Keesokan paginya, Ariana bangun kesiangan efek tenaganya yang terkuras habis karena Nicholas. Dia menggeliat pelan, matanya mengerjap beberapa kali, mencoba mengusir kantuk yang masih tersisa. Dengan gerakan lambat, tangannya menyapu tempat tidur. Napas panjang terlepas saat dia menyadari suaminya mungkin sudah berangkat kerja. Matanya melihat kamar yang berantakan, selimut kusut dan bantal berserakan. Sebuah senyum muncul di bibirnya, mengingat bagaimana Nicholas memperlakukannya tadi malam dengan penuh cinta dan hasrat. Sentuhan lembutnya, bisikan hangat. Rasanya ingin merasakan lebih lama jejak suaminya di kasur yang super nyaman itu. Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Bibi Helen datang membawakan sarapan hangat untuk Ariana. "Bibi sudah kembali dari kampung halaman?" sapa Ariana sambil duduk di ranjang. "Sudah, Nyonya. Tuan Nicholas meminta saya untuk datang membuatkan sarapan Nyonya," jawab Bibi Helen dengan senyum ramah. "Oh, memangnya kampung halaman Bibi
Ariana dengan ceria mulai mengemas pakaian dirinya dan Nicholas ke dalam koper. Meskipun masih pagi, dia sudah tidak sabar untuk berkemas-kemas. Di kepalanya terbayang pantai-pantai indah dan petualangan eksotis yang akan mereka nikmati di Madagaskar. Dengan hati-hati, dia memilih pakaian yang nyaman dan sesuai dengan cuaca tropis. Senyum lebar menghiasi wajahnya, setiap pakaian yang dilipat dan dimasukkan ke dalam koper seperti sebuah janji akan kebahagiaan yang akan mereka temui di perjalanan. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, menandakan pesan baru masuk. Ariana mengambil ponselnya dan membuka pesan tersebut. Nama Katrina tertera di layar. Pesan itu adalah foto Katrina bersama Nicholas yang mengenakan pakaian yang sama dengan yang dia pakai tadi pagi. Di bawah foto itu, terdapat tulisan: "Maafkan aku Ariana, karena sudah membuat Nico menemaniku di hari ulang tahunmu." Tangan Ariana bergetar, ponsel itu lolos dari genggamannya dan terjatuh ke lantai. Seakan-akan gravitasi ikut menari
Nicholas dan Ariana memasuki villa eksotis yang didominasi kayu ebony. Villa dengan satu kamar itu dihiasi dengan dekorasi mewah, kombinasi warna krem dan emas menciptakan suasana hangat. Jendela besar menghadap langsung ke laut, memberikan pemandangan matahari terbenam yang menakjubkan. Di tengah kamar, ada tempat tidur king size dengan seprai sutra putih yang rapi, sementara di sudut terdapat sofa empuk dan meja kopi dengan sebotol sampanye dan dua gelas kristal. Ariana berjalan langsung ke jendela, memandang keluar ke laut yang berkilauan. Ombak yang tenang dan angin laut yang lembut seakan mengundang pikirannya untuk melupakan sejenak masalahnya dengan Katrina. Dia menghela napas panjang, mencoba membuang bayangan buruk dari pikirannya. Nicholas mendekatinya dari belakang, melingkarkan tangan di pinggang Ariana dengan erat. "Kau tidak ingin mencoba mandi bersama? Hanya mandi, bagaimana?" bujuknya dengan suara lembut, bibirnya hampir menyentuh telinga Ariana. Ariana berusaha m
Pagi kedua di Madagaskar diselimuti oleh aroma laut yang segar dan angin sepoi-sepoi. Ariana perlahan membuka matanya, merasakan pegal di hampir seluruh tubuhnya. Malam tadi, Nicholas benar-benar menghabisinya dengan amunisi yang tak ada habisnya. Kasur empuk dan nyaman di mana mereka berbaring sekarang tampak seperti zona perang yang damai. Ariana menghela napas dalam-dalam, merasakan setiap otot yang letih. Dia berusaha bangkit, tapi tubuhnya menolak dengan rasa pegal. Nicholas, yang sudah bangun sejak pagi buta untuk olahraga pagi, mendekati Ariana dengan langkah ringan. Tubuhnya tampak segar dan bugar, seolah aktivitas semalam tidak memberi dampak sedikit pun padanya. Dia tersenyum lebar, menampakkan kegembiraan yang hakiki. "Kau sudah bangun?" suaranya lembut, penuh perhatian. Dia duduk di tepi ranjang, tangannya mengelus rambut Ariana. "Apa kau baik-baik saja?" Ariana mendesah pelan, menutup matanya sejenak untuk menikmati sentuhan lembut Nicholas. "Encok!" ketusnya. Ni
Setelah sampai di dermaga, Nicholas dan Ariana berjalan kembali ke Villa mereka. Malamnya, Nicholas mengatur makan malam romantis di tepi pantai, berharap bisa memperbaiki suasana hati Ariana. Setibanya di pantai, suasana malam begitu memesona. Lampu-lampu temaram menyinari meja-meja yang ditata rapi di sepanjang garis pantai. Meja mereka terletak agak terpencil, memberikan sedikit privasi di tengah keramaian tamu asing lainnya yang juga menikmati malam itu. Live music yang dimainkan oleh band lokal menambah kesan romantis dengan lagu-lagu akustik yang romantis. Nicholas menarik kursi untuk Ariana dan membantunya duduk. "Terima kasih," ucap Ariana lirih, dengan nada suara yang masih terdengar sedih. Nicholas tersenyum tipis, duduk di depannya dan segera memesan makanan mereka. Dia berharap makanan lezat dan suasana romantis ini bisa membantu mengembalikan senyum Ariana. Namun, pikirannya lebih banyak terfokus pada tubuh Ariana, membayangkan momen intim mereka nanti. Saat makana
Setelah yakin bahwa Ariana hilang, Nicholas segera memanfaatkan segala sumber daya yang dimilikinya. Berbicara dengan kepala polisi, memohon bantuan mereka. "My wife is missing. I need your full cooperation to find her," kata Nicholas dengan tegas. (Istriku hilang. Saya butuh kerja sama penuh dari Anda untuk menemukannya) Kepala polisi, memahami urgensi situasi, segera mengerahkan timnya untuk membantu. Mereka memulai pencarian dengan memeriksa hotel-hotel dan bandara, menggunakan jaringan informasi yang ada. Nicholas juga menghubungi konsulat negaranya untuk mendapatkan bantuan tambahan. Konsulat memberikan dukungan dengan memfasilitasi komunikasi antara Nicholas dan pihak berwenang setempat serta menyediakan akses ke sumber daya tambahan. Sementara itu, tim polisi di bandara menemukan nama Ariana Claire dalam daftar penumpang penerbangan pagi ke Turki. Mereka segera menghubungi Nicholas. "Mr. Nicholas, your wife was on a flight to Turki this morning," lapor seorang petug
Sudah seminggu berlalu sejak Ariana menghilang, dan Nicholas masih terjebak dalam kebingungan dan kecemasan. Hari-hari yang berlalu terasa panjang dan melelahkan. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada kebersamaan mereka, dan setiap kenangan yang dulu manis kini menjadi pahit. Nicholas mengurung dirinya di ruang kerja, mencoba fokus pada pekerjaannya meskipun pikirannya selalu melayang ke arah Ariana. Tumpukan dokumen di mejanya tidak mampu mengalihkan rasa sakit di hatinya. Hanya suara detak jam di dinding yang menemani keheningan yang menyelimuti ruangan itu. Matahari sudah terbenam ketika Bibi Helen mengetuk pintu ruang kerjanya, suara ketukan yang ragu-ragu. "Tuan, ini ada surat penting untuk Tuan," katanya dengan nada serius, menyerahkan amplop tebal yang tampak resmi. Nicholas menerima amplop itu dengan perasaan tak menentu. Melihat ekspresi wajah tuannya yang tegang, Bibi Helen segera pamit pergi, takut dengan amarah Nicholas yang mungkin saja terjadi. Akhir-akhir ini
Hari mediasi proses gugatan cerai Ariana telah tiba, August yang datang sendiri mewakili Nicholas, memasuki ruang mediasi di sebuah gedung pengadilan. Ruang mediasi ini dilengkapi dengan meja besar di tengahnya, dengan kursi yang mengelilingi meja untuk para pihak yang terlibat. Ada juga meja untuk mediator, yang duduk di ujung ruangan, siap memfasilitasi diskusi. August, yang mengenakan setelan formal, berjalan sambil membawa berkas-berkas bukti yang telah mereka persiapkan., dan duduk di sisi meja yang telah ditentukan. Di sisi lain meja, Andrian, pengacara Ariana, duduk dengan tenang. Di depannya, terdapat berkas-berkas yang akan dia gunakan untuk mendukung gugatan perceraian kliennya. Kursi yang seharusnya ditempati Ariana kosong, menandakan ketidakhadirannya secara fisik dalam mediasi itu. Mediator, seorang pria paruh baya yang berwibawa dan berpengalaman, memulai pertemuan. "Selamat pagi, semuanya. Nama saya Bambang Dermawan, dan saya akan memfasilitasi mediasi ini. Tujua
“Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian
Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi
Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me
Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R
Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.
Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem
Ariana melangkah keluar dari mobilnya dengan anggun, pandangannya menyapu bangunan megah di hadapannya—rumah Kakek Henry. Meski dia datang sendiri, dia sudah mempersiapkan segalanya. Dia tidak akan gentar.Pak Sam segera menghampiri dan membuka pintu untuknya. Tanpa berkata-kata, dia mengantar Ariana ke ruangan pribadi Kakek Henry. Di balik meja kayu besar, duduklah Kakek Henry, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.“Kudengar kalian sudah memiliki dua anak,” kata kakek Henry memulai percakapan dengan nada yang tak ramah.Ariana tetap tenang, “Benar, Kakek. Mungkin suatu hari nanti, Kakek ingin bertemu dengan mereka?” tawarnya dengan senyum tipis. “Mereka akan senang bertemu kakek buyutnya.”Henry mengangkat alisnya, dan mendengus pelan. “Apakah Nicholas tahu kedatanganmu ke sini?”"Tidak," jawab Ariana, "tapi dia mungkin akan segera tahu."Henry menyipitkan matanya, lalu dengan tajam bertanya, "apakah kau datang untuk membujukku berbaikan dengan berandalan itu?"Ariana
Keesokan paginya Ariana melangkah keluar dari lobi hotel dengan langkah cepat, Boo dan Bee tertidur lelap di stroller. Setelah malam yang panjang di hotel, pikirannya sudah mulai tenang. Pagi ini, dia baru saja menghubungi agen properti untuk melihat sebuah apartemen yang terletak di pinggiran kota, tempat yang menurutnya akan cocok untuk mereka bertiga. Dia berjalan menuju parkiran basement dengan rencana yang jelas di benaknya, tetapi ketika memasuki area parkir yang sepi, Ariana terhenti. Di sana, berdiri Nicholas. Sosoknya tampak tegap, mengenakan kemeja gelap yang semakin menunjukkan keseriusan situasinya. Dia berdiri di depan mobilnya, seolah telah menunggu cukup lama. Ariana merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya erat menggenggam dorongan stroller. Dia tidak mengira Nicholas akan menemukannya secepat ini. Tatapan mereka bertemu, dan ada campuran kekhawatiran serta ketegasan di mata Nicholas yang membuat hatinya semakin kacau."Aku tahu, kau marah dan mungkin sangat
“Aku tidak akan menyangkalnya, apa yang kau pikirkan benar,” ucap Nicholas dengan tenang setelah menghela napas. Matanya menatap lurus ke arah Ariana yang berdiri di depannya, terpaku. Ariana membeku sesaat, kedua matanya mengerjap seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Apa?” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh emosi. “Maaf, aku sudah menyimpannya darimu,” lanjut Nicholas, nadanya tetap tenang namun dengan penyesalan di ujung kalimatnya. Ariana menelan ludah, matanya berkilat dengan kemarahan. “Apakah pria bernama Dell Amin itu… ayahku?” tanyanya, meskipun di dalam hati, dia sudah tahu jawabannya. “Ya, dia ayahmu,” jawab Nicholas, suaranya tetap rendah, sebuah pengakuan yang sudah lama dia simpan. Ariana menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat mendengar konfirmasi dari Nicholas. “Dan kakekmu yang membuatku kehilangan keluargaku,” lanjutnya, suaranya pecah oleh kemarahan yang tertahan. “Kau menyembunyikan ini demi keluargamu?” Nicholas mena