Cintya sudah berdandan rapi. Rok plisket berwarna krem dipadukan dengan kemeja bermotif bunga berwarna senada. Dengan riasan tipis, wajahnya tampak lebih muda dari usianya. Cintya masuk ke mobilnya yang belum terparkir. "Mau ke mana, Mbak?" tanya Aisya terlihat buru-buru menghampirinya. "Mau keluar. Kenapa?" "Aku takut di rumah sendiri," ujar Aisya seraya menggigit bibir bawahnya. Kali ini Aisya tidak berbohong. "Kamu bukan lagi anak kecil, Aisya," sahut Cintya jengkel, karena Aisya mengulur waktunya. Cintya benar-benar sedang penat di rumah. Saat ini dia hanya ingin keluar, entah ke mana. "Aku beneran takut sendiri, Mbak." Cintya menghela nafas pelan. Aisya selalu sukses mengacaukan segalanya. BrakCintya membanting pintu mobil, sampai Aisya melonjak kaget. "Kamu lho berani merebut suamiku, lantas apa yang kamu takutkan sekarang?" geram Cintya sambil menatap tajam Aisya. Aisya mundur beberapa langkah, tak sanggup menatap mata nyalang Cintya. Cintya begitu menakutkan di saat
Di raihnya ponsel pemberian Bara, hadiah pernikahan katanya. Aisya membuka aplikasi hijau, berharap sang suami memberinya kabar. DrrtTertera nama Bara di layar ponselnya. Hatinya begitu girang. Yang ditunggu-tunggu sedang menelfon. Aisya secepat kilat menggeser tanda hijau. "Assalamualaikum," sapa Aisya tak sabar. "Wa alaikum salam, Sayangku. Apa kabar?" Suara Bara di seberang sana."Mas kenapa lama enggak kasih kabar? Aku khawatir tahu," rajuk Aisya sambil senyum-senyum sendiri. Seketika rasa takutnya hilang, berganti dengan kebahagiaan. "Maaf, mas sangat sibuk. Baru sempat pegang ponsel," ujar Bara pelan."Aku sakit Mas," manja Aisya dengan suara dibuat memelas, agar suaminya iba. Aisya berharap suaminya segera pulang, karena dirinya sakit. "Sakit?" Suara Bara terlihat begitu khawatir. "Heem, tapi sudah diperiksa dokter.""Sakit apa, Sayang?""Kata dokter sakit lambung. Sekarang juga masih sakit, Mas," rintih Aisya. "Sudah makan?" Bara terlihat begitu khawatir. "Belum Mas,
Cintya mengambil koper yang tersimpan di atas lemari. Dia melemparnya ke dekat Aisya. Aisya benar-benar membuatnya emosi. "Tunggu apa lagi?" Cintya membuyarkan lamunan Aisya. Aisya meraih ponsel di dekat bantal. Secepat kilat Cintya merebutnya. "Mau ngadu lagi? Enggak ada gunanya." Cintya memasukkan posel di sakunya. "Aku enggak akan pergi sebelum mas Bara pulang." Aisya memberanikan diri mengangkat wajahnya."Kamu memang tak tahu diri dan enggak punya malu. Cepatlah, sebelum aku berbuat lebih," bentak Cintya. "Kamu jahat, Mbak," isak Aisya. "Aku menjadi jahat juga karena kamu. Andai kamu enggak masuk di kehidupanku, tak mungkin aku sejahat ini.""Hukum karma pasti berlaku." Aisya memunguti bajunya yang tercecer, lalu memasukkan ke koper dengan asal. Sesekali, dia mengusap pipinya kasar. "Aku harus pergi ke mana?" gumamnya bingung. Apalagi ini sudah malam. Di kota kecil ini tak ada taksi, hanya ojek. "Sudah selesai bukan? Silakan!" Cintya membuka pintu lebar-lebar. "Berikan
"Mbak Aisya, kenapa di luar?" Mbah Yah yang datang pagi itu begitu kaget melihat kondisi Aisya yang awut-awutan. Matanya sembab dan menghitam. Sepertinya kurang tidur. Mbah Yah juga kaget karena di samping Aisya terdapat koper. Rasa penasaran langsung menyeruak di hatinya. "Mbah tolong saya," lirih Aisya. Tubuhnya menggigil kedinginan. Rasa iba langsung menghampiri mbah Yah. Meskipun selama ini dia benci istri muda majikannya, tapi melihat kondisinya sekarang dia tak tega. Sebenci-bencinya dia, masih punya perasaan. "Mbak Cintya mengusirku tadi malam. Aku enggak tahu harus ke mana, karena ponselku disita mbak Cintya," ujar Aisya. Mbah Yah langsung paham, pasti habis terjadi perselisihan antara kedua majikannya. Namun dia tak berani terlalu ikut campur. Mbah Yah mengetuk pintu. Biasanya jam segini Cintya sudah membuka pintu, tapi sekarang sudah jam enam lewat dan Cintya belum keluar. Mbah Yah membantu Aisya berdiri, lalu menyuruhnya duduk di kursi. "Tolong telfonkan mas Bara, M
Mbah Yah bingung harus berbuat apa. Kondisi kedua istri majikannya sama-sama butuh perhatian. Dia serba salah. Siapa dulu yang harus ia bantu. Dia takut meninggalkan Cintya sendirian. Cintya gampang nekat. Sementara itu, ada Aisya di luar, yang tak kalah memprihatinkan. "Ibu istirahat dulu saja, saya buatkan sarapan!" bujuk mbah Yah. "Aku tidak lapar, Mbah," jawabnya sambil menggelengkan kepala. "Nanti kalau tidak sarapan, bisa sakit Bu." Mbah Yah masih belum menyerah. "Lebih baik saya sakit lalu mati, biar mas Bara puas berduaan dengan jalang itu," ujar Cintya dengan air mata terus berderai.Mbah Yah kehabisan akal. Dia membiarkan Cintya mencurahkan perasannya, agar lega. Dia lalu berjalan ke arah dapur dengan lampu masih menyala. Mbah Yah lantas mematikan saklar. Diraihnya dua gelas sedang. Dia mengambil air panas dari dispenser. Diambilnya kotak teh beraroma melati. Cintya paling suka teh ini. Mbah Yah menyeduh dua gelas teh panas. Setelah menuang gula, dibawanya teh ke depa
"Cintya." Bara berteriak sambil menggedor pintu. Setelah ditelfon mbah Yah, sore itu juga ia berangkat. Proyek pembangunan ia serahkan kepada kepala mandor kepercayaannya. Bara semakin cemas, karena malam ini rumahnya gelap gulita. Perjalanan selama hampir delapan jam tak ia rasakan. Rasa khawatir kepada kedua istrinya menghapus lelahnya. Bara mengeluarkan ponsel, mencoba menghungi nomor Cintya. Hanya suara operator yang menjawab. "Aisya." Bara juga memanggil istri keduanya, namun sama, tidak ada jawaban. Bara mencoba mengetuk jendela kamar Aisya, tapi nihil. Sepertinya memang tidak ada orang di rumahnya. Bara berlari ke pintu samping. Dia menggedor pintu semakin keras, tak peduli tengah malam. "Cintya," teriaknya lagi. Bara mencoba menelfon Cintya lagi, namun tetap sama hasilnya. Bara mulai frustasi. Diremasnya kuat rambutnya. Bara segera berlari ke mobil. Dia melajukan mobil dengan kencang. Untung saja jalanan sudah sepi, sehingga ia bebas ngebut. Dibelokkan setir m
Mbah Yah memberikan isyarat, dengan menempelkan jari telunjuknya di depan bibir agar Bara tak ribut. Mbah Yah mengajaknya duduk di luar. "Mbak Aisya baru saja bisa tidur, Pak," ujar mbah Yah dengan suara parau khas orang bangun tidur. Bara mengusap dadanya lega. Tidak sia-sia dia ke sini dan membangunkan mbah Yah. Bara tak sabar dan tak mengindahkan mbah Yah. Dia segera berjalan cepat ke dalam. Dia ingin segera melihat istrinya. Mbah Yah yang tahu maksud Bara, segera menyusul. Dia menunjukkan kamar di mana Aisya tidur. Bara segera memeluk istrinya. Dia menghujani istrinya dengan ciuman. KrietRanjang tua dari kayu ikut menjerit, karena ketambahan beban.Merasa ada yang memeluknya, Aisya langsung terjaga. Mata sembabnya mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Sejenak ia lupa, kalau tidur di kamar mbah Yah. Aisya segera mendorong Bara, karena takut dilihat mbah Yah. "Kamu enggak apa-apa?" Bara seolah tak menghiraukan penolakan istrinya. Aisya hanya menggeleng lemah. Se
Bara hanya tersenyum yang dipaksakan. Dia tak bermaksud merendahkan pembantunya, tapi memang ingin membuat istrinya nyaman. Sedari kedatangannya, istrinya hanya menangis. Bahkan untuk bercerita dia belum mampu. "Biar dia tenang Mbah, kalau di rumah," alasan Bara. "Kalau begitu, saya juga tidak bisa melarang. Bapak suaminya, pasti tahu yang terbaik buat mbak Aisya.""Apa saja yang terjadi sejak saya tinggal, Mbah?" tanya Bara penasaran. Dia tak sabar menunggu Aisya bercerita. Mbah Yah menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia bingung harus memulai cerita dari mana."Mbah," tekan Bara dengan tatapan menyelidik, karena mbah Yah tak kunjung angkat suara. Mbah Yah meremas ujung dasternya. "tapi Bapak harus janji tidak akan marah!" Bara mengangguk setuju. Dia mulai menata hati, mendengarkan apa yang akan mbah Yah katakan. Mbah Yah mengambil nafas, lalu mengembuskannya. "Jadi, tadi pagi saya datang seperti biasanya. Saya begitu kaget karena melihat mbak Aisya di teras depan sedang mena