"....Aku masih suamimu."Abizhar memperhatikan Shelina dari atas sampai bawah. Dia merasa rindu pada perempuan ini. Ingin sekali diciumnya rambut Shelina yang basah. Abizhar mau menikmati perempuan ini, tapi melihat keletihan di mata perempuan itu, birahi Abizhar menurun begitu saja.Nafsu itu berubah menjadi iba, namun tak ditunjukkannya. Dia kembali pada tujuannya untuk menanyai perihal Yuni."Lalu kau mau apa?" tanya Shelina lesu. "Aku sudah bilang aku tidak tahu, kan?""Aku tidak percaya.""Terserah kau saja. Kau tidak dapat informasi apa-apa juga dengan kau di sini," sahut Shelina datar. "Oh ya satu lagi. Aku tahu selain Yuni, kau juga mendekatiku agar aku tidak membatalkan kerjasama perusahaan kita. Karena itu aku tidak jadi melakukannya."Satu alis Abizhar menaik. "Kau serius? Apa yang terjadi padamu? Apa kau kesambet petir hingga kau berbaik hati pada suamimu yang brengsek ini?"Shelina mengulum senyum masam. "Aku berpikir untuk meninggalkan perusahaan."Aku ingin melupakan se
"Apakah hanya itu yang kau pikirkan setiap hari? Kau memikirkan bagaimana perasaanku padamu, Shelin? Tidak adakah yang lebih penting untuk kau renungkan?""Bagaimana menurutmu? Aku kan lebih banyak di rumah. Hidupku akan lebih berwarrna jika kau mencintaiku, Abizhar.""Jangan berharap banyak dariku.""Apa yang dimiliki perempuan itu sampai kau tidak bisa berhenti mencintainya?"Jika kau bertanya lagi hal yang sama aku akan jawab tidak ada, Shelina, pikir Abizhar sambil mengemudikan mobilnya ke Panti. Ya Tuhan, semoga sepulangnya dari Panti, aku masih diberi kesempatan untuk bertemu Shelina lagi. Semoga dia tidak menutup pintu rumahnya rapat-rapat.Bayangan Shelina menangis tak bisa pergi dari pikirannya. Mengapa aku terlambat mencintaimu, Shelina, keluh Abizhar. Baru kusadari betapa aku mencintaimu setelah sekian lama aku bersamamu. Dadaku nyeri ketika melihatmu menangis dan lemah seperti tadi.Di sisi lain Abizhar tidak bisa mengesampingkan Yuni. Dia harus melihat keadaan perempuan i
Sebenarnya aku ingin memberitahu perihal anak yang dikandung Shelina waktu itu, pikir Yuni. Tapi mengapa lidahku sekarang tercekat? Setelah yang dilakukan Shelina padaku-menolong nyawaku-aku tidak sampai hati merusak namanya."Shelina tidak bersalah," kata Yuni mengejutkan Abizhar. "Akulah yang mengancamnya. Aku yang membuatnya marah padaku hingga tragedi di tol itu terjadi.""Apa maksudmu?" tanya Abizhar terbelalak. "Jadi Shelina bukan ingin membunuhmu? Itu yang ingin kau katakan?"Bayangan kecelakaan itu masih jelas di pikiran Yuni. Saat dia keluar dari mobil setelah mobilnya rusak, matanya menatap mata Shelina yang bersimbah darah. Dia melihat Shelina tidak sadarkan diri lebih dulu baru dirinya.Mata itu. Cara Shelina menatapnya membuat Yuni bertanya-tanya. Tidak ada kelicikan di sana. Sorotan mata itu lebih terkesan pilu seakan ada penyesalan di sana. Penyesalan yang tak pernah Yuni lihat dari mata Shelina.Yuni mengangguk bersalah. "Betul. Pertengkaran itu dipicu olehku yang meng
Shelina berhasil menusuk hati Abizhar dengan kalimatnya. Pria itu terlihat jengah diingatkan soal dirinya yang yatim-piatu. Entah mengapa, Shelina merasa hatinya ikut nyeri saat mengatakannya, namun dia tak punya pilihan. Dia harus bersikap sangat kasar agar Abizhar berhenti menekannya.Pria itu harus menyerah. Pria itu harus bisa melepaskannya. Setiap menatap wajah pria itu Shelina terus teringat oleh dosa besarnya dan itu menimbulkan sesak yang tidak bisa dijelaskan pada siapa pun."Jadi itu artiku bagimu, Shelina," lirih Abizhar sambil mengangguk-angguk. Rahangnya mengeras. "Tidak ada yang salah lahir tanpa orangtua, Shelina. Tidak semua orang beruntung sepertimu. Shelina, aku tahu perempuan yang kejam, tapi tak kusangka kau benar-benar tidak punya hati!""Bukankah kau selama ini menilaiku begitu?" jawab Shelina tenang. "Inilah aku, Abizhar. Aku hanya melihatmu dari ketampananmu, dan setelah aku bosan, aku tidak punya alasan lagi untuk mempertahankanmu.""Kau ingin aku pergi. Oke!"
"Aku pergi! Ingat kata-kataku. Aku tidak akan kembali padamu sekali pun kau bersujud di kakiku!" Kalimat itu terngiang-ngiang terus di telinga Shelina. Dia beberapa kali mengecek ponselnya dan tak ada pesan sama sekali dari Abizhar. Ya apa yang aku harapkan, pikir Shelina sendu. Setelah aku menjatuhkan harga dirinya tidak mungkin dia bertekad untuk mendekatiku lagi.Mata Shelina membelo saat dia masuk ke ruang kerjanya. Roland tengah memilah-milah beberapa dokumen yang harus ditandatangani Shelina. Shelina pikir Roland takkan menunjukkan batang hidungnya secepat itu, tapi mengingat waktu cuti Roland sudah habis untuk mengurus Yuni, memang sudah seharusnya Roland kembali ke kantor.Shelina berdeham, menegur Roland, "Mengapa kau sibuk di sini? Bukankah kau misuh untuk urusan pernikahanmu?""Pernikahanku? Dengan siapa?" sahut Roland acuh tak acuh. Matanya masih terfokus pada apa yang dikerjakannya."Memangnya kau tidak tahu Yuni memilihmu dan ingin menikah denganmu?" jawab Shelina bingun
"Kau. Kaulah anak Lila yang sebenarnya. Dan yang pasti kau juga anak Papa.""Aku?" tanya Shelina menggeleng-geleng tak percaya. "Aku anak Mama Lila? Aku anak kandung perempuan kejam itu?!""Ya," sahut Pak Edward tenang. Sama sekali tak ada rasa bersalah telah membohongi anaknya sekian lama. "Ibu yang kau kenal sebagai ibu kandungmu yang meminta Papa untuk membawamu ke rumah.""Sayang, apa kau masih sedih karena anak kita tidak selamat?" tanya Pak Edward merujuk pada bayi mereka yang terlilit tali pusar hingga meninggal dalam kandungan. "Apa yang bisa kulakukan untuk menghiburmu?"Istrinya menatap nanar ke arahnya. "Aku dengar Lila juga melahirkan. Di mana bayi itu sekarang? Apa Ariadi menerima anak itu?""Apa maksud pertanyaanmu?""Jangan sampai anak itu dibuang. Dan kau sebagai ayah dari bayi itu seharusnya yang menjaga anak itu, bukan suami Lila!""Lalu apa?""Cari anak itu! Kita besarkan anak itu sama-sama!""Kau... Kau mau merawat anak hasil perbuatan haramku dengan perempuan lain
Bu Lila ingin diantarkan ke Panti Asuhan saja, di mana dia bisa dekat dan mengurus Yuni. Hal itu akhirnya memicu Abizhar untuk bertanya mengapa ibunya bisa sepeduli itu pada Yuni.Sebelum Bu Lila turun dari mobilnya, Abizhar menahan ibunya. "Jawab saja pertanyaan saya, Ma. Apakah Yuni anak kandung Mama? Sejak hari pertama Mama mengangkatku sebagai anak, Mama selalu membahas Yuni, menanyakan hal-hal apa yang Yuni suka. Mama jugalah yang ingin saya berpacaran dengan Yuni.""Abizhar, bukankah kau mencintai Yuni?""Dulu, sekarang tidak," jawab Abizhar tegas.Bu Lila menghela napas kecewa. "Kau pasti marah tahu kebenarannya.""Saya hanya ingin Mama jujur.""Ya, Yuni anak kandung Mama dengan pria lain," sahut Bu Lila lirih. Dia memandang anaknya dengan sekelebat penyesalan. "Kau tak perlu tahu siapa pria itu. Pria itu juga tak tahu soal Yuni. Maafkan Mama, Abi. Mama takut hari ini terjadi, di mana ayahmu mengusir kita..""Dan terkait Shelina," potong Abizhar tidak peduli dengan kesedihan Bu
Abizhar tidak menunda apapun dalam pekerjaannya. Tak ada sedetik pun dia berada di ruang kerjanya. Dia datang ke beberapa lokasi proyek untuk meninjau dan pada sorenya dia menemui calon investor yang potensial bagi salah satu proyek lainnya. Sampai pada akhirnya dia kembali ke kantor, dan membiarkan rasa sepi dan penyesalan itu merambati hatinya.Dia bertanya pada sekretarisnya apakah Pak Komisaris (baca: ayahnya) atau asisten Pak Komisaris datang membawa kabar. Hanya soal waktu dia disuruh angkat kaki dari perusahaan oleh ayahnya. Memang hari itu dia belum dengar tentang pemecatannya, tapi dia sudah menyiapkan diri untuk pergi.Abizhar duduk di kursi kebesarannya. Disandarkannya punggungnya. Apa yang salah, pikirnya termenung. Dari mana asal-muasal kekacauan ini? Dari aku yang dulu mencintai Yuni? Dari aku meninggalkan Yuni dan memilih Shelina demi jabatan dan tanah? Dari aku yang membiarkan dua wanita yang mencintaiku bertengkar hingga kecelakaan itu terjadi? Dari aku yang tidak bisa
Shelina masuk ke kamarnya, telentang di sebelah Abizhar yang tampak terlelap. Shelina memejamkan kedua matanya bersiap untuk tidur kemudian disadarinya tubuhnya dipeluk dari samping oleh Abizhar.Satu tangan Abizhar meremas dadanya. Shelina mengulum senyum, menikmati sentuhan pria itu, sampai kemudian dia mendengar Abizhar bergumam di sebelahnya, "Aku sangat mencintaimu, Shelina, sampai rasanya tak mungkin lagi kau bisa berdusta padaku. Aku kini mengenalmu dengan jelas."Shelina membuka matanya, menatap Abizhar yang tengah memandangnya. "Maksudmu?""Aku tahu kau pura-pura lupa ingatan. Aku tidak menyalahkanmu, justru aku senang itu artinya aku tak usah berjuang lagi untuk meyakinkanmu, kan?"Sorotan dalam mata Abizhar tidak menunjukkan kesinisan atau cemoohan. Shelina dapat melihat kesenduan di mata suaminya, yang tak urung membuat dada Shelina berdesir hangat.Bukannya gugup karena kebohongannya diketahui suaminya, Shelina malah tersenyum pahit. "Aku melakukannya agar kau tak usah la
Pak Edward merasa berat saat tahu Shelina tidak memiliki memori tentang kejadian setelah pernikahan Shelina dan Abizhar. Dia tentu khawatir dengan kondisi otak Shelina, tapi ada hal lain juga yang merisaukannya. Sebulan terakhir, jabatan Shelina sebagai direktur di perusahaan propertinya dialihkan kepada wakil direktur yang ada. Dengan keadaan Shelina dalam keadaan sakit, dia tidak bisa lagi memaksa anaknya untuk kembali kerja di perusahaan. Diangkatnya wakil direktur itu untuk menggantikan Shelina. Selama itu juga dia memerhatikan Abizhar yang apik mengurus tetek-bengek Shelina yang dirawat di rumah sakit. Abizhar tak pernah meninggalkan Shelina sekali pun. Pak Edward menyadari, pria yang tak ada gunanya macam Abizhar itu telah berubah. Keinginan Pak Edward untuk memisahkan Shelina dari Abizhar semakin pudar. Lima hari setelah sadar, Shelina diperbolehkan untuk pulang dan mengonsumsi obat-obatnya di rumah. Pada waktu tertentu dia harus kontrol ke rumah sakit untuk mengecek keadaan
Abizhar meminta maaf pada Roland karena dia tidak bisa mendatangi proses pemakaman Yuni. Dia harus berada di dekat Shelina selama Shelina di rumah sakit. Roland mengangguk mengerti. Dia juga berkelakar sedikit, "Kali ini, kau bisa yakin Yuni takkan bangkit lagi."Mendengar itu Abizhar tersenyum masam. Mereka berpelukan untuk saling menguatkan. Dua orang yang selalu cekcok itu berada di titik terendah mereka. Sekali lagi Abizhar minta maaf pada Roland dan mengucapkan turut dukanya.Abizhar melirik sekilas pada mobil jenazah. Maafkan aku, Yuni, pikirnya. Entah betapa kali aku harus mengucapkan ini. Aku selalu mendoakanmu agar kau sampai di sisi-Nya.Diperhatikannya sekitar. Tak ada kehadiran Bu Lila di sana. Abizhar pun ragu ibunya itu akan melihat Yuni untuk terakhir kali. Lebih tepatnya, ibunya tidak akan memunculkan dirinya ke publik, sebab Abizhar tahu kali ini Pak Edward tidak akan main-main untuk memberi perhitungan pada Bu Lila.Berbeda dengan Abizhar yang pasrah-pasrah saja di r
Pak Edward yang baru tiba di Jakarta dari urusan pekerjaannya di luar kota, langsung ke rumah sakit ketika dia ditelepon Abizhar. Dari suara Abizhar yang gemetar menjelaskan apa yang terjadi, Pak Edward tahu ada hal yang sangat buruk menimpa anaknya.Selama ini dia tahu Abizhar tidak pernah peduli pada Shelina. Saat dulu Abizhar memberitahunya Shelina mengalami kecelakaan, Abizhar tidak terdengar sekhawatir sekarang. Pak Edward meminta sopirnya mengantarkannya secepat mungkin.Di rumah sakit, Abizhar tidak merasa tenang. Jika sesuatu terjadi pada Shelina, dia akan ikut melukai dirinya sendiri. Bu Lila sama sekali tidak bersalah saat melihat Shelina pingsan. Dia malah tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. "Ya katakan saja pada Edward bahwa anaknya yang jahanam ini baru saja celaka karena Mama, Abizhar!"Abizhar tidak menggubris ocehan ibunya. Dia berteriak minta tolong pada petugas medis, sementara Roland membentak Bu Lila dengan nada penuh peringatan. "Anda memang bukan manusia.
Shelina cuti seharian. Dia menelepon Leo untuk membantu wakil direkturnya dan beberapa Kepala Divisi untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Untuk dokumen yang hanya bisa Shelina tandatangani, ditaruh saja di meja kerjanya, dan bila hal itu mendesak Leo-lah yang membawa dokumen itu ke rumah.Rumah lama Shelina dan Abizhar.Semalaman Abizhar menata barang-barang Shelina di dalam koper, sementara Shelina tidur di atas tempat tidur. Pada dini hari setelah Abizhar selesai mengemas, dia tak melewati batas dengan tidur satu ranjang dengan Shelina. Saat Shelina bangun pada pagi harinya, dia melihat Abizhar tidur di sofa dekat ranjangnya.Semoga kita selalu damai seperti ini, pinta Shelina dalam hati. Dia dan Abizhar kembali ke hidup mereka semula. Di rumah yang telah menyaksikan berbagai kenangan bagi mereka. Kali ini, Abizhar tidak mau menghancurkan rumah tangganya dengan tidak memperhatikan Shelina. Sama dengan Abizhar, Shelina pun mencoba untuk mendengar Abizhar dan tidak meninggikan suarany
Abizhar tampak tak senang saat dia melihat Shelina berjalan dengan pria yang tidak dikenalnya. Selama ini yang suka membuntuti Shelina adalah Roland, dan kini pria muda dan ganteng dekat-dekat dengan Shelina, membuat Abizhar menahan kekesalannya.Dia sudah lama menunggu di kedai kopi yang ada di lantai dasar gedung kantor Shelina. Dia menunggu sampai Shelina bekerja. Seharian itu, Abizhar tidak ke kantor dan menghabiskan waktunya dengan laptop-nya untuk membuat CV dan mencari pekerjaan di situs pencari kerja."Sayang!" teriak Abizhar mengangkat satu tangannya.Muka Shelina memerah saat Abizhar memanggil-manggilnya. Orang-orang di lobi berhenti untuk memandang Abizhar, kemudian mereka melanjutkan langkah mereka dengan senyum di wajah mereka.Shelina mengingatkan Leo untuk datang lebih pagi besok, karena ada dokumen tender yang perlu disubmit sebelum jam delapan. Seharusnya sih Leo yang mengingat sendiri, tapi karena dia masih baru, Shelina-lah yang ikut melakukannya.Shelina menghampir
"Papa tidak setuju kau harus keluar dari perusahaan." Suara Pak Ariadi terdengar bengis. Dia menatap anaknya disertai sorotan kecewa. "Banyak proyek yang sedang ditangani perusahaan, dan kau ingin lari? Enak saja! Papa tidak membesarkanmu untuk jadi pengecut, Abizhar!"Dari rumah Shelina, Abizhar menyempatkan untuk pulang dan menyampaikan keinginannya untuk resign pada ayahnya. Dikatakannya pula dia mau hidup tanpa bergantung kepada orang lain terutama ayahnya. Sontak Pak Ariadi murka mendengar itu.Dia sudah menjadikan Abizhar sebagai anaknya, sebagai penerus usahanya. Dididiknya anaknya itu sedemikian rupa sampai dia layak menjadi pemimpin. Sekarang, Abizhar ingin pergi? Apa alasannya?"Saya ingin Shelina percaya pada saya bahwa bukan saham dan jabatan yang saya inginkan."Bodoh, maki Pak Ariadi. Bapak tua itu mendengus jengkel. "Kau sekarang menghendaki pernikahan yang telah kau hancurkan itu?" Pak Ariadi mendecak. "Papa sudah tahu semuanya, Abizhar. Meskipun Shelina mengaku dia te
Jika Abizhar terus mengikuti emosinya untuk memarahi Shelina, dia akan tersiksa lagi dengan perasaan rindu yang tak bisa dilampiaskannya. Shelina akan jauh dari jangkauannya, membuat kepala Abizhar sakit setiap memikirkan perempuan itu. Abizhar tidak mau lagi menyakiti Shelina. Bukan untuk perempuan itu.Tapi untuknya.Semakin dia melihat kesenduan di mata Shelina, hatinya ikut terkoyak. Apakah ini cinta yang sesungguhnya, pikir Abizhar masih menatap Shelina. Aku tidak pernah merasakan ini saat aku bersama Yuni. Ya, aku peduli pada Yuni, tapi aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Yuni, sementara dengan Shelina..Mengapa aku ikut sakit ketika dia sakit?Abizhar mengganti taktiknya. Dia menarik napas panjang, kemudian mengangguk. Ekspresi wajahnya pun berubah melas. "Tentu aku ingin kau kembali. Aku pun tidak lebih baik darimu, Shelin," katanya, mengulas senyum tipis. "Aku lebih brengsek dari kau. Kau hanya selingkuh dengan satu orang, kan? Ah, aku lebih dari satu, kira-k
Roland tahu seseorang mengintainya di parkiran yang sepi itu. Siapa lagi jika bukan suami Shelina. Abizhar mencegatnya sebelum dia membuka pintu mobilnya. "Apa yang terjadi pada Shelina?""Anda bukan orang yang memperkerjakan saya," kata Roland acuh tak acuh."Kau teman Shelina dan kau tahu aku pria yang dicintai temanmu," sahut Abizhar mengingatkan dengan tajam. "Lebih dari itu. Aku suami Shelina dan aku berhak tahu apa yang terjadi padanya!""Apakah Anda punya kaca? Semua hal buruk tidak akan terjadi jika Anda setia pada Shelina!" jawab Roland membentak. "Anda sama sekali tidak bersalah, hah? Bagaimana bisa manusia seperti Anda hidup seperti ini? Saya rasa, sebenarnya Anda anak kandung Bu Lila. Kalian berdua sama-sama tidak punya rasa bersalah!""Apa maksudmu!" tanggap Abizhar berang. Dia menenangkan dirinya, mencoba bersikap lunak pada Roland karena bagaimana pun dia membutuhkan Roland untuk memberitahunya tentang istrinya. Ditariknya napas panjang-panjang. "Roland, just tell me. D