Sejak pulang dari rumah sakit dan mengantar Katrina dengan aman, Ariana mengurung diri di kamarnya. Dia tidak ingin bertemu dengan Nicholas, suaminya yang mengajaknya untuk ikut bergabung dalam kencannya bersama Katrina. Perasaan bersalah dan terluka bercampur aduk di hatinya. Saat kecelakaan menimpa Katrina, Ariana merasa menjadi terdakwa utama di mata Nicholas. Hampir tengah malamnya, rasa lapar akhirnya memaksa Ariana keluar dari kamarnya. Dengan hati-hati, dia membuka pintu dan mengendap-endap keluar, berharap tidak berpapasan dengan Nicholas. Namun, begitu menuruni tangga, aroma gosong yang menyengat dari arah dapur membuatnya terhenti. "Bibi Helen? Apa yang dilakukan Bibi Helen di dapur?" gumamnya dengan heran. Dengan perasaan cemas, dia bergegas ke dapur. Di sana, bukannya menemukan Bibi Helen, dia malah melihat Nicholas dengan ekspresi frustrasi di wajahnya, berdiri di depan kompor dengan panci gosong di tangan. Ariana menghampiri Nicholas dan bertanya, "Aku tahu kau bi
Ariana menepuk-nepuk pipinya yang memanas mengingat apa yang dilakukannya dengan Nicholas tadi malam di atas meja dapur. Dia harus kembali fokus memasak sarapan pagi. Tangannya sibuk dengan adonan pancake sementara pikirannya berusaha keras untuk tidak memikirkan adegan berapi-api yang dilakukannya dengan Nicholas tadi malam. Sementara di belakangnya, Nicholas melangkah ke dapur dengan tenang dan santai. "Bibi Helen masih di kampung sibuk mengurus bayi-bayi kucingnya. Aku bisa saja membuat sarapanku sendiri, tapi mungkin—,” "Kau bisa meminta sekretarismu memesankan sarapan untukmu seperti biasanya," potong Ariana, suaranya sedikit tajam. Nicholas melirik jam tangannya, "Saat ini di Madagaskar pukul setengah tiga pagi, apa aku terlihat seperti bos yang tidak memperdulikan jam tidur pegawainya?" Ariana menghela napas panjang. "Aku akan membuatkan sarapan untukmu. Apa yang ingin kau makan pagi ini?" "Terserah saja," jawab Nicholas dengan senyum menghiasi wajahnya. Ariana men
Ariana menyelesaikan makannya dengan cepat, tidak ingin terlalu lama menghabiskan waktu berduan dengan Andrian, mengingat larangan Nicholas. Keputusannya untuk mempertimbangkan kembali rencana perceraiannya berarti dia harus mematuhi keinginan suaminya. 'Harusnya kemarin aku tidak menggunakan nama Andrian saat memanas-manasi Nicholas, mungkin Jono saja,' keluhnya dalam hati. Andrian, yang duduk di depannya, tampak tidak terlalu memperhatikan Ariana yang semakin gelisah. Namun, dia tetap berusaha menjaga percakapan tetap ringan. "Bagaimana kesibukan Bu Ariana di kampus?" tanyanya dengan senyum hangat. Ariana meneguk air putihnya sebelum menjawab, "Baik, cukup sibuk akhir-akhir ini. Banyak proyek dan borang akreditasi yang harus diselesaikan." Andrian mengangguk sambil memperhatikan wajah Ariana yang tampak cemas. "Saya yakin Bu Ariana bisa mengatasinya. Bu Ariana selalu terlihat sangat berdedikasi." Ariana hanya tersenyum tipis, kemudian memandang ke luar jendela cafe, mencob
Keesokan paginya, Ariana bangun kesiangan efek tenaganya yang terkuras habis karena Nicholas. Dia menggeliat pelan, matanya mengerjap beberapa kali, mencoba mengusir kantuk yang masih tersisa. Dengan gerakan lambat, tangannya menyapu tempat tidur. Napas panjang terlepas saat dia menyadari suaminya mungkin sudah berangkat kerja. Matanya melihat kamar yang berantakan, selimut kusut dan bantal berserakan. Sebuah senyum muncul di bibirnya, mengingat bagaimana Nicholas memperlakukannya tadi malam dengan penuh cinta dan hasrat. Sentuhan lembutnya, bisikan hangat. Rasanya ingin merasakan lebih lama jejak suaminya di kasur yang super nyaman itu. Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Bibi Helen datang membawakan sarapan hangat untuk Ariana. "Bibi sudah kembali dari kampung halaman?" sapa Ariana sambil duduk di ranjang. "Sudah, Nyonya. Tuan Nicholas meminta saya untuk datang membuatkan sarapan Nyonya," jawab Bibi Helen dengan senyum ramah. "Oh, memangnya kampung halaman Bibi
Ariana dengan ceria mulai mengemas pakaian dirinya dan Nicholas ke dalam koper. Meskipun masih pagi, dia sudah tidak sabar untuk berkemas-kemas. Di kepalanya terbayang pantai-pantai indah dan petualangan eksotis yang akan mereka nikmati di Madagaskar. Dengan hati-hati, dia memilih pakaian yang nyaman dan sesuai dengan cuaca tropis. Senyum lebar menghiasi wajahnya, setiap pakaian yang dilipat dan dimasukkan ke dalam koper seperti sebuah janji akan kebahagiaan yang akan mereka temui di perjalanan. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, menandakan pesan baru masuk. Ariana mengambil ponselnya dan membuka pesan tersebut. Nama Katrina tertera di layar. Pesan itu adalah foto Katrina bersama Nicholas yang mengenakan pakaian yang sama dengan yang dia pakai tadi pagi. Di bawah foto itu, terdapat tulisan: "Maafkan aku Ariana, karena sudah membuat Nico menemaniku di hari ulang tahunmu." Tangan Ariana bergetar, ponsel itu lolos dari genggamannya dan terjatuh ke lantai. Seakan-akan gravitasi ikut menari
Nicholas dan Ariana memasuki villa eksotis yang didominasi kayu ebony. Villa dengan satu kamar itu dihiasi dengan dekorasi mewah, kombinasi warna krem dan emas menciptakan suasana hangat. Jendela besar menghadap langsung ke laut, memberikan pemandangan matahari terbenam yang menakjubkan. Di tengah kamar, ada tempat tidur king size dengan seprai sutra putih yang rapi, sementara di sudut terdapat sofa empuk dan meja kopi dengan sebotol sampanye dan dua gelas kristal. Ariana berjalan langsung ke jendela, memandang keluar ke laut yang berkilauan. Ombak yang tenang dan angin laut yang lembut seakan mengundang pikirannya untuk melupakan sejenak masalahnya dengan Katrina. Dia menghela napas panjang, mencoba membuang bayangan buruk dari pikirannya. Nicholas mendekatinya dari belakang, melingkarkan tangan di pinggang Ariana dengan erat. "Kau tidak ingin mencoba mandi bersama? Hanya mandi, bagaimana?" bujuknya dengan suara lembut, bibirnya hampir menyentuh telinga Ariana. Ariana berusaha m
Pagi kedua di Madagaskar diselimuti oleh aroma laut yang segar dan angin sepoi-sepoi. Ariana perlahan membuka matanya, merasakan pegal di hampir seluruh tubuhnya. Malam tadi, Nicholas benar-benar menghabisinya dengan amunisi yang tak ada habisnya. Kasur empuk dan nyaman di mana mereka berbaring sekarang tampak seperti zona perang yang damai. Ariana menghela napas dalam-dalam, merasakan setiap otot yang letih. Dia berusaha bangkit, tapi tubuhnya menolak dengan rasa pegal. Nicholas, yang sudah bangun sejak pagi buta untuk olahraga pagi, mendekati Ariana dengan langkah ringan. Tubuhnya tampak segar dan bugar, seolah aktivitas semalam tidak memberi dampak sedikit pun padanya. Dia tersenyum lebar, menampakkan kegembiraan yang hakiki. "Kau sudah bangun?" suaranya lembut, penuh perhatian. Dia duduk di tepi ranjang, tangannya mengelus rambut Ariana. "Apa kau baik-baik saja?" Ariana mendesah pelan, menutup matanya sejenak untuk menikmati sentuhan lembut Nicholas. "Encok!" ketusnya. Ni
Setelah sampai di dermaga, Nicholas dan Ariana berjalan kembali ke Villa mereka. Malamnya, Nicholas mengatur makan malam romantis di tepi pantai, berharap bisa memperbaiki suasana hati Ariana. Setibanya di pantai, suasana malam begitu memesona. Lampu-lampu temaram menyinari meja-meja yang ditata rapi di sepanjang garis pantai. Meja mereka terletak agak terpencil, memberikan sedikit privasi di tengah keramaian tamu asing lainnya yang juga menikmati malam itu. Live music yang dimainkan oleh band lokal menambah kesan romantis dengan lagu-lagu akustik yang romantis. Nicholas menarik kursi untuk Ariana dan membantunya duduk. "Terima kasih," ucap Ariana lirih, dengan nada suara yang masih terdengar sedih. Nicholas tersenyum tipis, duduk di depannya dan segera memesan makanan mereka. Dia berharap makanan lezat dan suasana romantis ini bisa membantu mengembalikan senyum Ariana. Namun, pikirannya lebih banyak terfokus pada tubuh Ariana, membayangkan momen intim mereka nanti. Saat makana