Benar apa yang Evan katakan, Tania tidak kembali hingga dua hari ini. Bahkan nomor teleponnya pun juga tidak bisa lagi dihubungi. Entah pergi ke mana wanita itu!Di kediaman Evan, siang ini sedang ada beberapa orang yang sengaja dia datangkan secara khusus. Laki-laki itu juga meminta beberapa orangnya dari Prancis untuk datang. Evan tidak ingin, ada hal menyakitkan yang tiba-tiba terjadi, ia harus berjaga-jaga dan melindungi keluarganya. Sedangkan Elizabeth, wanita itu kini bersama dua anaknya dan ditemani oleh James di teras belakang, karena Pauline rewel saat di rumahnya ada banyak orang. "Dia bahkan tidak membawa pakaian dan barang-barangnya, Nyonya. Semuanya masih ada dan tertinggal di paviliun," ujar James pada Elizabeth yang kini menggendong Pauline. "Apa saja barang-barang yang ada di sana, James?" tanya Elizabeth. "Selain pakaiannya?" "Entahlah Nyonya, mungkin kemarin dia sudah membawa beberapa pakaiannya," ujar James. Elizabeth mendengus pelan. "Wanita itu ... Clarisa,"
Bersama dengan ajudan setianya, malam ini Evan mendatangi apartemen yang ditempati oleh Tania. Nampak Jericho yang kini berdiri menunggunya bersama dengan seorang laki-laki di sampingnya. Mereka menyambut Evan yang kini baru saja tiba. "Tuan..." "Bagaimana?" tanya Evan menatapnya. "Apa dia masih ada di sini?" tanya Evan menatap Jericho. "Entahlah, Tuan. Saya belum masuk ke dalam, hanya saja ... saya sudah mendapatkan izin masuk ke dalam tempat ini dengan Tuan Sendy," ujar Jericho menunjuk laki-laki di sampingnya. Evan mengangguk. "Baiklah, ayo kita cari ke dalam," ajak Evan. "Baik Tuan." Saat itu juga mereka berempat masuk ke dalam apartemen megah tersebut. Setiap langkah kakinya, Evan hanya berharap semoga Tania masih ada di sana dan wanita itu tidak akan bisa kabur lagi darinya. "Ada di lantai lima," ucap Jericho masuk ke dalam lift. "Apa dia tetangga apartemen Anda, Tuan?" tanya Evan pada Sendy. "Iya Tuan. Tapi karena saya sibuk, jadi saya kurang memperhatikannya ... han
Sampai jam menunjukkan pukul dua dini hari lebih, baru Evan sampai di rumahnya malam ini. Laki-laki itu melepaskan mantel hangat yang dia pakai dan berjalan masuk ke dalam rumahnya setelah ia menyapa beberapa orang-orangnya yang berjaga di luar. Begitu Evan kembali menutup pintu, laki-laki itu nampak terkejut melihat istrinya yang masih terjaga. Elizabeth masih berdiri di ujung pertengahan anak tangga. "Eli, kenapa tidak tidur, Sayang?" tanya Evan berjalan cepat ke arahnya. "Aku tidak bisa tidur. Aku terus kepikiran dirimu," jawab Elizabeth memeluk Evan saat suaminya mendekat. Evan pun membalas pelukan Elizabeth, ia mengusap punggung kecil istrinya dan memberikan sebuah kecupan di pucuk kepala Elizabeth dengan penuh kasih sayang. "Aku tidak papa, Sayang..." Evan tersenyum padanya dengan sangat lembut. "Ayo, kita istirahat sekarang." "Heem. Apa kau tidak lapar? Mau aku siapkan makan dulu?" tawar Elizabeth menghentikan langkahnya. "Aku masih kenyang, Sayang," jawab Evan. "Kapan
Sebuah street cafe yang Jasper ceritakan pada Evan, ternyata terletak di dalam sebuah gang-gang kecil di tengah kota. Bahkan tempat itu juga terlihat sedikit kotor. Evan baru saja turun dari dalam mobilnya bersama dengan Jericho dan Jasper yang menemaninya. "Di mana tempatnya, Jas?" tanya Evan. "Di dalam sana, Tuan." Jasper melangkah lebih dulu. Sedangkan Jericho yang berjalan di samping Evan sembari mengomel-ngomel karena jalanan yang mereka lewati kali ini sedikit becek dan jalan itu begitu sempit. Sampai akhirnya tiba-tiba di sebuah perempatan kecil di dalam jalan gang itu, di sana banyak orang-orang berjualan makanan, ada juga cafe kecil, dan di ujung sana adalah tempat paling ramai dan banyak orang. "Di sana, Tuan," ujar Jasper menunjuk ke arah keramaian tersebut. "Ayo, tunjukkan padaku, mana orangnya!" perintah Evan. Mereka bertiga pun bergegas mendekati keramaian itu. Di sana terlihat jelas seorang laki-laki yang duduk satu meja dengan sekitar empat orang. Mereka nampak
Beberapa hari ini, Evan sangat sibuk. Bahkan Pauline dan Exel juga selalu bertanya-tanya pada Elizabeth. Kedua anak-anak manis Elizabeth, sore ini duduk di teras depan ditemani oleh James dan juga Elizabeth yang tengah menyuapi mereka berdua. "Sebelum ini Paman James selalu sibuk di kantor dan menjadi ajudan Papa, tapi sekarang Paman James menjadi ajudannya Exel dan Pauline!" seru Exel mendongak menatap James yang sejak tadi memperhatikannya. "Iya. Paman turun pangkat," jawab James menaikkan kedua alisnya. "Dulu menjadi ajudan Papanya Tuan Kecil, Paman harus tegas. Tapi setelah sekarang menjadi ajudannya Tuan Kecil, Paman harus pandai berteriak, bermain basket, bermain boneka, dan banyak lagi." "Iya Paman. Harus banyak olahraga biar tidak cepat tua," celetuk Exel. James menghela napasnya panjang dan jenuh. Hal itu membuat Elizabeth terkekeh, sejak dipercayai oleh Evan untuk menjaga Elizabeth dan anak-anaknya, sejak saat itu juga James selalu dikerjai oleh Exel dan Pauline. Dua b
Keesokan paginya, Evan kembali dibuat pusing dan kesal setelah laki-laki bernama Jeffrey yang ia temui di sebuah cafe kemarin, tiba-tiba menghilang. Bahkan orang-orang suruhannya pun kini datang ke kediaman Evan saat hari masih sangat-sangat pagi. Semua para ajudan Evan pun berada di dalam ruangan kerja saat ini. "Bagaimana bisa dia pergi tanpa ada satu pun dari kalian yang tahu?!" Evan menatap dua anak buahnya yang duduk di samping Jericho. "Kami mengawasi dari tempat yang berbeda Tuan. Kemarin malam, saat saya mengikutinya masuk ke dalam sebuah klub malam yang sangat ramai. Jadi saya kesulitan mencarinya, di sana saya kehilangan jejak laki-laki itu," jelas Felix dengan jujur. "Lalu, saat Felix mengabari saya, saat itu juga saya langsung menuju ke kediaman Jeffrey, dan di sana tidak ada siapa-siapa, Tuan. Saya dan Jericho sampai berjaga di sana dan kami benar-benar kehilangan dia," ungkap Jasper sebelum laki-laki itu menghela napasnya panjang. Evan langsung menyandarkan punggung
Sudah lebih dari dua minggu Clarisa yang menyamar sebagai pembantu itu menghilang layaknya ditelan bumi. Namun, tidak ada hal aneh atau berbahaya yang terjadi pada Evan dan keluarganya, hingga Evan menghentikan pencarian secara pribadi, namun di belakangnya ada seseorang yang masih menyelinap mencari informasi. Dan setelah beberapa hari ini, Evan juga kembali fokus pada pekerjaannya di kantor yang mulai menumpuk dan ada beberapa problem. Seperti pagi ini, Evan menerima laporan tentang beberapa berkasnya yang dianggap tidak cocok dan keliru dari sebuah perusahaan besar, yang sudah lama menjadi rekannya. Evan yang bingung, ia mencoba membicarakan dengan temannya yang telah menyusun tiga berkas penting tersebut. "Bagaimana bisa dia mengatakan berkas kita disusun tidak rapi dan ada beberapa data yang keliru! Tuan Kian sebelumnya tak pernah banyak protes," ujar Evan melepaskan kacamata berbingkai emas yang ia pakai dan memijit pangkal hidungnya. "Entahlah, Van. Aku juga bingung, pada
Seperti yang Elizabeth duga, anak-anaknya marah dan merajuk. Pauline sempat menangis, dan Exel hanya diam kecewa. Elizabeth duduk bersama mereka di ruang keluarga. Ia memeluk kedua anaknya dan mencoba untuk menjelaskan pada mereka berdua. "Kenapa tidak jadi pergi, Ma? Papa ke mana memangnya? Sibuk lagi ya, sampai Papa membatalkan jalan-jalannya?" tanya Exel, anak itu masih tertunduk memeluk sang Mama. "Sayang, Papa kan sibuk, banyak sekali pekerjaan Papa yang harus diselesaikan dalam waktu yang sangat cepat. Kita harus mengerti dan memahami kesibukan Papa. Meskipun Papa sebenarnya juga ingin pulang dan berkumpul dengan kita," ujar Elizabeth pada kedua anaknya. "Tapi kan kita sudah semangat menunggu Papa. Heumm ... sedih sekali, Ma," ucap Exel memejamkan matanya dan memeluk Elizabeth erat-erat. "Iya, Pauline ingin jalan-jalan sama Papa," ujar Pauline cemberut. Elizabeth menghela napasnya panjang. Wanita itu terdiam memeluk mereka berdua. Pasti mereka kecewa, kemarin juga Evan ing
Satu minggu kemudian...Kondisi Hauri tampak sudah membaik hari demi hari, gadis itu bahkan kini tidak lagi mengeluhkan tentang sakitnya. Setiap hari, Hauri selalu sibuk dengan tugas-tugasnya. Apalagi gadis itu selalu menempatkan diri kalau dirinya kini menjadi istri untuk Exel. Dan Hauri selalu berusaha melayani suaminya dengan baik. Seperti pagi ini ia sibuk membuatkan sarapan untuk Exel karena pembantu mereka sedang sakit. "Selamat pagi, Sayang," sapa Exel, laki-laki tampan itu baru saja turun dari lantai dua. Hauri menoleh dan tersenyum manis. "Pagi juga, Sayang," sapanya dengan ramah seperti biasa. "Kau sedang memasak apa?" tanya Exel mendekat dan berdiri di belakangnya. "Aku hanya memasak menu kentang dan daging sapi, lalu aku akan membuatkan telur mata sapi untukmu," ujar Hauri tersenyum merekah. Laki-laki itu menatapnya lekat dan memeluk Hauri dari belakang meninggalkan satu kecupan di pipinya. "Terima kasih, Sayang. Aku akan menunggu masakanmu selesai," jawab laki-la
Exel menatap lekat pada Arthur yang masih berada di sana menjemput Pauline.Tapi seperti biasa, adik kesayangan Exel itu selalu saja ada-ada saja tingkahnya. Usia hampir dua puluh tahun, tapi dia masih seperti anak kecil yang labil. "Kau pulang saja sendiri, aku masih mau di sini! Untuk apa kau menjemputku kalau kau akan pergi lagi?!" sinis Pauline menatap Arthur. Exel terdiam melirik adiknya yang duduk bersama istrinya. "Lalu maumu bagaimana, Pauline?" "Dia tidak boleh pergi." Pauline menjawab dengan mudahnya. "Arthur harus tetap menjadi pengawalku." Arthur memasang wajah datarnya menatap Pauline. "Saya akan memulai bisnis keluarga saya di luar kota, Nona." "Padahal kau dulu janji tidak akan meninggalkan aku, bahkan kau akan menjadi satu-satunya temanku. Tapi ... ternyata ucapanmu itu hanya omong kosong." Exel dan Hauri saling tatap dengan ekspresi bingung. Mereka tidak mengerti jalan pikir Pauline seperti apa. "Lebih baik sekarang kau pulang, minta pada Papa untuk mempekerj
Sampai malam tiba, Pauline tetap berada di kediaman Exel. Gadis cantik itu tampak bersama Hauri di kamar lantai dua. Mereka asik menonton drama romantis kesukaan mereka, dan Exel yang paling senang jahil, tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjang di samping Hauri. "Sayang, kau sudah makan?" tanya Exel berbisik sembari mengecup pipi Hauri dengan gemas. "Sudah," jawab gadis cantik itu. "Kau sendiri, sudah makan malam?" "Hm," gumaman menjadi jawaban dari Exel. Dari arah samping Hauri, tiba-tiba Pauline menengok Kakak dan Kakak iparnya tersenyum. "Kakak, tadi Papa tidak bilang ingin menjemputku, kan?" tanya Pauline dengan kedua mata indahnya yang mengerjap. "Tidak, Pauline. Tapi jangan lama-lama di sini," ujar Exel menyindir sang adik, hal ini membuatnya terkekeh. Pauline lantas terdiam. Ia menoleh pada sang Kakak kembali dengan tatapan sedih. "Aku harus pulang sekarang, ya, Kak?" cicitnya. "Tidak, Pauline..." Saat itu juga Hauri langsung merang
Exel mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Setelah sang adik datang sambil menangis, membuat Exel tidak tega. Kedatangannya disambut seperti biasa oleh Mama dan Papanya, mungkin mereka tahu kalau Exel datang akan memprotes mereka."Adikmu di sana?" tanya Evan saat Exel baru saja duduk. Exel menatap Papanya dan berdecak pelan. "Papa apa-apaan, menjodohkan Pauline dengan seenaknya seperti ini? Pauline masih kuliah, Pa." "Exel—""Pa, Ma, Pauline itu masih seperti anak kecil. Papa tahu sendiri kan, segala sesuatunya selalu membutuhkan orang lain! Dan satu-satunya orang yang sabar dan selalu membantunya adalah Arthur!" tegas Exel pada sang Papa. "Papamu memang tidak pernah bisa mengerti anak-anaknya," sahut Elizabeth dengan wajah kesal pada sang suami. Mendengar hal itu, Evan langsung menoleh menatap sang istri. Laki-laki itu menutup laptop yang ia pangku dan mengembuskan napasnya panjang menatap Elizabeth dan Exel bergantian. "Dengarkan aku, Sayang ... dengarkan Papa, Exel ... Pap
"Enghh ...."Suara lenguhan pelan itu terdengar dari bibir Hauri. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan-lahan. Hauri mengembuskan napasnya panjang saat merasakan sekujur tubuhnya terasa lelah dan remuk. Bahkan untuk bergerak sesenti pun, Hauri merasa nyeri pada inti tubuhnya. Hauri menatap ruang samping ranjangnya yang kosong, sepertinya Exel sudah bangun. "Jam berapa ini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri membalikkan badannya dan menatap ke arah dinding, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, namun ia sangat malas untuk beranjak. Hauri bahkan tidak ingat, kapan ia memakai dirinya memakai piyamanya lagi. Gadis cantik itu pun masih terdiam menatap langit-langit kamarnya. Kedua pipi Hauri merona tiba-tiba saat ia mengingat kejadian semalam. Hauri menyerahkan apa yang telah ia jaga kehormatan yang selama ini ia jaga pada laki-laki yang sangat ia cintai. Dan ia mengingat jelas bagaimana semalam mereka melakukannya dengan sangat bergairah dan...."Ya ampun, apa yang aku pikirkan!"
Cuaca sangat dingin malam ini, Hauri tampak sibuk merangkai kalung mutiara miliknya yang putus sore tadi. Kini, gadis itu tampak sangat fokus merangkainya satu persatu. Hingga Exel yang baru saja masuk ke dalam kamar, tampak memperhatikannya dengan kedua mata mengerjap. "Sayang, kau sedang apa? Ini sudah jam sebelas, Hau," tanya Exel, ia berjalan ke arah ranjang dan mendekati istrinya. Hauri menunjukkan beberapa butir mutiara yang ia simpan di dalam sebuah mangkuk kecil. "Kalungnya tadi putus karena bajuku, lalu semua mutiaranya berceceran di lantai, tapi aku sudah memungut semuanya. Semoga tidak ada yang tertinggal atau jatuh di bawah ranjang," ujarnya dengan wajah sedih. "Sayang ... sudah, sudah, taruh saja. Besok aku belikan lagi," ujar Exel mengambil mangkuk mutiara di hadapan Hauri. Namun, gadis itu menatapnya dengan tatapan lekat. "Jangan Sayang, aku belum selesai. Tidak papa, aku akan menyelesaikannya. Sayang kalau tidak dirangkai lagi," seru gadis itu. Exel mengalah. L
Keesokan harinya, Exel menemani Hauri untuk kembali berobat. Bahkan setelah kemarin Hauri merasa lemas dan kelelahan hingga membuat Exel merasa sangat cemas. Sudah lima jam lamanya Hauri menjalani pengobatan dan Exel menunggu dengan sabar, ia juga terus menerus tanpa henti berdoa yang terbaik untuk istrinya. Hingga tiba-tiba sebuah pintu kaca terbuka di depan sana, Dokter William menatapnya sambil tersenyum, seolah ada sesuatu yang melegakan akan dia sampaikan. "Tuan Exel, mari," ajaknya tiba-tibaExel segera ikut bersama dengan Dokter William masuk ke dalam sebuah ruangan. Laki-laki berjubah putih itu segera duduk di hadapan Exel dengan wajah lega. "Dokter, bagaimana perkembangan kondisi istri saya?" tanya Exel. Dokter William tersenyum. "Kondisi Hauri jauh sangat-sangat membalik, meningkatkan beberapa persen lebih baik. Saya juga tidak terbayangkan, bisa secepat ini. Mungkin karena Hauri rajin mengonsumsi obat dan mengatur pola pikirnya. Tetapi ... saya merasa sangat-sangat ba
Diberi libur satu minggu, Exel ingin hari-hari itu diisi oleh menyenangkan hati Hauri. Mulai dari mengajaknya makan bersama, hingga pergi ke jalan-jalan. Seperti saat ini, Exel mengajak Hauri pergi ke sebuah rumah makan Jepang yang mewah yang ada di tengah kota. Hauri tampak sangat antusias begitu Exel mengajaknya memilih tempat duduk yang pas. "Aku baru tahu di sini ada restoran Jepang," ujar gadis itu tersenyum manis. "Hmm ... kau mau memesan makanan apa, Sayang?" tanya Exel menoleh dan menatapnya. "Apa saja, semua makanan Jepang aku suka," jawab gadis itu. "Tapi kalau ada, aku mau ramen. Emmm kuenya—""Dango!" jawab mereka bersamaan. Saat itu juga Exel terkekeh, laki-laki itu langsung mengusap pucuk kepala Hauri dengan gemasnya. Kedua pipi Hauri langsung bersemu. Gadis itu menepuk-nepuk lembut kedua telapak tangannya sambil tak sabaran menunggu pesanan makanannya datang. Hingga tak lama kemudian, makanan yang Hauri tunggu-tunggu pun telah tiba. Semangkuk ramen dan juga kue
Karena pembantu belum datang ke kediaman baru Exel, tampak laki-laki sibuk di dapur sejak tadi. Bahkan Exel juga tidak membangunkan istrinya yang tidur sejak siang, karena Exel tahu kalau istrinya pasti sangat kelelahan. Aroma masakan yang sedikit gosong, dan suara kekacauan di dapur pun membuat Hauri terbangun. Gadis itu segera keluar dari dalam kamar. "Ya ampun, aroma apa ini? Kenapa gosong begini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri menuruni anak tangga, ia menengok dari selasar lantai dua ke bawah sana. Hauri melihat Exel yang berada di dapur sendirian dengan semua barang-barang yang terlihat sangat berantakan. "Ya ampun, Exel..." Hauri menutup mulutnya kaget. Buru-buru gadis itu berjalan turun ke lantai satu dan melangkahkan kakinya mendekati Exel. Dari piring, mangkuk, hingga wadah lainnya menumpuk di dapur. Bahkan ada beberapa makanan yang tampak dibuang karena gosong dan tidak layak makan. "Y-ya ampun, Sayang..." Hauri menutup mulutnya menyaksikan kekacauan ini. Tetapi, g