"Tinggalkan Evan! Karena sebentar lagi dia akan rujuk dengan mantan istrinya!" Tubuh Elizabeth tersentak kaget, kedua matanya melebar tak percaya mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh ibu mertuanya. Elizabeth Lawrence, wanita berusia dua puluh tiga tahun itu meremas gaun pesta berwarna biru yang dia pakai. "A-apa maksud Mama mengatakan hal itu?" tanya Elizabeth dengan suara tercekat. "Apa kau tidak sadar? Sejak awal menikah hingga detik ini, Evan tidak pernah mencintaimu!” kata wanita paruh baya yang berpakaian glamor itu. “Karena cinta sejati Evan hanya Clarisa!” Elizabeth terdiam dengan perasaan campur aduk. Ia ingin menyanggah, tapi lidahnya terasa kelu sebab ia tahu ibu mertuanya benar. Suaminya tidak pernah mencintainya. "Kau lihat di sana!” ujar Melodi—ibu mertuanya—ke arah sepasang manusia yang tengah bercengkerama akrab di tengah pesta. “Bukankah mereka tampak sangat serasi? Apa Evan pernah sehangat itu denganmu?” Elizabeth menelan ludah. Kata-kata itu menohok
Keesokan paginya... "Pakaikan baju baru untuk Exel, aku dan Clarisa akan mengajaknya pergi." Suara bariton berat dari Evander terdengar tegas pada Elizabeth yang tengah mendandani Exel pagi ini. Setelah semalaman tidak tidur di rumah, sekalinya pulang Evander kembali bersama Clarisa yang kini tengah menunggu di lantai satu. "Iya. Apa kau akan pulang di sore hari?" tanya Elizabeth sang suami. Sambil memakai tuxedo hitamnya, Evan menjawab, "Ya, agar Clarisa bisa puas bermain dengan Exel seharian." Elizabeth terdiam sejenak, merasa kini hari-harinya menjadi sangat menekan. Selain berkurangnya waktu bersama sang suami, Elizabeth mungkin akan sering kesepian karena Exel juga akan sering menghabiskan waktu dengan Clarisa. "Ma... ini Exel mau ke mana? Kok pakai baju baru?" Mungil suara Exel membuat Elizabeth tersenyum lembut, apalagi anak laki-lakinya itu cemberut menatapnya. "Exel hari ini ikut dengan Papa ya, Sayang. Ingat... tidak boleh nakal, tidak boleh nangis, dan tidak boleh
Pasca pingsan beberapa hari yang lalu, keadaan Elizabeth tidak kunjung membaik. Dia merasa tubuhnya semakin lemah, membuatnya bertanya-tanya apa yang terjadi karena tidak biasanya ia seperti ini. Dengan wajah yang tampak pucat, Elizabeth menopang tubuhnya dengan tangan yang bertumpu pada wastafel karena ingin muntah beberapa menit yang lalu. Namun, tidak ada yang keluar dari mulutnya. Setelah mencuci wajahnya dengan air dingin, gadis itu keluar dari kamar mandi dan mendapati suaminya yang sudah tampak rapi. Elizabeth mendekati Evan yang tengah berdiri bercermin sembari memasang arlojinya. "Evan, apa hari ini kau ada waktu luang?" tanya Elizabeth mendongak menatapnya. "Tidak, hari ini jadwalku sangat padat," jawab Evan dingin seperti biasa. Elizabeth meraih tuxedo hitam milik Evan di tepian ranjang dan menyerahkannya dengan sangat perhatian. "Tadinya aku ingin meminta waktumu sebentar saja untuk menemaniku—" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar dengusan pelan dar
Sesampainya di rumah, Elizabeth berdiam diri di dalam ruangan pribadinya. Berjam-jam dia tenggelam dalam kesedihan yang menyesakkan. "Ternyata kehadiranku sama sekali tak berarti untuk suamiku. Apa ini yang disebut cinta lama adalah pemenang yang sesungguhnya?" ucap Elizabeth lirih dan sedih. Air mata Elizabeth menetes, namun ia menyekanya cepat. Situasi menyedihkan ini membuat Elizabeth merindukan sosok Nenek dan Bibi yang merawatnya, dan mereka kini jauh berada di Vienna. Tak lama setelah itu terdengar suara klakson mobil yang cukup keras. "Dia sudah pulang." Elizabeth membuka gorden dan mengintip ke bawah sana. Rupanya benar, itu suara dari mobil Evan. Dengan perlahan-lahan, Elizabeth beranjak berdiri meninggalkan ruangan itu dan bergegas menemui sang suami di kamarnya. Elizabeth menarik gagang pintu kamar dan melangkah ke dalam, ia melihat Evan yang tengah melepaskan tuxedo hitamnya. "Kau sudah pulang? Tumben sekali sampai larut malam…" kata Elizabeth sambil berjalan ke ar
Hari berganti, tapi kondisi Elizabeth masih belum kunjung membaik. Wanita itu baru saja terbangun dari tidurnya dengan keadaan panik. Elizabeth ketiduran selama dua jam setelah meminum obat, sampai ia lupa menjemput Exel di sekolah. "Ya Tuhan, sudah pukul berapa ini?!" Elizabeth menatap jam dinding di kamarnya. "Astaga! Apa yang sudah aku lakukan? Exel pasti menangis menungguku!" Buru-buru Elizabeth keluar dari dalam kamar. Meskipun tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga, tapi ia tetap memaksakan diri. Langkahnya yang berat dipaksa menuruni anak tangga. Namun, saat Elizabeth belum menapaki lantai satu, pintu rumahnya pun terbuka lebar. Terdengar suara tangisan Exel yang membuat Elizabeth panik seketika. "Elizabeth!" teriakan seorang wanita memanggilnya dengan keras. "Mama..." Elizabeth menatap Mama mertuanya yang datang bersama Clarisa. Wanita itu kini tengah menggendong Exel yang memberontak dalam pelukannya. Sejenak Elizabeth terdiam. Bukankah kemarin Evan berkata kalau
“Apakah Nyonya sudah yakin?” Elizabeth mengangguk pasti. "Aku tidak akan menyesali keputusanku," katanya serius. Wanita itu duduk di teras belakang rumahnya bersama seorang laki-laki tua berambut putih yang meletakkan sebuah berkas. Pengacara Clinton, orang kepercayaan Elizabeth yang dua hari lalu ia hubungi untuk meminta bantuan mengurus berkas penting. "Baiklah, saya harap Nyonya baik-baik saja." Anggukan pelan Elizabeth berikan. "Ya, aku pun berharap seperti itu. Terima kasih sudah membantuku, pengacara Clinton." "Sama-sama Nyonya. Kalau begitu saya permisi." Laki-laki berbalut tuxedo abu-abu itu berdiri dari duduknya, meraih tas kulit yang kini dia bawa pergi. Sedangkan Elizabeth masih duduk di kursi teras menatap sebuah dokumen yang ia usap dengan jemari kurusnya. Kedua mata Elizabeth terpejam merasakan sejuknya semilir angin pagi yang menyapu wajah pucatnya. Ia tidak mau menimbang-nimbang lagi keputusannya, mengingat mungkin usianya juga tidak akan panjang. "Permisi
Elizabeth tertegun, tidak menyangka Evan akan semarah itu dengan permintaan cerai darinya. Bukankah seharusnya Evan senang karena ia bisa rujuk bersama mantan istrinya? Tapi mengapa… Evan justru tidak terima? Elizabeth berusaha menenangkan diri, lalu menatap Evan lekat. "Tapi aku ingin mengakhiri pernikahan ini, Evan." Ekspresi Evan tidak berubah, masih terlihat marah dan tak puas sekalipun berkas perceraian itu telah dirobek kecil-kecil hingga menjadi sampah. Sorot tajam mata hitam Evan tertuju pada Elizabeth yang berdiri teguh di hadapannya. Istrinya tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Apa alasanmu menginginkan perceraian dariku?" Suara rendah Evander terdengar jelas. Elizabeth menggelengkan kepalanya, tak ingin menunjukkan air matanya di hadapan laki-laki ini. "Katakan Elizabeth," seru Evan lebih menekan. "Apakah alasanku bisa membuat hatimu berubah?" Elizabeth bertanya balik padanya. Evan mendengus lalu tawa sumbangnya kembali terdengar. Ia mengusap waj
Di dalam ruangan kerjanya, Evander Collin berdiam diri ditemani sebatang cerutu yang terbakar di antara jarinya. Laki-laki itu menatap lantai marmer mengkilap di ruangan pribadinya yang dipenuhi kertas yang ia robek-robek hancur. Evan merasa gelisah dan emosi memikirkan apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu. "Kenapa…," gumam laki-laki itu dengan ekspresi dingin dan gelap yang tercetak jelas. "Apa sebenarnya yang kau inginkan, Elizabeth…" Evan menyergah napasnya frustrasi. Sejak tadi ia berusaha untuk fokus kembali bekerja, namun isi kepalanya kini dipenuhi oleh Elizabeth. Suara ketukan pintu ruangan membuyarkan lamunan Evan. Nampak Jericho, asistennya yang kini masuk ke dalam ruangannya. "Apa informasi yang kau dapatkan? Katakan semuanya!" perintah Evan tegas. Laki-laki dengan pakaian formal itu menatap lurus pada sang tuan. "Nyonya Elizabeth meminta bantuan Tuan Clinton untuk mengurus surat perceraian, Tuan. Lebih tepatnya saat hari di mana Tuan dan Nyonya bertengkar h
Sesampainya di kantor, semua orang terkejut melihat kedatangan Exel saat ini bersama seorang gadis yang tak lain adalah calon istrinya. Hauri langsung turun dari dalam mobil, gadis itu menatap sekitar di mana semua karyawan di kantor menatapnya dengan tatapan ramah. "Selamat siang, Pak ... selamat siang, Nona Hauri," sapa salah satu karyawan yang datang menyambut mereka. "Selamat siang," balas Hauri dengan ramah. Exel langsung dihampiri oleh Lafenia yang baru saja keluar dari dalam sebuah ruangan. "Pak Exel..." Lafenia mendekat membawa sebuah map berkas. Exel menoleh dan melihat gadis itu menghampirinya. "Di mana Tuan Gamaliel?" tanya Exel. "Ada di dalam ruangan tamu. Saya sudah meminta orang-orang menyiapkan beberapa minuman untuk tamu kita. Pak Gamaliel bersama dengan keponakannya yang seusia Bapak, dia pengusaha sukses juga," ujar Lafenia menjelaskan."Oke. Kita ke sana sekarang," ujar Exel.Saat laki-laki itu hendak berjalan, Exel menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh m
Hauri terlelap dalam pelukan Exel pagi ini. Dengan cahaya matahari yang hangat menyinarinya begitu sempurna, tampak Hauri terlihat sangat nyaman dan menikmati. Gadis ini selalu menggigil di saat-saat tertentu, hingga Elizabeth berpesan pada Exel untuk berangkat ke kantor lebih Awal, menyelesaikan meeting pagi, lalu pulang untuk mengajak Hauri menghangatkan badannya di bawah sinar matahari. "Apa dia tidak kepanasan?" gumam Exel lirih. Ia mengusap pipi Hauri yang terasa hangat. Namun dia terlihat begitu nyaman bahkan tidak merasa kepanasan. "Sayang, apa sudah cukup hangat?" tanya Exel berbisik. Hauri mengeratkan pelukannya dan menarik napasnya panjang. "Sudah, tapi aku tidak bisa membuka mataku. Aku sangat mengantuk sekali, Exel," bisik Hauri lirih. "Tutup saja matamu. Aku akan menggendongmu ke rumah," ujar Exel. Laki-laki itu tanpa berkomentar ini dan itu. Exel langsung mengangkat tubuh kecil Hauri dan membawanya masuk ke dalam rumah. Exel juga tampak biasa dan ia tidak pernah
Perkataan Pauline tadi sungguh mengusik benak Hauri kalau Exel benar-benar ingin mengajaknya menikah. Sungguh, Hauri memikirkan apakah laki-laki itu tidak menyesal nantinya? Bagaimana bila hal yang tidak-tidak terjadi? Memikirkan hal itu, Hauri tidak sadar ia melamun duduk di depan jendela kamar Exel sambil menyelimuti pundaknya dengan sebuah selendang dari kain flanel. "Sayang..." Suara Exel bersamaan dengan pintu terbuka, laki-laki itu menatap ke arah Hauri yang kini tampak terkejut dengan kedatangannya. Hauri tersenyum begitu hangat. "Hai," sapanya lembut. "Ada apa? Bukannya kau pergi ke kantor, ya?"Exel berjalan mendekat, laki-laki itu menekuk kedua lututnya di hadapan Hauri. Manik mata cokelat milik Exel menelisik wajah ayu Hauri yang tampak pucat. "Aku hanya meeting saja. Itu pun sudah selesai," jawabnya. "Aku ingin cepat pulang saja, rasanya ... apa mungkin karena aku selalu merindukanmu, Sayang?" Mendengar hal itu, Hauri memukul pelan lengan Exel dan terkekeh. Exel me
Exel menemui Dokter William pagi ini. Pada dokter itu ia menyampaikan kalau Hauri ingin segera pulang. Dokter William pun segera mengecek kondisi Hauri. Gadis itu benar-benar ingin terlihat kuat dan baik-baik saja pada dirinya. "Nona Hauri yakin ingin segera pulang? Pasalnya tiga hari lagi harus ke sini lagi untuk kembali terapi," ujar dokter menatap Hauri lekat-lekat. "Iya dok, saya ingin pulang," putus Hauri dengan sangat yakin. "Baiklah kalau begitu. Tidak papa pulang hari ini, tapi tolong dijaga kesehatan dan jam istirahat yang cukup, ya," ujar Dokter William. "Pasti, dok." Hauri merasa senang setelah dirinya mendapat izin pulang dari dokter. Hauri sudah teramat jenuh berada di tempat itu, ia ingin segera pulang hari ini. Dokter William memanggil suster untuk mengurus kepulangan Hauri hari ini. Sementara Exel merapikan barang-barang milik Hauri. "Kita akan pulang dengan Paman James," ujar Exel pada Hauri. "Heem. Sesampainya di rumah, aku ingin duduk bersama Mama," ujar Ha
Hari sudah gelap, Exel berjalan sendirian di lorong rumah sakit. Laki-laki itu baru saja kembali dari kantornya malam ini. Setelah sore tadi Mamanya bilang akan pulang pukul tujuh malam, Exel pun tiba saat Mamanya baru saja bertemu dengannya di luar. Ia membawa sebuah buket bunga mawar merah untuk Hauri. Sejak siang, Exel tidak sabar ingin segera bertemu dengan gadis itu. Exel membuka pintu kamar rawat inap Hauri perlahan-lahan, di sana Hauri tampak langsung menatapnya. "Exel..," sapanya lirih. "Hai, Sayang. Selamat malam," balas Exel, ia tersenyum manis pada gadis itu. "Aku membelikan buket bunga untukmu. Kau bilang kau ingin bunga mawar," ujarnya. "Heem, terima kasih," ucap Hauri lirih. "Sama-sama." Exel mengecup pipi Hauri. Hauri menatap senang buket bunga yang Exel bawakan untuknya. Ia menghidu aroma wangi mawar merah itu dan menoleh pada Exel yang sedang melepaskan tuxedo hitamnya. "Exel, berapa lama lagi aku akan dirawat di sini?" tanya Hauri. "Aku sangat bosan. Aku tid
Setelah sempat drop untuk kedua kalinya dia hari ini, Hauri benar-benar lemah. Bahkan ia banyak melamun dan diam saja sekalipun Elizabeth menjaganya seperti siang ini. Exel bercerita kalau Hauri sangat murung sejak dia kambuh terakhir kemarin. Hingga Elizabeth berniat mulai menjaga gadis itu."Sayang, Mama bawakan buah blueberry untuk Hauri. Kata Dokter William, buah blueberry ini sangat bagus untuk kesehatanmu, Nak," ujar Elizabeth membuka sebuah kotak makanan berukuran kecil. "Mama beli di mana? Segar-segar sekali seperti baru dipetik," ujar Hauri berbinar-binar. "Tidak tahu Paman James. Tadi Mama yang memintanya membelikan untuk Mama," jawab Elizabeth tersenyum. "Ayo dimakan. Mama kupaskan kulit buah apel dulu ya, Sayang..." Hauri hanya mengangguk patuh, gadis itu menatap Elizabeth dari samping. Dalam benaknya, Hauri terus bertanya-tanya, apakah benar keluarga ini begitu baik dan perhatian padanya hanya karena merasa kasihan saja?Tanpa sengaja Elizabeth menoleh dan menatap Hau
Hauri terpukul hebat mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Lafenia. Bahkan Hauri membiarkan Lafenia pergi begitu saja beberapa detik yang lalu. Hauri membeku di atas ranjang rumah sakit dengan kehancuran yang ia rasakan saat ini. Satu fakta menyakitkan yang ia dengar membuatnya kehilangan harapan untuk segala hal dalam hidupnya. Isak tangisannya terdengar begitu jelas, gadis itu menutup wajahnya dengan selimut dan berbaring dengan tangisan kuat. "Kenapa? Kenapa mereka tidak mengatakan dari awal padaku ... kenapa?" tangis Hauri dengan pilu. Sakit yang Hauri rasakan di tubuhnya rasanya tidak sebanding dengan sakitnya kenyataan yang ia terima. Dunianya bagai runtuh seketika saat ia tahu, usianya tidak panjang lagi!Pintu kamar inap Hauri tiba-tiba terbuka, seorang suster kaget melihat Hauri menangis di sana dengan begitu ilu dan histeris. "Ya Tuhan! Nona, apa yang terjadi? Nona kenapa?" tanya suster itu terkejut. "Nona...!" Hauri menggeleng-gelengkan kepalanya, ia terbatuk-b
Setelah berjam-jam Hauri sendirian di dalam kamar inapnya. Barulah Exel datang saat jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Namun, kedatangan Exel kali ini membuat Hauri terkejut karena dia mengajak Lafenia untuk ikut bersamanya. Wanita cantik itu membawa keranjang berisi buah-buahan. "Sayang, maaf aku tadi tidak sempat bilang padamu kalau aku akan ke kantor lebih dulu. Aku buru-buru," ujar Exel sembari duduk di samping Hauri. Gadis itu tersenyum manis. "Tidak papa, Exel. Aku berani sendirian..." Pandangan Hauri tertuju pada Lafenia yang kini tersenyum sambil berdiri di belakang Exel. Exel mengikuti arah pandang mata Hauri saat ini. Laki-laki itu menoleh sekilas pada Lafenia. "Oh ya, aku mengajak Lafenia. Dia tadi memang ingin ikut dan sekalian menjengukmu," jawab Exel tersenyum sembari mengusap pipi Hauri. "Iya Hauri. Maaf ya, aku tidak tahu kalau kau sedang tidak enak badan. Jadi ... aku memutuskan untuk menjengukmu." "Terima kasih atas kebaikanmu, Lafenia," uc
Pauline masih menemani Hauri selama dua jam lamanya dan Exel juga belum kembali hingga detik ini. Sesekali Pauline menatap jam dinding, karena beberapa menit lagi ia harus segera pergi ke kampus.Ekspresinya yang cemas membuat Hauri mudah menebaknya. "Pauline, apa kau tidak ke kampus? Ini sudah jam delapan," ujar Hauri. "Ta-tapi nanti Kakak sendirian. Kalau terjadi apa-apa dengan Kakak, bagaimana?" Pauline memasang wajah sedih. "Aku tidak usah masuk saja, Kak. Tapi nanti Kakak jangan bilang-bilang ke Papa dan Mama, ya, nanti Pauline dimarah—""Ekhem...!" Suara deheman keras dari arah sofa membuat dua gadis itu menatap ke arah Arthur. Raut wajah Pauline menjadi amat masan. "Kalau Kak Hauri aku yakin tidak akan mengadu. Tapi si batu karang itu pasti akan mengadu ke Papa! Dia memang manusia paling menyebalkan!" omel Pauline. Hauri tersenyum hangat mengusap punggung Pauline. "Lebih baik Pauline pergi ke kampus sekarang. Kakak tidak papa sendirian di sini. Setelah ini pasti Kak Exel