Beberapa hari kemudian, waktu yang ditunggu oleh Pauline dan Exel telah datang, yaitu hari libur. Di mana Mama dan Papanya akan mengajak dua anak itu pergi jalan-jalan ke sebuah game zone setelah mereka pergi ke sebuah restoran untuk makan siang. "Kalian main di sini saja, Paman James akan menjaga kalian. Mama dan Papa mau berbelanja dulu ya, Sayang..." Elizabeth menatap dua buah hatinya yang kini terlihat tak sabaran ingin segera bermain. "Iya Mama." Pauline mengacungkan jempolnya. "Jaga adik baik-baik, Sayang," ucap Evan sembari mengusap pucuk kepala Exel. "Iya Pa, tidak usah dinasehati juga Exel tahu. Kan Exel, Kakak yang sudah dewasa," jawab anak itu dengan sangat percaya diri. Elizabeth tersenyum mendengar jawaban putranya. Berbeda dengan Evan yang tertawa pelan dan tambah mengusap gemas pucuk kepala Exel. "Ya sudah, sana main," ujar Evan pada dua anaknya tersebut. Dengan ekspresi wajah yang ceria dan senang, Pauline pun langsung menarik lengan sang Kakak dan mengajaknya
Usai mengikuti Tania sejak siang hingga sore, Elizabeth dan Evan pun kini memutuskan untuk pulang ke rumah. Elizabeth berjalan masuk ke dalam kamar, wanita itu meletakkan tas miliknya dan melirik sebuah kalender di atas meja. 'Besok masih tanggal merah, dan aku mengizinkan Tania untuk libur dua hari ... kenapa hari terasa semakin lama saat aku mulai penasaran dengan sesuatu,' batin Elizabeth kacau. Pintu kamar pun kembali terbuka, muncul Evan yang berjalan masuk ke dalam kamar tersebut. Laki-laki itu memperhatikan Elizabeth yang terlihat sedikit murung. Evan tidak menyukai Elizabeth yang memasang wajah sedih seperti ini. "Sayang, kau tidak papa?" tanya Evan sembari melepaskan mantel hangatnya. Istri cantiknya itu hanya melirik sebentar sebelum kembali menatap ke arah luar. "Evan, aku ... aku sekarang merasa sangat menyesal," ujar Elizabeth tertunduk dan meremas jemari kedua tangannya. Kedua alis tebal laki-laki itu mengerut. Evan menarik kursi di depan meja rias dan meletakkan
Elizabeth dan Evan mengajak dua anak mereka untuk datang ke sebuah restoran berbintang milik keluarga Winston.Mereka berdua sudah melihat ada Daniel di dalam sana yang sepertinya baru saja datang. Dan Pauline, anak itu terlihat kaget melihat ada Daniel di sana. Dia menatap Daniel dengan kedua pupil matanya yang lebar. "Om Baik-ku!" teriak Pauline keras-keras. Mendengar suara keras dan mungil milik Pauline, sontak, pemilik nama itu langsung menoleh dengan cepat. Dapat terlihat perubahan ekspresi Daniel begitu cepat saat Pauline berlari ke arahnya. Daniel pun langsung menangkap dan menggendong Pauline, memeluknya dengan sangat erat. "Ya ampun, Nak ... Papa rindu padamu," ujar Daniel mengecupi pucuk kepala Pauline. Evan dan Elizabeth pun ikut tersenyum melihat kedekatan mereka. "Dia terus mencarimu," ujar Evan terkekeh sembari menjabat tangan Daniel. "Hehh, kalian saja yang tidak mau menghubungiku! Aku kan juga kangen dengan Princess Kecilku ini," ujar Daniel menatap wajah Pauli
Daniel bersungguh-sungguh menghubungi Gladys untuk datang malam itu juga di restoran tempat ia berada bersama Evan dan Elizabeth. Wanita cantik berambut lurus sepunggung itu, terlihat kaget, dengan ekspresi bertanya-tanya untuk apa dia diundang datang ke sana. "Oh, rupanya ada Elize juga di sini," sapa Gladys saat dia baru saja tiba. Elizabeth tersenyum. "Iya Glad, lama tidak bertemu..." "Heem. Sangat lama sekali, Elize ... jadi rindu suasana kita ngobrol bersama, ya," jawab wanita itu sembari duduk di samping Daniel. Mereka pun menunggu Gladys melepaskan mantelnya terlebih dahulu. Sebelum akhirnya kini Daniel menatap sepupunya tersebut, yang nampak kebingungan dengan undangan kedatangannya di tempat itu. "Glad, ada sesuatu yang ingin kami tanyakan padamu," ujar Daniel pada sepupunya tersebut. "Ada apa, Niel? Se-sesuatu apa?" tanya Gladys nampak sangat bingung. Elizabeth mengembuskan napasnya pelan saat Gladys menoleh padanya. "Siang tadi kami tidak sengaja melihatmu bertemu
Benar apa yang Evan katakan, Tania tidak kembali hingga dua hari ini. Bahkan nomor teleponnya pun juga tidak bisa lagi dihubungi. Entah pergi ke mana wanita itu!Di kediaman Evan, siang ini sedang ada beberapa orang yang sengaja dia datangkan secara khusus. Laki-laki itu juga meminta beberapa orangnya dari Prancis untuk datang. Evan tidak ingin, ada hal menyakitkan yang tiba-tiba terjadi, ia harus berjaga-jaga dan melindungi keluarganya. Sedangkan Elizabeth, wanita itu kini bersama dua anaknya dan ditemani oleh James di teras belakang, karena Pauline rewel saat di rumahnya ada banyak orang. "Dia bahkan tidak membawa pakaian dan barang-barangnya, Nyonya. Semuanya masih ada dan tertinggal di paviliun," ujar James pada Elizabeth yang kini menggendong Pauline. "Apa saja barang-barang yang ada di sana, James?" tanya Elizabeth. "Selain pakaiannya?" "Entahlah Nyonya, mungkin kemarin dia sudah membawa beberapa pakaiannya," ujar James. Elizabeth mendengus pelan. "Wanita itu ... Clarisa,"
Bersama dengan ajudan setianya, malam ini Evan mendatangi apartemen yang ditempati oleh Tania. Nampak Jericho yang kini berdiri menunggunya bersama dengan seorang laki-laki di sampingnya. Mereka menyambut Evan yang kini baru saja tiba. "Tuan..." "Bagaimana?" tanya Evan menatapnya. "Apa dia masih ada di sini?" tanya Evan menatap Jericho. "Entahlah, Tuan. Saya belum masuk ke dalam, hanya saja ... saya sudah mendapatkan izin masuk ke dalam tempat ini dengan Tuan Sendy," ujar Jericho menunjuk laki-laki di sampingnya. Evan mengangguk. "Baiklah, ayo kita cari ke dalam," ajak Evan. "Baik Tuan." Saat itu juga mereka berempat masuk ke dalam apartemen megah tersebut. Setiap langkah kakinya, Evan hanya berharap semoga Tania masih ada di sana dan wanita itu tidak akan bisa kabur lagi darinya. "Ada di lantai lima," ucap Jericho masuk ke dalam lift. "Apa dia tetangga apartemen Anda, Tuan?" tanya Evan pada Sendy. "Iya Tuan. Tapi karena saya sibuk, jadi saya kurang memperhatikannya ... han
Sampai jam menunjukkan pukul dua dini hari lebih, baru Evan sampai di rumahnya malam ini. Laki-laki itu melepaskan mantel hangat yang dia pakai dan berjalan masuk ke dalam rumahnya setelah ia menyapa beberapa orang-orangnya yang berjaga di luar. Begitu Evan kembali menutup pintu, laki-laki itu nampak terkejut melihat istrinya yang masih terjaga. Elizabeth masih berdiri di ujung pertengahan anak tangga. "Eli, kenapa tidak tidur, Sayang?" tanya Evan berjalan cepat ke arahnya. "Aku tidak bisa tidur. Aku terus kepikiran dirimu," jawab Elizabeth memeluk Evan saat suaminya mendekat. Evan pun membalas pelukan Elizabeth, ia mengusap punggung kecil istrinya dan memberikan sebuah kecupan di pucuk kepala Elizabeth dengan penuh kasih sayang. "Aku tidak papa, Sayang..." Evan tersenyum padanya dengan sangat lembut. "Ayo, kita istirahat sekarang." "Heem. Apa kau tidak lapar? Mau aku siapkan makan dulu?" tawar Elizabeth menghentikan langkahnya. "Aku masih kenyang, Sayang," jawab Evan. "Kapan
Sebuah street cafe yang Jasper ceritakan pada Evan, ternyata terletak di dalam sebuah gang-gang kecil di tengah kota. Bahkan tempat itu juga terlihat sedikit kotor. Evan baru saja turun dari dalam mobilnya bersama dengan Jericho dan Jasper yang menemaninya. "Di mana tempatnya, Jas?" tanya Evan. "Di dalam sana, Tuan." Jasper melangkah lebih dulu. Sedangkan Jericho yang berjalan di samping Evan sembari mengomel-ngomel karena jalanan yang mereka lewati kali ini sedikit becek dan jalan itu begitu sempit. Sampai akhirnya tiba-tiba di sebuah perempatan kecil di dalam jalan gang itu, di sana banyak orang-orang berjualan makanan, ada juga cafe kecil, dan di ujung sana adalah tempat paling ramai dan banyak orang. "Di sana, Tuan," ujar Jasper menunjuk ke arah keramaian tersebut. "Ayo, tunjukkan padaku, mana orangnya!" perintah Evan. Mereka bertiga pun bergegas mendekati keramaian itu. Di sana terlihat jelas seorang laki-laki yang duduk satu meja dengan sekitar empat orang. Mereka nampak