“Menyalahkan Ferry?”“Bukan begitu. Masa soal kaki saja harus dilaporkan kepadamu?”“Jika tidak begitu, aku tidak tahu Virly menindasmu.” Gea duduk ke sofa. “Iya, aku salah.”Ahsin mengeluarkan dua dessert dan tiga keripik kentang aneka rasa dari kantong kertas yang sejak tadi di atas meja. Dessert berwarna merah telah menggugah selera Gea.“Kapan kau beli ini?” tanya Gea dengan mata membesar. Ahsin mengangkat kakinya dan memijat tanpa menunggu persetujuan.“Dari tadi Ferry belikan. Kau saja yang main kabur.”“Memangnya siapa yang bikin aku kabur?”Gea ingin protes, tetapi segera menahan diri. Ia membuka mika dessert dan menyendoknya. Segar asam membuat lelah terasa ringan. Gea mundur sedikit dengan tangan masih memegang wadah dessert. “Begitu sukanya?” tanya Ahsin sambil mengurut kaki Gea. Gea tak menjawab. Ia kembali menyendok dan tiba-tiba memasukkan ke mulut Ahsin. Gea tertawa melihat raut wajah kesal Ahsin dan mulut yang belepotan.“Gea.”“Hmm ….” Gea kembali menyendok desse
Tok tokGea menyembulkan wajahnya di balik pintu. "Gea? Kenapa tidak masuk?" Gea masih diam. Ahsin berdiri menyambutnya. “Jangan menggodaku.”Gea memperlihatkan dirinya. Ahsin sedikit terkejut dengan penampilan baru Gea. Ia memandangi Gea dari atas sampai bawah. “Gea, ada apa ini?”Gea belum berani mengangkat wajahnya. Kembali Ahsin memandangi Gea dari atas sampai bawah. Rambut Gea bagian depan yang memendek sampai telinga, lalu bagian belakang menjulur ke bahu. Dekat telinga kiri dan kanan berwarna putih. Wajah putihnya seakan tanpa polesan. Kali ini Gea mengenakan kaos biru malam ukuran besar, berpadu dengan celana panjang longgar berbahan kain. Terdapat kantung di kiri kanan bagian tengah celana itu. Lehernya mengenakan kalung putih bandul kecil persegi panjang, di punggung tersampir ransel. Ahsin menurunkan pandangannya, di pergelangan melingkar gelang biji-biji kecil dari kayu, sedang di jari masih bertengger cincin pemberiannya. “Gea, kau selalu membuat kejutan. Sekarang a
“Gea, kau memuji laki-laki lain di depanku?!”Gea tersentak. Wajah Ahsin yang memerah seketika membuat kakinya terasa tidak memiliki tenaga. “Bu … bukan begitu. Aku hanya ingin bilang betapa aku sangat berhutang jasa padanya dan ini kesempatanku bertemu dengannya dan memberikan pelayanan yang terbaik.”“Dengan menggunakan parfum itu? Dengan penampilan baru? Aku tidak melihat ini sebagai saudara?”Seketika emosi Gea melejit tinggi. Tungkai yang tadinya melemah entah bagaimana ia bisa mendapatkan energi.“Apa maksudmu? Kau mencurigaiku?”“Curiga? Ini hanya alarm seorang suami.”Gea tersenyum sinis. “Suami? Seharusnya kau memahami bagaimana perasaanku saat ini. Dia yang telah mengajariku sekian tahun.”“Oke. Anggap aku salah. Hapus parfummu jika ingin menemuinya.”Gea menghempaskan napasnya. “Ahsin, dari sini ke bandara berapa lama? Bagaimana aku bisa ke sana dengan baru keringat?”“Bukankah aku telah memberimu parfum yang lembut? Tidak menyeruak seperti ini.”“Oke. Parfum itu di ruma
“Dani, kita mampir sebentar ke toko boneka di jalan Gatot,*” pinta Ahsin ketika melihat seorang anak kecil memegang sebuah boneka berjalan bersama ibunya. Ia teringat saat bersepeda dengan Gea. Kayuhan Gea terhenti di depan sebuah toko boneka. Ahsin ikut berhenti. “Kau tau, sengaja aku mengajakmu jalan-jalan untuk mengenang masa lalu. Dulu aku takut mengingat masa lalu, karena seindah apapun yang tersisa hanyalah luka.”“Sekarang?” Gea menoleh pada Ahsin sambil tersenyum. “Sekarang ada kamu. Sepahit apapun masa lalu, ada obat di sampingku.”Ahsin menahan senyumnya. “Ooo, sudah bisa menggombal.”“Eh apaan. Aku sampaikan fakta dibilang menggombal. Dasar,” sahut Gea sambil memalingkan wajah, menatap boneka. Ahsin mengikuti pandangan Gea.“Lalu, ada apa boneka itu?”“Ibu pernah membelikanku boneka sebesar ini sebagai hadiah ulang tahun. Setelah ibu meninggal dirampas Sinta. Aku bersikukuh mempertahankan boneka itu, tapi malah dipukuli ayah dengan dalih pendidikan.”Hanya beberapa menit
“Tuan Mirja?”“Iya.”“Erwin, kau pakai headseat kan?”“Iya. Aku akan memberi kabar buruk. Jangan kaget. Jangan sampai Tuan besar dan lainnya tahu. Siapkan dirimu.”Erwin menghela napas. “Baik.”“Tuan Muda kecelakaan.”Erwin tersentak, beruntungnya ia dapat menekan sikapnya. “Ingat, jangan sampai Tuan Besar, Tuan Mirja juga lainnya tahu. Dan berhati-hatilah. Mungkin saja musuh sudah mengintai, atau mungkin sudah di dalam. Kau mengerti?”“Aku mengerti.”Panggilan terputus. “Siapa, Erwin?”“Asisten Ferry menanyakan Tuan.”“Asisten Ferry sangat peduli pada Ayah?” pancing Mirja. “Mungkin Ahsin yang menyuruhnya,” sahut kakek singkat.“Aku sudah lama tidak melihat Ahsin. Pasti banyak perubahan pada anak itu,” sambung Tuan Mirja.“Anak itu semakin sibuk. Apalagi perusahaan pribadinya juga semakin naik daun.”“Tak kusangka, keponakanku semakin hebat.”Lewat kaca spion, Erwin mengintip wajah Tuan Mirza dan kakek.*** Charles bergegas ketika melihat Siro yang memperban tangan Gea. “Gea, kau
Gea menghamburkan diri ke pelukan Charles. “Charles, kenapa kita baru bertemu?”Charles tertawa kecil. “Karena baru sekarang aku dipercaya menjadi iparnya”“Kak Bei, pemandangan apa kita lihat sekarang?"Pelukan Gea terlepas. Sinta dan Bei menatap mereka dengan tatapan jijik.“Kak Gea, kemarin kakek kaya, sekarang bule dari mana? Sampai kapan kau membiayai suami kulimu itu?” ejek Sinta.“Gea, mereka …?” tanya Charles dengan bahasa Inggris dengan aksen Australia.“Orang tak penting,” sahut Gea juga dengan bahasa yang sama. “Oh.”Sinta memandangi Charles yang berambut sebahu dikuncir, mengenakan jas coklat berpadu kaos putih di dalam, kontras dengan celana jeans berlubang-lubang. Pandangannya beralih pada Gea yang mengenakan kaos dan celana longgar, dengan rambut dipotong setelinga, di belakang dibiarkan menjuntai sampai ke bahu. “Tak peduli kau terpengaruh dengan gayanya atau tidak, setidaknya jaga muka di pesta ini,” tambah Sinta. “Jaga muka?” tanya Gea.“Penampilanmu ….”“Ooh.” G
Pandangan kakek beralih pada Charles. “Dia?’“Oh, kenalkan, Kek. Dia Charles, salah satu eksekutif More dari Australia. Charles, dia kakeknya bos. Tuan Buana,” ujar Gea dengan bahasa Inggris. Nama Buana seketika membuat Sinta dan Bei syok kemudian saling bersitatap. Charles bersegera mengulurkan tangan. “Senang bisa bertemu dengan Anda.” Kakek menyambut ramah. “Saya juga senang bertemu dengan anak muda sepertimu. Jauh-jauh datang ke sini untuk mendukung perusahaan More, sebagai kakek saya mengucapkan terima kasih.”Charles tersenyum cengengesan. “Tak perlu sungkan, Kek.”“Sepertinya kalian cukup akrab tadi?” selidik kakek. “Iya, Kek. Dia teman online aku sejak kuliah di Australia. Aku belajar banyak darinya, jadi lumayan dekat. Hanya saja, baru sekarang kami bertemu karena saat itu kami tinggal di kota yang berbeda. Aku sangat berterima kasih pada cucu Kakek," jawab Gea juga dalam bahasa Inggris. Ia percaya orang seperti Kakek pasti mahir bahasa Inggris. “Iya, Kek. Gea sudah kuan
“Kak Bei, mungkinkah dia Gea?” bisik Sinta menunjuk dengan dagunya. Bei menoleh ke arah ditunjuk Sinta. “Jika dilihat dari pria bule itu, ada kemungkinan itu Gea. Tapi kenapa mengenakan topeng?”Sinta mencermati pergelangan Gea yang sudah berubah gelangnya. Kali ini gelang kecil berkilauan berlian yang disusun jarang. Di jari perempuan itu bukan lagi cincin yang sempat ia dilihat di ponsel. Pandangan Sinta naik ke atas. Ternyata kalung, bahkan anting, satu paket dengan gelang dan cincin. “Benar. Tidak mungkin kuli bisa memberi Gea perhiasan semahal itu,” tukas Sinta. “Atau mungkinkah itu pemberian Tuan Buana? Oh iya, bukankah ke toko gaun kemarin bersama Tuan Buana?” Sinta membenarkan asumsinya, gaun dan perhiasan itu dari Tuan Buana.“Tunggu saja, jika aku sudah mendekati pewarisnya, akan kubongkar semua kebusukanmu!”Sinta kembali fokus ke suara Ferry. Acara inti dimulai. Penghargaan kepada beberapa orang penting dalam perusahaan teknologi More.“Baiklah saya langsung panggil, M