Cintya tak percaya, suaminya bisa semarah itu. Sementara Aisya, menunduk ketakutan melihat suaminya sangat marah. Selama ini, Bara tak pernah marah kepadanya. Cintya mendadak diam. Dia begitu terkejut melihat Bara semurka ini. Namun, bukan Cintya namanya, kalau mengalah begitu saja. Baginya, Bara yang salah. "Aku kepala rumah tangga di sini, tolong hargai aku!" Bara tak semarah tadi. Dia sadar telah melakukan kesalahan besar dengan membentak Cintya. Padahal Cintya paling tidak bisa dibentak. Cintya enggan menjawab. Hatinya terlanjur sakit. "Cintya, aku menikahi Aisya bukan semata karena nafsu. Aku ingin menolongnya." Bara masih berusaha memberi pengertian ke Cintya. Cintya mengambil gelas berisi cairan teh beraroma Melati, lalu menyesapnya perlahan. Dia tak lantas meletakkan kembali, meskipun sudah selesai. Diremasnya cangkir bermotif bunga teratai dengan kuat. "Aku tak mungkin menyakiti hatimu, Cintya. Bukankah kita menginginkan hadirnya anak? Aku yakin, Aisya jalan keluar dari
Cintya mulai beraktivitas seperti biasa. Meskipun separuh jiwanya ada yang hilang, namun tak mempengaruhi kinerjanya sebagai dosen sekaligus wanita karir. Kini dia sengaja lebih menyibukkan diri di luar. Bahkan, di hari libur pun dia sengaja keluar bersama teman-temannya, untuk mengurangi rasa penat. Seperti sekarang ini, dia sengaja ke villa tanpa mengajak Bara. Di akhir pekan, biasanya villanya selalu ramai pengunjung. Tak sampai setengah jam, mobilnya sudah terparkir rapi di pelataran The Citra vila. Vila yang dia rintis dengan Bara kini sudah mulai ramai pengunjung. Deburan ombak disertai angin sepoi-sepoi menerbangkan ujung pasminanya. Sejenak, Cintya memejamkan mata, karena di dalam otaknya kembali terlintas peristiwa pahit kala itu. Cintya menghela nafas pelan.Cintya melangkah, melewati halaman yang sudah dipenuhi pasir pantai. Dulu, dia dan Bara selalu menghabiskan akhir pekan di sini. Hatinya kembali sakit, saat mengingatnya. Cintya memejamkan mata, mencoba berdamai dengan
Selesai menurunkan barang, pak Udin lantas menyelesaikan tugasnya, membersihkan halaman. Sementara itu, Cintya masuk ke dalam kamar. Dibukanya jendela yang langsung menghadap ke pantai. Semilir angin memainkan anak rambutnya. Lama sekali dia termenung. Beberapa kali dia mengembuskan nafas berat. Banyak sekali yang mengganjal di pikirannya. Dipandangnya kasur di mana dia dan Bara sering memadu kasih di situ. Lagi-lagi hatinya nyeri, mengingat kini Bara bukan hanya miliknya. "Permisi Bu, saya antar es kelapa muda." Suara pak Udin membuyarkan angannya. Cintya lantas menyematkan pasminanya. Seperti biasa, tanpa diminta pak Udin selalu menyiapkan es kelapa muda saat ia berkunjung ke sini. Diletakannya satu butir kelapa muda di atas meja. Pohon kelapa memang banyak tumbuh di halaman belakang vila. Jadi tak heran, stok kelapa muda tak pernah habis kalau hanya dinikmati sendiri. Kadang, kalau banyak kelapa yang sudah tua, Pak Udin akan menjualnya di Pasar Sandana. Cintya maupun Bara sudah
"Pak Udin tahu sesuatu tentang Aisya 'kan?" cecar Cintya. Udara pantai mulai terasa panas, sepanas hatinya sekarang. Cintya merasa dimainkan oleh keadaan. Cintya mulai geram. Pak Udin meremas ujung kaos, yang bertuliskan nama partai di punggungnya. Dia tak berani menatap Cintya. Dia bingung apa yang harus dilakukan. Tak mungkin juga harus berkata jujur, karena akan menyakiti perasaan majikannya. Bara juga sudah meminta untuk tidak mengatakan apapun soal ini. "Bapak tahu 'kan, siapa itu Aisya?" Cintya tak sabar, karena pak Udin hanya diam saja. Pak Udin semakin bingung. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. TinAda yang membunyikan klakson mobil. Cintya dan pak Udin kompak menoleh. Ada satu mobil hitam mengkilat berhenti tak jauh dari pintu gerbang. "Saya permisi dulu, Bu." Dengan nafas lega, pak Udin meninggalkan Cintya. Dia bergegas membuka gerbang dan mempersilakannya masuk. Rupanya tamu yang akan menginap datang lebih awal. Untung saja pak Udin selalu membersi
"Maaf Anda siapa?" tanya Cintya bingung."Kamu benar Cintya 'kan?" Orang asing tersebut justru bertanya balik. "Iya, saya Cintya. Maaf Anda siapa?" tanya Cintya bingung, karena tiba-tiba ada orang sok kenal. "Ya ampun Cintya, kamu enggak ingat aku siapa?"Lelaki di depan Cintya tertawa renyah. Kaos putih dengan celana bergambar pantai sangat pas di tubuhnya yang atletis. Cintya mencoba mengorek memorinya. Namun tak terlintas sedikitpun ingatannya tentang pria di depannya. "Dulu kita satu sekolah saat SMA. Bahkan dulu kita pernah ...." Lelaki itu menggantung ucapannya. Cintya mencoba mengingat masa SMA. Selintas terbersit memori saat dirinya masih mengenakan seragam putih abu-abu. "Kak Niko?" tebak Cintya ragu. Lelaki yang disebut Niko tersebut matanya berbinar bahagia. Ternyata Cintya masih mengingat dirinya. "Kamu beneran kak Niko?" Kini Cintya balik bertanya. Sementara Niko hanya mengangguk seraya tersenyum. Cintya menggeleng tak percaya. Niko yang dulu kerempeng dan tak ter
Cintya melirik Niko sekilas, lalu dia cepat membuang pandangannya saat mata mereka beradu. Cintya menjadi salah tingkah. Dia pura-pura membetulkan pasminanya yang tertiup angin. Mereka sama-sama salah tingkah. Lama sekali keduanya terdiam. "Kamu apa kabar?" tanya mereka bersamaan. Konyol memang. Dari tadi mereka sudah mengobrol, kenapa baru menanyakan kabar. Sejurus kemudian, mereka berdua menjadi salah tingkah. "Kakiku capek, ayo kita duduk di sana!" Cintya mengajak Niko duduk di salah satu gazebo terdekat. Di samping gazebo, terdapat pohon kelapa kecil, namun buahnya lebat. Orang Tolitoli menyebutnya kelapa Buol. Mereka berjalan ke arah gazebo dengan diam. Entah kenapa suasana menjadi canggung. "Kamu mau es kelapa muda?" tanya Cintya saat keduanya sudah duduk lesehan. Tanpa menunggu persetujuan Niko, dia menghubungi pak Udin dan memesan dua buah kelapa utuh tanpa es. Gazebo kayu dengan cat berwarna coklat tua, ditambah gorden putih yang menjuntai, membuat kesan klasik semakin
"Sakit Mas," rintih Cintya. BrakPintu ditutup kasar. Bara melepaskan cengkramannya. Tercetak jelas jari tangannya di pergelangan Cintya. Cintya mengusap tangannya yang terasa panas. "Jawab aku, siapa dia?" tanya Bara dengan gigi gemeretak."Dia temanku, Mas." Cintya menjawab dengan takut. Tak pernah suaminya bersikap sekasar ini. Cintya beringsut mundur. Dia masih memegang pergelangan tangannya. Sejurus kemudian, air matanya jatuh. Semakin lama semakin deras. Tangan Bara mengepal. Dadanya naik turun menahan emosi. Tak dihiraukan Cintya yang menangis sesenggukan. Dia begitu marah, ketika melihat istrinya dengan pria lain."Jadi ini alasanmu, pergi dari rumah sejak tadi pagi?" tanya Bara sinis. Bara menggeser kursi kayu yang ada di ruang tamu dengan kasar, lalu menjatuhkan bobotnya"Aku tak serendah itu Mas," balas Cintya."Lalu, apa artinya tadi?" sinis Bara. "Kamu salah paham." Cintya berdiri mencoba mendekati suaminya. Tak disangka, Bara justru mengacuhkannya. "Dengarkan aku
Bara tak melanjutkan ucapannya, saat Cintya menempelkan jari telunjuknya di bibir. Cintya berjalan ke arah cermin. Dia mencoba menyumbat darah dengan pasmina putihnya. Dia tak peduli, meskipun pasmina yang ia kenakan baru saja dibelinya kemarin. Lukanya lumayan dalam, sehingga darah masih saja terus menetes.Dilihatnya Bara berjalan ke arahnya. Bara memeluknya dari belakang. Cintya didudukan di ranjang, dan Bara mencoba menekan lukanya agak kuat. Benar saja, darahnya perlahan berhenti. Cintya tak menolak, tapi juga tak merespon. Perihnya luka tak lagi ia rasakan. Hatinya terlanjur sakit."Kita harus ke rumah sakit!" ujar Bara panik."Tak perlu." Bara tak menggubris penolakan Cintya. Dia segera mengenakan kemeja yang tersimpan di lemari kecil. Dirogohnya saku celana, mencari keberadaan kunci mobilnya.Cintya melepas pasmina dan pelapis hijabnya. Rambutnya indahnya dibiarkan tergerai. Dia sudah tak menangis. Matanya kosong menatap bayangan dirinya di cermin. "Ayo Cintya!" "Tak perl
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.