Aezar menghentikan motornya perlahan di depan gerbang besar yang menjulang tinggi. Di balik gerbang itu berdiri sebuah bangunan besar serba putih, mencolok di tengah reruntuhan dunia yang suram. Catnya masih utuh, tanpa noda darah atau tanda kehancuran seperti tempat-tempat lain yang mereka lewati. Bangunan itu terlihat seperti laboratorium yang sudah lama tak terpakai, memancarkan aura misteri yang membuat Aezar segera mematikan mesin motornya.
"Tempat apa ini?" tanya Ara, menatap bangunan itu dengan tatapan bingung namun tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya. Sebelum Aezar menjawab, Ara tiba-tiba terdiam. Tatapannya kosong, dan tangannya terangkat perlahan, memegang kepalanya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesakitan, seperti ada sesuatu yang menusuk pikirannya. "Nak, masuklah ke sini! Papa akan menunjukkan sesuatu padamu!" Suara itu menggema di kepalanya, membuat Ara terhuyung. Suara lembut namun tegas itu terasa begituDharma berdiri dengan sikap tegap, sorot matanya menghunus tajam ke arah Ara. Suara baritonnya menggema di ruangan itu ketika ia membentak, "Ara! Diam!" Bentakan itu membuat Ara memalingkan wajahnya dengan kesal, menggigit bibir bawahnya untuk menahan kata-kata yang ingin ia lontarkan.Sementara itu, Dharma kembali mengarahkan pandangannya kepada Aezar. Mata hitamnya yang dingin dan penuh intimidasi mengunci pupil merah menyala milik pria itu. Ada kewaspadaan yang jelas terlihat, tetapi juga kemarahan yang perlahan membara. "Vampir...." suaranya rendah, tetapi penuh dengan ketegasan yang tak terbantahkan. "Apa yang sebenarnya kau inginkan dari putri sulungku? Menghisap darahnya hingga habis? Menjadikannya minuman favoritmu?"Ara membuka mulutnya, hendak menjawab, tetapi Dharma mengangkat tangannya dengan tegas, menghentikan gadis itu sebelum sempat mengeluarkan sepatah kata pun. "Ara, jangan mulai! Papa tahu kau akan membela pria ini habis-habisan hanya karena waja
Aezar menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap Dharma dengan tatapan tegas namun penuh rasa hormat. "Itu karena...." ucapnya pelan namun pasti. "Saya sangat mencintai Ara. Saya ingin selalu melindunginya dan memastikan dia aman dalam pengawasan saya. Saya tahu tindakan saya selama ini sangat tidak pantas, dan mungkin terlihat pengecut. Tapi saya berjanji ... Setelah tragedi kiamat zombie ini berakhir, saya akan menikahi Ara secara sah, sesuai dengan adat dan aturan. Dan saya ingin Anda menjadi walinya."Ruangan itu seolah dipenuhi keheningan yang berat. Dharma menatap Aezar tajam, mencoba membaca ketulusan di balik kata-kata pria muda di hadapannya. Ia tidak langsung bicara, tetapi sorot matanya menyiratkan penilaian yang mendalam, seperti seorang hakim yang sedang memutuskan vonis.Setelah beberapa saat, Dharma akhirnya membuka mulut. "Sebelumnya, boleh saya bertanya sesuatu?" Ia bersandar ke kursinya, suaranya dingin dan penuh penekanan. "Apa pendidikan terakh
Dharma menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada, tatapannya tak pernah lepas dari wajah Aezar. Udara di ruangan itu terasa semakin tegang, seolah ada dua kekuatan besar yang saling beradu dalam diam. Setelah beberapa detik yang terasa seperti menit, Dharma akhirnya angkat bicara, suaranya rendah namun penuh penekanan. "Jadi ... Apa benar yang dikatakan putriku? Pendidikanmu hanya sampai SD?"Aezar tidak menghindari tatapan itu. Dia mengangguk pelan, wajahnya tetap tenang. "Benar. Pendidikan formal saya hanya sampai tingkat SD. Tapi SD itu adalah sekolah internasional yang sangat terkenal, dengan pendekatan pembelajaran individu. Di sana, setiap murid memiliki pembimbing khusus yang memastikan kami memahami setiap pelajaran. Meskipun hanya sampai tingkat dasar, kualitas pendidikan saya lebih dari cukup untuk menyiapkan saya menghadapi dunia luar."Dharma menaikkan satu alis, jelas tak sepenuhnya terkesan. Sebelum dia bisa merespons, Ara yang
Dharma menyeringai tipis, senyumnya sarat dengan ejekan. "Dasar anak-anak zaman sekarang. Terlalu banyak menuntut orang tua. Kalian tidak tahu betapa beratnya menjadi orang tua. Di zaman saya dulu, orang tua adalah pihak yang pantas menuntut anak-anak mereka. Dan tidak ada anak yang berani protes. Kakak tertua saya, contohnya. Dia merelakan pendidikannya hanya sampai SD agar adik-adiknya bisa sekolah lebih tinggi. Itu adalah pengorbanan sejati, yang kalian generasi sekarang tidak akan pernah pahami." Ara, yang air matanya sudah membanjiri wajah, menyeringai pahit. Tubuhnya bergetar, menahan emosi yang tak terbendung lagi. Dengan suara lirih namun penuh luka, ia menjawab, "Tapi, akhirnya dia hidup berantakan, kan? Beranak banyak dari hasil kawin cerai dengan pria yang sama lebih dari empat kali." Kata-kata Ara seperti tamparan keras yang membuat Dharma terdiam sejenak. Namun gadis itu belum selesai. Ia mengangkat wajah, matanya memerah, menatap ayahnya d
Dharma, dengan wajah penuh amarah, mendorong tubuh Aezar dengan keras hingga terjatuh ke lantai. Dentuman tubuh Aezar yang menghantam lantai terdengar jelas, namun pria itu tidak mengeluh atau melawan. Sebaliknya, ia hanya menatap Dharma dengan tatapan dingin yang sarat akan keteguhan."Jangan sentuh putriku!" bentak Dharma sambil menunjuk tajam ke arah Aezar. "Sudah saya katakan, pernikahan kalian tidak sah! Kau tidak punya hak untuk berlagak seperti suaminya!"Aezar hanya mengangkat tubuhnya perlahan, tetap tenang meskipun tubuhnya mungkin terasa nyeri akibat dorongan keras itu. Tapi Dharma tidak berhenti. Langkahnya maju, mendekati Aezar dengan sorot mata yang membara."Kau pikir kau itu siapa?!" serunya lagi, suaranya penuh cemooh. "Hanya pria asing yang tiba-tiba muncul dalam hidup putriku! Sampai kapanpun, saya tidak akan pernah merestui hubungan kalian berdua!"Tanpa menunggu jawaban, Dharma melangkah meninggalkan ruangan, suaranya menggema
Aezar menggerakkan tangannya dengan gesit, membaluri potongan ayam menggunakan tepung beras yang telah ia tumbuk secara manual. Tepung itu menempel sempurna di permukaan daging, memberi tekstur halus namun kasar yang menjanjikan kerenyahan saat digoreng. Matanya sesekali melirik ke arah penggorengan yang mulai panas. "Tidak ada tepung terigu, tepung beras juga jadi," gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri, tapi dengan tekad kuat di balik suaranya.Dharma, yang berdiri di sisi lain dapur, tengah sibuk memasak sayur bayam. Wajahnya terlihat serius, namun ada senyum tipis di ujung bibirnya. "Tepung beras malah lebih bagus. Ayamnya pasti lebih garing. Ara sangat suka yang kering dan renyah, kan?" katanya sambil mencicipi kuah sayur bayam dengan sendok. Suaranya terdengar seperti gumaman kecil, tetapi ada kehangatan seorang ayah di dalamnya. "Kadang saya berpikir, bagaimana caranya agar Ara mau makan sayur? Apa harus digoreng juga agar dia tert
"Apa ini salah satu alasan mengapa Anda menyembunyikan latar belakang pendidikan Anda dari Ara, putri Anda sendiri? Karena Anda tidak ingin dia terlibat dalam keserakahan kotor para ilmuwan yang berambisi menciptakan virus mematikan itu?" Suara Aezar terdengar tegas, namun matanya memancarkan sorot tajam penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan itu menghentikan gerakan tangan Dharma. Ia terdiam sejenak, lalu terkekeh pelan, suara tawanya terdengar lebih pahit daripada lega. "Anak muda, kau ini rupanya cukup pintar. Kau bisa menyimpulkan sesuatu tanpa aku harus mengatakan apa pun secara langsung. Luar biasa." Ia menatap Aezar dengan ekspresi yang sulit dibaca, antara kagum dan tertekan. "Tapi ... Apa benar dugaan Ara? Kau juga sebenarnya menyembunyikan sesuatu? Mungkin latar belakang pendidikanmu?" "Tidak," jawab Aezar, tenang namun dingin, sambil menuangkan tepung beras ke dalam mangkuk. "Saya memang hanya lulus
Dharma kembali menghampiri Ara dan Aezar setelah menyelesaikan tugasnya memberi makan istri dan kedua anaknya yang lain. Wajahnya terlihat letih, tapi masih menyimpan kelembutan seorang ayah. Ara menoleh dengan penuh harap, tersenyum kecil ketika melihat sosok ayahnya mendekat."Ara, sudah selesai makan?" Dharma bertanya lembut, menatap putri sulungnya dengan tatapan penuh perhatian."Sudah, Papa," jawab Ara ringan, senyumnya seolah mencoba menyembunyikan rasa lelah yang sebenarnya masih membekas.Dharma tersenyum kecil, lalu mendekat untuk membopongnya. Tubuh Ara yang masih belum sepenuhnya pulih terasa ringan di pelukannya. "Bisa berjalan, kan? Kalau tidak, Papa bantu."Ara hanya mengangguk pelan, membiarkan dirinya dibopong menaiki tangga menuju lantai dua. Sesaat kemudian, suara kecilnya memecah keheningan, "Papa, apa kita benar-benar akan bertemu Mama, Ariana, dan Aurora? Mereka sudah sembuh?"Dharma menarik napas panjang, menjeda la
Dharma menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Matanya memandang lembut ke arah Ara yang duduk di hadapannya, bahunya yang mungil terlihat bergetar halus karena tangis yang tertahan. Ia mendekatkan diri, menunduk sedikit hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan nada yang pelan tapi penuh ketegasan, ia berkata, "Ara, kau tidak perlu membohongi Papa. Papa tahu, kau tidak mungkin mempertaruhkan nyawamu untuk seseorang yang hanya kau anggap sebagai sekadar tumpuan. Jika kau sampai sejauh itu, berarti kau benar-benar peduli. Papa bisa melihatnya."Ara terdiam, seolah kata-kata ayahnya itu menghantam benteng yang selama ini ia bangun. Pandangannya jatuh ke lantai, matanya berusaha menghindari tatapan Dharma. Namun, tak mampu lagi menahan semua yang mengganjal, air matanya mulai mengalir deras. Butiran-butiran hangat itu jatuh tanpa henti, seperti banjir yang tak terbendung. Dengan suara yang bergetar, ia b
Malam semakin larut, hanya suara angin yang berdesir lembut di luar jendela. Ara tertidur di pelukan Dharma, wajahnya basah oleh air mata yang mengering, tampak begitu rapuh seperti seorang anak kecil yang kembali ke pelukan ayahnya untuk berlindung dari dunia yang keras. Dharma memandangi wajah putrinya dengan perasaan yang bercampur aduk—kasih sayang, penyesalan, dan tekad yang semakin menguat.Dengan hati-hati, Dharma meletakkan Ara di sofa. Ia merapikan posisi tidur putrinya agar lebih nyaman, lalu menyelimuti tubuhnya yang mungil. Tangannya terulur, mengusap lembut rambut Ara, merasakan kehalusan setiap helaian rambutnya. Sebuah senyum tipis yang penuh kepedihan muncul di wajahnya. "Ara... Papa tahu kau kuat. Tapi di balik kekuatan itu, kau tetap putri kecil Papa yang butuh perlindungan. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu."Dharma menghela napas panjang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Suaranya keluar seperti bisikan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. "Sebenarn
Malam semakin larut, dan kesunyian di ruang tamu terasa begitu mencekam. Ara duduk di sofa, tubuhnya sedikit membungkuk, tangan meremas ujung bajunya. Matanya yang sembab dan memerah akibat terlalu banyak menangis kini hanya menatap kosong ke lantai. Di kepalanya, kata-kata Dharma terus terulang, seperti gema yang menghantam dinding pikirannya tanpa henti."Papa benar... Apa yang papa katakan adalah benar..." gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kepada dirinya sendiri. Bibirnya bergetar, mencoba menyangkal perasaan yang terus mencabik hatinya. "Sangat mencurigakan pria sesempurna dirinya memberikan semua perhatian itu padaku. Mana mungkin ada pria seperti itu? Tidak ada pria yang lebih tulus dari Papa! Bahkan di luar sana, banyak ayah yang meninggalkan istri dan anak-anaknya demi wanita lain. Apa yang aku harapkan dari pria seperti Aezar?"Ara menunduk semakin dalam, mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan. Logika dan emosinya terus bertarung, saling beradu tanpa ada yang mau men
Ruangan terasa dingin dan sunyi setelah kepergian Aezar, tetapi ketegangan yang tersisa membakar seperti api yang tak terlihat. Ara berdiri mematung, wajahnya dipenuhi air mata yang tak berhenti mengalir. Namun, bukan hanya kesedihan yang terpancar dari matanya—melainkan amarah yang mendidih. Ia menatap ayahnya dengan tajam, suaranya penuh getaran emosi. "Papa... Papa jahat! Papa sudah mengusir Daddy!"Dharma menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Ara," katanya, suaranya berat dan penuh penekanan. "Papa melakukan ini demi kebaikanmu, demi keamananmu. Kau harus memahami itu. Lihat luka di lenganmu—""Itu bukan Daddy yang salah!" Ara memotong dengan suara yang bergetar, tetapi tegas. "Aku sendiri yang memaksanya meminum darahku! Daddy tidak mau, tapi aku memaksa karena dia tidak bisa meminum darah zombie. Apa salahnya, Pa? Mendonorkan darah kepada yang membutuhkan, apa itu salah?!"Tatapan Dharma mengeras, namun ada rasa frustrasi yang mendalam di matanya. Ia menatap putr
Ruangan lobi yang sebelumnya hening kini dipenuhi ketegangan yang pekat. Suara Dharma yang menggelegar menggema di dinding, memecah keheningan seperti petir di malam gelap. "Pergi dari sini!" titahnya dengan tegas, matanya menatap tajam ke arah Aezar, penuh amarah dan ketidakpercayaan.Aezar tetap berdiri tegak, wajahnya dingin tetapi ada sedikit rasa bersalah yang tersirat. "Maaf, Paman," ucapnya pelan namun tegas, "Saya tidak bisa melakukannya. Saya sudah berjanji pada Ara untuk melindunginya.""Pergi!" Dharma memukul meja dengan keras. Dentuman suara meja kayu yang terhantam menggema, membuat tubuh Aezar tetap tak bergeming, tetapi Ara yang tertidur di sofa tersentak. Ia membuka mata dengan bingung, wajahnya yang lelah tampak kebingungan menatap ayahnya."Papa? Ada apa ini?" tanyanya dengan suara serak, matanya berkedip menyesuaikan diri dengan cahaya di ruangan.Dharma segera berbalik, suaranya berubah menjadi lebih lembut tetapi masih penuh rasa khawatir. "Ara, kau baik-baik saja
Dharma berdiri di depan wastafel, air mengalir deras dari keran, membasahi tangannya yang sibuk mencuci piring. Tapi pikirannya melayang jauh, meninggalkan kesibukan fisiknya. Tatapannya kosong menatap piring yang dipegangnya, sementara pikirannya penuh dengan satu sosok—Aezar."Anak muda itu..." gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar di tengah suara gemericik air. Matanya menyipit seolah sedang menilai sesuatu yang tidak kasat mata. "Dia sangat tampan, mandiri, tegas, baik, dan ramah. Dia terlihat terlalu sempurna... tanpa celah."Ia berhenti sejenak, menaruh piring yang telah selesai dicuci ke rak. Namun, pikirannya semakin gelisah. "Sempurna... Justru itulah masalahnya."Dharma menghela napas panjang, mengambil piring lain dari tumpukan, lalu kembali mencuci. Air yang dingin mengalir di tangannya, tapi dadanya terasa panas, penuh oleh kecurigaan yang terus tumbuh. "Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua orang punya kekurangan, sisi gelap, sesuatu yang disembunyikan...," ucapny
Dharma memandang Aezar dan Ara dengan tatapan penuh sindiran, sudut bibirnya terangkat seolah mengejek. "Dasar budak cinta!" ujarnya dengan nada tajam, menyelipkan sedikit cibiran. "Kalau kau memang kuat, buktikan. Angkat Ara kalau kau bisa!" tantangnya, nada suara penuh keraguan, jelas menunjukkan bahwa ia tidak menganggap Aezar mampu melakukannya.Aezar menatap Dharma dengan tenang, senyum tipis terlukis di wajahnya. Tanpa sepatah kata, ia mengambil nampan dari meja yang di atasnya terdapat tumpukan piring, gelas, dan mangkuk kosong. Dengan satu tangan, ia mengangkat nampan itu dengan mudah. Lalu, tanpa kehilangan keseimbangan, Aezar berjongkok di depan Ara, mengangkat tubuh gadis itu dengan lembut. Satu tangan menopang di bawah lutut Ara, sementara yang lainnya tetap memegang nampan. Ara memeluk lehernya erat, tersenyum lebar seperti anak kecil yang merasa dimanjakan.Dharma melongo, mulutnya sedikit terbuka, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Ap
Ara menatap Aezar dengan tatapan haru, matanya mulai berkaca-kaca. "Daddy...," ucapnya pelan, penuh emosi.Anjani, yang meski lemah masih bisa mengikuti percakapan mereka, terkekeh pelan. "Ara sudah punya panggilan kesayangan saja," katanya lembut, senyumnya samar namun tulus."Tentu saja!" jawab Ara dengan bangga, nadanya penuh kebahagiaan yang terasa menular. "Mama saja memangil suaminya dengan sebutan papa. Aku juga mau memanggil calon suami ku dengan sebutan daddy!"Namun, Dharma mendengus, mencoba memecah suasana. "Yah ... Saat ini kau bisa mengatakan hal itu sekarang. Tapi tunggulah sampai kalian menikah. Nanti ucapanmu pasti akan berbeda. Awas saja kau selingkuh dengan wanita lain yang lebih pandai memasak atau yang lebih bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakmu!" ucapnya dengan nada setengah menyindir, matanya menatap tajam Aezar.Aezar menunduk, pandangannya tertuju pada Anjani dan kedua anaknya yang masih terbaring lemah di matras. M
Dharma kembali menghampiri Ara dan Aezar setelah menyelesaikan tugasnya memberi makan istri dan kedua anaknya yang lain. Wajahnya terlihat letih, tapi masih menyimpan kelembutan seorang ayah. Ara menoleh dengan penuh harap, tersenyum kecil ketika melihat sosok ayahnya mendekat."Ara, sudah selesai makan?" Dharma bertanya lembut, menatap putri sulungnya dengan tatapan penuh perhatian."Sudah, Papa," jawab Ara ringan, senyumnya seolah mencoba menyembunyikan rasa lelah yang sebenarnya masih membekas.Dharma tersenyum kecil, lalu mendekat untuk membopongnya. Tubuh Ara yang masih belum sepenuhnya pulih terasa ringan di pelukannya. "Bisa berjalan, kan? Kalau tidak, Papa bantu."Ara hanya mengangguk pelan, membiarkan dirinya dibopong menaiki tangga menuju lantai dua. Sesaat kemudian, suara kecilnya memecah keheningan, "Papa, apa kita benar-benar akan bertemu Mama, Ariana, dan Aurora? Mereka sudah sembuh?"Dharma menarik napas panjang, menjeda la