Setelah sempat drop untuk kedua kalinya dia hari ini, Hauri benar-benar lemah. Bahkan ia banyak melamun dan diam saja sekalipun Elizabeth menjaganya seperti siang ini. Exel bercerita kalau Hauri sangat murung sejak dia kambuh terakhir kemarin. Hingga Elizabeth berniat mulai menjaga gadis itu."Sayang, Mama bawakan buah blueberry untuk Hauri. Kata Dokter William, buah blueberry ini sangat bagus untuk kesehatanmu, Nak," ujar Elizabeth membuka sebuah kotak makanan berukuran kecil. "Mama beli di mana? Segar-segar sekali seperti baru dipetik," ujar Hauri berbinar-binar. "Tidak tahu Paman James. Tadi Mama yang memintanya membelikan untuk Mama," jawab Elizabeth tersenyum. "Ayo dimakan. Mama kupaskan kulit buah apel dulu ya, Sayang..." Hauri hanya mengangguk patuh, gadis itu menatap Elizabeth dari samping. Dalam benaknya, Hauri terus bertanya-tanya, apakah benar keluarga ini begitu baik dan perhatian padanya hanya karena merasa kasihan saja?Tanpa sengaja Elizabeth menoleh dan menatap Hau
Hari sudah gelap, Exel berjalan sendirian di lorong rumah sakit. Laki-laki itu baru saja kembali dari kantornya malam ini. Setelah sore tadi Mamanya bilang akan pulang pukul tujuh malam, Exel pun tiba saat Mamanya baru saja bertemu dengannya di luar. Ia membawa sebuah buket bunga mawar merah untuk Hauri. Sejak siang, Exel tidak sabar ingin segera bertemu dengan gadis itu. Exel membuka pintu kamar rawat inap Hauri perlahan-lahan, di sana Hauri tampak langsung menatapnya. "Exel..," sapanya lirih. "Hai, Sayang. Selamat malam," balas Exel, ia tersenyum manis pada gadis itu. "Aku membelikan buket bunga untukmu. Kau bilang kau ingin bunga mawar," ujarnya. "Heem, terima kasih," ucap Hauri lirih. "Sama-sama." Exel mengecup pipi Hauri. Hauri menatap senang buket bunga yang Exel bawakan untuknya. Ia menghidu aroma wangi mawar merah itu dan menoleh pada Exel yang sedang melepaskan tuxedo hitamnya. "Exel, berapa lama lagi aku akan dirawat di sini?" tanya Hauri. "Aku sangat bosan. Aku tid
Exel menemui Dokter William pagi ini. Pada dokter itu ia menyampaikan kalau Hauri ingin segera pulang. Dokter William pun segera mengecek kondisi Hauri. Gadis itu benar-benar ingin terlihat kuat dan baik-baik saja pada dirinya. "Nona Hauri yakin ingin segera pulang? Pasalnya tiga hari lagi harus ke sini lagi untuk kembali terapi," ujar dokter menatap Hauri lekat-lekat. "Iya dok, saya ingin pulang," putus Hauri dengan sangat yakin. "Baiklah kalau begitu. Tidak papa pulang hari ini, tapi tolong dijaga kesehatan dan jam istirahat yang cukup, ya," ujar Dokter William. "Pasti, dok." Hauri merasa senang setelah dirinya mendapat izin pulang dari dokter. Hauri sudah teramat jenuh berada di tempat itu, ia ingin segera pulang hari ini. Dokter William memanggil suster untuk mengurus kepulangan Hauri hari ini. Sementara Exel merapikan barang-barang milik Hauri. "Kita akan pulang dengan Paman James," ujar Exel pada Hauri. "Heem. Sesampainya di rumah, aku ingin duduk bersama Mama," ujar Ha
Perkataan Pauline tadi sungguh mengusik benak Hauri kalau Exel benar-benar ingin mengajaknya menikah. Sungguh, Hauri memikirkan apakah laki-laki itu tidak menyesal nantinya? Bagaimana bila hal yang tidak-tidak terjadi? Memikirkan hal itu, Hauri tidak sadar ia melamun duduk di depan jendela kamar Exel sambil menyelimuti pundaknya dengan sebuah selendang dari kain flanel. "Sayang..." Suara Exel bersamaan dengan pintu terbuka, laki-laki itu menatap ke arah Hauri yang kini tampak terkejut dengan kedatangannya. Hauri tersenyum begitu hangat. "Hai," sapanya lembut. "Ada apa? Bukannya kau pergi ke kantor, ya?"Exel berjalan mendekat, laki-laki itu menekuk kedua lututnya di hadapan Hauri. Manik mata cokelat milik Exel menelisik wajah ayu Hauri yang tampak pucat. "Aku hanya meeting saja. Itu pun sudah selesai," jawabnya. "Aku ingin cepat pulang saja, rasanya ... apa mungkin karena aku selalu merindukanmu, Sayang?" Mendengar hal itu, Hauri memukul pelan lengan Exel dan terkekeh. Exel me
Hauri terlelap dalam pelukan Exel pagi ini. Dengan cahaya matahari yang hangat menyinarinya begitu sempurna, tampak Hauri terlihat sangat nyaman dan menikmati. Gadis ini selalu menggigil di saat-saat tertentu, hingga Elizabeth berpesan pada Exel untuk berangkat ke kantor lebih Awal, menyelesaikan meeting pagi, lalu pulang untuk mengajak Hauri menghangatkan badannya di bawah sinar matahari. "Apa dia tidak kepanasan?" gumam Exel lirih. Ia mengusap pipi Hauri yang terasa hangat. Namun dia terlihat begitu nyaman bahkan tidak merasa kepanasan. "Sayang, apa sudah cukup hangat?" tanya Exel berbisik. Hauri mengeratkan pelukannya dan menarik napasnya panjang. "Sudah, tapi aku tidak bisa membuka mataku. Aku sangat mengantuk sekali, Exel," bisik Hauri lirih. "Tutup saja matamu. Aku akan menggendongmu ke rumah," ujar Exel. Laki-laki itu tanpa berkomentar ini dan itu. Exel langsung mengangkat tubuh kecil Hauri dan membawanya masuk ke dalam rumah. Exel juga tampak biasa dan ia tidak pernah
Sesampainya di kantor, semua orang terkejut melihat kedatangan Exel saat ini bersama seorang gadis yang tak lain adalah calon istrinya. Hauri langsung turun dari dalam mobil, gadis itu menatap sekitar di mana semua karyawan di kantor menatapnya dengan tatapan ramah. "Selamat siang, Pak ... selamat siang, Nona Hauri," sapa salah satu karyawan yang datang menyambut mereka. "Selamat siang," balas Hauri dengan ramah. Exel langsung dihampiri oleh Lafenia yang baru saja keluar dari dalam sebuah ruangan. "Pak Exel..." Lafenia mendekat membawa sebuah map berkas. Exel menoleh dan melihat gadis itu menghampirinya. "Di mana Tuan Gamaliel?" tanya Exel. "Ada di dalam ruangan tamu. Saya sudah meminta orang-orang menyiapkan beberapa minuman untuk tamu kita. Pak Gamaliel bersama dengan keponakannya yang seusia Bapak, dia pengusaha sukses juga," ujar Lafenia menjelaskan."Oke. Kita ke sana sekarang," ujar Exel.Saat laki-laki itu hendak berjalan, Exel menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh m
Berada di dalam sebuah ruangan bersama dengan teman Exel, Hauri sangat merasa canggung. Ia bahkan bingung harus apa di sana. Berbeda dengan Heiner, ia memperhatikan Hauri dengan tatapan yang tak biasa dan dipenuhi rasa penasaran. "Hauri," panggil Exel pelan."Ya?" Hauri menoleh cepat. Ia merasa senang bila laki-laki itu mungkin mengajaknya berbincang. Heiner beranjak dari duduknya seketika dan mengambil remote penyejuk ruangan sembari menatapnya. "Sepertinya kau kedinginan, ya? Wajahmu terlihat pucat, dan kau sejak tadi meremas tanganmu," ujar Heiner. "Maaf ya, aku baru menyadari kalau ruangan ini terlalu dingin untukmu." "Ah, ya. Tolong kurangi suhu dinginnya," ujar Hauri. Heiner pun tersenyum tipis, laki-laki itu kembali duduk di sofa dan kali ini lebih dekat dengan Hauri. "Ngomong-ngomong, kau bukan berasal dari Eropa? Wajahmu terlihat berbeda dengan warga Eropa," ujar Heiner. "Iya. Papaku orang Prancis, Mamaku dari Jepang. Tapi aku besar di Prancis dan mengenal Exel di san
Akhirnya Hauri bisa bernapas lega setelah sekian lama. Ia dan Exel bergegas pulang, namun selama sepanjang perjalanan menuju rumah, Hauri hanya diam saja. Hal ini membuat Exel bertanya-tanya. Apakah kekasihnya itu tidak papa?"Kenapa diam saja? Kau ingin membeli sesuatu?" tanya Exel menoleh. "Tidak. Aku hanya ingin cepat sampai di rumah dan segera meminum obat," jawabnya. "Jadwalnya sudah berlalu satu jam." "Oh astaga, Sayang! Aku benar-benar tidak ingat!" seru Exel menepuk keningnya. "Kenapa kau tidak bilang sejak di kantor?" Exel tampak merutuki kesalahannya sendiri karena melupakan hal itu. Hauri hanya tersenyum tipis. "Tidak papa. Kau kan juga sibuk, Lafenia juga terus menahanmu pulang, kan?" Meskipun tidak bernada tinggi, tapi terasa sakitnya dari kata-kata yang Hauri lontarkan barusan. Juga ekspresi gadis itu yang sulit untuk Exel tebak, apakah dia senang marah, atau tidak. "Maaf ya, Sayang ... aku yang salah," ujar Exel mengusap pucuk kepala Hauri. "Tidak papa, Exel."
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat