Bagaimana bisa aku peduli pada orang yang jelas-jelas membeliku, pikir Abizhar menjauh dari istrinya. Sebelum aku meneken kontrak pernikahan denganmu, ayahmu mengingatkan bahwa aku tidak lebih dari objek perjanjian antara orangtua kita. Ayah angkatku juga berkata demikian. Aku tidak boleh cinta. Aku tidak boleh sayang. Sebab yang namanya kontrak akan ada masa berakhirnya, dan hal itu berakhir setelah kita memiliki anak dan aku memperoleh tanahmu.
Jadi buat apa aku capek-capek peduli padamu? Untuk apa aku sengaja menyiksa diriku dengan cinta padamu ketika aku tahu pada akhirnya kita akan berpisah? Aku tahu, setelah kau mendapat apa yang kau inginkan, kau akan mendepakku begitu saja. Aku bahkan curiga, kau akan kembali pada kekasihmu. Ya, kekasih yang telah mengambil keperawananmu.
Atau bukan kekasih? Apakah wanita terhormat sepertimu, menganut kehidupan seks bebas? Ah, bukan aku ingin menghakimi pilihan gaya hidupmu, tapi kenapa hatiku sakit membayangkan kau telah dijamah sebelum menjadi istriku?
Hari itu Abizhar harus ke kantor karena ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Banyak permasalahan yang harus dia sendiri yang menyelesaikan, terkait masalah penundaan pekerjaaan dan force majeure dalam proyek yang dijalankan perusahaan konstruksinya. Ayah mertuanya yang notabene pemegang saham perusahaannya, menemuinya pada pukul lima sore, saat Abizhar bersiap untuk pulang.
Pak Edward menanyakan perihal Shelina. "Sebenarnya saya ingin menjenguknya," gumamnya. "Tapi saya tidak mau perhatian saya disalahartikan."
"Disalahartikan bagaimana?" tanya Abizhar bingung.
"Sejak ibu Shelina meninggal saya mendidiknya dengan keras. Saya tidak mau dia jadi lembek karena disayang ayahnya," kilah Pak Edward. "Dengan saya tidak berada di sisinya, dia bisa belajar untuk mandiri."
Abizhar tak percaya sekaligus tak terima dengan alasan ayah mertuanya. "Dia hampir mati karena kecelakaan itu. Membesuk di saat dia di titik antara mati dan hidup, bukan suatu hal yang membuatnya menjadi manja," jawab Abizhar menatap Pak Edward dengan marah. "Kalau ingin tahu keadaannya, datanglah sendiri."
"Kalau kau sudah punya anak, kau akan mengerti." Pak Edward memandang ke sekeliling ruang kerja Abizhar. "Dunia konstruksi itu keras. Kita tidak bisa memanjakan anak-cucu kita dengan memberi kasih sayang yang berlebihan pada mereka."
"Berlebihan kah namanya mengunjungi anak yang sakit?" Dahi Abizhar mengernyit. "Jika tidak ada yang ingin Papa sampaikan, saya pulang. Shelina pasti sudah menunggu saya di rumah."
"Kapan dia kembali bekerja? Kata wakilnya dia masih kerja dari rumah."
"Sampai saya mengizinkannya."
"Saya tidak tahu kamu peduli pada Shelina. Bukankah bagimu dia hanya beban untuk hubunganmu dengan siapa.. siapa temanmu itu.. Ah, Yuni." Pak Edward tersenyum sinis. "Ayahmu bilang kau hanya bisa cinta pada perempuan itu. Pernikahanmu dengan Shelina juga karena perempuan itu, kan?"
"Tentu saya peduli pada Shelina. Dia wanita yang pernah mengandung anak saya. Dia juga merasakan kesedihan yang sama dengan yang saya rasakan atas kematian anak kami," jawab Abizhar keras.
"Ah, kalian masih bisa punya anak lagi." Terang Pak Edward sudah tahu mengenai cucunya yang meninggal. Bayi Shelina adalah hal pertama yang ia tanyakan pada asistennya saat mendengar Shelina mengalami kecelakaan. Namun begitu Pak Edward tidak mau repot-repot menjenguk, apalagi datang ke makam bayi Shelina. Kematian baginya adalah hal yang wajar. Manusia pasti mati juga, kan? Buat apa datang ke makam jika itu hanya membuantya sedih saja? "Kalian masih muda. Kau juga masih kuat untuk menanam benihmu dalam rahimnya kan?"
Abizhar berdecak kesal mendengar itu. Bagaimana bisa Pak Edward mengatakan demikian terkait anaknya sendiri? Apakah bagi Pak Edward, Shelina tak lebih dari objek yang bisa melahirkan keturunan saja?
Perasaan iba terhadap istrinya mulai timbul di hati Abizhar. Dia tahu Shelina sombong karena kekayaan yang dimiliki keluarganya, namun di sisi lain, dia merasa Shelina tidak bahagia dengan kekayaan itu. Ayah dari istrinya, satu-satunya keluarga kandung Shelina, justru tidak menunjukkan kasih sayangnya pada Shelina.
Pertemuannya dengan Pak Edward disampaikannya pada Shelina. Abizhar menambahkan, Pak Edward juga menanyakan keadaan Shelina.
"Ingat Papa, jadi ingat kontrak nikah kita." Shelina menghela napas panjang. Disodorkannya sebuah map ke suaminya. "Ini perubahan terhadap perjanjian nikah kita. Tak perlulah ada anak di antara kita agar aku bisa menyerahkan tanah di Kebon Kacang." Shelina memberikan map satu lagi. "Aku akan menghibahkan setengah sahamku padamu. Dengan begitu, kau bisa jadi pemegang saham, dan dapat memberikan suara terkait aksi korporasi perusahaanku, termasuk soal tanah di Kebon Kacang yang menjadi lokasi proyek."
"Shelina..." Abizhar menatap istrinya tak percaya. "Apakah kau sungguh dengan keputusanmu? Apa rencanamu? Tidak mungkin orang sepertimu menyerahkan saham begitu saja tanpa ada hal yang kau inginkan."
"Kau mengorbankan banyak hal untuk mendapatkan tanah itu. Kau bahkan tidak bisa hidup dengan kekasih yang kau cintai karena tanah itu," jawab Shelina lirih. "Aku tak mau menyiksamu lebih jauh lagi."
"A..apa maksudmu?" Abizhar gelagapan. "Kau mau apa?"
"Kita sudahi saja pernikahan ini," tandas Shelina datar. "Tidak ada gunanya meneruskannya, bukan? Kau tidak bisa mencintai aku. Aku juga tidak bisa terus-terusan mengaku cinta padamu, padahal aku sumber penderitaanmu." Shelina menatap Abizhar sedih. "Kau setuju kan dengan ide perceraian?"
Abizhar melempar dua map itu ke lantai. Ralat, dia tidak melempar, melainkan membanting dengan sangat keras sampai kedua mata Shelina melebar terkejut. "Abi!" tegur Shelina marah. "Ini kan kemauanmu. Kenapa kau jadi begini? Apakah yang kuberi kurang?" "Kau anggap apa aku ini!" bentak Abizhar sama gusarnya. "Aku bukan barang, Shelin. Aku bukan mainan yang kau beli lalu kau buang setelah kau bosan!" Abizhar menatapnya tajam-tajam. "Aku memang belum mencintaimu, aku ragu untuk bisa mencintaimu, tapi aku menentang perceraian. Sekali pun Yuni masih hidup, aku tak pernah berpikir untuk bercerai." Abizhar diam. Ya, hidup dengan Shelina bak mimpi buruk baginya, tapi dia tidak pernah membayangkan dia akan mengurus perceraiannya di pengadilan. Keketusan yang selama ini ia torehkan pada Shelina semata-mata ia ingin dihargai sebagai suami. Ia tidak sampai hati meninggalkan pernikahan ini. Shelina menatapnya bingung. "Kupikir ini yang kau inginkan. Kau
Berada di rumah terus-terusan membuat Shelina tersiksa. Setiap dia punya kesempatan untuk melamun, dia jadi teringat Yuni perempuan menyebalkan itu. Suatu malam, dia memberitahu Abizhar bahwa dia sudah siap bekerja di kantor. Abizhar menaikkan satu alisnya. “Kau yakin? Dokter bilang kau seharusnya beristirahat di rumah, setidaknya sampai semua obatmu habis,” kata Abizhar mengingatkan. “Jangan dipaksa. Kantormu juga tidak akan tutup toh selama kau di rumah.” “Aku tidak bisa sembuh jika gelisah terus,” jawab Shelina lirih. “Apakah aku bisa melarangmu, Shelina?” Shelina menatap Abizhar dengan kaget. Baru disadarinya dia jarang sekali meminta persetujuan dari suaminya. Selama ini dia melakukan apa yang dia sukai tanpa mempertimbangkan apa yang diinginkan suaminya. Aneh, pikir Shelina. Dulu aku tidak suka dikekang, terlebih diatur oleh suamiku. Mengapa sekarang aku malah merasa lebih aman jika aku mendengar keputusannya? Apakah aku sudah mulai bisa
Dibukanya map itu. Terdapat foto-fotonya tanpa memakai busana. Tidak hanya dirinya. Tampak seseorang memeluknya dari belakang. Wajah orang itu tak terlihat jelas. Hanya tangannya yang melingkari pinggang Shelina yang telanjang. Dari tangannya, itu bukan tangan Abizhar. Shelina dikejutkan dengan suara dering ponselnya. Ada telepon dari nomor tak dikenal. Diangkatnya dengan hati-hati. “Siapa ini?” “Berikan lima ratus juta atau foto-foto Anda akan tersebar.” “Siapa pikirmu sampai berani mengancam saya,” sahut Shelina dingin. “Kau pikir, saya takut?” “Apakah Anda ingin suami Anda tahu soal perselingkuhan Anda? Atau ayah Anda, barangkali?” “Siapa kau sebenarnya?” “Anda akan tahu setelah Anda berikan uang pada saya.” Bukannya takut Shelina justru tertawa jengkel. “Kau bisa bermimpi. Kau pikir, di jaman yang lagi susah seperti ini, mudah bagi saya untuk memberikan lima ratus juta untuk foto yang tidak saya ketahui keasliannya?
Sejak Shelina menjadi direktur utama di perusahaan properti ayahnya, dia selalu bersikap tenang dan menegakkan cara pikir yang rasional. Jarang sekali dia melewati rapat penting kecuali dia dalam keadaan sakit, namun sejak dia mendapat ancaman itu, dia merasa takut serta mudah gemetar. Dia meminta sekretarisnya saja yang mencatat apa-apa saja yang penting pada rapat. Dia tidak bisa menghindari serangan gugup itu meski dia sudah berusaha keras untuk mengalihkan pikirannya. Sial, kecelakaan itu telah membuatnya jadi tidak tenang. Dia kesulitan untuk mengendalikan emosinya. Getaran di ponselnya berhasil membuatnya sesak napas. Si pengancam terus-terusan menelepon, menagih uang yang dia janjikan. Shelina tidak bisa begitu saja memberikan uang sebanyak itu pada orang yang dia tidak ketahui. Selain itu, dia perlu jaminan bahwa si pengancam tidak akan menyebarkan foto-foto panas itu ke media. Aku tidak bisa biarkan Roland mengurus ini sendiri, pikir Shelina bergegas
Jika Shelina tidak mengangkat telepon, biasanya Abizhar menelepon asisten istrinya. Roland memberitahunya bahwa Shelina akan pulang terlambat hari itu. Kebetulan, pikir Abizhar. Hari ini sepertinya berkah untukku. Abizhar menelepon seseorang untuk masuk ke ruangannya. Perempuan yang masih muda itu tersenyum-senyum padanya. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan, kan?” bisik Abizhar penuh maksud. Perempuan itu mengangguk, mendekati Abizhar dan berlutut di depan Abizhar. Tak lama kemudian terdengar suara desahan dalam ruangan itu. Hal itu sudah terjadi sejak dia menikah dengan Shelina. Dia mendapat kepuasan itu dari Yuni. Sebelum kecelakaan itu, Shelina tidak pernah gagal membuatnya sampai ke puncak kenikmatan, akan tetapi ada yang mengganjal di hatinya. Mau sehebat apapun Shelina melayaninya, dia tetap tidak merasa hal itu cukup. Fakta bahwa dia dibeli oleh keluarga istrinya membuatnya mudah murung dan tidak percaya diri. Bahkan kepuasan yang diras
“Sekali pun aku memang berselingkuh, menurutmu aku takut padamu? Lucu, bukan? Kau mendapat informasi semacam itu dari selingkuhanmu?” Sudah kuduga pernikahan ini tidak akan harmonis, pikir Shelina pahit. Sudah kuduga aku tidak hidup di dunia khayal. Mana mungkin suami yang selama ini tak menghargaiku bisa mencintaiku dalam sekejap mata! “Sudahi saja perbincangan ini. Takkan ada ujungnya,” kata Abizhar lalu pura-pura tidur. “Kenapa sih, kau tidak pernah mengakui perselingkuhanmu? Padahal kan kita sudah sama-sama tahu baik-busuknya diri kita,” sahut Shelina heran. “Kau mengingatkanku pada seseorang di masa lalu. Dia sudah punya istri, bahkan anak, tapi dia tetap menginginkan kepuasan dari keponakannya sendiri.” Sontak Abizhar membuka kedua matanya. Apakah dia membicarakan Oom Surya, pikirnya. “Shelina, tadi kau bilang apa?” Shelina tersenyum pahit. “Bukan urusanmu. Sana tidur.” “Tentu urusanku kalau itu menyangkut dirimu. Kau istriku, in
Salah satu anak Oom Surya, Gadis, direktur di perusahaan baterai yang tiga tahun lalu didirikan olehnya dan Shelina. Perusahaan itu kini menjadi vendor unttuk perusahaan konstruksi milik keluarga Abizhar. Hari itu Gadis datang ke kantor Abizhar untuk berdiskusi soal harga baterai dengan tim Sales perusahaan Abizhar. Abizhar menyerahkan urusan negosiasi tersebut pada bawahannya. Gadis memberikan harga tinggi yang tidak bisa ditawar oleh karyawan-karyawan Abizhar. Alasannya mematok harga tersebut karena kurs dollar sedang naik, sementara barang-barang yang ia sediakan untuk perusahaan Abizhar diimpor langsung dari Cina. Gadis tak pernah suka pada Abizhar, namun keduanya harus terlibat dalam bisnis sejak Abizhar menikah dengan Shelina. Kedua keluarga tersebut telah bersepakat untuk bekerjasama dalam segala hal, termasuk penunjukkan vendor. Bisa saja Gadis menolak, tapi itu artinya dia harus dicap sebagai anak durhaka. Sama dengan Abizhar, dia ingin mencari vendor yang b
Shelina tidak punya firasat apa-apa hari itu. Pertengkaran di rumahnya sudah menjadi hal yang biasa. Malah, dia waswas jika Abizhar bersikap manis padanya, sebab pasti ada maunya. Tidak ada jalan keluar baginya dan Abizhar. Dia harus stagnan di tempat mereka berdiri sekarang. Pernikahan rupanya bukan hal yang mudah. Shelina pikir, dengan uang dan kekuasaan, kehidupan rumah tangganya bisa bahagia. Ternyata tidak ada hubungan kedua hal tersebut dengan keharmonisan rumah tangga. Dia tetap dilanda rasa sesak, memikirkan bagaimana nasibnya. Masa iya sih, harus bertahan di pernikahan di mana cinta itu sudah tidak ada? Apa mereka akan menua bersama dengan dasar kontrak yang mereka tandatangani? Sebelum jam makan siang, Shelina mendapat email dari Leo, berisi video rekaman CCTV di hotel. Semua video itu menampakkan Shelina dan seorang laki-laki. Dan dia… Rafi. Ya, aku tahu siapa dia. Ingatan Shelina kembali terbawa pada masa lima tahun lalu s
Shelina masuk ke kamarnya, telentang di sebelah Abizhar yang tampak terlelap. Shelina memejamkan kedua matanya bersiap untuk tidur kemudian disadarinya tubuhnya dipeluk dari samping oleh Abizhar.Satu tangan Abizhar meremas dadanya. Shelina mengulum senyum, menikmati sentuhan pria itu, sampai kemudian dia mendengar Abizhar bergumam di sebelahnya, "Aku sangat mencintaimu, Shelina, sampai rasanya tak mungkin lagi kau bisa berdusta padaku. Aku kini mengenalmu dengan jelas."Shelina membuka matanya, menatap Abizhar yang tengah memandangnya. "Maksudmu?""Aku tahu kau pura-pura lupa ingatan. Aku tidak menyalahkanmu, justru aku senang itu artinya aku tak usah berjuang lagi untuk meyakinkanmu, kan?"Sorotan dalam mata Abizhar tidak menunjukkan kesinisan atau cemoohan. Shelina dapat melihat kesenduan di mata suaminya, yang tak urung membuat dada Shelina berdesir hangat.Bukannya gugup karena kebohongannya diketahui suaminya, Shelina malah tersenyum pahit. "Aku melakukannya agar kau tak usah la
Pak Edward merasa berat saat tahu Shelina tidak memiliki memori tentang kejadian setelah pernikahan Shelina dan Abizhar. Dia tentu khawatir dengan kondisi otak Shelina, tapi ada hal lain juga yang merisaukannya. Sebulan terakhir, jabatan Shelina sebagai direktur di perusahaan propertinya dialihkan kepada wakil direktur yang ada. Dengan keadaan Shelina dalam keadaan sakit, dia tidak bisa lagi memaksa anaknya untuk kembali kerja di perusahaan. Diangkatnya wakil direktur itu untuk menggantikan Shelina. Selama itu juga dia memerhatikan Abizhar yang apik mengurus tetek-bengek Shelina yang dirawat di rumah sakit. Abizhar tak pernah meninggalkan Shelina sekali pun. Pak Edward menyadari, pria yang tak ada gunanya macam Abizhar itu telah berubah. Keinginan Pak Edward untuk memisahkan Shelina dari Abizhar semakin pudar. Lima hari setelah sadar, Shelina diperbolehkan untuk pulang dan mengonsumsi obat-obatnya di rumah. Pada waktu tertentu dia harus kontrol ke rumah sakit untuk mengecek keadaan
Abizhar meminta maaf pada Roland karena dia tidak bisa mendatangi proses pemakaman Yuni. Dia harus berada di dekat Shelina selama Shelina di rumah sakit. Roland mengangguk mengerti. Dia juga berkelakar sedikit, "Kali ini, kau bisa yakin Yuni takkan bangkit lagi."Mendengar itu Abizhar tersenyum masam. Mereka berpelukan untuk saling menguatkan. Dua orang yang selalu cekcok itu berada di titik terendah mereka. Sekali lagi Abizhar minta maaf pada Roland dan mengucapkan turut dukanya.Abizhar melirik sekilas pada mobil jenazah. Maafkan aku, Yuni, pikirnya. Entah betapa kali aku harus mengucapkan ini. Aku selalu mendoakanmu agar kau sampai di sisi-Nya.Diperhatikannya sekitar. Tak ada kehadiran Bu Lila di sana. Abizhar pun ragu ibunya itu akan melihat Yuni untuk terakhir kali. Lebih tepatnya, ibunya tidak akan memunculkan dirinya ke publik, sebab Abizhar tahu kali ini Pak Edward tidak akan main-main untuk memberi perhitungan pada Bu Lila.Berbeda dengan Abizhar yang pasrah-pasrah saja di r
Pak Edward yang baru tiba di Jakarta dari urusan pekerjaannya di luar kota, langsung ke rumah sakit ketika dia ditelepon Abizhar. Dari suara Abizhar yang gemetar menjelaskan apa yang terjadi, Pak Edward tahu ada hal yang sangat buruk menimpa anaknya.Selama ini dia tahu Abizhar tidak pernah peduli pada Shelina. Saat dulu Abizhar memberitahunya Shelina mengalami kecelakaan, Abizhar tidak terdengar sekhawatir sekarang. Pak Edward meminta sopirnya mengantarkannya secepat mungkin.Di rumah sakit, Abizhar tidak merasa tenang. Jika sesuatu terjadi pada Shelina, dia akan ikut melukai dirinya sendiri. Bu Lila sama sekali tidak bersalah saat melihat Shelina pingsan. Dia malah tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. "Ya katakan saja pada Edward bahwa anaknya yang jahanam ini baru saja celaka karena Mama, Abizhar!"Abizhar tidak menggubris ocehan ibunya. Dia berteriak minta tolong pada petugas medis, sementara Roland membentak Bu Lila dengan nada penuh peringatan. "Anda memang bukan manusia.
Shelina cuti seharian. Dia menelepon Leo untuk membantu wakil direkturnya dan beberapa Kepala Divisi untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Untuk dokumen yang hanya bisa Shelina tandatangani, ditaruh saja di meja kerjanya, dan bila hal itu mendesak Leo-lah yang membawa dokumen itu ke rumah.Rumah lama Shelina dan Abizhar.Semalaman Abizhar menata barang-barang Shelina di dalam koper, sementara Shelina tidur di atas tempat tidur. Pada dini hari setelah Abizhar selesai mengemas, dia tak melewati batas dengan tidur satu ranjang dengan Shelina. Saat Shelina bangun pada pagi harinya, dia melihat Abizhar tidur di sofa dekat ranjangnya.Semoga kita selalu damai seperti ini, pinta Shelina dalam hati. Dia dan Abizhar kembali ke hidup mereka semula. Di rumah yang telah menyaksikan berbagai kenangan bagi mereka. Kali ini, Abizhar tidak mau menghancurkan rumah tangganya dengan tidak memperhatikan Shelina. Sama dengan Abizhar, Shelina pun mencoba untuk mendengar Abizhar dan tidak meninggikan suarany
Abizhar tampak tak senang saat dia melihat Shelina berjalan dengan pria yang tidak dikenalnya. Selama ini yang suka membuntuti Shelina adalah Roland, dan kini pria muda dan ganteng dekat-dekat dengan Shelina, membuat Abizhar menahan kekesalannya.Dia sudah lama menunggu di kedai kopi yang ada di lantai dasar gedung kantor Shelina. Dia menunggu sampai Shelina bekerja. Seharian itu, Abizhar tidak ke kantor dan menghabiskan waktunya dengan laptop-nya untuk membuat CV dan mencari pekerjaan di situs pencari kerja."Sayang!" teriak Abizhar mengangkat satu tangannya.Muka Shelina memerah saat Abizhar memanggil-manggilnya. Orang-orang di lobi berhenti untuk memandang Abizhar, kemudian mereka melanjutkan langkah mereka dengan senyum di wajah mereka.Shelina mengingatkan Leo untuk datang lebih pagi besok, karena ada dokumen tender yang perlu disubmit sebelum jam delapan. Seharusnya sih Leo yang mengingat sendiri, tapi karena dia masih baru, Shelina-lah yang ikut melakukannya.Shelina menghampir
"Papa tidak setuju kau harus keluar dari perusahaan." Suara Pak Ariadi terdengar bengis. Dia menatap anaknya disertai sorotan kecewa. "Banyak proyek yang sedang ditangani perusahaan, dan kau ingin lari? Enak saja! Papa tidak membesarkanmu untuk jadi pengecut, Abizhar!"Dari rumah Shelina, Abizhar menyempatkan untuk pulang dan menyampaikan keinginannya untuk resign pada ayahnya. Dikatakannya pula dia mau hidup tanpa bergantung kepada orang lain terutama ayahnya. Sontak Pak Ariadi murka mendengar itu.Dia sudah menjadikan Abizhar sebagai anaknya, sebagai penerus usahanya. Dididiknya anaknya itu sedemikian rupa sampai dia layak menjadi pemimpin. Sekarang, Abizhar ingin pergi? Apa alasannya?"Saya ingin Shelina percaya pada saya bahwa bukan saham dan jabatan yang saya inginkan."Bodoh, maki Pak Ariadi. Bapak tua itu mendengus jengkel. "Kau sekarang menghendaki pernikahan yang telah kau hancurkan itu?" Pak Ariadi mendecak. "Papa sudah tahu semuanya, Abizhar. Meskipun Shelina mengaku dia te
Jika Abizhar terus mengikuti emosinya untuk memarahi Shelina, dia akan tersiksa lagi dengan perasaan rindu yang tak bisa dilampiaskannya. Shelina akan jauh dari jangkauannya, membuat kepala Abizhar sakit setiap memikirkan perempuan itu. Abizhar tidak mau lagi menyakiti Shelina. Bukan untuk perempuan itu.Tapi untuknya.Semakin dia melihat kesenduan di mata Shelina, hatinya ikut terkoyak. Apakah ini cinta yang sesungguhnya, pikir Abizhar masih menatap Shelina. Aku tidak pernah merasakan ini saat aku bersama Yuni. Ya, aku peduli pada Yuni, tapi aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Yuni, sementara dengan Shelina..Mengapa aku ikut sakit ketika dia sakit?Abizhar mengganti taktiknya. Dia menarik napas panjang, kemudian mengangguk. Ekspresi wajahnya pun berubah melas. "Tentu aku ingin kau kembali. Aku pun tidak lebih baik darimu, Shelin," katanya, mengulas senyum tipis. "Aku lebih brengsek dari kau. Kau hanya selingkuh dengan satu orang, kan? Ah, aku lebih dari satu, kira-k
Roland tahu seseorang mengintainya di parkiran yang sepi itu. Siapa lagi jika bukan suami Shelina. Abizhar mencegatnya sebelum dia membuka pintu mobilnya. "Apa yang terjadi pada Shelina?""Anda bukan orang yang memperkerjakan saya," kata Roland acuh tak acuh."Kau teman Shelina dan kau tahu aku pria yang dicintai temanmu," sahut Abizhar mengingatkan dengan tajam. "Lebih dari itu. Aku suami Shelina dan aku berhak tahu apa yang terjadi padanya!""Apakah Anda punya kaca? Semua hal buruk tidak akan terjadi jika Anda setia pada Shelina!" jawab Roland membentak. "Anda sama sekali tidak bersalah, hah? Bagaimana bisa manusia seperti Anda hidup seperti ini? Saya rasa, sebenarnya Anda anak kandung Bu Lila. Kalian berdua sama-sama tidak punya rasa bersalah!""Apa maksudmu!" tanggap Abizhar berang. Dia menenangkan dirinya, mencoba bersikap lunak pada Roland karena bagaimana pun dia membutuhkan Roland untuk memberitahunya tentang istrinya. Ditariknya napas panjang-panjang. "Roland, just tell me. D