Mbah Yah bingung harus berbuat apa. Kondisi kedua istri majikannya sama-sama butuh perhatian. Dia serba salah. Siapa dulu yang harus ia bantu. Dia takut meninggalkan Cintya sendirian. Cintya gampang nekat. Sementara itu, ada Aisya di luar, yang tak kalah memprihatinkan. "Ibu istirahat dulu saja, saya buatkan sarapan!" bujuk mbah Yah. "Aku tidak lapar, Mbah," jawabnya sambil menggelengkan kepala. "Nanti kalau tidak sarapan, bisa sakit Bu." Mbah Yah masih belum menyerah. "Lebih baik saya sakit lalu mati, biar mas Bara puas berduaan dengan jalang itu," ujar Cintya dengan air mata terus berderai.Mbah Yah kehabisan akal. Dia membiarkan Cintya mencurahkan perasannya, agar lega. Dia lalu berjalan ke arah dapur dengan lampu masih menyala. Mbah Yah lantas mematikan saklar. Diraihnya dua gelas sedang. Dia mengambil air panas dari dispenser. Diambilnya kotak teh beraroma melati. Cintya paling suka teh ini. Mbah Yah menyeduh dua gelas teh panas. Setelah menuang gula, dibawanya teh ke depa
"Cintya." Bara berteriak sambil menggedor pintu. Setelah ditelfon mbah Yah, sore itu juga ia berangkat. Proyek pembangunan ia serahkan kepada kepala mandor kepercayaannya. Bara semakin cemas, karena malam ini rumahnya gelap gulita. Perjalanan selama hampir delapan jam tak ia rasakan. Rasa khawatir kepada kedua istrinya menghapus lelahnya. Bara mengeluarkan ponsel, mencoba menghungi nomor Cintya. Hanya suara operator yang menjawab. "Aisya." Bara juga memanggil istri keduanya, namun sama, tidak ada jawaban. Bara mencoba mengetuk jendela kamar Aisya, tapi nihil. Sepertinya memang tidak ada orang di rumahnya. Bara berlari ke pintu samping. Dia menggedor pintu semakin keras, tak peduli tengah malam. "Cintya," teriaknya lagi. Bara mencoba menelfon Cintya lagi, namun tetap sama hasilnya. Bara mulai frustasi. Diremasnya kuat rambutnya. Bara segera berlari ke mobil. Dia melajukan mobil dengan kencang. Untung saja jalanan sudah sepi, sehingga ia bebas ngebut. Dibelokkan setir m
Mbah Yah memberikan isyarat, dengan menempelkan jari telunjuknya di depan bibir agar Bara tak ribut. Mbah Yah mengajaknya duduk di luar. "Mbak Aisya baru saja bisa tidur, Pak," ujar mbah Yah dengan suara parau khas orang bangun tidur. Bara mengusap dadanya lega. Tidak sia-sia dia ke sini dan membangunkan mbah Yah. Bara tak sabar dan tak mengindahkan mbah Yah. Dia segera berjalan cepat ke dalam. Dia ingin segera melihat istrinya. Mbah Yah yang tahu maksud Bara, segera menyusul. Dia menunjukkan kamar di mana Aisya tidur. Bara segera memeluk istrinya. Dia menghujani istrinya dengan ciuman. KrietRanjang tua dari kayu ikut menjerit, karena ketambahan beban.Merasa ada yang memeluknya, Aisya langsung terjaga. Mata sembabnya mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Sejenak ia lupa, kalau tidur di kamar mbah Yah. Aisya segera mendorong Bara, karena takut dilihat mbah Yah. "Kamu enggak apa-apa?" Bara seolah tak menghiraukan penolakan istrinya. Aisya hanya menggeleng lemah. Se
Bara hanya tersenyum yang dipaksakan. Dia tak bermaksud merendahkan pembantunya, tapi memang ingin membuat istrinya nyaman. Sedari kedatangannya, istrinya hanya menangis. Bahkan untuk bercerita dia belum mampu. "Biar dia tenang Mbah, kalau di rumah," alasan Bara. "Kalau begitu, saya juga tidak bisa melarang. Bapak suaminya, pasti tahu yang terbaik buat mbak Aisya.""Apa saja yang terjadi sejak saya tinggal, Mbah?" tanya Bara penasaran. Dia tak sabar menunggu Aisya bercerita. Mbah Yah menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia bingung harus memulai cerita dari mana."Mbah," tekan Bara dengan tatapan menyelidik, karena mbah Yah tak kunjung angkat suara. Mbah Yah meremas ujung dasternya. "tapi Bapak harus janji tidak akan marah!" Bara mengangguk setuju. Dia mulai menata hati, mendengarkan apa yang akan mbah Yah katakan. Mbah Yah mengambil nafas, lalu mengembuskannya. "Jadi, tadi pagi saya datang seperti biasanya. Saya begitu kaget karena melihat mbak Aisya di teras depan sedang mena
Semua panik atas menghilangnya Cintya yang tiba-tiba. Bara yang semula sangat kesal, mendadak khawatir. Dia mencoba menghubungi lagi nomor istrinya, tapi sama, hanya operator yang menjawab. "Apa dia bilang akan pergi ke suatu tempat, Mbah?" tanya Bara. Mbah Yah hanya menggeleng. "Kita harus mencarinya secepatnya!" ucap Bara serius. Mereka bertiga bergegas menuju mobil. Tak lupa mbah Yah menggembok rumahnya dari luar. Rasa mengantuknya seketika menguap, padahal ia baru saja memejamkan mata saat Bara datang. "Aku pusing, Mas," keluh Aisya sambil menyandarkan kepalanya. Bara perlahan melajukan mobilnya meninggalkan rumah mbah Yah. "Tidur saja, nanti kalau sudah sampai aku bangunkan." Bara mengusap kepala Aisya lembut. Dia tak mau egois dengan hanya memikirkan keadaan Cintya. Di sini Aisya juga membutuhkan dirinya. Bara menyetir dalam diam. Pikirannya melayang menerka-nerka keberadaan istri pertamanya. "Coba mbah Yah telfon dia, siapa tahu kalau mbah Yah yang telfon langsung dian
"Tidak ada, Pak. Hari ini juga tidak ada tamu yang menginap," jawabnya polos dengan suara parau khas orang bangun tidur."Sial!" umpat Bara frustasi. "Apa kamu yakin, bu Cintya enggak ke sini, Din?" Kali ini mbah Yah yang bertanya. "Masa saya bohong, Mbah. Kalau ke sini pasti bu Cintya menemui saya dulu."Bara berjalan cepat ke arah vila pribadinya. Pak Udin lalu bergegas mengambil kunci yang tersimpan di lemarinya. Dengan setengah berlari, dia menghampiri Bara yang sudah menapaki anak tangga. "Kuncinya Pak." Pak Udin menyerahkan anak kunci. KlekPintu terbuka. Tak ada siapapun. Bara mendaratkan bobotnya kasar di kursi rotan. Lagi-lagi perkiraannya salah. "Ke mana perginya dia?" kesal Bara dengan tangan memukul sandaran kursi. Semuanya diam. Tak seorangpun berani bersuara, termasuk Aisya. Pak Udin mulai paham, kalau kedatangan mereka ke sini mencari Cintya. "Saya tunggu di luar, Pak," pamit mbah Yah sambil mencolek lengan pak Udin, agar meninggalkan sepasang suami istri itu ber
Sayup-sayup suara adzan Subuh di kejauhan, membangunkan mbah Yah. "Baru juga tidur, cepat sekali Subuhnya," gerutunya sambil menggulung tubuhnya di dalam selimut. Angin pantai Subuh ini begitu dingin. Entah siapa yang memberinya selimut dan bantal. Tahu-tahu, sudah ada bantal dan selimut di sampingnya. Mbah Yah kembali memejamkan mata sebentar, karena di luar masih begitu gelap. "Sudah siang, Mbah." Suara pak Udin membangunkannya. Mbah Yah mengerjap. Rupanya matahari sudah mulai muncul. Padahal dia tadi hanya merem sebentar. Dilihatnya pak Udin memegang sapu lidi. Di pagi buta begini, dia sudah siap menjalankan tugasnya sebagai penjaga sekaligus membersihkan area vila. "Bapak sudah bangun?" tanyanya dengan suara parau."Belum ada keluar," sahut pak Udin sambil membersihkan dedaunan kering."Enak ya jadi orang kaya, Din. Bisa tidur di vila sepuasnya," ujar mbah Yah dengan wajah sumringah. Seolah dia lupa, kalau ke sini untuk mencari Cintya.Pak Udin hanya tersenyum. Dia kembali m
Bara menyesap kopi buatan mbah Yah. Aroma kopi yang khas, membuat matanya lebih segar. "Mas, aku pengen liburan di sini dulu." Aisya keluar dengan menggunakan mukena. "Jangan memakai mukena Cintya, nanti dia marah," ujar Bara saat melihat Aisya memakai mukena istri pertamanya. Dia tahu Cintya tidak ada di sini, tapi bisa dipastikan dia akan sangat marah kalau barangnya dipakai Aisya. "Cuma mukena juga," rajuk Aisya. "Dia tidak suka barangnya dipakai orang lain, Aisya." Aisya langsung ke dalam dan melepas mukena berwarna biru laut milik Cintya. Dia melempar asal di atas kasur. Bara menghela nafas pelan. Kesabarannya sekarang benar-benar diuji. "Jangan merajuk, Sayang. Nanti aku belikan kamu mukena yang sama," bujuk Bara. "Kenapa sih, enggak ada yang peduli sama aku? Cintya terus yang dipikirkan," kesal Aisya. Dia merasa dunia ini tak adil baginya. Dia yang disakiti, tapi malah Cintya yang di pikirkan. "Bukan begitu, Sayang," bujuk Bara. "Mas tahu, aku sedang sakit dan dia de
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.