"Maaf Anda siapa?" tanya Cintya bingung."Kamu benar Cintya 'kan?" Orang asing tersebut justru bertanya balik. "Iya, saya Cintya. Maaf Anda siapa?" tanya Cintya bingung, karena tiba-tiba ada orang sok kenal. "Ya ampun Cintya, kamu enggak ingat aku siapa?"Lelaki di depan Cintya tertawa renyah. Kaos putih dengan celana bergambar pantai sangat pas di tubuhnya yang atletis. Cintya mencoba mengorek memorinya. Namun tak terlintas sedikitpun ingatannya tentang pria di depannya. "Dulu kita satu sekolah saat SMA. Bahkan dulu kita pernah ...." Lelaki itu menggantung ucapannya. Cintya mencoba mengingat masa SMA. Selintas terbersit memori saat dirinya masih mengenakan seragam putih abu-abu. "Kak Niko?" tebak Cintya ragu. Lelaki yang disebut Niko tersebut matanya berbinar bahagia. Ternyata Cintya masih mengingat dirinya. "Kamu beneran kak Niko?" Kini Cintya balik bertanya. Sementara Niko hanya mengangguk seraya tersenyum. Cintya menggeleng tak percaya. Niko yang dulu kerempeng dan tak ter
Cintya melirik Niko sekilas, lalu dia cepat membuang pandangannya saat mata mereka beradu. Cintya menjadi salah tingkah. Dia pura-pura membetulkan pasminanya yang tertiup angin. Mereka sama-sama salah tingkah. Lama sekali keduanya terdiam. "Kamu apa kabar?" tanya mereka bersamaan. Konyol memang. Dari tadi mereka sudah mengobrol, kenapa baru menanyakan kabar. Sejurus kemudian, mereka berdua menjadi salah tingkah. "Kakiku capek, ayo kita duduk di sana!" Cintya mengajak Niko duduk di salah satu gazebo terdekat. Di samping gazebo, terdapat pohon kelapa kecil, namun buahnya lebat. Orang Tolitoli menyebutnya kelapa Buol. Mereka berjalan ke arah gazebo dengan diam. Entah kenapa suasana menjadi canggung. "Kamu mau es kelapa muda?" tanya Cintya saat keduanya sudah duduk lesehan. Tanpa menunggu persetujuan Niko, dia menghubungi pak Udin dan memesan dua buah kelapa utuh tanpa es. Gazebo kayu dengan cat berwarna coklat tua, ditambah gorden putih yang menjuntai, membuat kesan klasik semakin
"Sakit Mas," rintih Cintya. BrakPintu ditutup kasar. Bara melepaskan cengkramannya. Tercetak jelas jari tangannya di pergelangan Cintya. Cintya mengusap tangannya yang terasa panas. "Jawab aku, siapa dia?" tanya Bara dengan gigi gemeretak."Dia temanku, Mas." Cintya menjawab dengan takut. Tak pernah suaminya bersikap sekasar ini. Cintya beringsut mundur. Dia masih memegang pergelangan tangannya. Sejurus kemudian, air matanya jatuh. Semakin lama semakin deras. Tangan Bara mengepal. Dadanya naik turun menahan emosi. Tak dihiraukan Cintya yang menangis sesenggukan. Dia begitu marah, ketika melihat istrinya dengan pria lain."Jadi ini alasanmu, pergi dari rumah sejak tadi pagi?" tanya Bara sinis. Bara menggeser kursi kayu yang ada di ruang tamu dengan kasar, lalu menjatuhkan bobotnya"Aku tak serendah itu Mas," balas Cintya."Lalu, apa artinya tadi?" sinis Bara. "Kamu salah paham." Cintya berdiri mencoba mendekati suaminya. Tak disangka, Bara justru mengacuhkannya. "Dengarkan aku
Bara tak melanjutkan ucapannya, saat Cintya menempelkan jari telunjuknya di bibir. Cintya berjalan ke arah cermin. Dia mencoba menyumbat darah dengan pasmina putihnya. Dia tak peduli, meskipun pasmina yang ia kenakan baru saja dibelinya kemarin. Lukanya lumayan dalam, sehingga darah masih saja terus menetes.Dilihatnya Bara berjalan ke arahnya. Bara memeluknya dari belakang. Cintya didudukan di ranjang, dan Bara mencoba menekan lukanya agak kuat. Benar saja, darahnya perlahan berhenti. Cintya tak menolak, tapi juga tak merespon. Perihnya luka tak lagi ia rasakan. Hatinya terlanjur sakit."Kita harus ke rumah sakit!" ujar Bara panik."Tak perlu." Bara tak menggubris penolakan Cintya. Dia segera mengenakan kemeja yang tersimpan di lemari kecil. Dirogohnya saku celana, mencari keberadaan kunci mobilnya.Cintya melepas pasmina dan pelapis hijabnya. Rambutnya indahnya dibiarkan tergerai. Dia sudah tak menangis. Matanya kosong menatap bayangan dirinya di cermin. "Ayo Cintya!" "Tak perl
Pak Udin menunggu jawaban dari Niko yang tampak gugup. Sementara itu, Niko bingung harus menjawab bagaimana. Tak mungkin dia katakan yang sejujurnya pada pak Udin. "Jangan-jangan Bapak berniat jahat pada bu Cintya?" Pak Udin mulai curiga dengan gelagat aneh tamunya. "Bapak salah sangka. Saya mengkhawatirkan Cintya. Tolong bantu saya, beri alamat Cintya. Saya janji, Cintya akan aman." Niko berbicara dari dalam lubuk hatinya.Dia benar-benar khawatir terhadap Cintya. Apalagi, tadi Cintya sempat diseret oleh suaminya di depan mata kepalanya sendiri. Dia benar-benar tidak rela, Cintya diperlakukan kasar, kendati itu oleh suaminya. "Tolong saya Pak. Saya temannya dari Jawa. Saya mau meluruskan masalah ini ke suaminya," jelas Niko. Pasti suami Cintya telah salah paham, sampai begitu marah. Dia tak ingin masalah ini sampai berlarut-larut. Pak Udin menghela nafas berat. Dia juga merasa terjadi kesalah pahaman di antara majikannya. Namun dia bingung, apa benar orang di hadapannya bisa dipe
"Habis kecelakaan, Mas?" tanya Aisya polos. Cintya menatap suaminya. Aisya pun melakukan hal yang sama. Dia begitu menantikan jawaban yang keluar dari mulut Bara. "Iya, dia habis kecelakaan. Mas boleh minta tolong Aisya?" Bara mencoba mengalihkan pembicaraan. "Tentu saja Mas. Mau minta tolong apa?" Aisya begitu antusias. "Kamu enggak apa-apa 'kan, kalau mau mau temani Cintya dulu? Kasihan dia," ucap Bara begitu hati-hati. Seketika mendung bergelayut di pelupuk mata Aisya. Sejurus kemudian, dia tersenyum. Namun senyumnya tak mampu menutupi kesedihan yang tampak tercetak jelas. "Tidurlah bersamanya! Bukankah syarat poligami itu harus adil? Sekarang giliran kamu bersamanya. Jangan libatkan aku dalam dosa, atas ketidak adilanmu membagi waktu," ujar Cintya."Tapi ...," sela Bara. "Ini sudah konsekuensinya, Mas.""Mas Bara sama mbak Cintya saja. Aku bisa tidur sendiri kok." Aisya angkat bicara. Bara berat untuk memilih. Di satu sisi, Cintya membutuhkannya. Bara masih ingin menebys k
"Bagaimana perasaanmu saat aku duduk bersama laki-laki lain, Mas?" tanya Cintya sambil tersenyum mengejek. Aisya menatap Cintya bingung. Apa maksudnya? Apa jangan-jangan Cintya selingkuh? "Ah, aku lupa. Kamu sekarang memang sudah tidak punya perasaan." Cintya masih terus melampiaskan kekesalannya sebelum Bara menjawab."Sekarang kalian pergilah. Kepalaku masih sakit dan aku mau istirahat," usir Cintya. "Ayo Aisya!" Dengan hati dongkol, Bara mengajak istri mudanya pergi. Dia terus berjalan menuruni anak tangga menuju kamar Aisya. Aisya hanya mengekor dari belakang tanpa berani bertanya. Padahal dia begitu penasaran, siapa laki-laki yang Cintya maksud. Hati Bara kembali panas, tatkala mengingat Cintya bersama lelaki lain. "Kamu sudah makan?" tanya Bara setelah mereka sampai kamar. Bara mencoba agar tidak melampiaskan amarahnya pada Aisya. Bagaimanapun juga, Aisya tak bersalah. "Belum Mas. Kamu belum makan juga?" "Aku masih kenyang," sahut Bara. Aisya mengerucutkan bibir kesal.
"Enggak bohong 'kan?" "Enggak Sayang. Kapan sih Mas bohong sama kamu?" bujuk Bara. "Em, pura-pura lupa.""Kamu kalau gemesin kayak gitu, Mas makan nih." "Coba aja kalau bisa." Aisya berlari kecil ke kamarnya. Bara lalu mengikutinya dari belakang. Tak lupa, dia mengunci semua pintu, lalu menyusul istri mudanya ke kamar. "Aisya sudah membuka jilbanya, dan membiarkan rambut panjangnya terurai. "Kamu sengaja menggodaku?" Bara memeluknya dari belakang. Ada desiran aneh di hati Aisya. Meskipun bukan pertama kali bersentuhan dengan Bara, tapi hatinya selalu berdesir saat Bara menyentuhnya. "A ... aku mau tidur." Cintya mendorong pelan Bara. Lalu dia beranjak ke kasur dengan sprei berwarna merah jambu. Ditariknya selimut hingga menutupi wajahnya. "Aku menginginkan hadirnya malaikat kecil di rumah ini. Ayo kita ikhtiar!" ajak Bara sambil membuka selimut yang menutupi wajah istrinya. Wajah Aisya merah merona menahan malu. Sejenak kemudian, dia mengangguk pelan seraya tersenyum. Dan unt
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.