Setelah menyelesaikan cucian piring, Aezar dengan tenang menaruh piring-piring bersih yang masih basah ke atas rak. Gerakannya lembut, namun ada kesan penuh perhitungan di setiap tindakannya. Setelah mematikan keran, ia mencipratkan air dari tangannya yang masih basah ke bawah wastafel. Dengan gerakan elegan, ia mengambil selembar tisu, mengeringkan tangannya secara perlahan, sebelum membuang tisu tersebut ke tempat sampah di samping wastafel. Tak lama kemudian, ia menyeret kursi dan duduk di samping Ara.
Ara yang sejak tadi hanya memperhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu, langsung duduk tegak. Wajahnya menunjukkan antusiasme, bibirnya sedikit terbuka, seperti hendak menanyakan sesuatu. Namun, seketika ia membatalkan niatnya. Pikirannya mulai dihantui bayangan kemungkinan respon dingin atau aneh dari Aezar, membuatnya memilih bungkam."Kenapa, Ara?" suara Aezar terdengar lembut, hampir seperti bisikan yang mengalir di antara mereka. Tangannya, besar dan hangat,Aezar menatap layar ponsel di tangannya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan, campuran antara jijik, kesal, dan rasa malu yang membakar. Jari-jari lentiknya terus menggeser layar, membuka satu demi satu foto dan video yang menghuni galeri ponsel Ara. Setiap kali gambarnya muncul, rahangnya semakin mengeras, napasnya semakin berat. "Apa-apaan ini..." gumamnya lirih, tapi nada suaranya mengandung ancaman. "Wajah polos, tingkah laku seperti anak baik-baik," bisiknya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. "Tapi isi galerinya... seperti gadis nakal yang hyper." Di depannya, Ara hanya bisa menunduk dalam-dalam. Kedua tangannya saling meremas, jemarinya gemetar saat rasa malu menyerang seluruh tubuhnya. Ia merasa seperti seorang kriminal yang baru saja tertangkap basah oleh hakim yang tidak akan memberi keringanan hukuman. "Ara!" Suara Aezar memecah keheningan, tajam dan penuh tuntutan. Ia mengangkat ponsel Ara tinggi-tinggi, mem
Ara terjatuh berlutut di atap. Kakinya terasa sangat lemas, seolah tak sanggup menopang tubuh mungilnya lagi. Udara di sekeliling terasa semakin berat saat pikirannya berputar-putar, didera bayangan tentang keluarganya yang telah menjadi zombie. Air matanya mulai jatuh perlahan, membasahi pipi chubby-nya. Dengan suara yang nyaris tidak terdengar, ia bergumam di sela-sela isakannya. "Keluargaku... Keluargaku yang sudah menjadi zombie... Artinya mereka juga..."Aezar tidak tinggal diam. Pria itu segera berjongkok di hadapan Ara, menyamakan tingginya dengan gadis yang terlihat rapuh di depannya. Tanpa ragu, Aezar melingkarkan lengannya ke tubuh Ara, menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan kokoh. Ia menepuk punggung Ara dengan lembut, mencoba menyalurkan ketenangan di tengah gejolak emosi yang melingkupi mereka."Ara, dengarkan aku." Suara Aezar terdengar berat, tapi ada ketegasan dan ketenangan di dalamnya. "Tenanglah. Kita akan turun ke bawah dan memastikan apa y
Aezar dengan cekatan mengangkat tubuh kecil Ara, menggendongnya seperti mengangkat sesuatu yang sangat berharga. Tubuh Ara terasa ringan di lengannya, tetapi situasinya membuat segalanya terasa berat. Langkah kaki Aezar lebar dan cepat, setiap pijakannya menggema di jalan aspal yang retak, berpacu melawan waktu dan ancaman yang mengejar di belakang mereka. Zombie-zombie berbondong-bondong keluar dari bus yang hancur, merangkak dan berlari dengan gerakan menyeramkan, mata mereka yang kosong menatap tanpa emosi."Ara, kau bisa menggunakan senjatamu dari posisi seperti ini?" tanya Aezar, suaranya dalam tetapi tetap tenang. Matanya yang merah menyala menatap ke depan, tak pernah membiarkan fokusnya goyah.Ara yang berada di dalam dekapan Aezar menelan ludah. Tangannya gemetar, tetapi ia mengangkat pistol kecil yang ada di genggamannya. "A-akan aku coba, Daddy!" jawabnya dengan suara yang sedikit serak karena tegang."Hanya tembak zombie yang sudah sa
Ara duduk di kursi di lantai dua restoran yang sunyi. Kakinya yang kecil diluruskan di atas kursi lainnya, sementara Aezar berlutut di hadapannya. Tangannya yang kokoh membersihkan luka lecet di kaki Ara dengan tisu yang telah dibasahi air dari wastafel rusak di lantai bawah. Suasana di sekitar mereka hening, hanya suara nafas mereka yang terdengar, sesekali diiringi bunyi angin malam yang merayap melalui jendela pecah. "Daddy ..." suara Ara memecah keheningan, lembut tetapi penuh perhatian. "Lukaku ini tidak parah. Tapi daddy ... bagaimana dengan daddy? Daddy juga ikut terseret tadi saat jatuh dari motor. Pasti daddy terluka juga." Aezar tidak menghentikan tangannya yang sedang membersihkan luka Ara. Matanya tetap fokus pada tugasnya, meskipun kata-kata Ara membuat sesuatu di dalam dirinya sedikit bergolak. "Ara, aku sudah bilang berkali-kali, aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Fokus saja pada lukamu." Namun Ara tidak menyerah.
Ara menatap Aezar dengan mulut sedikit terbuka, matanya membulat, terlalu bingung untuk berkata-kata. Ucapannya terhenti di tenggorokan, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Aezar. “Daddy ... Maksud daddy ... Daddy pikir aku ...” Belum sempat kalimat itu selesai, Aezar meledak dalam tawa yang menggema di seluruh ruangan. "Selamat! Kamu kena prank!" serunya sambil memegangi perut, ekspresi wajahnya penuh kegembiraan. Wajah Ara memerah, bukan karena malu, melainkan karena rasa kesal yang mulai mendidih di dalam dirinya. Napasnya memburu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya, mencoba menahan diri untuk tidak melompat dan menyerang pria itu. “Hmph! Tidak lucu!” serunya dengan nada keras sambil memalingkan muka, ekspresi kesalnya begitu kentara hingga membuatnya tampak seperti anak kecil yang sedang merajuk. Aezar, masih terguncang tawa, menyeka sudut matanya yang basah akibat terlalu banyak tertawa. De
Ara meringkuk di atas meja restoran yang dingin, tubuh kecilnya tampak tak nyaman. Meski matanya terpejam, wajahnya terlihat sedikit cemberut, seakan merasakan ketidaknyamanan tempat tidurnya. Aezar, yang duduk tak jauh darinya, memandang gadis itu dengan penuh rasa bersalah. Dia tahu, tempat seperti ini jauh dari kata layak untuk istirahat Ara.Tanpa berkata apa-apa, Aezar melepas jaket hitamnya, lalu dengan perlahan menyelimuti tubuh Ara yang meringkuk kedinginan. "Tidur yang nyenyak, Ara. Besok kita akan keluar dari sini," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan, sembari mengusap lembut rambut hitam Ara. Ada kehangatan yang mendalam di setiap gerakannya, seperti seorang ayah yang menjaga putrinya dengan seluruh jiwa.Saat mengusap rambut Ara, tanpa sadar Aezar menunduk, mengecup puncak kepala gadis itu. Sentuhan itu ringan, tapi sarat dengan kasih sayang yang tulus. Tangannya yang besar dan kasar karena perjuangan bertahan hidup, dengan lembut mengusap punggung Ar
Motor terus melaju di jalan yang semakin sunyi, hanya suara mesin yang menjadi teman perjalanan mereka. Angin dingin pagi hari menusuk, tetapi kehangatan tubuh Aezar di depan membuat Ara merasa aman, meskipun ia tetap memperhatikan sekitar dengan saksama."Daddy! Jangan pergi terlalu jauh! Motor ini pasti boros bensin, kan? Aku tidak mau kita kehabisan bahan bakar di tengah jalan," kata Ara tiba-tiba, nadanya setengah khawatir, setengah memerintah.Aezar tertawa kecil, suaranya rendah dan menggema di udara. "Yah ... Mogok! Bensinnya habis!" ucapnya dengan nada bercanda.Ara langsung mencubit pinggang Aezar dengan keras, membuat pria itu sedikit meringis. "Daddy! Jangan bercanda! Bercanda itu ada waktunya, tahu!""Aw!" seru Aezar, kali ini terdengar benar-benar kesakitan. Suaranya yang berat membuatnya terdengar seperti sedang memainkan suara karakter pria misterius di film. "Maaf, maaf, sayang. Aku tidak akan bercanda lagi!"Tapi Ara tida
Aezar menghentikan motornya perlahan di depan gerbang besar yang menjulang tinggi. Di balik gerbang itu berdiri sebuah bangunan besar serba putih, mencolok di tengah reruntuhan dunia yang suram. Catnya masih utuh, tanpa noda darah atau tanda kehancuran seperti tempat-tempat lain yang mereka lewati. Bangunan itu terlihat seperti laboratorium yang sudah lama tak terpakai, memancarkan aura misteri yang membuat Aezar segera mematikan mesin motornya. "Tempat apa ini?" tanya Ara, menatap bangunan itu dengan tatapan bingung namun tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya. Sebelum Aezar menjawab, Ara tiba-tiba terdiam. Tatapannya kosong, dan tangannya terangkat perlahan, memegang kepalanya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesakitan, seperti ada sesuatu yang menusuk pikirannya. "Nak, masuklah ke sini! Papa akan menunjukkan sesuatu padamu!" Suara itu menggema di kepalanya, membuat Ara terhuyung. Suara lembut namun tegas itu terasa begitu
Langit masih kelam ketika mobil mereka akhirnya mencapai perbatasan luar kota. Garis polisi yang sebelumnya mengisolasi area kini telah terbuka lebar, menandakan berakhirnya mimpi buruk yang sempat mengancam kota.Di kejauhan, siluet mayat-mayat zombie yang telah dimusnahkan berserakan di jalanan. Tim kepolisian sibuk membersihkan sisa-sisa kekacauan—mengangkat tubuh-tubuh yang tak bernyawa, menyapu noda darah yang membanjiri aspal, dan memastikan tidak ada ancaman yang tersisa.Namun, Aezar tidak tertarik untuk terlibat lebih jauh.Dengan santai, ia menancapkan gas, menerobos jalan tanpa sedikit pun niat untuk berhenti.Beberapa petugas sempat melirik, tapi begitu menyadari mobil itu milik salah satu anggota mafia, mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya memilih mengabaikan. Mereka tahu lebih baik untuk tidak ikut campur.Setelah menempuh perjalanan tanpa hambatan, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah apartemen megah, berdiri kokoh di tengah kota.Aezar membuka pintu dan
Aezar meraung.Suara itu menggema di seluruh ruangan, mengguncang setiap jiwa yang mendengarnya. Aura merah menyelimuti tubuhnya, bergolak seperti lautan api yang siap membakar siapa pun yang menghalangi jalannya.Kecepatannya meningkat.Dalam sekejap mata, tubuhnya sudah melesat ke arah kawanan werewolf. Dengan brutal, taringnya menancap satu per satu ke leher mereka, meneguk darah hangat yang mengalir deras. Para werewolf bahkan tak sempat menghindar, hanya bisa melolong sebelum kekuatan mereka disedot hingga ke titik nol.Aezar semakin kuat. Nafsu membunuhnya semakin meluap.Aether menyadari bahaya ini. Ia melesat dengan kecepatan tinggi, mencoba menghadang kakaknya.Namun Aezar tak peduli.Tanpa ragu, ia menangkap tubuh Aether dengan satu tangan, lalu menariknya dengan kasar sebelum membantingnya ke dinding sekeras mungkin.Brakkk!Dinding itu retak, tubuh Aether terhuyung sebelum jatuh tersungkur. Ia meringis, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, namun ia masih cukup sadar un
Aezar menatap musuh-musuh di depannya dengan tajam. Pupil merahnya bersinar seperti bara api, taringnya memanjang, dan aura haus darahnya semakin pekat. Dengan suara rendah, hampir seperti gumaman kepada dirinya sendiri, dia berbisik, "Kemarilah, minumanku..."Tanpa peringatan, tubuhnya melesat secepat bayangan, menerjang pasukan werewolf yang mengepungnya. Dalam satu gerakan cepat, dia menangkap seorang werewolf yang terlihat lebih lemah dari yang lain. Taringnya langsung menancap ke leher makhluk itu, merobek kulit dan dagingnya dengan mudah.Darah hangat mengalir deras ke tenggorokannya."Ahhh..." Aezar mendesah puas, matanya semakin menyala. Energi dan kekuatan mengalir ke dalam tubuhnya, membuat luka-luka kecil yang tersisa menutup lebih cepat.Sementara itu, Ara dan Dharma hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Wajah Ara dipenuhi kekhawatiran. "Bagaimana, Papa?" bisiknya lirih.Dharma menatap istrinya yang masih terbaring lemah bersama kedua putrinya di atas ranjang beroda. Wajah
Ara akhirnya berhasil melepaskan ikatan di tubuh Dharma. Dengan tangan gemetar, dia mencengkeram lengan ayahnya dan menariknya untuk segera berlari keluar dari tempat itu. Nafasnya memburu, tubuhnya masih lemah, tapi tekadnya jauh lebih kuat."Sial!" geram Darius, ekspresi ganasnya semakin menyeramkan di bawah cahaya remang-remang laboratorium. Dia baru hendak melangkah mengejar, namun sepasang tangan yang penuh darah mencengkeram pergelangan kakinya dengan erat.Aezar.Meski tubuhnya telah babak belur, meski darah terus mengalir dari luka-luka di tubuhnya, dia tetap tidak melepaskan cengkeramannya. Matanya yang merah berkilat, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan."Lawanmu adalah aku," gumamnya lirih, namun suaranya terdengar seperti lonceng kematian di telinga Darius.Darius menyeringai marah. "Sialan!" Dengan kekuatan penuh, dia menendang rahang Aezar, membuat kepala vampir itu terhentak ke belakang dengan keras. Tulang-tulangnya berderak, darah segar mengalir dari sudut bibirny
"Di mana Mama dan adik-adikku?!"Suara Ara menggema di seluruh ruangan, memenuhi udara dengan kemarahan yang tak terbendung. Sorot matanya membara, penuh dengan amarah dan tekad. Ia menatap tajam ke arah Darius, tubuhnya menegang dalam ketidakberdayaan. "Lepaskan Papa dan kembalikan keluargaku!"Darius menanggapinya dengan seringai lebar. Dalam kegelapan ruangan, perlahan telinga serigala mulai muncul di kepalanya, mencuat di antara helaian rambutnya yang cokelat tua. Sebuah ekor berbulu lebat menembus bagian belakang celananya, bergerak dengan liar seiring dengan geliat tubuhnya yang berubah."Kalau aku tidak mau, apa yang ingin kau lakukan, gadis kecil?" suaranya rendah, parau, penuh ejekan.Tiba-tiba, Darius menghilang dari tempatnya berdiri. Hanya dalam sekejap, dia telah melesat ke arah Ara, begitu cepat hingga nyaris tak kasat mata. Udara bergemuruh saat tubuhnya melayang, cakarnya yang tajam melesat dengan kecepatan mematikan, siap mencabik tubuh Ara."Ara!!"Teriakan Dharma me
Setelah seminggu penuh Aezar merawatnya dengan sabar, akhirnya tubuh Ara mulai pulih. Meski langkahnya masih sedikit tertatih dan belum sepenuhnya normal, rasa sakit yang dulu mencengkeram setiap inci tubuhnya kini mulai berkurang. Tenaganya sudah kembali, dan semangatnya menyala lebih terang dari sebelumnya.Ara menatap Aezar dengan mata berbinar, penuh harapan. "Sekarang, kita bisa menyelamatkan Papa, Mama, dan adik-adikku!" serunya, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.Namun, alih-alih ikut bersemangat, Aezar justru menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Kedua alisnya bertaut, dan matanya yang merah menyala memancarkan keraguan yang dalam. "Apa kau yakin akan baik-baik saja?" tanyanya pelan. "Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi padamu lagi. Bagaimana jika kau menunggu di sini saja?"Ara terdiam. Ia tidak ingin ditinggalkan sendirian. Tidak lagi. Pikirannya berputar cepat, mencari alasan yang cukup masuk akal agar Aezar tidak bersikeras meninggalkannya. Lalu, sebe
"Werewolf?"Mata Ara membulat seketika, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Aezar mengangguk tegas, ekspresinya serius. "Benar. Darius adalah werewolf."Ara menunduk, tangannya menopang dagu, mencoba mencerna semua informasi yang telah ia terima. "Jadi... kau adalah vampir, Aether adalah alien, Kaelen adalah merman, dan Darius adalah werewolf."Ia mengangkat kepalanya dan menatap Aezar tajam. "Lalu bagaimana dengan Eryas?"Aezar menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan nada lebih tenang. "Eryas… dia manusia. Sama sepertimu."Ara menghela napas panjang sebelum akhirnya membanting tubuhnya ke kasur dengan kesal. Kepalanya terasa berat, pikirannya berputar tanpa kendali. "Apa-apaan ini? Aku kira makhluk seperti kalian hanya ada di cerita fantasi!"Aezar terkekeh pelan sebelum menjawab. "Tapi nyatanya kami memang ada. Hanya saja, kami berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat mencolok dan berbaur semirip mungkin dengan manusia."Ara mengernyit. "Kenap
"Suami?"Ara menatap Aezar dengan ekspresi kesal, kedua alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut. "Kau serius mengatakan itu sekarang?"Aezar semakin menunduk, merasa salah tingkah. Jemarinya dengan canggung menggaruk kepalanya sendiri yang jelas-jelas tidak terasa gatal. "Maksudku..." suaranya terdengar lemah, nyaris tidak terdengar.Namun, bukannya marah, Ara justru terkekeh kecil. Nada suaranya ringan, penuh keisengan. "Bukankah papa sudah bilang kalau pernikahan kita tidak sah? Kita masih harus meminta restu papaku dan menggelar pernikahan secara resmi. Baru setelah itu aku boleh menganggapmu sebagai suamiku."Aezar menatapnya dengan mata berbinar. Ada cahaya harapan di sana, sesuatu yang membuatnya terlihat lebih hidup. "Apa itu berarti... kau mau jadi istriku, Ara? Istri sungguhan, secara sah?"Ara mengangguk tanpa ragu. Namun sebelum Aezar bisa bereaksi lebih jauh, Ara mengangkat satu jari, ekspresi usilnya kembali muncul. "Tap
Aezar merawat Ara dengan sangat telaten, memastikan setiap luka di tubuh gadis itu sembuh secepat mungkin. Sama seperti saat awal pertemuan mereka—bedanya, kali ini tidak ada kebohongan, tidak ada niat tersembunyi. Ia melakukannya dengan tulus, bukan karena mengharapkan kebebasan atau keuntungan apa pun, tetapi karena Ara adalah satu-satunya orang yang ingin ia jaga dengan segenap hatinya.Ara menatap Aezar yang dengan sabar menyuapinya makanan. Meski tubuhnya masih lemah, pikirannya sudah mulai jernih, dan ada terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. "Boleh aku tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini?"Aezar terdiam sejenak. Tangannya yang memegang sendok berhenti di udara, dan ia menunduk. Ada keraguan di matanya, seakan otaknya sedang berusaha memilah kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran. Namun ia tahu, ia tidak boleh terus melarikan diri dari pertanyaan ini. Ara berhak tahu segalanya.Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara. "Jadi... Ini s