"Papa, ayo antarkan Exel membeli sesuatu untuk Hauri! Exel mau memberikan dia hadiah yang paling indah!" Suara Exel membujuk rayu Papanya terdengar hingga di ruang makan belakang. Elizabeth yang mendengarnya pun tersenyum, ternyata benar apa yang Evan katakan kalau setelah bertemu Hauri, pasti ada saja yang Exel minta. "Papa, dengar tidak Exel minta apa? Boleh tidak? Kalau tidak boleh Exel bisa nekat tahu!" seru anak itu berdiri dengan raut wajah sedih. "Nekat bagaimana, Tuan Kecil?" tanya Jericho menggodanya. "Jangan bilang mau kabur?" "Exel kan sudah tahu jalan-jalan di Paris. Biar saja, kalau tidak boleh Exel mau pergi sendiri!" protes anak laki-laki itu. "Mau pergi ke mana memangnya, Sayang?" Suara Elizabeth membuat anak itu menoleh dan Exel langsung berbinar-binar saat Mamanya muncul. Exel membawa sebuah kotak kecil pemberian Hauri dan menunjukkan pada Mamanya. "Mama lihat ini, Hauri memberikan hadiah buat Exel. Lihat ini, Ma ... gelang jam berwarna biru tua, bagus sekal
Seorang wanita dengan balutan pakaian hangat, mantel berwarna merah marun kini baru saja keluar dari dalam sebuah toko boneka. Clarisa memeluk sebuah boneka koala berukuran besar. Dia tersenyum-senyum sendiri menatap boneka itu. "Apa dia pikir hanya Elizabeth yang bisa membelikan Exel boneka seperti ini? Aku juga bisa!" seru wanita itu tertawa senang, meskipun kedua matanya sembab setelah dia menangis dan mengamuk karena merindukan Exel. Clarisa berjalan kaki menuju ke rumah Evan. Dari pusat kota, hanya beberapa menit saja dia bisa sampai ke rumah Evan yang memang berada di perumahan kawasan Elit. Sepanjang perjalanan, Clarisa terus menerus tertawa dan berbicara sendiri. "Exel nanti akan datang memelukku dan berterima kasih padaku karena aku telah memberiku boneka ini padanya. Lalu ... Lalu dia akan berteriak untuk ikut denganku!" serunya sebelum wanita itu tertawa puas. Clarisa merapatkan mantelnya dan ia tertunduk, dari ia yang tertawa tiba-tiba berubah menjadi sedih. "Exel-k
"Wanita asing itu datang lagi, Tuan. Tapi Hauri datang lebih dulu, sepertinya orang itu marah pada Hauri dan mendorongnya sampai jatuh." Jericho menunjukkan rekaman CCTV pada Evan. Dan lagi-lagi wanita asing itu menggunakan penutup wajahnya hingga tidak diketahui siapa dia. "Beraninya dia mendorong temanku!" seru Exel cemberut. "Tenang Tuan Kecil, Hauri tidak papa," ujar Jericho tersenyum menatap Exel. “Panik sekali…” “Tentu saja! Dia itu teman sekaligus pacarnya Exel, Paman!” protes Exel yang membuat Jericho terkikik geli. Tapi lain dengan Evan, laki-laki itu mendengus pelan, dia beranjak dari duduknya. "Mungkin aku akan bertanya pada Hauri," ujar Evan. "Exel ikut, Pa!" "Tidak usah, di rumah saja dengan Paman Jericho," jawab Evan. "Ihh Papa, Hauri itu temannya Exel. Sekarang Exel sangat khawatir dan—""Diam di rumah atau Papa akan kembali memarahi Hauri seperti dulu!" seru Evan pada putranya itu. Barulah Exel terdiam, dia sangat kesal dengan Papanya. Mau tidak mau, anak itu
"Ma, bagaimana temanku? Hauri tidak papa, kan?" Exel mengekori Elizabeth yang baru saja masuk ke dalam rumah. Wanita itu tersenyum tipis menatap ekspresi Exel yang begitu sedih dan cemas. Elizabeth menekuk kedua lututnya di hadapan sang putra dan ia mengusap lembut pipi Exel. "Hauri tidak papa, Sayang. Jangan khawatir," jawab Elizabeth. "Dia menangis tidak, Ma?" tanya anak itu lagi. "Menangis. Karena Hauri sudah menunggu lama, terus Exel tidak kunjung datang," ujar Elizabeth menjelaskan. "Heemmm ... tahu begitu aku tadi tidak ikut ke rumah Oma. Kasihan Hauri, pasti sedih..." Exel mencebikkan bibirnya dan anak itu begitu sedih. Elizabeth terus memperhatikan putra kecilnya, sebelum wanita itu teringat kalau Hauri menitipkan sesuatu padanya untuk diberikan pada Exel. "Oh ya Sayang, ini ... Hauri menitipkan ini pada Mama untuk diberikan pada Exel." Elizabeth menyerahkan sebuah kertas berwarna merah muda. "Hemm?" Exel menerima surat itu. "Sudah, jangan menangis lagi. Mama ke kam
Elizabeth baru saja menata hidangan untuk makan malam, wanita itu kini berjalan ke lantai dua bersiap membangunkan anak-anaknya. "Sayang, ayo bangun, Nak ... Mama siapkan air hangat untuk man—"Ucapan Elizabeth terhenti saat ia membuka pintu kamar Pauline dan anaknya tidak ada. "Loh, bukannya tadi Pauline masih tidur?" gumam lirih Elizabeth. Segera wanita itu bergegas menuju kamar Exel, dan Elizabeth membuka pintu kamar putranya, namun Exel juga tidak ada. "Ke mana mereka?!" Elizabeth buru-buru kembali turun ke lantai satu. Wanita itu berlari kecil menuruni anak tangga dan mencari anaknya di lantai satu. Elizabeth melangkah cepat ke arah ruangan kerja suaminya, siapa tahu putra dan putrinya ada di sana bersama Evan. "Sayang...!" Elizabeth membuka pintu dengan kedua matanya melebar tiba-tiba. Anaknya tidak ada!"Ada apa, Eli?" tanya Evan beranjak dari duduknya. "Anak-anak di mana?" tanya Elizabeth dengan wajah paniknya. "Loh, bukannya tadi denganmu? Aku sejak tadi di sini," j
Clarisa yang tak sengaja berjalan hendak menunju rumah Evan, namun wanita itu justru melihat Exel berada di taman saat ini. Seperti kesempatan emas baginya yang berniat mengajak Exel untuk ikut pergi bersamanya. Namun, rasa marah merasukinya saat dia melihat ada dua anak perempuan bersama Exel saat ini. Bahkan, Clarisa kini seperti tak lagi mengenali Pauline. Karena di dalam otaknya hanya ada Exel!"Exel ... anakku," lirihnya. Senyuman terukir di bibir Clarisa. "Aku tidak perlu datang dan menunggu lagi di depan gerbang rumah laki-laki sialan itu! Anakku sudah menungguku di sana!" Saking senangnya, Clarisa sampai lompat-lompat kesenangan di tepi jalan dan wanita itu menepuk-nepuk pipinya tertawa-tawa senang. Namun, saat Clarisa hendak mendekat, wanita itu wajahnya menjadi sangat marah dalam hitungan detik. Dia melihat Exel memeluk Pauline dan menggendongnya. Lalu berlari-lari bersama teman perempuannya hingga Exel tak jatuh di tengah salju karena tak sengaja Hauri mendorongnya.
Clarisa terkejut dengan adanya Evan di sana. Wanita itu mundur perlahan-lahan dan memegangi kepalanya. Dia melihat Exel tertampar oleh tangannya sendiri. Dan wanita itu menangis dan menatapi kedua tangannya. "Apa? Apa yang sudah aku lakukan? Exel-ku ..."Clarisa hendak mendekati Exel, namun Evan langsung menghadangnya cepat dan ia menepis tangan Clarisa. "Apa kau gila, hah?! Apa yang kau lakukan?!" teriak Evan murka. "Aku sudah memperhatikan padamu untuk tidak lagi muncul di hadapanku, tapi kenapa kau menunjukkan wajahmu lagi, hah?!" Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya, menjambak rambutnya sendiri sebelum dia tertawa keras-keras. Hal ini membuat Evan dan Elizabeth terkejut. Elizabeth yang kini mendekati Exel dan Hauri. Ia memeluk kedua anak itu. Setelah Pauline bertemu dengannya di depan taman, putri kecilnya itu melapor kalau ada Clarisa yang tengah memarahi Exel dan Hauri di dalam taman. "Exel, Sayang..." Elizabeth memeluknya erat. "Tante, Exel dipukul. Maafkan Hauri,"
Pagi ini, Exel bangun dari tidurnya. Anak laki-laki itu mengingat semalam ia tidur berdua dengan Papanya karena Exel ingin bertanya-tanya. Tapi ternyata, ia malah tertidur lebih dulu. Dan Exel pun memutuskan untuk keluar dari dalam kamar sembari memegangi kepalanya yang pusing. Exel menatap ke lantai satu di mana Mamanya tengah menyiapkan sarapan, sedangkan adiknya yang tengah tiduran sambil menonton tayangan kartun kesukaannya. "Hemm?" Kening Exel mengerut saat ia melihat Jericho masuk ke dalam rumah buru-buru. "Paman Jericho," lirih Exel memegangi dinding dan tertunduk. 'Kemarin Paman Jericho yang membawa Mama Clarisa pergi, mungkin aku harus bertanya padanya bagaimana kondisi Mama sekarang,' batin Exel. Seketika anak itu berjalan cepat turun dari atas anak tangga. Exel berlari ke ruangan kerja Papanya. Baru saja ia hendak membuka gagang pintu, di sana Exel mendengar obrolan Papanya dan ajudannya. "Clarisa mengalami masalah mental yang serius, Tuan. Saya sudah membawanya ke
Exel menatap lekat pada Arthur yang masih berada di sana menjemput Pauline.Tapi seperti biasa, adik kesayangan Exel itu selalu saja ada-ada saja tingkahnya. Usia hampir dua puluh tahun, tapi dia masih seperti anak kecil yang labil. "Kau pulang saja sendiri, aku masih mau di sini! Untuk apa kau menjemputku kalau kau akan pergi lagi?!" sinis Pauline menatap Arthur. Exel terdiam melirik adiknya yang duduk bersama istrinya. "Lalu maumu bagaimana, Pauline?" "Dia tidak boleh pergi." Pauline menjawab dengan mudahnya. "Arthur harus tetap menjadi pengawalku." Arthur memasang wajah datarnya menatap Pauline. "Saya akan memulai bisnis keluarga saya di luar kota, Nona." "Padahal kau dulu janji tidak akan meninggalkan aku, bahkan kau akan menjadi satu-satunya temanku. Tapi ... ternyata ucapanmu itu hanya omong kosong." Exel dan Hauri saling tatap dengan ekspresi bingung. Mereka tidak mengerti jalan pikir Pauline seperti apa. "Lebih baik sekarang kau pulang, minta pada Papa untuk mempekerj
Sampai malam tiba, Pauline tetap berada di kediaman Exel. Gadis cantik itu tampak bersama Hauri di kamar lantai dua. Mereka asik menonton drama romantis kesukaan mereka, dan Exel yang paling senang jahil, tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjang di samping Hauri. "Sayang, kau sudah makan?" tanya Exel berbisik sembari mengecup pipi Hauri dengan gemas. "Sudah," jawab gadis cantik itu. "Kau sendiri, sudah makan malam?" "Hm," gumaman menjadi jawaban dari Exel. Dari arah samping Hauri, tiba-tiba Pauline menengok Kakak dan Kakak iparnya tersenyum. "Kakak, tadi Papa tidak bilang ingin menjemputku, kan?" tanya Pauline dengan kedua mata indahnya yang mengerjap. "Tidak, Pauline. Tapi jangan lama-lama di sini," ujar Exel menyindir sang adik, hal ini membuatnya terkekeh. Pauline lantas terdiam. Ia menoleh pada sang Kakak kembali dengan tatapan sedih. "Aku harus pulang sekarang, ya, Kak?" cicitnya. "Tidak, Pauline..." Saat itu juga Hauri langsung merang
Exel mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Setelah sang adik datang sambil menangis, membuat Exel tidak tega. Kedatangannya disambut seperti biasa oleh Mama dan Papanya, mungkin mereka tahu kalau Exel datang akan memprotes mereka."Adikmu di sana?" tanya Evan saat Exel baru saja duduk. Exel menatap Papanya dan berdecak pelan. "Papa apa-apaan, menjodohkan Pauline dengan seenaknya seperti ini? Pauline masih kuliah, Pa." "Exel—""Pa, Ma, Pauline itu masih seperti anak kecil. Papa tahu sendiri kan, segala sesuatunya selalu membutuhkan orang lain! Dan satu-satunya orang yang sabar dan selalu membantunya adalah Arthur!" tegas Exel pada sang Papa. "Papamu memang tidak pernah bisa mengerti anak-anaknya," sahut Elizabeth dengan wajah kesal pada sang suami. Mendengar hal itu, Evan langsung menoleh menatap sang istri. Laki-laki itu menutup laptop yang ia pangku dan mengembuskan napasnya panjang menatap Elizabeth dan Exel bergantian. "Dengarkan aku, Sayang ... dengarkan Papa, Exel ... Pap
"Enghh ...."Suara lenguhan pelan itu terdengar dari bibir Hauri. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan-lahan. Hauri mengembuskan napasnya panjang saat merasakan sekujur tubuhnya terasa lelah dan remuk. Bahkan untuk bergerak sesenti pun, Hauri merasa nyeri pada inti tubuhnya. Hauri menatap ruang samping ranjangnya yang kosong, sepertinya Exel sudah bangun. "Jam berapa ini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri membalikkan badannya dan menatap ke arah dinding, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, namun ia sangat malas untuk beranjak. Hauri bahkan tidak ingat, kapan ia memakai dirinya memakai piyamanya lagi. Gadis cantik itu pun masih terdiam menatap langit-langit kamarnya. Kedua pipi Hauri merona tiba-tiba saat ia mengingat kejadian semalam. Hauri menyerahkan apa yang telah ia jaga kehormatan yang selama ini ia jaga pada laki-laki yang sangat ia cintai. Dan ia mengingat jelas bagaimana semalam mereka melakukannya dengan sangat bergairah dan...."Ya ampun, apa yang aku pikirkan!"
Cuaca sangat dingin malam ini, Hauri tampak sibuk merangkai kalung mutiara miliknya yang putus sore tadi. Kini, gadis itu tampak sangat fokus merangkainya satu persatu. Hingga Exel yang baru saja masuk ke dalam kamar, tampak memperhatikannya dengan kedua mata mengerjap. "Sayang, kau sedang apa? Ini sudah jam sebelas, Hau," tanya Exel, ia berjalan ke arah ranjang dan mendekati istrinya. Hauri menunjukkan beberapa butir mutiara yang ia simpan di dalam sebuah mangkuk kecil. "Kalungnya tadi putus karena bajuku, lalu semua mutiaranya berceceran di lantai, tapi aku sudah memungut semuanya. Semoga tidak ada yang tertinggal atau jatuh di bawah ranjang," ujarnya dengan wajah sedih. "Sayang ... sudah, sudah, taruh saja. Besok aku belikan lagi," ujar Exel mengambil mangkuk mutiara di hadapan Hauri. Namun, gadis itu menatapnya dengan tatapan lekat. "Jangan Sayang, aku belum selesai. Tidak papa, aku akan menyelesaikannya. Sayang kalau tidak dirangkai lagi," seru gadis itu. Exel mengalah. L
Keesokan harinya, Exel menemani Hauri untuk kembali berobat. Bahkan setelah kemarin Hauri merasa lemas dan kelelahan hingga membuat Exel merasa sangat cemas. Sudah lima jam lamanya Hauri menjalani pengobatan dan Exel menunggu dengan sabar, ia juga terus menerus tanpa henti berdoa yang terbaik untuk istrinya. Hingga tiba-tiba sebuah pintu kaca terbuka di depan sana, Dokter William menatapnya sambil tersenyum, seolah ada sesuatu yang melegakan akan dia sampaikan. "Tuan Exel, mari," ajaknya tiba-tibaExel segera ikut bersama dengan Dokter William masuk ke dalam sebuah ruangan. Laki-laki berjubah putih itu segera duduk di hadapan Exel dengan wajah lega. "Dokter, bagaimana perkembangan kondisi istri saya?" tanya Exel. Dokter William tersenyum. "Kondisi Hauri jauh sangat-sangat membalik, meningkatkan beberapa persen lebih baik. Saya juga tidak terbayangkan, bisa secepat ini. Mungkin karena Hauri rajin mengonsumsi obat dan mengatur pola pikirnya. Tetapi ... saya merasa sangat-sangat ba
Diberi libur satu minggu, Exel ingin hari-hari itu diisi oleh menyenangkan hati Hauri. Mulai dari mengajaknya makan bersama, hingga pergi ke jalan-jalan. Seperti saat ini, Exel mengajak Hauri pergi ke sebuah rumah makan Jepang yang mewah yang ada di tengah kota. Hauri tampak sangat antusias begitu Exel mengajaknya memilih tempat duduk yang pas. "Aku baru tahu di sini ada restoran Jepang," ujar gadis itu tersenyum manis. "Hmm ... kau mau memesan makanan apa, Sayang?" tanya Exel menoleh dan menatapnya. "Apa saja, semua makanan Jepang aku suka," jawab gadis itu. "Tapi kalau ada, aku mau ramen. Emmm kuenya—""Dango!" jawab mereka bersamaan. Saat itu juga Exel terkekeh, laki-laki itu langsung mengusap pucuk kepala Hauri dengan gemasnya. Kedua pipi Hauri langsung bersemu. Gadis itu menepuk-nepuk lembut kedua telapak tangannya sambil tak sabaran menunggu pesanan makanannya datang. Hingga tak lama kemudian, makanan yang Hauri tunggu-tunggu pun telah tiba. Semangkuk ramen dan juga kue
Karena pembantu belum datang ke kediaman baru Exel, tampak laki-laki sibuk di dapur sejak tadi. Bahkan Exel juga tidak membangunkan istrinya yang tidur sejak siang, karena Exel tahu kalau istrinya pasti sangat kelelahan. Aroma masakan yang sedikit gosong, dan suara kekacauan di dapur pun membuat Hauri terbangun. Gadis itu segera keluar dari dalam kamar. "Ya ampun, aroma apa ini? Kenapa gosong begini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri menuruni anak tangga, ia menengok dari selasar lantai dua ke bawah sana. Hauri melihat Exel yang berada di dapur sendirian dengan semua barang-barang yang terlihat sangat berantakan. "Ya ampun, Exel..." Hauri menutup mulutnya kaget. Buru-buru gadis itu berjalan turun ke lantai satu dan melangkahkan kakinya mendekati Exel. Dari piring, mangkuk, hingga wadah lainnya menumpuk di dapur. Bahkan ada beberapa makanan yang tampak dibuang karena gosong dan tidak layak makan. "Y-ya ampun, Sayang..." Hauri menutup mulutnya menyaksikan kekacauan ini. Tetapi, g
Setelah menikah, Exel sudah jauh-jauh hari menyiapkan rumah untuknya dan juga Hauri. Rumah yang akan mereka tempati berdua, atau mungkin bersama anaknya suatu saat nanti. Rumah mewah berlantai dua, bernuansa putih bersih. Serta taman tang yang sangat indah, juga luas. Hauri tak berhenti terkagum-kagum menatap bangunan megah di hadapannya saat ini. "Wahh ... Sayang, kau membuat rumah kaca?" tanya Hauri menunjuk ke arah sebuah rumah kaca yang berada di tengah taman. "Heem, bagaimana? Apa kau suka?" tanya laki-laki itu. "Iya. Ayo kita ke sana," ajaknya dengan penuh semangat. Hauri menarik lengan Exel, tapi laki-laki itu tidak bergerak sedikitpun. Justru Hauri yang langsung menoleh ke belakang menatapnya. Sorot mata Exel tampak sayu. Ia malah menarik balik lengan Hauri hingga gadis itu mendekatinya. "Istirahat dulu, Sayang. Jangan sampai kau kelelahan setelah acara kemarin," ujar Exel mengusap punggung tangan Hauri. Gadis itu terdiam sesaat, Hauri menatap lagi pada rumah kaca yan