Hallo, teman. Salam kenal. Terima kasih telah berkunjung ke sini. Jangan lupa dukungan bintang 5 nya, dan kalau bisa sawer gem. Hehe. Saling kenalan yuk di page fb kuli romantis.
Muka Bei menjadi merah padam. Antara malu dan amarah yang menuntut dilampiaskan.“Mulai sekarang, kami dari Buana tidak akan menerima kontrak kerjasama dengan Prayoga dan kami akan menolak siapa pun yang bekerjasama dengan Prayoga,” seru Ahsin yang membuat semua aura dingin menyusupi sel-sel tubuh mereka.***Bei menyeret Sinta keluar, tak peduli Sinta yang kesakitan kakinya karena mengenakan high heels. Bei mendorongnya ke dinding hingga Sinta tak bisa bia lagi melarikan diri. “Mengapa kau bohong padaku?!” Sinta menggigil. Mata yang biasa lembut padanya kini menyala seakan siap membakarnya saat itu juga. Sinta menggeleng. “Aku tidak bermaksud membohongi Kakak.”Bei melayangkan kepalan tangannya. Sinta memejamkan mata, tetapi kemudian membuka karena tidak terjadi apa-apa. Bei menarik tangannya. “Bersyukurlah karena kamu perempuan. Kalau tidak, aku akan membunuhmu sekarang juga,” ucap Bei, kemudian menjauh. Sinta seketika terhenyak ke lantai. Ini pertama kalinya ia melihat Bei mara
Sinta memasuki rumah dengan gontai. Ruang tengah masih menyala. Ayah ibunya memang menunggu kabar baik darinya. Menjadi keluarga Buana mimpi besar yang membuat mereka enggan memejamkan mata. “Putri cantikku sudah datang,” sambut Lyman.Malika berdiri dan mendudukkan putrinya ke sofa. “Ceritakan, kau sudah ngobrol dengan pewaris Buana?”“Atau jangan-jangan, kau sudah mendapatkan janji kencan dengannya?” tambah Lyman bersemangat.Namun, Sinta masih saja diam, membuat suami istri itu saling tatap. “Sinta, ada apa? Coba ceritakan,” bujuk Malika.“Apa yang harus aku ceritakan?” teriak Sinta. Suami istri itu tersentak. Tak sesuai harapan kemungkinan ada dalam setiap usaha. Namun, putrinya yang cantik, pandai bersosialisasi dan telah berhasil merebut hati putra Prayoga dari Gea rasanya tidak mungkin membawa kabar buruk untuk mereka. “Sinta, tidak baik berteriak di depan ibumu,” nasihat Lyman. “Lalu aku harus cerita apa? Semuanya telah berakhir,” sahut Sinta nyaris menangis. “Apa yang te
“Sampai mematikan ponsel?” tanya Gea. Dengan mata masih terpejam Ahsin mengangguk. “Kalau ada yang hal penting gimana?”“Siapa? Mereka pasti menghubungi Ferry.” “Kalau tidak tahu nomor Ferry?” elak Gea. “Siapa di sekitar kita tidak tahu Ferry, bahkan Ricky adik barumu tau Ferry. Kalau tidak tahu Ferry, berarti orang itu tidak terlalu mengenal kita.”Gea terdiam, tetapi akhirnya mengiyakan. “Punya kau juga dimatikan, sini ponselmu.”Ahsin meraih ponselnya, tetapi bukannya menelepon malah melakukan panggilan. “Ferry, aku harap tidak ada yang mengganggu istirahat kami hari ini.”“Mengerti, Bos.”Ahsin langsung mematikan ponselnya. “Bagaimana kau mengenal Creep?” tanya Ahsin sambil memejamkan mata. Gea terdiam. Mudah saja ia menjawab. Hanya saja, nanti akan merembet ke pertanyaan lainnya. Risiko terbesar, Ahsin akan tahu rahasia keluarganya sepuluh tahun yang lalu. Ahsin harus tahu, tapi tidak sekarang.“Iseng saja, buka inbok dan menemukan pesan mereka. Di antara sekian pesan, aku
“Iya. Sejak kapan aku bohong padamu?”“Hmm,” sindir Gea dengan kerutan kening. “Iya, aku minta maaf. Itu juga karena terpaksa. Kemarilah!”Dengan helaan napas akhirnya Gea mau duduk di depan Ahsin. Seketika kedua tangan kokoh melingkari badannya. “Kau tau, hal seperti ini membuatku semakin lebih baik. Physical touch sangat ampuh untuk perawatan,” bisiknya sambil menghadiahi sesuatu di leher Gea. Gea hendak menghindar, tetapi sensasi alami yang membuat dirinya tak mampu bekerja sama dengan perintah otak. “Iya. Tapi hal ini seperti ini pula bisa membuatmu lebih sakit,” gerutunya setelah Ahsin melepaskannya.Ahsin terkekeh. “Ini pertama kali kita bisa seperti ini. Sayang kesehatanku seperti ini.”“Kalau kamu sehat juga kita tidak akan seperti ini,” sehat Gea sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Ahsin. “Makanya, manfaatkan sebaik mungkin.”“Jangan mulai!”Ahsin hanya membalasnya dengan tawa. “Eh, bagaimana kalau kita keluar kamar? Ke kolam renang mungkin. Kurasa itu lebih aman.”Ahs
Sementara itu, Lyman membawa Gea ke sebuah kamar. Terlihat pusaka ibunya dalam lemari. “Kau bisa membawa itu dengan satu syarat.”“Apa itu?” “Ceraikan Ahsin. Biarkan adikmu mendekatinya.”Seketika emosi melejit tinggi. “Tidak mungkin.”“Bukankah kau menginginkan pusaka ibumu?” “Pusaka itu suatu saat akan kudapatkan. Selain itu, Ahsin bukan barang yang dipindah kepemilikan.“Gea bergegas keluar. Di ruang tengah, Ahsin langsung mendekat begitu melihatnya. “Kita pulang.”Ahsin bertanya dengan wajahnya. “Kak Gea, sebaiknya ikuti saran Papa,” ucap Sinta sambil berdiri. “Sinting!”Mata Ahsin melebar begitu mendengar kata kasar itu dari mulut istrinya.“Aku ingatkan. Berhenti bermimpi salju di tengah musim panas.” Gea beralih pada Ahsin dan langsung menariknya keluar. “Ma, gimana?” desak Sinta begitu mereka telah keluar. Malika menenangkan putrinya. “Tenang saja. Kali ini, kita tidak bisa mengandalkan ayahmu. Ibu akan mencarikan jalan untukmu.”Sinta tersenyum lebar. Ia memeluk wanit
Charles mengangguk. “Katanya ayah sakit keras. Ayah ingin menyerahkan kepemimpinan sebelum dia meninggal.”“Bagus itu. Itu artinya kau punya kuasa di sana. Tidak ada yang berani bersikap buruk padamu. Kalaupun ada, kau punya kekuatan untuk membela diri dan melindungi keluargamu. Tapi kenapa kau kelihatan tidak baik?” tanya Gea setelah menyadari raut Charles berselimut kabut. Gea memperhatikan Charles yang menunduk dan menghancurkan keindahan lukisan di atas kopi dengan sendok kecil. Ia memilih diam. Membiarkan Charles terbuka secara alami. Curhat dengan suara tidak semudah mengetik huruf pada sebuah pesan seperti yang sering mereka lakukan. “Entah kenapa, aku merasa bersalah pada Ibu.” Charles membuka suaranya. “Kembali pada ayah seakan melupakan penderitaan ibu sekian tahun. Aku … terlihat haus kekuasaan.”“Tidak.” Gea meraih tangan Charles. “Aku percaya kau tidak seperti itu. Soal kau kembali pada ayahmu, aku sedikit mengerti.”Charles mengangkat wajahnya. Menatap tanya. “Aku juga
Dirinya baru mampu membeli menyewa apartemen dan memiliki sebuah mobil, Gea sudah membeli apartemen yang ditempati. Mengapa ia tak menyadari, pencapaian Gea lebih cepat darinya? “Bei, kamu bodoh sekali. Seharusnya saat itu kamu sudah sadar dia sudah punya sampingan,” gumamnya.Bei tersenyum begitu melihat Gea yang berjalan di area parkir. Ia melihat sebuah mobil tiba-tiba berhenti di samping Gea. Tanpa sempat ia cerna, seorang laki-laki keluar, menyekap dan menyeret Gea ke mobil. Mobil itu seketika melaju kencang.Bei mengikuti mereka, sambil melakukan panggilan. *** Ahsin mengerutkan kening begitu melihat panggilan tanpa nama di ponselnya. “Hallo.”“Hallo, Ashin. Aku Bei.”“Bagaimana kau tahu nomor teleponku?” ketus Ahsin. “Itu tidak penting. Gea diculik. Aku sedang mengikuti mereka. Cepatlah cari lokasi dia. Aku takut tak bisa mengejar mereka,” seru terdengar panik. “Sebutkan nomor plat mobilnya,” pinta Ahsin sambil berdiri. Ia mengambil pen dan mencatat angka-angka yang diseb
“Ahsin, mengapa kau seperti tidak mengerti perasaanku?” protes Gea. Ahsin membuka mulutnya, tetapi akhirnya memilih diam. Wajahnya tertunduk. Ia menelan ludahnya yang terasa pahit, kemudian mengatur napasnya pelan. Sensasi nyeri dalam dada benar-benar menyiksanya. Ferry hanya bisa merapatkan mulutnya melihat situasi itu. Lampu ruang operasi telah mati. Tak lama pintu terbuka dan beberapa tenaga medis keluar dengan mendorong sebuah ranjang pasien. Gea segera berlari mendekat. “Bagaimana keadaannya, Dok?” “Dia sudah melewati masa bahaya. Untuk memastikannya, kita tunggu hingga dia siuman.” Seketika Gea bernapas lega. “Alhamdulillah. Terima kasih, Dokter,” ucap Ahsin. “Sama-sama. Ini sudah tugas kami.”Ahsin beralih pada Ferry. “Ferry, tolong urus semuanya.”“Baik, Bos.” Ferry langsung mengikuti tenaga medis membawa ranjang Bei yang masih tak sadarkan diri. Ahsin memegang bahu Gea. “Kita pulang ya. Kau harus istirahat.”Gea menggeleng cepat, meski tubuh terlihat lemah dan mata s
“Gea!” Ahsin memegang bahu Gea. “Tenangkan dirimu.”“Bagaimana bisa tenang, Paman begini karena aku,” sahut Gea panik. “Gea, dengarkan aku.” Ahsin mengguncang bahu Gea. Seketika Gea terdiam. “Jangan menyalahkan diri. Paman melakukannya dengan senang hati. Kau juga lihat ‘kan senyumnya kemarin?”“Tapi ….”Ahsin mengusap wajah istrinya yang basah. “Selain itu, ternyata Paman mempunyai kanker paru-paru, jadi tusukan itu memparah kesehatannya yang buruk.”Gea menggenggam tangan Ahsin. “Kita ke sana ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.”“Paman belum sadar.”“Dia pasti dengar. Seperti kau bilang kemarin, kau mendengarnya hanya saja tidak bisa memberi respon.”Ahsin menghela napasnya. Ia merapikan rambut Gea. “Kau tidak menanyakan keadaanku? Kau tidak lihat, aku juga mengenakan gelang pasien?” Gea tergagap. Ia baru menyadari gelang yang dikenakan Ahsin. “Bukankah kau kelihatan baik-baik saja sekarang?” kilahnya.“Setidaknya kau bertanya perasaanku?” protes Ahsin dengan memasang
Ahsin sudah merasakan separuh nyawanya melayang. Ia tidak akan pernah rela Gea terluka untuknya. Namun, sepersekian detik ia dikejutkan fakta lain. “Paman?” seru Ahsin. Gea berbalik. Matanya membesar begitu melihat pisau yang dipegang Noura itu berada di badan Tuan Mirja.Noura tersentak. Pisau di tangannya terlepas. Badannya mendadak gemetaran. Ia sulit mempercayai penglihatannya. Bagaimana Tuan Mirja tiba-tiba menghalanginya? Melihat Noura yang syok, Ferry tidak membuang kesempatan itu. Ia berhasil meringkus Noura, sedang bodyguard lain menangkap anak buah Noura. Ferry menyerahkan Noura ke bodyguard lain. Ia segera menelpon ambulan.Ahsin menyambut tubuh Tuan Mirja yang hampir menyentuh tanah. “Kenapa Paman lakukan ini?” sesal Gea. Air matanya mendadak tumpah ruah. Tuan Mirja menyentuh pipi gigi dengan tangannya yang berlumuran darah. Ia menyunggingkan senyum. “Jangan menangis. Paman bahagia bisa melakukan ini. Keinginan Paman untuk menyelamatkan ibumu akhirnya tertunaikan hari
Gea tertawa. “Sekarang kau mengakui kehebatan seseorang yang hanya bisa belajar dengan otodidak?” ejek Gea lemas.Noura tersentil, tapi bukan waktunya memikirkan harga diri. Sudah berapa lama High tidak bisa diakses dan entah berapa milyar kerugian yang ia alami.Pria besar itu menyeret Gea dan mendudukkan ke kursi yang berhadapan dengan laptop. Noura mengambil pisaunya dan menodongkan ke leher. “Bersihkan.”“Kau pikir aku sebodoh itu? Kau akan membunuhku begitu Highmu kembali.”Plak. Sebuah tamparan mendarat ke pipi Gea. “Jangan keras kepala. Jika tidak, kau akan memohon kematian kepadaku.” Peuh. Gea menyemburkan ludahnya yang merah ke muka Noura, kemudian ia memasang wajah ejek. Plak. “Cepat lakukan!” teriak Noura. Ia semakin kesulitan mengendalikan emosinya. Kalau saja bukan karena ingat kerugian dan tuntutan yang akan dialaminya, ia tidak akan sesabar ini. “Begitu cara meminta. Noura, sekarang kau yang membutuhkanku.”Noura mengerjap. Terlihat kebimbangan di matanya. Gea teru
Tuan Mirja beralih pada dokter Austin. “Seberapa buruk, dokter?”“Seharusnya tidak apa, selama emosinya tidak dirangsang dan energinya tidak dikuras.”Mendadak Tuan Mirja jadi panik. “Dalam situasi ini bagaimana dia bisa tenang?” tukas Tuan Mirja. “Maafkan saya,” jawab dokter Austin. Tuan Mirja beralih pada Erwin. “Erwin, aku harus pergi. Tolong jaga Tuan Besar. Langsung saja telepon jika ada kabar.”Erwin mengangguk. Tuan Mirja berlalu, tetapi baru beberapa langkah ia berhenti. “Dokter, bisakah saya meminta waktu tinggal di sini sementara. Saya tidak bisa membayangkan kondisi ayah jika keduanya kenapa-napa.”“Saya mengerti. Pergilah.”“Terima kasih.” Tuan Mirja segera bergegas keluar. ***“Presdir, kemana saja? High diserang. Kami kewalahan.”Dengan gugup Noura membuka aplikasi lewat ponselnya. Benar saja, aplikasi tidak bisa diakses. Parahnya tampilan depan memperlihatkan tengkorak warna merah dengan dua tulang yang disilang. Ponselnya kembali berdering. Kali ini dari kepala bag
“Kau juga tahu itu?” Gea tersengal. Matanya memerah. Selain kesulitan bernapas, ia merasakan matanya nyaris keluar akibat urat lehernya yang dicekik. Tubuhnya bergerak-gerak ingin melakukan perlawanan, tapi apa yang dapat dilakukannya dengan tangan terikat.Noura melepas cekikannya. Napas Gea memburu. Berkali-kali ia batuk. "Aku tidak tahu siapa dia saat itu. Aku kira dia hanya seorang kuli,” ucapnya dengan napas masih tersengal.“Kuli?” Noura tergelak. "Kau pandai berbohong. Kenapa tidak menulis skenario saja? Mana ada orang ngajak nikah seorang kuli? Munafik!”Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi Gea. Seketika pipi putih itu menjadi memerah. Gea tersenyum sinis. “Aku munafik, lalu kau? Kau pura-pura bersikap manis, padahal di belakang menyerang perusahaannya. Merusak rem mobilnya. Ah, aku masih ingat kau memanggilnya Kak Ahsin.” Gea meniru nada Noura di ujung kalimatnya. Amarah Noura memuncak. Ia mendorong dengan segenap tenaga sehingga Gea terlempar dengan kursi. Gea meringis.
“Bagaimana orang asing bisa masuk ke komplek ini?” gumam Ferry. Ahsin hanya bisa terdiam. Selama ini ia hanya curiga kepada pamannya hingga tak terpikirkan ada kemungkinan lain. “Ya.” Ahsin menoleh ke arah Ferry. “Bos, mobil yang dideskripsikan Tuan Muda ternyata kosong.”Ahsin dan Ferry tersentak. Sesaat mereka saling tatap. “Kalian di mana?” tanya Ferry. “Kami di luar kota arah timur.”“Kita dikecohkan,” gumam Ahsin sambil menggenggam kepalan tangannya. “Terus lakukan pencarian!”“Baik, Tuan Muda,” sahut seorang pria lewat telepon itu. Dokter Austin menatap cemas. Tuan Mirja bergabung bersama mereka. “Kau sudah menemukan mereka?”Ahsin menggeleng. “Ferry, hubungi Ricky!”“Baik, Bos.” Ferry langsung menekan nama Ricky dan mengaktifkan speaker ponselnya.“Hallo, Kak Ferry!”“Ricky, Tuan Muda mau bicara.”“Ricky, Gea diculik.”“APA?” pekik Ricky. “Kami kesulitan mencarinya. Dia tidak membawa ponsel juga bros yang kau berikan. Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa melakukannya ta
“Eh, sadarkah kau beberapa hal yang dilakukan ibumu untukmu? Dari sini kita melihat ibumu sangat mencintaimu meski dia mengambil keputusan yang merugikannya.”“Di antaranya?”“Dia memberimu Gea Mas'udi. Dulu aku sempat bertanya-tanya mengapa nama belakangmu Mas'ud? Nama keluarga dari ibumu, bukan ayahmu. Dalam Islam itu tidak dibolehkan. Seorang anak harus mengikuti ayahnya.” Satu lagi pemahaman baru yang ia dapatkan. Mendadak kepalanya menjadi kusut. Ia memilih merebahkan kepala ke pangkuan Ahsin. Spontan Ahsin merapikan rambutnya. “Ternyata itu nama asli, bukan sematan. Nama yang tak bisa dihilangkan, seperti kebiasaan banyak orang ketika menikah berpindah ke nama suami. Mas'ud bukan nama belakang, tapi memang bagian dari namamu. Sehingga kemana pun kamu pergi Mas'ud ada dalam namamu. Dari situ, dapat kita pahami, ibumu ingin mengenalkan pada orang bahwa kamu putri Mas'ud. Meski disematkan nama ayahmu, orang-orang akan bisa mengenalimu bagian dari Mas'ud.”“Otakku makin kusut,” sun
“Ahsin, Gea, kalian ada di sini?” tanya Tuan Mirja begitu sampai ke ruang tengah. “Iya, Paman,” sahut Ahsin canggung. “Kenapa Ayah memanggilku?” tanya Tuan Mirja sambil duduk di sofa yang bersisian dengan Kakek. “Ayah tidak apa-apa, kan?” Kakek menggeleng. Ia menunjuk giok di atas meja itu dengan dagu. Melihat itu, seketika Tuan Mirja berubah raut mukanya. Gea yang sejak tadi memperhatikan Tuan Mirja dapat melihat ada luka yang sangat dalam wajah itu. “Paman, maaf. Saya baru menemukan giok ini di perbendaharaan ibu. Saya baru tahu kalau giok ini milik keluarga Buana. Paman, maaf, izinkan saya minta Paman menceritakannya kenapa giok ini ada di tangan ibu?” ucap Gea hati-hati.Tuan Mirja mengambil giok itu dengan raut sedih. Terlihat sebutir cairan bening menetes di pipi. “Kakek pasti sudah cerita pada kalian hubungan Paman dengan ibumu.”Gea mengangguk. Tuan Mirja menghela napas beratnya. Baru kali ini, Ahsin merasa iba dengan pamannya. “Aku sangat mencintai ibumu, bahkan aku tak
“Pamanmu berubah setelah seorang gadis yang bernama Atmiati Mas’ud bekerja di Buana. Sejak itu semuanya telah berubah.”Ahsin dan Gea saling tatap. Gea menahan napasnya. Meski ingatannya samar, Gea percaya ibunya orang baik. Namun, kenapa ibunya menjadi penyebab kekacauan yang dibuat Tuan Mirja? Ia berpikir, mungkinkah dulu ayahnya Ahsin dan Tuan Mirja memperebutkan ibunya?“Maksud Kakek gimana?” tanya Gea cemas. Ia merasakan jelas tangannya kini menjadi dingin. Beruntungnya, Ahsin masih menggenggam tangannya. Setidaknya kehangatan itu dapat membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, kemungkinan lain yang kembali membuatnya cemas. Ia takut ibunya mempunyai masa lalu yang membuat dirinya dibenci. “Mirja dan ibumu sempat menjadi sepasang kekasih.”Ahsin dan Gea tersentak, kemudian keduanya saling tatap. “Ibumu sebenarnya karyawan potensial di perusahaan. Kakek juga menyukai kepribadiannya. Sayangnya, Mirja saat itu telah ditunangkan sejak kecil demi memperkuat hubungan dua keluarga, terl