Dharma menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Matanya memandang lembut ke arah Ara yang duduk di hadapannya, bahunya yang mungil terlihat bergetar halus karena tangis yang tertahan. Ia mendekatkan diri, menunduk sedikit hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan nada yang pelan tapi penuh ketegasan, ia berkata, "Ara, kau tidak perlu membohongi Papa. Papa tahu, kau tidak mungkin mempertaruhkan nyawamu untuk seseorang yang hanya kau anggap sebagai sekadar tumpuan. Jika kau sampai sejauh itu, berarti kau benar-benar peduli. Papa bisa melihatnya."Ara terdiam, seolah kata-kata ayahnya itu menghantam benteng yang selama ini ia bangun. Pandangannya jatuh ke lantai, matanya berusaha menghindari tatapan Dharma. Namun, tak mampu lagi menahan semua yang mengganjal, air matanya mulai mengalir deras. Butiran-butiran hangat itu jatuh tanpa henti, seperti banjir yang tak terbendung. Dengan suara yang bergetar, ia b
Malam semakin larut. Hembusan angin dingin menyelinap masuk lewat celah-celah kecil jendela, menambah kesunyian yang terasa mencekam. Di sofa lobby yang sudah usang, Ara tertidur lelap, tubuhnya terbungkus selimut tipis. Dharma terlelap di lantai, bersandar pada kaki sofa, seperti seorang penjaga yang tidak pernah meninggalkan posnya.Namun, ketenangan itu buyar dalam sekejap. Sebuah suara samar, hampir tak terdengar, merayap masuk ke dalam ruangan. Tanpa aba-aba, sebuah bayangan gelap muncul di atas Ara. Sebuah pisau tajam melayang rendah, hampir menyentuh lehernya."Bangun!" Sebuah suara dingin terdengar. Ara membuka matanya dengan panik. Pandangannya kabur, tapi ia bisa merasakan dinginnya bilah logam di kulitnya."Apa ini?! Papa!" serunya, tapi teriakan itu langsung teredam. Sebuah tangan besar dan kasar membungkam mulutnya, membuatnya terdiam dalam ketakutan."Diam! Jangan melawan, atau aku tidak akan segan-segan menghabisimu!" bisik pria itu
Ruangan itu dipenuhi dengan aroma zat kimia yang menusuk hidung. Cahaya redup dari lampu neon yang menggantung di langit-langit membuat bayangan peralatan laboratorium tampak menyeramkan, seperti tangan-tangan tak terlihat yang siap mencengkeram. Di tengah kekacauan itu, Ara terbaring di lantai dingin, tubuhnya terikat erat oleh tali tebal yang menahan kedua tangan dan kakinya. Usahanya untuk melawan hanya menghasilkan bunyi gesekan yang menyakitkan."Hei! Lepaskan aku sekarang juga!" seru Ara, suaranya lantang meski nadanya dipenuhi rasa takut dan amarah. Matanya menyala seperti api yang mencoba membakar setiap pandangan kejam yang diarahkan padanya. Namun, suaranya hanya disambut oleh tawa kecil yang dingin."Diam," ujar Eryas, pria berambut hitam dengan mata hijau dingin yang memandangnya tanpa rasa simpati. Di tangannya, sebuah jarum suntik besar berkilauan di bawah cahaya, membuat bayangan tajam di dinding. "Kaelen, pegang dia."Kaelen, pria berambut biru tua dengan senyum yang t
Eryas memandang Ara dengan tatapan dingin sebelum mendengus kasar. Tanpa peringatan, dia melayangkan tendangan keras ke sisi tubuh Ara, membuat gadis itu terseret beberapa meter di lantai yang dingin dan kasar. Ara tersentak, merasakan sakit menjalar di tubuhnya, namun ia tidak sempat merintih."Aku tidak punya waktu untuk meladeni kebodohanmu," kata Eryas tajam, suaranya penuh dengan ketidaksabaran. Dia berbalik, langkah kakinya berat dan tegas, meninggalkan Ara tergeletak di lantai.Kaelen, yang berdiri bersandar di dinding dengan sikap santai, mendekati Ara dengan langkah ringan setelah Eryas keluar dari ruangan. Dia berhenti di depan gadis yang masih terengah-engah di lantai, menatapnya dengan senyum tipis di wajah tampannya.Kaelen mengulurkan tangan, isyarat sederhana untuk membantu Ara berdiri. Ara memandangnya dengan penuh keraguan, tapi akhirnya ia menerima tangan itu. Sentuhan Kaelen terasa hangat, berbeda jauh dengan dinginnya perlakuan Eryas."Maafkan dia," kata Kaelen den
Ara menatap Kaelen dengan mata yang penuh amarah dan kebingungan. Suaranya pecah ketika dia mencoba mempertahankan nada tegasnya. "Jadi..." katanya, menarik napas panjang untuk mengendalikan dirinya. "Apa tujuanmu sebenarnya memberitahukan semua ini padaku?! Apa yang kau inginkan dariku?!"Kaelen hanya terkekeh pelan, sebuah tawa yang terdengar seperti gemerisik pisau yang diseret di atas kaca. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari Ara, seperti predator yang sedang mengamati mangsanya. Dengan gerakan lambat namun penuh maksud, dia mengulurkan tangannya, menyentuh rambut Ara dengan lembut. Sentuhan itu terlihat penuh kasih sayang, tetapi ada sesuatu yang gelap di baliknya—sesuatu yang membuat Ara ingin menjauh sejauh mungkin."Kau akan tahu nanti malam," jawab Kaelen dengan nada tenang, nyaris seperti bisikan. Suaranya terdengar lembut, tetapi dingin, seperti hembusan angin malam yang menusuk. "Namun, untuk sekarang, kenapa kita tidak berbincang santai saja? Anggap ini momen istimewa
Kaelen menatap Ara dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, namun senyuman tipis di wajahnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Bibirnya melengkung, nyaris seperti mencemooh, ketika dia bertanya dengan nada santai, "Jadi, bagaimana menurutmu tentang Aezar?"Ara menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang berkecamuk. Setelah beberapa saat, dia membuka mulutnya, dan suara tegasnya menguar di udara seperti seorang mahasiswi yang baru saja menguasai materi untuk presentasi penting. "Sebelum membahas sifat dan kepribadian Aezar," katanya, nadanya mendadak terstruktur seperti menyampaikan argumen dalam debat formal. "Mari kita bahas dulu mengenai kondisi eksternal yang sedang dirasakan Aezar!"Kaelen mengangkat alisnya sedikit, memperhatikan dengan ketertarikan yang tulus, meskipun senyumnya yang penuh teka-teki masih melekat di wajahnya. Ara melanjutkan, kini penuh semangat seperti seseorang yang kerasukan jiwa seorang akademisi. "Untuk saat ini, alasan Aezar pergi adalah unt
"Kak Kaelen, apa kau tahu perbedaanmu dengan nyamuk?" tanya Ara dengan nada menggoda. Tatapan matanya penuh kelicikan, seperti anak kecil yang siap mengeluarkan lelucon.Kaelen menoleh, alisnya terangkat, lalu memasang senyum sombong yang khas. Dia menyandarkan tubuhnya dengan santai, seolah yakin akan mendengar pujian manis. "Apa bedanya?" tanyanya, suaranya penuh antusiasme palsu.Namun, jawaban yang keluar dari bibir Ara membuat senyum itu lenyap seketika. "Tidak ada bedanya! Sama-sama harus dibasmi menggunakan obat nyamuk agar mati!"Untuk beberapa detik, Kaelen hanya terdiam, menatap Ara dengan ekspresi datar. Lalu dia menggeleng pelan sambil menarik napas dalam, seperti seorang guru sabar menghadapi murid nakal. "Mulutnya... Adik cantik tidak boleh berbicara kasar seperti itu. Tidak baik!" ucapnya dengan nada pura-pura prihatin.Ara tersenyum lebar, menantang, lalu menjawab dengan cepat, "Tidak baik, tapi terbaik!"Kaelen menatapnya
Kaelen menatap Ara dengan sorot mata yang sulit ditebak. Senyumnya yang biasanya santai kini memudar, menyisakan ekspresi penuh tanya. "Omong-omong," katanya akhirnya, suaranya sedikit lebih rendah, seperti sedang menahan sesuatu. "Kau tahu dari mana kalau aku merman?"Ara mengangkat bahu, memasang ekspresi seolah itu adalah pertanyaan bodoh. "Tentu saja tahu," jawabnya ringan, tetapi setiap katanya terucap dengan nada penuh keyakinan. "Kau selalu terlihat berenang di akuarium raksasa dan sering mengadakan pertunjukan. Sejak kau masih lima tahun, tapi sudah bisa menahan napas begitu lama di dalam air dan berakting menjadi merman. Mana mungkin kau manusia? Dan lagipula," Ara menambahkan, menatap Kaelen dengan tatapan penuh arti, "semua orang tahu papamu adalah merman. Itu bukan rahasia umum lagi."Kaelen terkekeh pelan mendengar jawaban Ara, tetapi tawa itu tidak bertahan lama. Tatapan matanya meredup, senyumnya berubah menjadi ekspresi melankolis yang jarang terlih
Ara dengan kasar menepis tangan Aether dari pahanya, kemarahan dan kekecewaan jelas tergambar di wajahnya yang masih basah oleh air mata. Mata dinginnya menatap Aether dengan tajam, seolah-olah pandangan itu bisa menghancurkan pria di depannya. "Jangan sentuh aku lagi! Jangan berjanji kalau kau bahkan tidak yakin bisa menepatinya! Kau adalah adik Aezar. Meskipun bukan saudara kandung, kalian tumbuh bersama bertahun-tahun. Kau pasti sama saja dengan dia! Pembohong dan manipulatif!"Aether hanya terkekeh pelan, seolah-olah tidak terusik oleh kemarahan Ara. Tangannya kembali ke setir, mengendalikan mobil dengan santai di tengah jalanan kosong yang penuh dengan mayat zombie yang berserakan. "Omong kosong apa yang sedang kau katakan, Ara? Kau salah besar. Aku tidak sama dengan kakakku—"Belum sempat Aether menyelesaikan kalimatnya, Ara langsung memotong dengan tajam, “Tunggu dulu! Aku punya tiga pertanyaan untukmu!”Aether menoleh sedikit ke arahnya, tanpa mengurangi fokusnya pada jalan. E
“Sekarang kau percaya dengan adanya penyakit kepribadian gandamu?” Suara dingin Eryas terdengar menggema dari ujung pintu, memecah suasana yang terasa begitu berat. Matanya yang tajam menatap Kaelen tanpa sedikit pun rasa simpati.Kaelen, yang masih duduk di lantai dengan lutut menekuk, mengangkat wajahnya perlahan. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah, namun juga kelegaan karena akhirnya ia menyadari apa yang selama ini terjadi. “Aku percaya...” jawabnya singkat, suara itu seperti gumaman penuh kepasrahan.Eryas mengangguk kecil tanpa ekspresi. “Bagus. Kini saatnya kau menghadapi kebenaran ini.” Dia berbalik dengan santai, langkahnya bergema di lantai yang sepi.Kaelen berdiri perlahan, menyusul Eryas tanpa menoleh sedikit pun ke arah Ara. Matanya tetap tertunduk, merasa dirinya tidak pantas untuk memberikan penjelasan atau bahkan sekadar permintaan maaf kepada Ara. Dalam hatinya, ia tahu dirinya telah berubah menjadi monster yang bahkan tidak ia kenali sendiri.“Kau mau pergi begitu saja
Ara mundur perlahan, tubuhnya gemetar hebat saat Kaelen terus mendekat dengan senyum menyeramkan yang seolah-olah mengiris udara di antara mereka. “Ta-tapi… aku benar-benar tidak tahu apa-apa…” suaranya bergetar, matanya penuh ketakutan. “Kak Kaelen tahu sendiri… Papaku bahkan menyembunyikan pendidikan terakhirnya dariku.”Kaelen terkekeh pelan, suara tawanya terdengar lebih seperti desisan ular. Ia menatap Ara dengan sorot mata yang kini tak lagi berkilauan lembut seperti biasanya. Ada kegilaan di sana, bayangan dendam yang membara. “Sudah aku katakan berkali-kali, Ara… Aku bukan Kaelen yang ramah dan manja itu. Aku adalah sesuatu yang berbeda. Versi tersembunyi. Alter ego yang selama ini menjaga Kaelen dari manusia-manusia keji seperti dirimu dan keluargamu.”Dengan satu gerakan cepat, Kaelen mencabut sisiknya yang padat dari tangannya. Ia menancapkan benda itu ke lantai dengan kekuatan yang membuatnya retak dan hancur berkeping-keping, serpihan lantai beterbangan ke segala arah. Su
Kaelen berjalan perlahan mengitari Ara, seperti singa mengelilingi mangsanya. Setiap langkahnya terdengar menggema, memantul di dinding ruangan yang kini terasa lebih sunyi dan mencekam. Matanya yang biru menyala tajam, memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan—amarah, kepedihan, dan kebencian yang bercampur menjadi satu. Ia menarik napas dalam, lalu memulai cerita dengan nada yang dingin dan penuh ironi."Akan aku ceritakan kisah romantis paling gelap yang pernah dialami papaku, Rafael," ucapnya perlahan, suaranya seperti duri yang menusuk telinga. "Kisah cinta yang mengajarkan bahwa jatuh cinta kepada manusia adalah dosa terbesar seorang merman."Ara hanya bisa duduk terpaku, meskipun rasa takut mulai menggenggam hatinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Kaelen bagaikan racun yang mengalir pelan, merusak segala pikiran positif yang berusaha ia pertahankan."Semua bermula pada malam yang penuh gemuruh ombak. Mamaku, seorang artis terkenal, berdiri di at
Kaelen menatap Ara dengan sorot mata yang sulit ditebak. Senyumnya yang biasanya santai kini memudar, menyisakan ekspresi penuh tanya. "Omong-omong," katanya akhirnya, suaranya sedikit lebih rendah, seperti sedang menahan sesuatu. "Kau tahu dari mana kalau aku merman?"Ara mengangkat bahu, memasang ekspresi seolah itu adalah pertanyaan bodoh. "Tentu saja tahu," jawabnya ringan, tetapi setiap katanya terucap dengan nada penuh keyakinan. "Kau selalu terlihat berenang di akuarium raksasa dan sering mengadakan pertunjukan. Sejak kau masih lima tahun, tapi sudah bisa menahan napas begitu lama di dalam air dan berakting menjadi merman. Mana mungkin kau manusia? Dan lagipula," Ara menambahkan, menatap Kaelen dengan tatapan penuh arti, "semua orang tahu papamu adalah merman. Itu bukan rahasia umum lagi."Kaelen terkekeh pelan mendengar jawaban Ara, tetapi tawa itu tidak bertahan lama. Tatapan matanya meredup, senyumnya berubah menjadi ekspresi melankolis yang jarang terlih
"Kak Kaelen, apa kau tahu perbedaanmu dengan nyamuk?" tanya Ara dengan nada menggoda. Tatapan matanya penuh kelicikan, seperti anak kecil yang siap mengeluarkan lelucon.Kaelen menoleh, alisnya terangkat, lalu memasang senyum sombong yang khas. Dia menyandarkan tubuhnya dengan santai, seolah yakin akan mendengar pujian manis. "Apa bedanya?" tanyanya, suaranya penuh antusiasme palsu.Namun, jawaban yang keluar dari bibir Ara membuat senyum itu lenyap seketika. "Tidak ada bedanya! Sama-sama harus dibasmi menggunakan obat nyamuk agar mati!"Untuk beberapa detik, Kaelen hanya terdiam, menatap Ara dengan ekspresi datar. Lalu dia menggeleng pelan sambil menarik napas dalam, seperti seorang guru sabar menghadapi murid nakal. "Mulutnya... Adik cantik tidak boleh berbicara kasar seperti itu. Tidak baik!" ucapnya dengan nada pura-pura prihatin.Ara tersenyum lebar, menantang, lalu menjawab dengan cepat, "Tidak baik, tapi terbaik!"Kaelen menatapnya
Kaelen menatap Ara dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, namun senyuman tipis di wajahnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Bibirnya melengkung, nyaris seperti mencemooh, ketika dia bertanya dengan nada santai, "Jadi, bagaimana menurutmu tentang Aezar?"Ara menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang berkecamuk. Setelah beberapa saat, dia membuka mulutnya, dan suara tegasnya menguar di udara seperti seorang mahasiswi yang baru saja menguasai materi untuk presentasi penting. "Sebelum membahas sifat dan kepribadian Aezar," katanya, nadanya mendadak terstruktur seperti menyampaikan argumen dalam debat formal. "Mari kita bahas dulu mengenai kondisi eksternal yang sedang dirasakan Aezar!"Kaelen mengangkat alisnya sedikit, memperhatikan dengan ketertarikan yang tulus, meskipun senyumnya yang penuh teka-teki masih melekat di wajahnya. Ara melanjutkan, kini penuh semangat seperti seseorang yang kerasukan jiwa seorang akademisi. "Untuk saat ini, alasan Aezar pergi adalah unt
Ara menatap Kaelen dengan mata yang penuh amarah dan kebingungan. Suaranya pecah ketika dia mencoba mempertahankan nada tegasnya. "Jadi..." katanya, menarik napas panjang untuk mengendalikan dirinya. "Apa tujuanmu sebenarnya memberitahukan semua ini padaku?! Apa yang kau inginkan dariku?!"Kaelen hanya terkekeh pelan, sebuah tawa yang terdengar seperti gemerisik pisau yang diseret di atas kaca. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari Ara, seperti predator yang sedang mengamati mangsanya. Dengan gerakan lambat namun penuh maksud, dia mengulurkan tangannya, menyentuh rambut Ara dengan lembut. Sentuhan itu terlihat penuh kasih sayang, tetapi ada sesuatu yang gelap di baliknya—sesuatu yang membuat Ara ingin menjauh sejauh mungkin."Kau akan tahu nanti malam," jawab Kaelen dengan nada tenang, nyaris seperti bisikan. Suaranya terdengar lembut, tetapi dingin, seperti hembusan angin malam yang menusuk. "Namun, untuk sekarang, kenapa kita tidak berbincang santai saja? Anggap ini momen istimewa
Eryas memandang Ara dengan tatapan dingin sebelum mendengus kasar. Tanpa peringatan, dia melayangkan tendangan keras ke sisi tubuh Ara, membuat gadis itu terseret beberapa meter di lantai yang dingin dan kasar. Ara tersentak, merasakan sakit menjalar di tubuhnya, namun ia tidak sempat merintih."Aku tidak punya waktu untuk meladeni kebodohanmu," kata Eryas tajam, suaranya penuh dengan ketidaksabaran. Dia berbalik, langkah kakinya berat dan tegas, meninggalkan Ara tergeletak di lantai.Kaelen, yang berdiri bersandar di dinding dengan sikap santai, mendekati Ara dengan langkah ringan setelah Eryas keluar dari ruangan. Dia berhenti di depan gadis yang masih terengah-engah di lantai, menatapnya dengan senyum tipis di wajah tampannya.Kaelen mengulurkan tangan, isyarat sederhana untuk membantu Ara berdiri. Ara memandangnya dengan penuh keraguan, tapi akhirnya ia menerima tangan itu. Sentuhan Kaelen terasa hangat, berbeda jauh dengan dinginnya perlakuan Eryas."Maafkan dia," kata Kaelen den