"Apa ini salah satu alasan mengapa Anda menyembunyikan latar belakang pendidikan Anda dari Ara, putri Anda sendiri? Karena Anda tidak ingin dia terlibat dalam keserakahan kotor para ilmuwan yang berambisi menciptakan virus mematikan itu?" Suara Aezar terdengar tegas, namun matanya memancarkan sorot tajam penuh rasa ingin tahu.
Pertanyaan itu menghentikan gerakan tangan Dharma. Ia terdiam sejenak, lalu terkekeh pelan, suara tawanya terdengar lebih pahit daripada lega. "Anak muda, kau ini rupanya cukup pintar. Kau bisa menyimpulkan sesuatu tanpa aku harus mengatakan apa pun secara langsung. Luar biasa." Ia menatap Aezar dengan ekspresi yang sulit dibaca, antara kagum dan tertekan. "Tapi ... Apa benar dugaan Ara? Kau juga sebenarnya menyembunyikan sesuatu? Mungkin latar belakang pendidikanmu?" "Tidak," jawab Aezar, tenang namun dingin, sambil menuangkan tepung beras ke dalam mangkuk. "Saya memang hanya lulusDharma kembali menghampiri Ara dan Aezar setelah menyelesaikan tugasnya memberi makan istri dan kedua anaknya yang lain. Wajahnya terlihat letih, tapi masih menyimpan kelembutan seorang ayah. Ara menoleh dengan penuh harap, tersenyum kecil ketika melihat sosok ayahnya mendekat."Ara, sudah selesai makan?" Dharma bertanya lembut, menatap putri sulungnya dengan tatapan penuh perhatian."Sudah, Papa," jawab Ara ringan, senyumnya seolah mencoba menyembunyikan rasa lelah yang sebenarnya masih membekas.Dharma tersenyum kecil, lalu mendekat untuk membopongnya. Tubuh Ara yang masih belum sepenuhnya pulih terasa ringan di pelukannya. "Bisa berjalan, kan? Kalau tidak, Papa bantu."Ara hanya mengangguk pelan, membiarkan dirinya dibopong menaiki tangga menuju lantai dua. Sesaat kemudian, suara kecilnya memecah keheningan, "Papa, apa kita benar-benar akan bertemu Mama, Ariana, dan Aurora? Mereka sudah sembuh?"Dharma menarik napas panjang, menjeda la
Ara menatap Aezar dengan tatapan haru, matanya mulai berkaca-kaca. "Daddy...," ucapnya pelan, penuh emosi.Anjani, yang meski lemah masih bisa mengikuti percakapan mereka, terkekeh pelan. "Ara sudah punya panggilan kesayangan saja," katanya lembut, senyumnya samar namun tulus."Tentu saja!" jawab Ara dengan bangga, nadanya penuh kebahagiaan yang terasa menular. "Mama saja memangil suaminya dengan sebutan papa. Aku juga mau memanggil calon suami ku dengan sebutan daddy!"Namun, Dharma mendengus, mencoba memecah suasana. "Yah ... Saat ini kau bisa mengatakan hal itu sekarang. Tapi tunggulah sampai kalian menikah. Nanti ucapanmu pasti akan berbeda. Awas saja kau selingkuh dengan wanita lain yang lebih pandai memasak atau yang lebih bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakmu!" ucapnya dengan nada setengah menyindir, matanya menatap tajam Aezar.Aezar menunduk, pandangannya tertuju pada Anjani dan kedua anaknya yang masih terbaring lemah di matras. M
Dharma memandang Aezar dan Ara dengan tatapan penuh sindiran, sudut bibirnya terangkat seolah mengejek. "Dasar budak cinta!" ujarnya dengan nada tajam, menyelipkan sedikit cibiran. "Kalau kau memang kuat, buktikan. Angkat Ara kalau kau bisa!" tantangnya, nada suara penuh keraguan, jelas menunjukkan bahwa ia tidak menganggap Aezar mampu melakukannya.Aezar menatap Dharma dengan tenang, senyum tipis terlukis di wajahnya. Tanpa sepatah kata, ia mengambil nampan dari meja yang di atasnya terdapat tumpukan piring, gelas, dan mangkuk kosong. Dengan satu tangan, ia mengangkat nampan itu dengan mudah. Lalu, tanpa kehilangan keseimbangan, Aezar berjongkok di depan Ara, mengangkat tubuh gadis itu dengan lembut. Satu tangan menopang di bawah lutut Ara, sementara yang lainnya tetap memegang nampan. Ara memeluk lehernya erat, tersenyum lebar seperti anak kecil yang merasa dimanjakan.Dharma melongo, mulutnya sedikit terbuka, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Ap
Dharma berdiri di depan wastafel, air mengalir deras dari keran, membasahi tangannya yang sibuk mencuci piring. Tapi pikirannya melayang jauh, meninggalkan kesibukan fisiknya. Tatapannya kosong menatap piring yang dipegangnya, sementara pikirannya penuh dengan satu sosok—Aezar."Anak muda itu..." gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar di tengah suara gemericik air. Matanya menyipit seolah sedang menilai sesuatu yang tidak kasat mata. "Dia sangat tampan, mandiri, tegas, baik, dan ramah. Dia terlihat terlalu sempurna... tanpa celah."Ia berhenti sejenak, menaruh piring yang telah selesai dicuci ke rak. Namun, pikirannya semakin gelisah. "Sempurna... Justru itulah masalahnya."Dharma menghela napas panjang, mengambil piring lain dari tumpukan, lalu kembali mencuci. Air yang dingin mengalir di tangannya, tapi dadanya terasa panas, penuh oleh kecurigaan yang terus tumbuh. "Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua orang punya kekurangan, sisi gelap, sesuatu yang disembunyikan...," ucapny
Ruangan lobi yang sebelumnya hening kini dipenuhi ketegangan yang pekat. Suara Dharma yang menggelegar menggema di dinding, memecah keheningan seperti petir di malam gelap. "Pergi dari sini!" titahnya dengan tegas, matanya menatap tajam ke arah Aezar, penuh amarah dan ketidakpercayaan.Aezar tetap berdiri tegak, wajahnya dingin tetapi ada sedikit rasa bersalah yang tersirat. "Maaf, Paman," ucapnya pelan namun tegas, "Saya tidak bisa melakukannya. Saya sudah berjanji pada Ara untuk melindunginya.""Pergi!" Dharma memukul meja dengan keras. Dentuman suara meja kayu yang terhantam menggema, membuat tubuh Aezar tetap tak bergeming, tetapi Ara yang tertidur di sofa tersentak. Ia membuka mata dengan bingung, wajahnya yang lelah tampak kebingungan menatap ayahnya."Papa? Ada apa ini?" tanyanya dengan suara serak, matanya berkedip menyesuaikan diri dengan cahaya di ruangan.Dharma segera berbalik, suaranya berubah menjadi lebih lembut tetapi masih penuh rasa khawatir. "Ara, kau baik-baik saja
Ruangan terasa dingin dan sunyi setelah kepergian Aezar, tetapi ketegangan yang tersisa membakar seperti api yang tak terlihat. Ara berdiri mematung, wajahnya dipenuhi air mata yang tak berhenti mengalir. Namun, bukan hanya kesedihan yang terpancar dari matanya—melainkan amarah yang mendidih. Ia menatap ayahnya dengan tajam, suaranya penuh getaran emosi. "Papa... Papa jahat! Papa sudah mengusir Daddy!"Dharma menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Ara," katanya, suaranya berat dan penuh penekanan. "Papa melakukan ini demi kebaikanmu, demi keamananmu. Kau harus memahami itu. Lihat luka di lenganmu—""Itu bukan Daddy yang salah!" Ara memotong dengan suara yang bergetar, tetapi tegas. "Aku sendiri yang memaksanya meminum darahku! Daddy tidak mau, tapi aku memaksa karena dia tidak bisa meminum darah zombie. Apa salahnya, Pa? Mendonorkan darah kepada yang membutuhkan, apa itu salah?!"Tatapan Dharma mengeras, namun ada rasa frustrasi yang mendalam di matanya. Ia menatap putr
Malam semakin larut, dan kesunyian di ruang tamu terasa begitu mencekam. Ara duduk di sofa, tubuhnya sedikit membungkuk, tangan meremas ujung bajunya. Matanya yang sembab dan memerah akibat terlalu banyak menangis kini hanya menatap kosong ke lantai. Di kepalanya, kata-kata Dharma terus terulang, seperti gema yang menghantam dinding pikirannya tanpa henti."Papa benar... Apa yang papa katakan adalah benar..." gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kepada dirinya sendiri. Bibirnya bergetar, mencoba menyangkal perasaan yang terus mencabik hatinya. "Sangat mencurigakan pria sesempurna dirinya memberikan semua perhatian itu padaku. Mana mungkin ada pria seperti itu? Tidak ada pria yang lebih tulus dari Papa! Bahkan di luar sana, banyak ayah yang meninggalkan istri dan anak-anaknya demi wanita lain. Apa yang aku harapkan dari pria seperti Aezar?"Ara menunduk semakin dalam, mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan. Logika dan emosinya terus bertarung, saling beradu tanpa ada yang mau men
Malam semakin larut, hanya suara angin yang berdesir lembut di luar jendela. Ara tertidur di pelukan Dharma, wajahnya basah oleh air mata yang mengering, tampak begitu rapuh seperti seorang anak kecil yang kembali ke pelukan ayahnya untuk berlindung dari dunia yang keras. Dharma memandangi wajah putrinya dengan perasaan yang bercampur aduk—kasih sayang, penyesalan, dan tekad yang semakin menguat.Dengan hati-hati, Dharma meletakkan Ara di sofa. Ia merapikan posisi tidur putrinya agar lebih nyaman, lalu menyelimuti tubuhnya yang mungil. Tangannya terulur, mengusap lembut rambut Ara, merasakan kehalusan setiap helaian rambutnya. Sebuah senyum tipis yang penuh kepedihan muncul di wajahnya. "Ara... Papa tahu kau kuat. Tapi di balik kekuatan itu, kau tetap putri kecil Papa yang butuh perlindungan. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu."Dharma menghela napas panjang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Suaranya keluar seperti bisikan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. "Sebenarn
Ara dengan kasar menepis tangan Aether dari pahanya, kemarahan dan kekecewaan jelas tergambar di wajahnya yang masih basah oleh air mata. Mata dinginnya menatap Aether dengan tajam, seolah-olah pandangan itu bisa menghancurkan pria di depannya. "Jangan sentuh aku lagi! Jangan berjanji kalau kau bahkan tidak yakin bisa menepatinya! Kau adalah adik Aezar. Meskipun bukan saudara kandung, kalian tumbuh bersama bertahun-tahun. Kau pasti sama saja dengan dia! Pembohong dan manipulatif!"Aether hanya terkekeh pelan, seolah-olah tidak terusik oleh kemarahan Ara. Tangannya kembali ke setir, mengendalikan mobil dengan santai di tengah jalanan kosong yang penuh dengan mayat zombie yang berserakan. "Omong kosong apa yang sedang kau katakan, Ara? Kau salah besar. Aku tidak sama dengan kakakku—"Belum sempat Aether menyelesaikan kalimatnya, Ara langsung memotong dengan tajam, “Tunggu dulu! Aku punya tiga pertanyaan untukmu!”Aether menoleh sedikit ke arahnya, tanpa mengurangi fokusnya pada jalan. E
“Sekarang kau percaya dengan adanya penyakit kepribadian gandamu?” Suara dingin Eryas terdengar menggema dari ujung pintu, memecah suasana yang terasa begitu berat. Matanya yang tajam menatap Kaelen tanpa sedikit pun rasa simpati.Kaelen, yang masih duduk di lantai dengan lutut menekuk, mengangkat wajahnya perlahan. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah, namun juga kelegaan karena akhirnya ia menyadari apa yang selama ini terjadi. “Aku percaya...” jawabnya singkat, suara itu seperti gumaman penuh kepasrahan.Eryas mengangguk kecil tanpa ekspresi. “Bagus. Kini saatnya kau menghadapi kebenaran ini.” Dia berbalik dengan santai, langkahnya bergema di lantai yang sepi.Kaelen berdiri perlahan, menyusul Eryas tanpa menoleh sedikit pun ke arah Ara. Matanya tetap tertunduk, merasa dirinya tidak pantas untuk memberikan penjelasan atau bahkan sekadar permintaan maaf kepada Ara. Dalam hatinya, ia tahu dirinya telah berubah menjadi monster yang bahkan tidak ia kenali sendiri.“Kau mau pergi begitu saja
Ara mundur perlahan, tubuhnya gemetar hebat saat Kaelen terus mendekat dengan senyum menyeramkan yang seolah-olah mengiris udara di antara mereka. “Ta-tapi… aku benar-benar tidak tahu apa-apa…” suaranya bergetar, matanya penuh ketakutan. “Kak Kaelen tahu sendiri… Papaku bahkan menyembunyikan pendidikan terakhirnya dariku.”Kaelen terkekeh pelan, suara tawanya terdengar lebih seperti desisan ular. Ia menatap Ara dengan sorot mata yang kini tak lagi berkilauan lembut seperti biasanya. Ada kegilaan di sana, bayangan dendam yang membara. “Sudah aku katakan berkali-kali, Ara… Aku bukan Kaelen yang ramah dan manja itu. Aku adalah sesuatu yang berbeda. Versi tersembunyi. Alter ego yang selama ini menjaga Kaelen dari manusia-manusia keji seperti dirimu dan keluargamu.”Dengan satu gerakan cepat, Kaelen mencabut sisiknya yang padat dari tangannya. Ia menancapkan benda itu ke lantai dengan kekuatan yang membuatnya retak dan hancur berkeping-keping, serpihan lantai beterbangan ke segala arah. Su
Kaelen berjalan perlahan mengitari Ara, seperti singa mengelilingi mangsanya. Setiap langkahnya terdengar menggema, memantul di dinding ruangan yang kini terasa lebih sunyi dan mencekam. Matanya yang biru menyala tajam, memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan—amarah, kepedihan, dan kebencian yang bercampur menjadi satu. Ia menarik napas dalam, lalu memulai cerita dengan nada yang dingin dan penuh ironi."Akan aku ceritakan kisah romantis paling gelap yang pernah dialami papaku, Rafael," ucapnya perlahan, suaranya seperti duri yang menusuk telinga. "Kisah cinta yang mengajarkan bahwa jatuh cinta kepada manusia adalah dosa terbesar seorang merman."Ara hanya bisa duduk terpaku, meskipun rasa takut mulai menggenggam hatinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Kaelen bagaikan racun yang mengalir pelan, merusak segala pikiran positif yang berusaha ia pertahankan."Semua bermula pada malam yang penuh gemuruh ombak. Mamaku, seorang artis terkenal, berdiri di at
Kaelen menatap Ara dengan sorot mata yang sulit ditebak. Senyumnya yang biasanya santai kini memudar, menyisakan ekspresi penuh tanya. "Omong-omong," katanya akhirnya, suaranya sedikit lebih rendah, seperti sedang menahan sesuatu. "Kau tahu dari mana kalau aku merman?"Ara mengangkat bahu, memasang ekspresi seolah itu adalah pertanyaan bodoh. "Tentu saja tahu," jawabnya ringan, tetapi setiap katanya terucap dengan nada penuh keyakinan. "Kau selalu terlihat berenang di akuarium raksasa dan sering mengadakan pertunjukan. Sejak kau masih lima tahun, tapi sudah bisa menahan napas begitu lama di dalam air dan berakting menjadi merman. Mana mungkin kau manusia? Dan lagipula," Ara menambahkan, menatap Kaelen dengan tatapan penuh arti, "semua orang tahu papamu adalah merman. Itu bukan rahasia umum lagi."Kaelen terkekeh pelan mendengar jawaban Ara, tetapi tawa itu tidak bertahan lama. Tatapan matanya meredup, senyumnya berubah menjadi ekspresi melankolis yang jarang terlih
"Kak Kaelen, apa kau tahu perbedaanmu dengan nyamuk?" tanya Ara dengan nada menggoda. Tatapan matanya penuh kelicikan, seperti anak kecil yang siap mengeluarkan lelucon.Kaelen menoleh, alisnya terangkat, lalu memasang senyum sombong yang khas. Dia menyandarkan tubuhnya dengan santai, seolah yakin akan mendengar pujian manis. "Apa bedanya?" tanyanya, suaranya penuh antusiasme palsu.Namun, jawaban yang keluar dari bibir Ara membuat senyum itu lenyap seketika. "Tidak ada bedanya! Sama-sama harus dibasmi menggunakan obat nyamuk agar mati!"Untuk beberapa detik, Kaelen hanya terdiam, menatap Ara dengan ekspresi datar. Lalu dia menggeleng pelan sambil menarik napas dalam, seperti seorang guru sabar menghadapi murid nakal. "Mulutnya... Adik cantik tidak boleh berbicara kasar seperti itu. Tidak baik!" ucapnya dengan nada pura-pura prihatin.Ara tersenyum lebar, menantang, lalu menjawab dengan cepat, "Tidak baik, tapi terbaik!"Kaelen menatapnya
Kaelen menatap Ara dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, namun senyuman tipis di wajahnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Bibirnya melengkung, nyaris seperti mencemooh, ketika dia bertanya dengan nada santai, "Jadi, bagaimana menurutmu tentang Aezar?"Ara menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang berkecamuk. Setelah beberapa saat, dia membuka mulutnya, dan suara tegasnya menguar di udara seperti seorang mahasiswi yang baru saja menguasai materi untuk presentasi penting. "Sebelum membahas sifat dan kepribadian Aezar," katanya, nadanya mendadak terstruktur seperti menyampaikan argumen dalam debat formal. "Mari kita bahas dulu mengenai kondisi eksternal yang sedang dirasakan Aezar!"Kaelen mengangkat alisnya sedikit, memperhatikan dengan ketertarikan yang tulus, meskipun senyumnya yang penuh teka-teki masih melekat di wajahnya. Ara melanjutkan, kini penuh semangat seperti seseorang yang kerasukan jiwa seorang akademisi. "Untuk saat ini, alasan Aezar pergi adalah unt
Ara menatap Kaelen dengan mata yang penuh amarah dan kebingungan. Suaranya pecah ketika dia mencoba mempertahankan nada tegasnya. "Jadi..." katanya, menarik napas panjang untuk mengendalikan dirinya. "Apa tujuanmu sebenarnya memberitahukan semua ini padaku?! Apa yang kau inginkan dariku?!"Kaelen hanya terkekeh pelan, sebuah tawa yang terdengar seperti gemerisik pisau yang diseret di atas kaca. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari Ara, seperti predator yang sedang mengamati mangsanya. Dengan gerakan lambat namun penuh maksud, dia mengulurkan tangannya, menyentuh rambut Ara dengan lembut. Sentuhan itu terlihat penuh kasih sayang, tetapi ada sesuatu yang gelap di baliknya—sesuatu yang membuat Ara ingin menjauh sejauh mungkin."Kau akan tahu nanti malam," jawab Kaelen dengan nada tenang, nyaris seperti bisikan. Suaranya terdengar lembut, tetapi dingin, seperti hembusan angin malam yang menusuk. "Namun, untuk sekarang, kenapa kita tidak berbincang santai saja? Anggap ini momen istimewa
Eryas memandang Ara dengan tatapan dingin sebelum mendengus kasar. Tanpa peringatan, dia melayangkan tendangan keras ke sisi tubuh Ara, membuat gadis itu terseret beberapa meter di lantai yang dingin dan kasar. Ara tersentak, merasakan sakit menjalar di tubuhnya, namun ia tidak sempat merintih."Aku tidak punya waktu untuk meladeni kebodohanmu," kata Eryas tajam, suaranya penuh dengan ketidaksabaran. Dia berbalik, langkah kakinya berat dan tegas, meninggalkan Ara tergeletak di lantai.Kaelen, yang berdiri bersandar di dinding dengan sikap santai, mendekati Ara dengan langkah ringan setelah Eryas keluar dari ruangan. Dia berhenti di depan gadis yang masih terengah-engah di lantai, menatapnya dengan senyum tipis di wajah tampannya.Kaelen mengulurkan tangan, isyarat sederhana untuk membantu Ara berdiri. Ara memandangnya dengan penuh keraguan, tapi akhirnya ia menerima tangan itu. Sentuhan Kaelen terasa hangat, berbeda jauh dengan dinginnya perlakuan Eryas."Maafkan dia," kata Kaelen den