Hallo, teman. Salam kenal. Terima kasih telah berkunjung ke sini. Jangan lupa dukungan bintang 5 nya, dan kalau bisa sawer gem. Hehe, ramein tiktk akun Yaka Yara.
Dirinya baru mampu membeli menyewa apartemen dan memiliki sebuah mobil, Gea sudah membeli apartemen yang ditempati. Mengapa ia tak menyadari, pencapaian Gea lebih cepat darinya? “Bei, kamu bodoh sekali. Seharusnya saat itu kamu sudah sadar dia sudah punya sampingan,” gumamnya.Bei tersenyum begitu melihat Gea yang berjalan di area parkir. Ia melihat sebuah mobil tiba-tiba berhenti di samping Gea. Tanpa sempat ia cerna, seorang laki-laki keluar, menyekap dan menyeret Gea ke mobil. Mobil itu seketika melaju kencang.Bei mengikuti mereka, sambil melakukan panggilan. *** Ahsin mengerutkan kening begitu melihat panggilan tanpa nama di ponselnya. “Hallo.”“Hallo, Ashin. Aku Bei.”“Bagaimana kau tahu nomor teleponku?” ketus Ahsin. “Itu tidak penting. Gea diculik. Aku sedang mengikuti mereka. Cepatlah cari lokasi dia. Aku takut tak bisa mengejar mereka,” seru terdengar panik. “Sebutkan nomor plat mobilnya,” pinta Ahsin sambil berdiri. Ia mengambil pen dan mencatat angka-angka yang diseb
“Ahsin, mengapa kau seperti tidak mengerti perasaanku?” protes Gea. Ahsin membuka mulutnya, tetapi akhirnya memilih diam. Wajahnya tertunduk. Ia menelan ludahnya yang terasa pahit, kemudian mengatur napasnya pelan. Sensasi nyeri dalam dada benar-benar menyiksanya. Ferry hanya bisa merapatkan mulutnya melihat situasi itu. Lampu ruang operasi telah mati. Tak lama pintu terbuka dan beberapa tenaga medis keluar dengan mendorong sebuah ranjang pasien. Gea segera berlari mendekat. “Bagaimana keadaannya, Dok?” “Dia sudah melewati masa bahaya. Untuk memastikannya, kita tunggu hingga dia siuman.” Seketika Gea bernapas lega. “Alhamdulillah. Terima kasih, Dokter,” ucap Ahsin. “Sama-sama. Ini sudah tugas kami.”Ahsin beralih pada Ferry. “Ferry, tolong urus semuanya.”“Baik, Bos.” Ferry langsung mengikuti tenaga medis membawa ranjang Bei yang masih tak sadarkan diri. Ahsin memegang bahu Gea. “Kita pulang ya. Kau harus istirahat.”Gea menggeleng cepat, meski tubuh terlihat lemah dan mata s
“Benarkah? Lima tahun, Gea. Aku tak percaya kau bisa berpaling semudah itu? Kau pasti masih mencintaiku?”Gea menghempaskan napas lelah. “Kau sendiri bagaimana? Hubungan lima tahun tidak menggerakkan hatimu menolongku?”“Aku minta maaf soal itu. Aku harus menyelamatkan Sinta karena ia tak bisa berenang.”“Kau pikir aku bisa berenang?”Bei tergagap.Gea tertawa miring. “Aku tak bisa membayangkan jika kita terus bersama. Bahkan kau tak tahu aku tak bisa berenang.”“Maafkan aku. Aku janji akan memperbaikinya.”“Terlambat. Aku sudah menikah. Lebih dari itu, hatiku sudah untuknya. Aku tidak tahu apakah dulunya benar-benar mencintaimu, pastinya perasaanku padamu telah tenggelam di kolam itu.”“Tidak mungkin. Kau pasti mencintaiku dan masih mencintaiku. Aku masih ingat kau yang selalu tersenyum padaku dan berjuang membantuku membangkitkan Prayoga. Kau ingat kita menyusuri jalan setapak demi perusahaan? Sejauh itu, mana mungkin kau tidak memiliki perasaan dan hilang begitu saja,” bantah Bei.
“Bicara apa kamu? Ibumu meninggal karena gagal ginjal akut.”“Itu karena istrimu itu memasukkan sesuatu ke makanannya. Tanyakan pada putrimu.”Sinta mendadak panik. “Tidak. Aku tidak tau. Mana mungkin Mama melakukan itu.”“Terserah kau mau mengakui atau tidak. Aku akan mengangkat ini ke pengadilan.”Lyman menyentuh kedua bahu Gea. “Gea, jangan ungkit lagi masa lalu. Biarkan ibumu tenang di sana. Dan kita yang hidup ini harus bertahan.”Gea tertawa, berlawanan dengan matanya yang membasah. “Semudah itu Papa ngomong? Di mata Papa, nyawa ibuku seperti angin lewat? Lalu bagaimana dengan aku yang menjalani hidup dari kecil tanpa seorang ibu? Mengapa sedikit pun Papa tidak memandang kami? Status anak hanya Papa jadi alat menekanku.”Ahsin meraih bahu Gea. “Sudahlah. Jangan bicara lagi.” Ahsin beralih pada Lyman. “Kasus ini akan kuserahkan pada pengacara keluarga Buana. Siapapun yang melindunginya, berarti siap menghabiskan waktu bersamanya di penjara.”Lyman termundur. Nama Buana benar-benar
Wanita yang melahirkan Bei seketika terdiri dengan wajah memerah. “Cuma sekali? Meskipun begitu, nyawanya nyaris melayang. Apakah semua bisa diatasi dengan minta maaf? Selain itu, kau tau berapa kerugian yang ditanggung Prayoga akibat olahmu? Kami kehilangan orang berpotensi seperti Gea dan sekarang ditambah tidak ada yang berani bekerjasama dengan kami. Kau mau memberi kompensasi kami dengan apa?” “Kak Bei, aku bisa membantu Kakak mendapatkan Gea,” bujuk Sinta. “Lagi? Aku tidak ingin lagi bersama dengan trik kotormu. Pergi dari sini,” tukas Bei.“Kak Bei.”“Pergi!” usir Bei sambil melayangkan telunjuknya. ***Seorang perempuan berpakaian pelayan mengendap ke dapur. Ia menoleh ke kiri dan kanan. Setelah memastikan tidak ada orang, ia memasukkan sedikit bubuk pada sup dalam panci, kemudian mengaduknya. Ia memasukkan plastik bekas bubuk itu ke kantung pakaiannya dan bergegas pergi setelah memastikan tidak ada yang melihat tindakannya. ***“Kamu datang dari mana?” tanya Lyman setelah
Aroma wangi dari sup itu membuat Gea menelan ludahnya.Ahsin tersenyum melihat tingkah Gea. Ia mengambil mangkuk Gea, lalu mengisi mangkuk itu secentong sup. “Perutku lapar sekali,” ucap Gea sambil memandangi sup yang masih mengepulkan asap. Tiba-tiba Gea tersadar adanya seorang pelayan masih berdiri di dekat meja mereka. Ahsin mengikuti pandangan Gea. Ia baru menyadari istrinya itu tidak suka dikelilingi orang. “Kenapa kau masih berdiri di situ?”Pelayan itu terkesiap. Gea dapat melihat jelas pelayan itu menjadi gugup. “Maaf, Tuan Muda.” Gea terus mengawasi pelayan yang menjauh itu. Ia juga dapat melihat pelayan itu berkali-kali menoleh ke arahnya.Gea memajukan wajahnya. “Apa mereka selalu begitu?”“Tidak. Baru kali ini. Sepertinya dia melamun,” jawab Ahsin sambil mendekatkan sendok ke mulut.Spontan tangannya menampik pada sendok berisi kuah sup yang hendak dihirup Ahsin.Prang cling. Ahsin tersentak karena sendoknya jatuh. Kuah sup yang membasahi pakaiannya. Lebih terkejut lag
Ahsin menyentil hidung Gea. “Sebahagia itu?” *** Hanya telor mata sapi dan setangkup roti yang dibuat Ahsin menjadi sandwich, dihiasi daun selada dan saus tomat. Namun, makanan sederhana itu membuat mata Gea berbinar cerah. Ahsin tersenyum melihat istrinya yang terlihat lahap. “Nikmat atau memang sangat lapar?” “Keduanya,” sahut Gea dengan mulut masih penuh. Ahsin menyodorkan segelas air putih. “Yang paling penting, aku merasa aman menyantapnya.” Senyum Ahsin seketika hilang. “Apa perlu kita ke psikolog? Kan merepotkan kalau kau tidak bisa menyantap makanan bikinan orang lain.” Gea menggeleng cepat, dan menuntaskan makanannya. Ia berpindah duduk tepat di depan Ahsin. “Sebenarnya, aku melihat sikap pelayan di rumahmu mencurigakan,” lapor Gea dengan wajah serius. “Yang berdiri tadi? Dia sudah bekerja puluhan tahun. Dia di sana saat remaja bersama ibunya. Sekarang ibunya sudah berhenti, cuma dia yang terus bekerja di sana. Rumah itu sudah menjadi rumah kedua baginya. Menurutmu
“Nyonya yakin?”Gea mengangguk. Air mata yang nyaris jebol ditahannya. “Papa telah menyakit Ahsin, aku tak bisa kompromi lagi.”Ia menoleh pada ruang perawatan. “Fisiknya masih lemah, sekarang harus menerima pukulan sekeras itu.” Ia beralih pada Ferry. “Bagaimana dengan Sinta?” “Sudah ditangani pihak yang berwajib,” sahut Ferry.Gea mengangguk, kemudian kembali menatap ruang perawatan. “Kalau begitu, saya tinggal dulu,” pinta Ferry. Gea hanya memberi jawaban dengan anggukan. Saat sendiri, kecemasan kembali menyelimuti perasaan Gea. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada Ahsin dan semua itu dikarenakan dirinya. Ia menyandarkan punggungnya. “Ahsin, kau harus bertahan,” lirihnya. Entah berapa lama Gea berdiri sendirian, berharap cemas dan sesekali berdiri memandangi ruang tempat suaminya diberi tindakan. Charles dengan Ricky datang setengah berlari. “Bagaimana keadaan Bos?” “Belum tahu.” Charles membimbingnya duduk.“Bagaimana kalian bisa ke sini?” tanya Gea.“Ferry memberitahuk
“Gea!” Ahsin memegang bahu Gea. “Tenangkan dirimu.”“Bagaimana bisa tenang, Paman begini karena aku,” sahut Gea panik. “Gea, dengarkan aku.” Ahsin mengguncang bahu Gea. Seketika Gea terdiam. “Jangan menyalahkan diri. Paman melakukannya dengan senang hati. Kau juga lihat ‘kan senyumnya kemarin?”“Tapi ….”Ahsin mengusap wajah istrinya yang basah. “Selain itu, ternyata Paman mempunyai kanker paru-paru, jadi tusukan itu memparah kesehatannya yang buruk.”Gea menggenggam tangan Ahsin. “Kita ke sana ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.”“Paman belum sadar.”“Dia pasti dengar. Seperti kau bilang kemarin, kau mendengarnya hanya saja tidak bisa memberi respon.”Ahsin menghela napasnya. Ia merapikan rambut Gea. “Kau tidak menanyakan keadaanku? Kau tidak lihat, aku juga mengenakan gelang pasien?” Gea tergagap. Ia baru menyadari gelang yang dikenakan Ahsin. “Bukankah kau kelihatan baik-baik saja sekarang?” kilahnya.“Setidaknya kau bertanya perasaanku?” protes Ahsin dengan memasang
Ahsin sudah merasakan separuh nyawanya melayang. Ia tidak akan pernah rela Gea terluka untuknya. Namun, sepersekian detik ia dikejutkan fakta lain. “Paman?” seru Ahsin. Gea berbalik. Matanya membesar begitu melihat pisau yang dipegang Noura itu berada di badan Tuan Mirja.Noura tersentak. Pisau di tangannya terlepas. Badannya mendadak gemetaran. Ia sulit mempercayai penglihatannya. Bagaimana Tuan Mirja tiba-tiba menghalanginya? Melihat Noura yang syok, Ferry tidak membuang kesempatan itu. Ia berhasil meringkus Noura, sedang bodyguard lain menangkap anak buah Noura. Ferry menyerahkan Noura ke bodyguard lain. Ia segera menelpon ambulan.Ahsin menyambut tubuh Tuan Mirja yang hampir menyentuh tanah. “Kenapa Paman lakukan ini?” sesal Gea. Air matanya mendadak tumpah ruah. Tuan Mirja menyentuh pipi gigi dengan tangannya yang berlumuran darah. Ia menyunggingkan senyum. “Jangan menangis. Paman bahagia bisa melakukan ini. Keinginan Paman untuk menyelamatkan ibumu akhirnya tertunaikan hari
Gea tertawa. “Sekarang kau mengakui kehebatan seseorang yang hanya bisa belajar dengan otodidak?” ejek Gea lemas.Noura tersentil, tapi bukan waktunya memikirkan harga diri. Sudah berapa lama High tidak bisa diakses dan entah berapa milyar kerugian yang ia alami.Pria besar itu menyeret Gea dan mendudukkan ke kursi yang berhadapan dengan laptop. Noura mengambil pisaunya dan menodongkan ke leher. “Bersihkan.”“Kau pikir aku sebodoh itu? Kau akan membunuhku begitu Highmu kembali.”Plak. Sebuah tamparan mendarat ke pipi Gea. “Jangan keras kepala. Jika tidak, kau akan memohon kematian kepadaku.” Peuh. Gea menyemburkan ludahnya yang merah ke muka Noura, kemudian ia memasang wajah ejek. Plak. “Cepat lakukan!” teriak Noura. Ia semakin kesulitan mengendalikan emosinya. Kalau saja bukan karena ingat kerugian dan tuntutan yang akan dialaminya, ia tidak akan sesabar ini. “Begitu cara meminta. Noura, sekarang kau yang membutuhkanku.”Noura mengerjap. Terlihat kebimbangan di matanya. Gea teru
Tuan Mirja beralih pada dokter Austin. “Seberapa buruk, dokter?”“Seharusnya tidak apa, selama emosinya tidak dirangsang dan energinya tidak dikuras.”Mendadak Tuan Mirja jadi panik. “Dalam situasi ini bagaimana dia bisa tenang?” tukas Tuan Mirja. “Maafkan saya,” jawab dokter Austin. Tuan Mirja beralih pada Erwin. “Erwin, aku harus pergi. Tolong jaga Tuan Besar. Langsung saja telepon jika ada kabar.”Erwin mengangguk. Tuan Mirja berlalu, tetapi baru beberapa langkah ia berhenti. “Dokter, bisakah saya meminta waktu tinggal di sini sementara. Saya tidak bisa membayangkan kondisi ayah jika keduanya kenapa-napa.”“Saya mengerti. Pergilah.”“Terima kasih.” Tuan Mirja segera bergegas keluar. ***“Presdir, kemana saja? High diserang. Kami kewalahan.”Dengan gugup Noura membuka aplikasi lewat ponselnya. Benar saja, aplikasi tidak bisa diakses. Parahnya tampilan depan memperlihatkan tengkorak warna merah dengan dua tulang yang disilang. Ponselnya kembali berdering. Kali ini dari kepala bag
“Kau juga tahu itu?” Gea tersengal. Matanya memerah. Selain kesulitan bernapas, ia merasakan matanya nyaris keluar akibat urat lehernya yang dicekik. Tubuhnya bergerak-gerak ingin melakukan perlawanan, tapi apa yang dapat dilakukannya dengan tangan terikat.Noura melepas cekikannya. Napas Gea memburu. Berkali-kali ia batuk. "Aku tidak tahu siapa dia saat itu. Aku kira dia hanya seorang kuli,” ucapnya dengan napas masih tersengal.“Kuli?” Noura tergelak. "Kau pandai berbohong. Kenapa tidak menulis skenario saja? Mana ada orang ngajak nikah seorang kuli? Munafik!”Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi Gea. Seketika pipi putih itu menjadi memerah. Gea tersenyum sinis. “Aku munafik, lalu kau? Kau pura-pura bersikap manis, padahal di belakang menyerang perusahaannya. Merusak rem mobilnya. Ah, aku masih ingat kau memanggilnya Kak Ahsin.” Gea meniru nada Noura di ujung kalimatnya. Amarah Noura memuncak. Ia mendorong dengan segenap tenaga sehingga Gea terlempar dengan kursi. Gea meringis.
“Bagaimana orang asing bisa masuk ke komplek ini?” gumam Ferry. Ahsin hanya bisa terdiam. Selama ini ia hanya curiga kepada pamannya hingga tak terpikirkan ada kemungkinan lain. “Ya.” Ahsin menoleh ke arah Ferry. “Bos, mobil yang dideskripsikan Tuan Muda ternyata kosong.”Ahsin dan Ferry tersentak. Sesaat mereka saling tatap. “Kalian di mana?” tanya Ferry. “Kami di luar kota arah timur.”“Kita dikecohkan,” gumam Ahsin sambil menggenggam kepalan tangannya. “Terus lakukan pencarian!”“Baik, Tuan Muda,” sahut seorang pria lewat telepon itu. Dokter Austin menatap cemas. Tuan Mirja bergabung bersama mereka. “Kau sudah menemukan mereka?”Ahsin menggeleng. “Ferry, hubungi Ricky!”“Baik, Bos.” Ferry langsung menekan nama Ricky dan mengaktifkan speaker ponselnya.“Hallo, Kak Ferry!”“Ricky, Tuan Muda mau bicara.”“Ricky, Gea diculik.”“APA?” pekik Ricky. “Kami kesulitan mencarinya. Dia tidak membawa ponsel juga bros yang kau berikan. Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa melakukannya ta
“Eh, sadarkah kau beberapa hal yang dilakukan ibumu untukmu? Dari sini kita melihat ibumu sangat mencintaimu meski dia mengambil keputusan yang merugikannya.”“Di antaranya?”“Dia memberimu Gea Mas'udi. Dulu aku sempat bertanya-tanya mengapa nama belakangmu Mas'ud? Nama keluarga dari ibumu, bukan ayahmu. Dalam Islam itu tidak dibolehkan. Seorang anak harus mengikuti ayahnya.” Satu lagi pemahaman baru yang ia dapatkan. Mendadak kepalanya menjadi kusut. Ia memilih merebahkan kepala ke pangkuan Ahsin. Spontan Ahsin merapikan rambutnya. “Ternyata itu nama asli, bukan sematan. Nama yang tak bisa dihilangkan, seperti kebiasaan banyak orang ketika menikah berpindah ke nama suami. Mas'ud bukan nama belakang, tapi memang bagian dari namamu. Sehingga kemana pun kamu pergi Mas'ud ada dalam namamu. Dari situ, dapat kita pahami, ibumu ingin mengenalkan pada orang bahwa kamu putri Mas'ud. Meski disematkan nama ayahmu, orang-orang akan bisa mengenalimu bagian dari Mas'ud.”“Otakku makin kusut,” sun
“Ahsin, Gea, kalian ada di sini?” tanya Tuan Mirja begitu sampai ke ruang tengah. “Iya, Paman,” sahut Ahsin canggung. “Kenapa Ayah memanggilku?” tanya Tuan Mirja sambil duduk di sofa yang bersisian dengan Kakek. “Ayah tidak apa-apa, kan?” Kakek menggeleng. Ia menunjuk giok di atas meja itu dengan dagu. Melihat itu, seketika Tuan Mirja berubah raut mukanya. Gea yang sejak tadi memperhatikan Tuan Mirja dapat melihat ada luka yang sangat dalam wajah itu. “Paman, maaf. Saya baru menemukan giok ini di perbendaharaan ibu. Saya baru tahu kalau giok ini milik keluarga Buana. Paman, maaf, izinkan saya minta Paman menceritakannya kenapa giok ini ada di tangan ibu?” ucap Gea hati-hati.Tuan Mirja mengambil giok itu dengan raut sedih. Terlihat sebutir cairan bening menetes di pipi. “Kakek pasti sudah cerita pada kalian hubungan Paman dengan ibumu.”Gea mengangguk. Tuan Mirja menghela napas beratnya. Baru kali ini, Ahsin merasa iba dengan pamannya. “Aku sangat mencintai ibumu, bahkan aku tak
“Pamanmu berubah setelah seorang gadis yang bernama Atmiati Mas’ud bekerja di Buana. Sejak itu semuanya telah berubah.”Ahsin dan Gea saling tatap. Gea menahan napasnya. Meski ingatannya samar, Gea percaya ibunya orang baik. Namun, kenapa ibunya menjadi penyebab kekacauan yang dibuat Tuan Mirja? Ia berpikir, mungkinkah dulu ayahnya Ahsin dan Tuan Mirja memperebutkan ibunya?“Maksud Kakek gimana?” tanya Gea cemas. Ia merasakan jelas tangannya kini menjadi dingin. Beruntungnya, Ahsin masih menggenggam tangannya. Setidaknya kehangatan itu dapat membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, kemungkinan lain yang kembali membuatnya cemas. Ia takut ibunya mempunyai masa lalu yang membuat dirinya dibenci. “Mirja dan ibumu sempat menjadi sepasang kekasih.”Ahsin dan Gea tersentak, kemudian keduanya saling tatap. “Ibumu sebenarnya karyawan potensial di perusahaan. Kakek juga menyukai kepribadiannya. Sayangnya, Mirja saat itu telah ditunangkan sejak kecil demi memperkuat hubungan dua keluarga, terl