Ara meringkuk di atas meja restoran yang dingin, tubuh kecilnya tampak tak nyaman. Meski matanya terpejam, wajahnya terlihat sedikit cemberut, seakan merasakan ketidaknyamanan tempat tidurnya. Aezar, yang duduk tak jauh darinya, memandang gadis itu dengan penuh rasa bersalah. Dia tahu, tempat seperti ini jauh dari kata layak untuk istirahat Ara.
Tanpa berkata apa-apa, Aezar melepas jaket hitamnya, lalu dengan perlahan menyelimuti tubuh Ara yang meringkuk kedinginan. "Tidur yang nyenyak, Ara. Besok kita akan keluar dari sini," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan, sembari mengusap lembut rambut hitam Ara. Ada kehangatan yang mendalam di setiap gerakannya, seperti seorang ayah yang menjaga putrinya dengan seluruh jiwa.Saat mengusap rambut Ara, tanpa sadar Aezar menunduk, mengecup puncak kepala gadis itu. Sentuhan itu ringan, tapi sarat dengan kasih sayang yang tulus. Tangannya yang besar dan kasar karena perjuangan bertahan hidup, dengan lembut mengusap punggung ArMotor terus melaju di jalan yang semakin sunyi, hanya suara mesin yang menjadi teman perjalanan mereka. Angin dingin pagi hari menusuk, tetapi kehangatan tubuh Aezar di depan membuat Ara merasa aman, meskipun ia tetap memperhatikan sekitar dengan saksama."Daddy! Jangan pergi terlalu jauh! Motor ini pasti boros bensin, kan? Aku tidak mau kita kehabisan bahan bakar di tengah jalan," kata Ara tiba-tiba, nadanya setengah khawatir, setengah memerintah.Aezar tertawa kecil, suaranya rendah dan menggema di udara. "Yah ... Mogok! Bensinnya habis!" ucapnya dengan nada bercanda.Ara langsung mencubit pinggang Aezar dengan keras, membuat pria itu sedikit meringis. "Daddy! Jangan bercanda! Bercanda itu ada waktunya, tahu!""Aw!" seru Aezar, kali ini terdengar benar-benar kesakitan. Suaranya yang berat membuatnya terdengar seperti sedang memainkan suara karakter pria misterius di film. "Maaf, maaf, sayang. Aku tidak akan bercanda lagi!"Tapi Ara tida
Aezar menghentikan motornya perlahan di depan gerbang besar yang menjulang tinggi. Di balik gerbang itu berdiri sebuah bangunan besar serba putih, mencolok di tengah reruntuhan dunia yang suram. Catnya masih utuh, tanpa noda darah atau tanda kehancuran seperti tempat-tempat lain yang mereka lewati. Bangunan itu terlihat seperti laboratorium yang sudah lama tak terpakai, memancarkan aura misteri yang membuat Aezar segera mematikan mesin motornya. "Tempat apa ini?" tanya Ara, menatap bangunan itu dengan tatapan bingung namun tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya. Sebelum Aezar menjawab, Ara tiba-tiba terdiam. Tatapannya kosong, dan tangannya terangkat perlahan, memegang kepalanya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesakitan, seperti ada sesuatu yang menusuk pikirannya. "Nak, masuklah ke sini! Papa akan menunjukkan sesuatu padamu!" Suara itu menggema di kepalanya, membuat Ara terhuyung. Suara lembut namun tegas itu terasa begitu
Dharma berdiri dengan sikap tegap, sorot matanya menghunus tajam ke arah Ara. Suara baritonnya menggema di ruangan itu ketika ia membentak, "Ara! Diam!" Bentakan itu membuat Ara memalingkan wajahnya dengan kesal, menggigit bibir bawahnya untuk menahan kata-kata yang ingin ia lontarkan.Sementara itu, Dharma kembali mengarahkan pandangannya kepada Aezar. Mata hitamnya yang dingin dan penuh intimidasi mengunci pupil merah menyala milik pria itu. Ada kewaspadaan yang jelas terlihat, tetapi juga kemarahan yang perlahan membara. "Vampir...." suaranya rendah, tetapi penuh dengan ketegasan yang tak terbantahkan. "Apa yang sebenarnya kau inginkan dari putri sulungku? Menghisap darahnya hingga habis? Menjadikannya minuman favoritmu?"Ara membuka mulutnya, hendak menjawab, tetapi Dharma mengangkat tangannya dengan tegas, menghentikan gadis itu sebelum sempat mengeluarkan sepatah kata pun. "Ara, jangan mulai! Papa tahu kau akan membela pria ini habis-habisan hanya karena waja
Aezar menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap Dharma dengan tatapan tegas namun penuh rasa hormat. "Itu karena...." ucapnya pelan namun pasti. "Saya sangat mencintai Ara. Saya ingin selalu melindunginya dan memastikan dia aman dalam pengawasan saya. Saya tahu tindakan saya selama ini sangat tidak pantas, dan mungkin terlihat pengecut. Tapi saya berjanji ... Setelah tragedi kiamat zombie ini berakhir, saya akan menikahi Ara secara sah, sesuai dengan adat dan aturan. Dan saya ingin Anda menjadi walinya."Ruangan itu seolah dipenuhi keheningan yang berat. Dharma menatap Aezar tajam, mencoba membaca ketulusan di balik kata-kata pria muda di hadapannya. Ia tidak langsung bicara, tetapi sorot matanya menyiratkan penilaian yang mendalam, seperti seorang hakim yang sedang memutuskan vonis.Setelah beberapa saat, Dharma akhirnya membuka mulut. "Sebelumnya, boleh saya bertanya sesuatu?" Ia bersandar ke kursinya, suaranya dingin dan penuh penekanan. "Apa pendidikan terakh
Dharma menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada, tatapannya tak pernah lepas dari wajah Aezar. Udara di ruangan itu terasa semakin tegang, seolah ada dua kekuatan besar yang saling beradu dalam diam. Setelah beberapa detik yang terasa seperti menit, Dharma akhirnya angkat bicara, suaranya rendah namun penuh penekanan. "Jadi ... Apa benar yang dikatakan putriku? Pendidikanmu hanya sampai SD?"Aezar tidak menghindari tatapan itu. Dia mengangguk pelan, wajahnya tetap tenang. "Benar. Pendidikan formal saya hanya sampai tingkat SD. Tapi SD itu adalah sekolah internasional yang sangat terkenal, dengan pendekatan pembelajaran individu. Di sana, setiap murid memiliki pembimbing khusus yang memastikan kami memahami setiap pelajaran. Meskipun hanya sampai tingkat dasar, kualitas pendidikan saya lebih dari cukup untuk menyiapkan saya menghadapi dunia luar."Dharma menaikkan satu alis, jelas tak sepenuhnya terkesan. Sebelum dia bisa merespons, Ara yang
Dharma menyeringai tipis, senyumnya sarat dengan ejekan. "Dasar anak-anak zaman sekarang. Terlalu banyak menuntut orang tua. Kalian tidak tahu betapa beratnya menjadi orang tua. Di zaman saya dulu, orang tua adalah pihak yang pantas menuntut anak-anak mereka. Dan tidak ada anak yang berani protes. Kakak tertua saya, contohnya. Dia merelakan pendidikannya hanya sampai SD agar adik-adiknya bisa sekolah lebih tinggi. Itu adalah pengorbanan sejati, yang kalian generasi sekarang tidak akan pernah pahami." Ara, yang air matanya sudah membanjiri wajah, menyeringai pahit. Tubuhnya bergetar, menahan emosi yang tak terbendung lagi. Dengan suara lirih namun penuh luka, ia menjawab, "Tapi, akhirnya dia hidup berantakan, kan? Beranak banyak dari hasil kawin cerai dengan pria yang sama lebih dari empat kali." Kata-kata Ara seperti tamparan keras yang membuat Dharma terdiam sejenak. Namun gadis itu belum selesai. Ia mengangkat wajah, matanya memerah, menatap ayahnya d
Dharma, dengan wajah penuh amarah, mendorong tubuh Aezar dengan keras hingga terjatuh ke lantai. Dentuman tubuh Aezar yang menghantam lantai terdengar jelas, namun pria itu tidak mengeluh atau melawan. Sebaliknya, ia hanya menatap Dharma dengan tatapan dingin yang sarat akan keteguhan."Jangan sentuh putriku!" bentak Dharma sambil menunjuk tajam ke arah Aezar. "Sudah saya katakan, pernikahan kalian tidak sah! Kau tidak punya hak untuk berlagak seperti suaminya!"Aezar hanya mengangkat tubuhnya perlahan, tetap tenang meskipun tubuhnya mungkin terasa nyeri akibat dorongan keras itu. Tapi Dharma tidak berhenti. Langkahnya maju, mendekati Aezar dengan sorot mata yang membara."Kau pikir kau itu siapa?!" serunya lagi, suaranya penuh cemooh. "Hanya pria asing yang tiba-tiba muncul dalam hidup putriku! Sampai kapanpun, saya tidak akan pernah merestui hubungan kalian berdua!"Tanpa menunggu jawaban, Dharma melangkah meninggalkan ruangan, suaranya menggema
Aezar menggerakkan tangannya dengan gesit, membaluri potongan ayam menggunakan tepung beras yang telah ia tumbuk secara manual. Tepung itu menempel sempurna di permukaan daging, memberi tekstur halus namun kasar yang menjanjikan kerenyahan saat digoreng. Matanya sesekali melirik ke arah penggorengan yang mulai panas. "Tidak ada tepung terigu, tepung beras juga jadi," gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri, tapi dengan tekad kuat di balik suaranya.Dharma, yang berdiri di sisi lain dapur, tengah sibuk memasak sayur bayam. Wajahnya terlihat serius, namun ada senyum tipis di ujung bibirnya. "Tepung beras malah lebih bagus. Ayamnya pasti lebih garing. Ara sangat suka yang kering dan renyah, kan?" katanya sambil mencicipi kuah sayur bayam dengan sendok. Suaranya terdengar seperti gumaman kecil, tetapi ada kehangatan seorang ayah di dalamnya. "Kadang saya berpikir, bagaimana caranya agar Ara mau makan sayur? Apa harus digoreng juga agar dia tert
Langit masih kelam ketika mobil mereka akhirnya mencapai perbatasan luar kota. Garis polisi yang sebelumnya mengisolasi area kini telah terbuka lebar, menandakan berakhirnya mimpi buruk yang sempat mengancam kota.Di kejauhan, siluet mayat-mayat zombie yang telah dimusnahkan berserakan di jalanan. Tim kepolisian sibuk membersihkan sisa-sisa kekacauan—mengangkat tubuh-tubuh yang tak bernyawa, menyapu noda darah yang membanjiri aspal, dan memastikan tidak ada ancaman yang tersisa.Namun, Aezar tidak tertarik untuk terlibat lebih jauh.Dengan santai, ia menancapkan gas, menerobos jalan tanpa sedikit pun niat untuk berhenti.Beberapa petugas sempat melirik, tapi begitu menyadari mobil itu milik salah satu anggota mafia, mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya memilih mengabaikan. Mereka tahu lebih baik untuk tidak ikut campur.Setelah menempuh perjalanan tanpa hambatan, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah apartemen megah, berdiri kokoh di tengah kota.Aezar membuka pintu dan
Aezar meraung.Suara itu menggema di seluruh ruangan, mengguncang setiap jiwa yang mendengarnya. Aura merah menyelimuti tubuhnya, bergolak seperti lautan api yang siap membakar siapa pun yang menghalangi jalannya.Kecepatannya meningkat.Dalam sekejap mata, tubuhnya sudah melesat ke arah kawanan werewolf. Dengan brutal, taringnya menancap satu per satu ke leher mereka, meneguk darah hangat yang mengalir deras. Para werewolf bahkan tak sempat menghindar, hanya bisa melolong sebelum kekuatan mereka disedot hingga ke titik nol.Aezar semakin kuat. Nafsu membunuhnya semakin meluap.Aether menyadari bahaya ini. Ia melesat dengan kecepatan tinggi, mencoba menghadang kakaknya.Namun Aezar tak peduli.Tanpa ragu, ia menangkap tubuh Aether dengan satu tangan, lalu menariknya dengan kasar sebelum membantingnya ke dinding sekeras mungkin.Brakkk!Dinding itu retak, tubuh Aether terhuyung sebelum jatuh tersungkur. Ia meringis, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, namun ia masih cukup sadar un
Aezar menatap musuh-musuh di depannya dengan tajam. Pupil merahnya bersinar seperti bara api, taringnya memanjang, dan aura haus darahnya semakin pekat. Dengan suara rendah, hampir seperti gumaman kepada dirinya sendiri, dia berbisik, "Kemarilah, minumanku..."Tanpa peringatan, tubuhnya melesat secepat bayangan, menerjang pasukan werewolf yang mengepungnya. Dalam satu gerakan cepat, dia menangkap seorang werewolf yang terlihat lebih lemah dari yang lain. Taringnya langsung menancap ke leher makhluk itu, merobek kulit dan dagingnya dengan mudah.Darah hangat mengalir deras ke tenggorokannya."Ahhh..." Aezar mendesah puas, matanya semakin menyala. Energi dan kekuatan mengalir ke dalam tubuhnya, membuat luka-luka kecil yang tersisa menutup lebih cepat.Sementara itu, Ara dan Dharma hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Wajah Ara dipenuhi kekhawatiran. "Bagaimana, Papa?" bisiknya lirih.Dharma menatap istrinya yang masih terbaring lemah bersama kedua putrinya di atas ranjang beroda. Wajah
Ara akhirnya berhasil melepaskan ikatan di tubuh Dharma. Dengan tangan gemetar, dia mencengkeram lengan ayahnya dan menariknya untuk segera berlari keluar dari tempat itu. Nafasnya memburu, tubuhnya masih lemah, tapi tekadnya jauh lebih kuat."Sial!" geram Darius, ekspresi ganasnya semakin menyeramkan di bawah cahaya remang-remang laboratorium. Dia baru hendak melangkah mengejar, namun sepasang tangan yang penuh darah mencengkeram pergelangan kakinya dengan erat.Aezar.Meski tubuhnya telah babak belur, meski darah terus mengalir dari luka-luka di tubuhnya, dia tetap tidak melepaskan cengkeramannya. Matanya yang merah berkilat, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan."Lawanmu adalah aku," gumamnya lirih, namun suaranya terdengar seperti lonceng kematian di telinga Darius.Darius menyeringai marah. "Sialan!" Dengan kekuatan penuh, dia menendang rahang Aezar, membuat kepala vampir itu terhentak ke belakang dengan keras. Tulang-tulangnya berderak, darah segar mengalir dari sudut bibirny
"Di mana Mama dan adik-adikku?!"Suara Ara menggema di seluruh ruangan, memenuhi udara dengan kemarahan yang tak terbendung. Sorot matanya membara, penuh dengan amarah dan tekad. Ia menatap tajam ke arah Darius, tubuhnya menegang dalam ketidakberdayaan. "Lepaskan Papa dan kembalikan keluargaku!"Darius menanggapinya dengan seringai lebar. Dalam kegelapan ruangan, perlahan telinga serigala mulai muncul di kepalanya, mencuat di antara helaian rambutnya yang cokelat tua. Sebuah ekor berbulu lebat menembus bagian belakang celananya, bergerak dengan liar seiring dengan geliat tubuhnya yang berubah."Kalau aku tidak mau, apa yang ingin kau lakukan, gadis kecil?" suaranya rendah, parau, penuh ejekan.Tiba-tiba, Darius menghilang dari tempatnya berdiri. Hanya dalam sekejap, dia telah melesat ke arah Ara, begitu cepat hingga nyaris tak kasat mata. Udara bergemuruh saat tubuhnya melayang, cakarnya yang tajam melesat dengan kecepatan mematikan, siap mencabik tubuh Ara."Ara!!"Teriakan Dharma me
Setelah seminggu penuh Aezar merawatnya dengan sabar, akhirnya tubuh Ara mulai pulih. Meski langkahnya masih sedikit tertatih dan belum sepenuhnya normal, rasa sakit yang dulu mencengkeram setiap inci tubuhnya kini mulai berkurang. Tenaganya sudah kembali, dan semangatnya menyala lebih terang dari sebelumnya.Ara menatap Aezar dengan mata berbinar, penuh harapan. "Sekarang, kita bisa menyelamatkan Papa, Mama, dan adik-adikku!" serunya, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.Namun, alih-alih ikut bersemangat, Aezar justru menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Kedua alisnya bertaut, dan matanya yang merah menyala memancarkan keraguan yang dalam. "Apa kau yakin akan baik-baik saja?" tanyanya pelan. "Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi padamu lagi. Bagaimana jika kau menunggu di sini saja?"Ara terdiam. Ia tidak ingin ditinggalkan sendirian. Tidak lagi. Pikirannya berputar cepat, mencari alasan yang cukup masuk akal agar Aezar tidak bersikeras meninggalkannya. Lalu, sebe
"Werewolf?"Mata Ara membulat seketika, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Aezar mengangguk tegas, ekspresinya serius. "Benar. Darius adalah werewolf."Ara menunduk, tangannya menopang dagu, mencoba mencerna semua informasi yang telah ia terima. "Jadi... kau adalah vampir, Aether adalah alien, Kaelen adalah merman, dan Darius adalah werewolf."Ia mengangkat kepalanya dan menatap Aezar tajam. "Lalu bagaimana dengan Eryas?"Aezar menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan nada lebih tenang. "Eryas… dia manusia. Sama sepertimu."Ara menghela napas panjang sebelum akhirnya membanting tubuhnya ke kasur dengan kesal. Kepalanya terasa berat, pikirannya berputar tanpa kendali. "Apa-apaan ini? Aku kira makhluk seperti kalian hanya ada di cerita fantasi!"Aezar terkekeh pelan sebelum menjawab. "Tapi nyatanya kami memang ada. Hanya saja, kami berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat mencolok dan berbaur semirip mungkin dengan manusia."Ara mengernyit. "Kenap
"Suami?"Ara menatap Aezar dengan ekspresi kesal, kedua alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut. "Kau serius mengatakan itu sekarang?"Aezar semakin menunduk, merasa salah tingkah. Jemarinya dengan canggung menggaruk kepalanya sendiri yang jelas-jelas tidak terasa gatal. "Maksudku..." suaranya terdengar lemah, nyaris tidak terdengar.Namun, bukannya marah, Ara justru terkekeh kecil. Nada suaranya ringan, penuh keisengan. "Bukankah papa sudah bilang kalau pernikahan kita tidak sah? Kita masih harus meminta restu papaku dan menggelar pernikahan secara resmi. Baru setelah itu aku boleh menganggapmu sebagai suamiku."Aezar menatapnya dengan mata berbinar. Ada cahaya harapan di sana, sesuatu yang membuatnya terlihat lebih hidup. "Apa itu berarti... kau mau jadi istriku, Ara? Istri sungguhan, secara sah?"Ara mengangguk tanpa ragu. Namun sebelum Aezar bisa bereaksi lebih jauh, Ara mengangkat satu jari, ekspresi usilnya kembali muncul. "Tap
Aezar merawat Ara dengan sangat telaten, memastikan setiap luka di tubuh gadis itu sembuh secepat mungkin. Sama seperti saat awal pertemuan mereka—bedanya, kali ini tidak ada kebohongan, tidak ada niat tersembunyi. Ia melakukannya dengan tulus, bukan karena mengharapkan kebebasan atau keuntungan apa pun, tetapi karena Ara adalah satu-satunya orang yang ingin ia jaga dengan segenap hatinya.Ara menatap Aezar yang dengan sabar menyuapinya makanan. Meski tubuhnya masih lemah, pikirannya sudah mulai jernih, dan ada terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. "Boleh aku tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini?"Aezar terdiam sejenak. Tangannya yang memegang sendok berhenti di udara, dan ia menunduk. Ada keraguan di matanya, seakan otaknya sedang berusaha memilah kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran. Namun ia tahu, ia tidak boleh terus melarikan diri dari pertanyaan ini. Ara berhak tahu segalanya.Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara. "Jadi... Ini s