"....Tapi kau tidak tahu penderitaanku sedikit pun!”
“Penderitaan apa! Kau selalu mendapatkan apa yang kau mau!” Abizhar mengeluh marah. “Termasuk dirku. Kenapa sih, dari sekian laki-laki kau mengincarku? Apakah kau terlalu tidak percaya diri dengan kau yang tidak perawan, jadi kau pilih laki-laki yang berasal dari panti asuhan sepertiku?!”
Sebelum menikah bahkan Shelina tidak tahu asal-muasal keluarga Abizhar. Mereka hanya kenal dua minggu dan itu pun di acara resmi saja, tidak personal. Dari ayah Shelina, Pak Edward Sutedja, Shelina mendapat informasi bahwa Abizhar diangkat oleh keluarga Soewitno saat usianya dua belas tahun. Ayah Shelina juga menekankan tidak perlu Shelina sakit hati karena Abizhar yang tidak bisa mencintai Shelina. Pernikahan itu bebas untuk dibubarkan oleh Shelina maupun Abizhar setelah ayah Shelina dan ayah angkat Abizhar mendapat apa yang mereka mau.
Perjanjian Pak Edward dan Pak Ariadi Soewitno berkaitan dengan merger kedua perusahaan mereka di bidang properti, sementara perjanjian antara Shelina dan Abizhar terkait tanah dan anak. Abizhar akan menerima tanah dengan atas nama Shelina setelah anak laki-laki mereka lahir. Abizhar juga akan memberikan kompensasi untuk anak laki-laki mereka.
Sebelum menikah Shelina sudah memberi kesan bahwa ia membeli Abizhar hanya untuk membantunya menjadi seorang ibu. Dia mengangkat dagunya tinggi-tinggi untuk menunjukkan kedudukan Abizhar yang lebih rendah darinya. Hal itu bukan hanya untuk mengintimidasi Abizhar saja, melainkan Shelina tahu jika dia tidak bersikap demikian, Abizhar akan menginjak-injaknya.
Pria itu memberitahunya bahwa alasannya untuk menyetujui ide pernikahan yang gila itu hanya karena ia ingin membalas budi pada keluarga Soewitno dan tanah yang dimiliki Shelina. Abizhar sudah menjelaskan bahwa hatinya hanya dimiliki Yuni, teman kecilnya yang dikenalnya sejak ia hidup di Panti Asuhan.
Bukan salah Yuni ia disukai Abizhar, pria yang ditaksir Shelina. Ya, Shelina tidak mengelak bahwa ia menyukai Abizhar. Abizhar tampan, pintar, dan sebenarnya cukup mahir membuat dadanya hangat setiap pria itu menyentuhnya, namun Shelina tidak bisa merasakan Abizhar sepenuhnya sebab bayangan Yuni menjadi penghalang di antara dirinya dan Abizhar.
Shelina tidak pernah menutupi kebenciannya pada Yuni, malah setiap selesai melakukan seks dengan suaminya, ia mendesis berharap ia bisa membunuh Yuni. Ia merasa ia bisa menikmati seks tersebut lebih maksimal jika tidak merasa iri pada Yuni.
Bagaimana ia tidak iri. Alasan terbesar Abizhar bersamanya adalah karena Yuni. Abizhar menghendaki tanah dengan atas nama Shelina itu untuk dihadiahkannya pada Yuni kemudian. Abizhar bilang, tanah itu dulunya adalah Panti Asuhan tempatnya tinggal bersama Yuni dulu. Ia ingin Yuni menjadi pengurus Panti Asuhan itu di atas tanah tempat Abizhar dan Yuni memiliki banyak kenangan.
Memuakkan, bukan?
Shelina memang tak pernah absen menyumpah serapah pada Yuni, berharap Yuni pergi dari dunia ini, tapi hati kecilnya merasa bersalah mengetahui perempuan itu benar-benar mati. Shelina memandang raut kesal di wajah suaminya, namun ia tahu, sebenarnya kemarahan yang dirasakan Abizhar disebabkan kesedihannya kehilangan cinta dalam hidupnya.
Andai saja aku yang mati, pikir Shelina sedih. Apakah kau akan sedih seperti ini, Bi? Atau kau langsung merayakan pesta besar-besaran merayakan kematian wanita yang brengsek ini?
Cobaan Shelina belum selesai Shelina selama sakit terus menyerangnya tanpa mengenal waktu. Dia sering melenguh, nyaris berteriak menahan sakit, dan Abizhar meskipun hatinya masih dikecamuk rasa sedih dan amarah, dia tetap mengesampingkan semua itu dengan mengurus Shelina.
Dibawakannya makanan ke kamar. Diingatkannya Shelina untuk mengonsumsi obat-obatnya setelah makan. Terpaksa, Abizhar mengatakan pada Shelina untuk tidak usah memikirkan soal Yuni kalau itu hanya membuat Shelina semakin sakit.
“Aku juga ingin tahu apakah aku betul membunuhnya atau tidak,” jawab Shelina datar. Fisiknya memang sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit setiap nama Yuni dilisankan oleh Abizhar. “Dengan begitu aku bisa merasa lega.”
“Lega karena apa? Karena bisa menyingkirkan sainganmu?” sahut Abizhar kesal. “Shelina. Andai saja kau tidak angkuh, barangkali.. ya barangkali, aku bisa membuka hatiku untukmu.”
“Bukan barangkali, tapi memang seharusnya hati suamiku ya untukku!” dengus Shelina marah. “Apa sih yang kau lihat dari Yuni sampai terus-terusan membandingkan aku dengannya? Apa yang bisa diberikannya yang aku tidak bisa?!”
“Kita sudah membahas ini. Dari awal, sudah kutekankan padamu, bahwa cintaku hanya untuk Yuni. Kenapa? Ya karena dia memang tipeku. Sesederhana itu aku mencintainya,” jawab Abizhar lirih.
“Hhh, menjijikkan,” desis Shelina menunjukkan rasa muaknya. “Apa kontribusinya dalam hidupmu sampai kau rela melukai hati istrimu yang telah memberikan segalanya padamu? Aku tidak hanya memberikan diriku untukmu, Abi. Kalau bukan karena ayahku, kau juga takkan dapat modal untuk dua perusahaan yang baru kau kembangkan.”
“Menurutmu, hargamu setinggi itu?” Abizhar menatap Shelina dingin. “Uang, uang, dan uang. Itu saja yang menjadi patokanmu untuk harga dirimu, Shelin.” Dihelanya napas berat. “Tidurlah. Tak ada gunanya pertengkaran ini. Selama aku masih satu ranjang denganmu, pernikahan ini akan terus berantakan seperti ini.”
“Aku tidak melarangmu untuk tidur di tempat lain,” kata Shelina menyandarkan kepalanya di atas bantal. Ia memejamkan matanya. “Aku butuh ketenangan saat ini. Tak ada yang bisa membuatku tenang selain kesendirian. Dari dulu sampai sekarang, yang hanya ada untukku adalah diriku sendiri.”
“Mengeluhlah semaumu, Nyonya.” Abizhar telentang di sebelah Shelina. Ditatapnya Shelina dengan seksama. Saat kedua mata yang biasa memandangnya dengan menantang itu tertutup, entah mengapa, Abizhar merasa tenang. Dadanya hangat melihat Shelina yang tidak marah-marah. “Shelin.”“Hmm.”“Anak kita tampan,” kata Abizhar pelan. “Wajahnya mirip sekali kau.”Diingatkan soal anak Shelina membuka matanya lagi. “Apakah kau memfotonya? Tunjukan padaku, Bi. Aku ingin sekali melihatnya!”Abizhar mengangguk. Ditunjukkannya foto bayi mereka yang ada di ponselnya. “Ganteng, bukan?” Mata Abizhar tertuju pada Shelina yang terpukau melihat bayi mereka yang masih kemerahan. Ia juga melihat air mata yang mulai keluar dari sudut mata istrinya.Benarkah ada satu orang dengan dua keperibadian sepertimu, Shelin, pikir Abizhar. Kau punya sifat keibuan yang sebenarnya aku kagumi, tapi di sisi
Bukan rintihan karena menikmati sentuhan Abizhar. Rintisan itu cenderung lebih ke arah ringisan, yang terdengar seakan Shelina kesakitan. Ringisan tersebut tak pernah Abizhar dengar sebelumnya.Tubuh Abizhar didorong keras ke belakang. Shelina berteriak sambil memegangi kepalanya.“Ada apa?” tanya Abizhar khawatir. Ia berusaha mendekati Shelina namun istrinya menjauhi dirinya. “Apakah sakit kepalamu kambuh lagi?”“Jangan sentuh aku! Pergi!”Shelina tak sadarkan diri. Pada alam bawah sadarnya, ia dibawa ke kenangan buruk yang selama ini berusaha disingkirkan dari ingatannya.“Kau cantik banget sih, Shelina,” kata Oom Surya sambil mengelus pipinya yang mulus. “Sini, Oom cium dulu…” Lalu Oom Surya melakukan sesuatu yang takkan pernah bisa Shelina lupakan untuk seumur hidupnya. Shelina tak berhenti menangis dengan koyakan di bagian bawah tubuhnya. Rasanya saki
Sebenarnya, Shelina ingin mengatakan kata-kata manis untuk menghibur suaminya. Ia tahu Yuni sangat berarti bagi Abizhar, dan suaminya pasti merasa kehilangan dengan kepergian Yuni. Terkadang, aku ingin mengorbankan perasaanku, pikir Shelina sambil berjalan ke lobi rumahnya. Aku ingin mengesampingkan egoku dengan memberikan gestur pengertian kepada suamiku. Tapi aku tidak bisa. Hatiku terasa sakit hanya dengan membayangkan Abizhar mencintai wanita lain.Ketika Shelina melihat mobil sedan milik Abizhar di hadapannya, ia dibayang-bayangi suatu yang mampir ke benaknya. Kepalanya mulai sakit seperti ditusuk-tusuk pisau. Dalam benaknya, ia masuk ke mobil Lexus hitamnya, dan membawa mobil itu dengan kecepatan tinggi. Jantungnya berdegup kencang seakan-akan ia dikejar seseorang.Shelina tersadar dari bayangan itu. Bahunya disentuh dari belakang. Ia segera menoleh."Jangan nyetir dulu kalau belum bisa. Biarkan aku yang mengantarkanmu," tawar Abizhar sambil masuk ke
Hati Shelina sakit saat Abizhar mengantarnya sampai ke makam anak mereka. Dapat dibacanya nama anaknya di sana. Shelby, gumam Shelina dalam hati. Sebelum kecelakaan itu terjadi, dia mengatakan pada Abizhar dia ingin menamakan nama anak mereka Shelby, gabungan nama mereka. Shelina pikir, Abizhar tidak mendengarnya saat itu.Air mata Shelina tak terbendung lagi. Dia duduk di samping makam itu, meraung meminta maaf pada anaknya. Seharusnya sebagai ibu Shelina bisa menjaga kandungannya, tidak ceroboh membawa mobilnya sampai celaka. Shelina dirisak perasaan bersalah selama berada di makam tersebut.Atau... tidak?Entah mengapa, ada sisi di hatinya, yang tidak menyesali kepergian bayinya. Sekonyong-konyong ia mengingat sesuatu di masa lalu. Dia mendengar suaranya mengatakan pada dirinya sendiri,"Anak ini tidak seharusnya lahir. Tak boleh ada yang tahu siapa anak ini.."Shelina mencoba menggali ingatannya lebih jauh, tapi yang didapatkannya hanya ke
Sudah satu setengah tahun mereka menikah namun tak pernah sekali pun Shelina menolak sentuhannya. Sebaliknya, Shelina paling senang saat Abizhar mencumbunya, membawanya ke puncak kenikmatan, tetapi sejak kecelakaan itu terjadi, Abizhar harus menelan kekecewaannya setelah ditolak berkali-kali.Bah! Sejak kapan ia ditolak Shelina di ranjang? Rasanya ego yang dimiliki Abizhar terkikis hari demi hari. Ranjang mereka yang selama ini selalu hangat dengan keringat mereka yang tak pernah absen membasahinya, kini terasa dingin.Shelina tidak hanya kaku saat disentuh. Sikapnya juga membuat Abizhar bingung. Shelina memang masih melayaninya dengan menyediakan sarapan dan makan malam untuknya. Istrinya juga setiap pagi menyiapkan pakaian kerja Abizhar. Meski tubuhnya bergerak untuk melakukan kewajibannya (selain di atas ranjang), Abizhar dapat menemukan tatapan hampa di mata istrinya.Abizhar menelepon dokter yang menangani Shelina. Kata dokter, perubahan sikap setelah
Bagaimana bisa aku peduli pada orang yang jelas-jelas membeliku, pikir Abizhar menjauh dari istrinya. Sebelum aku meneken kontrak pernikahan denganmu, ayahmu mengingatkan bahwa aku tidak lebih dari objek perjanjian antara orangtua kita. Ayah angkatku juga berkata demikian. Aku tidak boleh cinta. Aku tidak boleh sayang. Sebab yang namanya kontrak akan ada masa berakhirnya, dan hal itu berakhir setelah kita memiliki anak dan aku memperoleh tanahmu.Jadi buat apa aku capek-capek peduli padamu? Untuk apa aku sengaja menyiksa diriku dengan cinta padamu ketika aku tahu pada akhirnya kita akan berpisah? Aku tahu, setelah kau mendapat apa yang kau inginkan, kau akan mendepakku begitu saja. Aku bahkan curiga, kau akan kembali pada kekasihmu. Ya, kekasih yang telah mengambil keperawananmu.Atau bukan kekasih? Apakah wanita terhormat sepertimu, menganut kehidupan seks bebas? Ah, bukan aku ingin menghakimi pilihan gaya hidupmu, tapi kenapa hatiku sakit membayangkan kau telah dijam
Abizhar melempar dua map itu ke lantai. Ralat, dia tidak melempar, melainkan membanting dengan sangat keras sampai kedua mata Shelina melebar terkejut. "Abi!" tegur Shelina marah. "Ini kan kemauanmu. Kenapa kau jadi begini? Apakah yang kuberi kurang?" "Kau anggap apa aku ini!" bentak Abizhar sama gusarnya. "Aku bukan barang, Shelin. Aku bukan mainan yang kau beli lalu kau buang setelah kau bosan!" Abizhar menatapnya tajam-tajam. "Aku memang belum mencintaimu, aku ragu untuk bisa mencintaimu, tapi aku menentang perceraian. Sekali pun Yuni masih hidup, aku tak pernah berpikir untuk bercerai." Abizhar diam. Ya, hidup dengan Shelina bak mimpi buruk baginya, tapi dia tidak pernah membayangkan dia akan mengurus perceraiannya di pengadilan. Keketusan yang selama ini ia torehkan pada Shelina semata-mata ia ingin dihargai sebagai suami. Ia tidak sampai hati meninggalkan pernikahan ini. Shelina menatapnya bingung. "Kupikir ini yang kau inginkan. Kau
Berada di rumah terus-terusan membuat Shelina tersiksa. Setiap dia punya kesempatan untuk melamun, dia jadi teringat Yuni perempuan menyebalkan itu. Suatu malam, dia memberitahu Abizhar bahwa dia sudah siap bekerja di kantor. Abizhar menaikkan satu alisnya. “Kau yakin? Dokter bilang kau seharusnya beristirahat di rumah, setidaknya sampai semua obatmu habis,” kata Abizhar mengingatkan. “Jangan dipaksa. Kantormu juga tidak akan tutup toh selama kau di rumah.” “Aku tidak bisa sembuh jika gelisah terus,” jawab Shelina lirih. “Apakah aku bisa melarangmu, Shelina?” Shelina menatap Abizhar dengan kaget. Baru disadarinya dia jarang sekali meminta persetujuan dari suaminya. Selama ini dia melakukan apa yang dia sukai tanpa mempertimbangkan apa yang diinginkan suaminya. Aneh, pikir Shelina. Dulu aku tidak suka dikekang, terlebih diatur oleh suamiku. Mengapa sekarang aku malah merasa lebih aman jika aku mendengar keputusannya? Apakah aku sudah mulai bisa
Shelina masuk ke kamarnya, telentang di sebelah Abizhar yang tampak terlelap. Shelina memejamkan kedua matanya bersiap untuk tidur kemudian disadarinya tubuhnya dipeluk dari samping oleh Abizhar.Satu tangan Abizhar meremas dadanya. Shelina mengulum senyum, menikmati sentuhan pria itu, sampai kemudian dia mendengar Abizhar bergumam di sebelahnya, "Aku sangat mencintaimu, Shelina, sampai rasanya tak mungkin lagi kau bisa berdusta padaku. Aku kini mengenalmu dengan jelas."Shelina membuka matanya, menatap Abizhar yang tengah memandangnya. "Maksudmu?""Aku tahu kau pura-pura lupa ingatan. Aku tidak menyalahkanmu, justru aku senang itu artinya aku tak usah berjuang lagi untuk meyakinkanmu, kan?"Sorotan dalam mata Abizhar tidak menunjukkan kesinisan atau cemoohan. Shelina dapat melihat kesenduan di mata suaminya, yang tak urung membuat dada Shelina berdesir hangat.Bukannya gugup karena kebohongannya diketahui suaminya, Shelina malah tersenyum pahit. "Aku melakukannya agar kau tak usah la
Pak Edward merasa berat saat tahu Shelina tidak memiliki memori tentang kejadian setelah pernikahan Shelina dan Abizhar. Dia tentu khawatir dengan kondisi otak Shelina, tapi ada hal lain juga yang merisaukannya. Sebulan terakhir, jabatan Shelina sebagai direktur di perusahaan propertinya dialihkan kepada wakil direktur yang ada. Dengan keadaan Shelina dalam keadaan sakit, dia tidak bisa lagi memaksa anaknya untuk kembali kerja di perusahaan. Diangkatnya wakil direktur itu untuk menggantikan Shelina. Selama itu juga dia memerhatikan Abizhar yang apik mengurus tetek-bengek Shelina yang dirawat di rumah sakit. Abizhar tak pernah meninggalkan Shelina sekali pun. Pak Edward menyadari, pria yang tak ada gunanya macam Abizhar itu telah berubah. Keinginan Pak Edward untuk memisahkan Shelina dari Abizhar semakin pudar. Lima hari setelah sadar, Shelina diperbolehkan untuk pulang dan mengonsumsi obat-obatnya di rumah. Pada waktu tertentu dia harus kontrol ke rumah sakit untuk mengecek keadaan
Abizhar meminta maaf pada Roland karena dia tidak bisa mendatangi proses pemakaman Yuni. Dia harus berada di dekat Shelina selama Shelina di rumah sakit. Roland mengangguk mengerti. Dia juga berkelakar sedikit, "Kali ini, kau bisa yakin Yuni takkan bangkit lagi."Mendengar itu Abizhar tersenyum masam. Mereka berpelukan untuk saling menguatkan. Dua orang yang selalu cekcok itu berada di titik terendah mereka. Sekali lagi Abizhar minta maaf pada Roland dan mengucapkan turut dukanya.Abizhar melirik sekilas pada mobil jenazah. Maafkan aku, Yuni, pikirnya. Entah betapa kali aku harus mengucapkan ini. Aku selalu mendoakanmu agar kau sampai di sisi-Nya.Diperhatikannya sekitar. Tak ada kehadiran Bu Lila di sana. Abizhar pun ragu ibunya itu akan melihat Yuni untuk terakhir kali. Lebih tepatnya, ibunya tidak akan memunculkan dirinya ke publik, sebab Abizhar tahu kali ini Pak Edward tidak akan main-main untuk memberi perhitungan pada Bu Lila.Berbeda dengan Abizhar yang pasrah-pasrah saja di r
Pak Edward yang baru tiba di Jakarta dari urusan pekerjaannya di luar kota, langsung ke rumah sakit ketika dia ditelepon Abizhar. Dari suara Abizhar yang gemetar menjelaskan apa yang terjadi, Pak Edward tahu ada hal yang sangat buruk menimpa anaknya.Selama ini dia tahu Abizhar tidak pernah peduli pada Shelina. Saat dulu Abizhar memberitahunya Shelina mengalami kecelakaan, Abizhar tidak terdengar sekhawatir sekarang. Pak Edward meminta sopirnya mengantarkannya secepat mungkin.Di rumah sakit, Abizhar tidak merasa tenang. Jika sesuatu terjadi pada Shelina, dia akan ikut melukai dirinya sendiri. Bu Lila sama sekali tidak bersalah saat melihat Shelina pingsan. Dia malah tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. "Ya katakan saja pada Edward bahwa anaknya yang jahanam ini baru saja celaka karena Mama, Abizhar!"Abizhar tidak menggubris ocehan ibunya. Dia berteriak minta tolong pada petugas medis, sementara Roland membentak Bu Lila dengan nada penuh peringatan. "Anda memang bukan manusia.
Shelina cuti seharian. Dia menelepon Leo untuk membantu wakil direkturnya dan beberapa Kepala Divisi untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Untuk dokumen yang hanya bisa Shelina tandatangani, ditaruh saja di meja kerjanya, dan bila hal itu mendesak Leo-lah yang membawa dokumen itu ke rumah.Rumah lama Shelina dan Abizhar.Semalaman Abizhar menata barang-barang Shelina di dalam koper, sementara Shelina tidur di atas tempat tidur. Pada dini hari setelah Abizhar selesai mengemas, dia tak melewati batas dengan tidur satu ranjang dengan Shelina. Saat Shelina bangun pada pagi harinya, dia melihat Abizhar tidur di sofa dekat ranjangnya.Semoga kita selalu damai seperti ini, pinta Shelina dalam hati. Dia dan Abizhar kembali ke hidup mereka semula. Di rumah yang telah menyaksikan berbagai kenangan bagi mereka. Kali ini, Abizhar tidak mau menghancurkan rumah tangganya dengan tidak memperhatikan Shelina. Sama dengan Abizhar, Shelina pun mencoba untuk mendengar Abizhar dan tidak meninggikan suarany
Abizhar tampak tak senang saat dia melihat Shelina berjalan dengan pria yang tidak dikenalnya. Selama ini yang suka membuntuti Shelina adalah Roland, dan kini pria muda dan ganteng dekat-dekat dengan Shelina, membuat Abizhar menahan kekesalannya.Dia sudah lama menunggu di kedai kopi yang ada di lantai dasar gedung kantor Shelina. Dia menunggu sampai Shelina bekerja. Seharian itu, Abizhar tidak ke kantor dan menghabiskan waktunya dengan laptop-nya untuk membuat CV dan mencari pekerjaan di situs pencari kerja."Sayang!" teriak Abizhar mengangkat satu tangannya.Muka Shelina memerah saat Abizhar memanggil-manggilnya. Orang-orang di lobi berhenti untuk memandang Abizhar, kemudian mereka melanjutkan langkah mereka dengan senyum di wajah mereka.Shelina mengingatkan Leo untuk datang lebih pagi besok, karena ada dokumen tender yang perlu disubmit sebelum jam delapan. Seharusnya sih Leo yang mengingat sendiri, tapi karena dia masih baru, Shelina-lah yang ikut melakukannya.Shelina menghampir
"Papa tidak setuju kau harus keluar dari perusahaan." Suara Pak Ariadi terdengar bengis. Dia menatap anaknya disertai sorotan kecewa. "Banyak proyek yang sedang ditangani perusahaan, dan kau ingin lari? Enak saja! Papa tidak membesarkanmu untuk jadi pengecut, Abizhar!"Dari rumah Shelina, Abizhar menyempatkan untuk pulang dan menyampaikan keinginannya untuk resign pada ayahnya. Dikatakannya pula dia mau hidup tanpa bergantung kepada orang lain terutama ayahnya. Sontak Pak Ariadi murka mendengar itu.Dia sudah menjadikan Abizhar sebagai anaknya, sebagai penerus usahanya. Dididiknya anaknya itu sedemikian rupa sampai dia layak menjadi pemimpin. Sekarang, Abizhar ingin pergi? Apa alasannya?"Saya ingin Shelina percaya pada saya bahwa bukan saham dan jabatan yang saya inginkan."Bodoh, maki Pak Ariadi. Bapak tua itu mendengus jengkel. "Kau sekarang menghendaki pernikahan yang telah kau hancurkan itu?" Pak Ariadi mendecak. "Papa sudah tahu semuanya, Abizhar. Meskipun Shelina mengaku dia te
Jika Abizhar terus mengikuti emosinya untuk memarahi Shelina, dia akan tersiksa lagi dengan perasaan rindu yang tak bisa dilampiaskannya. Shelina akan jauh dari jangkauannya, membuat kepala Abizhar sakit setiap memikirkan perempuan itu. Abizhar tidak mau lagi menyakiti Shelina. Bukan untuk perempuan itu.Tapi untuknya.Semakin dia melihat kesenduan di mata Shelina, hatinya ikut terkoyak. Apakah ini cinta yang sesungguhnya, pikir Abizhar masih menatap Shelina. Aku tidak pernah merasakan ini saat aku bersama Yuni. Ya, aku peduli pada Yuni, tapi aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Yuni, sementara dengan Shelina..Mengapa aku ikut sakit ketika dia sakit?Abizhar mengganti taktiknya. Dia menarik napas panjang, kemudian mengangguk. Ekspresi wajahnya pun berubah melas. "Tentu aku ingin kau kembali. Aku pun tidak lebih baik darimu, Shelin," katanya, mengulas senyum tipis. "Aku lebih brengsek dari kau. Kau hanya selingkuh dengan satu orang, kan? Ah, aku lebih dari satu, kira-k
Roland tahu seseorang mengintainya di parkiran yang sepi itu. Siapa lagi jika bukan suami Shelina. Abizhar mencegatnya sebelum dia membuka pintu mobilnya. "Apa yang terjadi pada Shelina?""Anda bukan orang yang memperkerjakan saya," kata Roland acuh tak acuh."Kau teman Shelina dan kau tahu aku pria yang dicintai temanmu," sahut Abizhar mengingatkan dengan tajam. "Lebih dari itu. Aku suami Shelina dan aku berhak tahu apa yang terjadi padanya!""Apakah Anda punya kaca? Semua hal buruk tidak akan terjadi jika Anda setia pada Shelina!" jawab Roland membentak. "Anda sama sekali tidak bersalah, hah? Bagaimana bisa manusia seperti Anda hidup seperti ini? Saya rasa, sebenarnya Anda anak kandung Bu Lila. Kalian berdua sama-sama tidak punya rasa bersalah!""Apa maksudmu!" tanggap Abizhar berang. Dia menenangkan dirinya, mencoba bersikap lunak pada Roland karena bagaimana pun dia membutuhkan Roland untuk memberitahunya tentang istrinya. Ditariknya napas panjang-panjang. "Roland, just tell me. D