anak kecil, Aisya," sahut Cintya jengkel, karena Aisya mengulur waktunya. Cintya benar-benar sedang penat di rumah. Saat ini dia hanya ingin keluar, entah ke mana. "Aku beneran takut sendiri, Mbak." Cintya menghela nafas pelan. Aisya selalu sukses mengacaukan segalanya. BrakCintya membanting pintu mobil, sampai Aisya melonjak kaget. "Kamu lho berani merebut suamiku, lantas apa yang kamu takutkan sekarang?" geram Cintya sambil menatap tajam Aisya. Aisya mundur beberapa langkah, tak sanggup menatap mata nyalang Cintya. Cintya begitu menakutkan di saat
Di raihnya ponsel pemberian Bara, hadiah pernikahan katanya. Aisya membuka aplikasi hijau, berharap sang suami memberinya kabar. DrrtTertera nama Bara di layar ponselnya. Hatinya begitu girang. Yang ditunggu-tunggu sedang menelfon. Aisya secepat kilat menggeser tanda hijau. "Assalamualaikum," sapa Aisya tak sabar. "Wa alaikum salam, Sayangku. Apa kabar?" Suara Bara di seberang sana."Mas kenapa lama enggak kasih kabar? Aku khawatir tahu," rajuk Aisya sambil senyum-senyum sendiri. Seketika rasa takutnya hilang, berganti dengan kebahagiaan. "Maaf, mas sangat sibuk. Baru sempat pegang ponsel," ujar Bara pelan."Aku sakit Mas," manja Aisya dengan suara dibuat memelas, agar suaminya iba. Aisya berharap suaminya segera pulang, karena dirinya sakit. "Sakit?" Suara Bara terlihat begitu khawatir. "Heem, tapi sudah diperiksa dokter.""Sakit apa, Sayang?""Kata dokter sakit lambung. Sekarang juga masih sakit, Mas," rintih Aisya. "Sudah makan?" Bara terlihat begitu khawatir. "Belum Mas,
Cintya mengambil koper yang tersimpan di atas lemari. Dia melemparnya ke dekat Aisya. Aisya benar-benar membuatnya emosi. "Tunggu apa lagi?" Cintya membuyarkan lamunan Aisya. Aisya meraih ponsel di dekat bantal. Secepat kilat Cintya merebutnya. "Mau ngadu lagi? Enggak ada gunanya." Cintya memasukkan posel di sakunya. "Aku enggak akan pergi sebelum mas Bara pulang." Aisya memberanikan diri mengangkat wajahnya."Kamu memang tak tahu diri dan enggak punya malu. Cepatlah, sebelum aku berbuat lebih," bentak Cintya. "Kamu jahat, Mbak," isak Aisya. "Aku menjadi jahat juga karena kamu. Andai kamu enggak masuk di kehidupanku, tak mungkin aku sejahat ini.""Hukum karma pasti berlaku." Aisya memunguti bajunya yang tercecer, lalu memasukkan ke koper dengan asal. Sesekali, dia mengusap pipinya kasar. "Aku harus pergi ke mana?" gumamnya bingung. Apalagi ini sudah malam. Di kota kecil ini tak ada taksi, hanya ojek. "Sudah selesai bukan? Silakan!" Cintya membuka pintu lebar-lebar. "Berikan
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.