Sayangnya, lamunan Catleya terhenti kala bulu kuduknya merinding. Ia kembali menyadari bahwa dirinya sendirian di rumah serba hijau ini. Bagaimana jika tengah malam nanti ada tangan tak terlihat yang mencekik lehernya?
Ah, daripada pikirannya semakin melantur, Catleya memutuskan untuk mandi saja. Toh, ia merasa gerah sehabis menempuh perjalanan jauh. Awalnya, Catleya merasa was-was untuk menggunakan toilet yang ada di kamarnya, tetapi keraguannya lenyap saat melihat kamar mandi itu cukup nyaman.
Segera saja Catleya melepas bajunya, lalu menyiram seluruh tubuhnya dengan air dingin. Hanya saja, pikirannya berkecamuk dengan banyak hal sekaligus, terutama tentang sosok Rajendra sesungguhnya….
Apabila dilihat dari fasilitas rumah ini, sepertinya Rajendra memang bukan pemuda desa biasa. Apalagi penampilan, tutur kata, serta fitur wajahnya yang tampan lebih mirip dengan seorang lelaki muda dari kota metropolitan. Bisa jadi, Rajendra dan Bi Ijah sebenarnya tidak memiliki hubungan kekerabatan.
“Jika Rajendra bukan keponakan asli Bi Ijah, mengapa dia justru tinggal di desa dan menjadi peternak ayam?” gumamnya tanpa sadar.
Lebih anehnya lagi, Rajendra tergesa-gesa meminang dirinya tanpa alasan yang jelas. Sungguh teka-teki yang sulit dipecahkan ini membuat kepala Catleya serasa ingin meledak.
Tak terasa, Catleya sudah selesai membersihkan diri. Ia pun buru-buru mengeringkan tubuh dengan handuk dan memakai setelan piyama tidur lengan panjang yang sudah disiapkannya tadi. Selama berada di desa ini, dia memutuskan untuk selalu memakai pakaian yang tertutup agar terhindar dari gigitan nyamuk dan serangga lainnya.
Namun ketika Catleya sedang mengipasi rambutnya yang basah, suara perempuan tiba-tiba terdengar memanggil namanya, “Mbak Catleya….”
Deg!
Catleya hampir saja melompat dan bersembunyi di bawah selimut. Untungnya, dia teringat akan perkataan Rajendra sebelum lelaki itu pergi. Lekas saja, Catleya berjalan menuju ke pintu untuk melihat siapa yang datang. Benar saja di ambang pintu sudah berdiri dua orang perempuan muda yang wajahnya bak pinang dibelah dua.
“Mbak Leya, saya Isti dan ini Irma. Kami ditugaskan Pak Jendra untuk menemani Mbak Leya,” sapa salah satu perempuan muda itu.
“Kalian kembar?” tanya Catleya mengerutkan dahi.
“Betul, Mbak,” jawab mereka melempar senyum.
Irma yang mengenakan daster bercorak bunga, membawa rantang makanan bersusun tiga di tangannya. Gadis itu segera menyerahkan rantang tersebut ke tangan Catleya.
“Mbak, ini kami bawakan makan malam untuk Mbak Leya.”
“Terima kasih, di mana ruang makannya?” tanya Catleya.
“Kami juga tidak tahu, Mbak. Ini pertama kalinya kami diizinkan masuk ke rumah Pak Jendra,” jawab Isti dan Irma serempak.
Catleya menghembuskan napas panjang, lalu berjalan mendahului kedua gadis desa itu. Percuma juga dia bertanya panjang lebar kepada Isti dan Irma karena mereka pun terlihat takut kepada Rajendra. Lebih baik, dia menjelajahi rumah ini sendiri sembari menghapalkan tata letak ruangannya.
Tak butuh waktu lama, Catleya menemukan sebuah ruangan yang dilengkapi meja persegi empat dan lima buah kursi! Dia pun langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi kayu tersebut dan membuka rantang makanan. Sementara itu, kedua gadis desa tadi malah berdiri mematung, layaknya dayang yang mendampingi sang ratu untuk bersantap malam. Tentu saja hal ini membuat Catleya tak nyaman.
“Kalian duduklah, ikut makan bersamaku,” ajak Catleya menarik kursi di sebelahnya.
Namun, keduanya justru menggeleng bersamaan. “Tidak usah, Mbak, kami berdua sudah makan.”
“Makan lagi kalau begitu. Aku tidak akan sanggup menghabiskan makanan sebanyak ini.”
Kedua gadis kembar itu bertukar pandang. Melihat Catleya yang tampak bersikukuh, mereka akhirnya mau menemaninya di meja makan. Diam-diam, perempuan 30 tahun itu mengulum senyum. Ia akan menggunakan kesempatan ini untuk bertanya kepada Isti dan Irma mengenai Rajendra.
“Apa kalian tahu Rajendra itu berasal dari mana? Dan sudah berapa lama dia memiliki usaha peternakan ayam?” tembak Catleya langsung.
Isti dan Irma saling melemparkan tatapan bingung. Dari ekspresi mereka, terlihat jelas bahwa kedua gadis itu sangat gelisah dengan pertanyaan yang diajukan oleh Catleya.
“Kami tidak tahu, Mbak. Untuk peternakan ayam, Pak Jendra sudah membangunnya sejak dia pindah kemari. Pak Jendra sangat pandai mengelola usahanya, seperti orang yang sudah berpengalaman,” urai Irma. Sontak, Isti langsung menyenggol kaki Irma supaya kembarannya itu tak banyak bicara.
Melihat ketegangan di wajah mereka, Catleya mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan akad nikah esok hari. Dia yakin kedua gadis kembar itu sudah mengetahui rencana yang disusun oleh Rajendra.
“Ehmm, apakah kalian akan menemaniku sampai besok pagi?” tanya Catleya.
“Iya, kami akan membantu Mbak Leya memakai kebaya dan berdandan mulai jam delapan pagi. Kami berdua adalah perias pengantin di desa ini,” tutur Isti.
“Uhukkk, uhukkk!”
Catleya langsung tersedak air putih yang baru saja diminumnya. Ternyata, Rajendra sudah mempersiapkan segalanya dengan matang, seolah dia sudah tahu kapan mereka akan menikah. Sungguh ajaib pemikiran pemuda desa yang satu ini!
“Tetapi menikah itu tidak hanya butuh perias pengantin. Harus ada penghulu, wali nikah, para saksi, tamu undangan, dan juga gedung–”
“Soal itu sudah diatur oleh Pak Jendra, Mbak. Pak Jendra berpesan kepada kami untuk membawa Mbak Leya ke balai desa, karena ijab qobul akan dilaksanakan di sana,” sahut Irma dengan mantap.
Mulut Catleya seketika melongo saat mendengar penjelasan yang diberikan Isti dan Irma. Selera makannya juga lenyap begitu saja. Jika sudah sedemikan matangnya persiapan yang dilakukan Rajendra, ia jelas tidak akan dapat menghindar dari pernikahan paksa ini!
Segera Catleya merapikan makanannya itu dan bergegas tidur. Besok, dia harus dalam keadaan prima untuk “berdebat” dengan Rajendra.
Namun, sungguh sangat disayangkan semua tak berjalan sesuai harapannya. Begitu keluar dari kamar di pagi hari, Catleya mendapat kejutan yang lebih mencengangkan. Saking herannya, wanita itu sampai mengucek matanya tiga kali untuk memastikan bahwa dia tidak salah lihat.“Mama, kenapa bisa ada di sini?” tanya Catleya.
“Mama sudah berangkat dari semalam bersama Bi Ijah karena mendapat telepon dari Rajendra. Sekarang bersiaplah, Leya, akad nikah kalian akan dilaksanakan pukul sepuluh,” tandas Nyonya Nandini.
Catleya sudah tidak mampu berkata apa-apa lagi. Dia yakin semua acara sudah diatur sedemikian rupa oleh Rajendra. Namun bila dipikir lagi, menjadi istri Rajendra bukanlah hal yang buruk. Justru dengan pernikahan ini, dia bisa menutup mulut orang-orang sembari menemukan kebenaran dari kematian sang ibu. Catleya lantas menghela napas, menguatkan tekad untuk menikahi Rajendra.
Kurang lebih dua jam dirinya dirias oleh Isti dan Irma, penampilan Catleya kini berubah 180 derajat!
Berbalut kebaya brokat berwarna putih dan sanggulan khas Jawa yang dihiasi bunga melati, pesona Catleya meningkat tiga kali lipat. Kulitnya yang seputih susu jadi terlihat lebih bersinar.Perempuan itu tak hanya terlihat rupawan, tetapi juga anggun bak putri dari keluarga ningrat. Isti dan Irma bahkan tak sabar untuk mengambil foto Catleya, yang nanti akan mereka pakai untuk mempromosikan jasa rias pengantin. Barangkali inilah yang dimaksud dengan aura istimewa yang terpancar dari seorang mempelai wanita?
“Non Leya cantik sekali,” puji Bi Ijah terpesona.
“Terima kasih, Bi, tetapi rambut saya ini rasanya berat,” keluh Catleya.
“Tahan sebentar, Leya, akad nikahmu hanya berlangsung sebentar. Ayo, kita ke belai desa sekarang,” sahut Nyonya Nandini cepat.
Entah mengapa, Catleya merasa ibu tirinya yang paling tak sabar dengan pernikahan ini. Namun, ia berusaha mengabaikannya.
Catleya pun berjalan pelan-pelan menuju ke balai desa, dengan didampingi empat orang perempuan sekaligus. Begitu tiba di balai desa, Catleya menyaksikan para warga sudah berdatangan. Hanya saja, Catleya meneguk saliva kasar ketika memandang sosok lelaki gagah yang memakai beskap berwarna putih gading, lengkap dengan peci di kepalanya. Bolehkah ia katakan Rajendra sungguh mempesona?
Cataleya menggelengkan kepala dan mempertanyakan kewarasannya sendiri. Dia tak sadar bila laki-laki muda yang menurutnya tidak jelas asal-usulnya itu, diam-diam tersenyum kala memperhatikan ekspresinya yang lucu.
‘Tidak salah aku memilihmu, Leya. Kupastikan, kamu tak akan menyesal dengan pernikahan ini,’ batin pewaris tersembunyi Chandra Kirana Group itu dalam hati.
“Leya kenapa malah melamun? Rajendra sudah menunggumu dari tadi?” tegur Nyonya Nandini. Catleya sontak tersadar dari lamunannya.Ingin rasanya dia melarikan diri, tetapi sudah terlambat baginya untuk mundur dari pernikahan ini. Alhasil, Catleya hanya bisa pasrah saat Nyonya Nandini membimbingnya untuk duduk di samping Rajendra. Catleya langsung menundukkan kepala, tak berani menatap Rajendra maupun orang-orang yang ada di hadapannya. Namun, ia merasakan pandangan Rajendra yang sekilas melirik ke arahnya. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki muda yang akan menjadi suaminya itu. Yang jelas, Catleya khawatir bila Rajendra menganggap riasannya terlalu mencolok. “Saya terima nikah dan kawinnya Catleya Wiryawan binti Andi Wiryawan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” ucap Rajendra dalam satu tarikan napas. “Bagaimana para saksi? Apakah sah?” “SAH!” Rajendra menarik napas lega, karena bisa mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Semua yang hadir terlarut dalam lantunan doa yang
“Terima kasih,” lirih Catleya. Berkat bantuan dari Rajendra, sanggulnya kini sudah terlepas dengan sempurna. Tanpa diminta, Rajendra juga membukakan kancing di bagian belakang kebaya Catleya. Setelahnya, pria itu memilih duduk di tepian ranjang sembari mengecek ponselnya. Suasana di dalam kamar begitu sangat canggung. Baik Rajendra maupun Catleya tidak tahu harus membuat obrolan seperti apa. Terlebih, jantung Catleya sama sekali tidak bisa berdetak dengan normal. Dari balik kaca rias, ia merasa setiap gerakannya seakan diperhatikan oleh Rajendra. “Emmm, Jendra, aku mandi dulu,” ucap Catleya memecah keheningan. Karena tak tahan dengan kecanggungan yang ada, Catleya memutuskan untuk membersihkan diri dan berganti baju di dalam kamar mandi. “Iya, saya juga pamit ke peternakan ayam dulu, Mbak,” pamit Rajendra. "Kenapa?" tanya Catleya bingung. Kenapa juga harus ke peternakan di kala matahari sudah tenggelam. "Memang sudah seharusnya begitu, peternakan harus tetap dipantau meskipun ma
“Tenang saja, Mbak, itu pasti salah satu pegawai saya. Mbak tunggu di sini, saya akan periksa ke depan,” ucap Rajendra lantas melangkah pergi. Dengan wajah tegang, Catleya pun menunggu Rajendra kembali. Perempuan itu baru bisa bernapas lega tatkala melihat Rajendra datang bersama seorang pria berusia empat puluh tahunan. Dari gestur tubuhnya, tampak bahwa lelaki tersebut sudah mengenal Rajendra dengan baik. “Ini Pak Yadi, pengawas kandang. Dia kemari untuk tugas jaga malam,” kata Rajendra memperkenalkan pria itu kepada Catleya. “Selamat malam, Bu, maaf kalau kedatangan saya buat Ibu kaget. Saya baru saja selesai membersihkan balai desa bersama warga,” kata Pak Yadi sembari menunduk hormat. “I-iya, Pak, tidak apa-apa,” jawab Catleya merasa malu sendiri. Memang dirinya yang terlalu penakut hingga berpikiran macam-macam. “Pak, tolong jaga kandang. Besok sebelum jam tujuh pagi, saya akan datang,” titah Rajendra. Setelah memberikan arahan kepada pegawainya, Rajendra berpaling untuk
Mendengar pengakuan spontan dari Rajendra membuat Catleya tidak dapat menahan tawa. Catleya tidak menyangka masih ada pria sepolos Rajendra di muka bumi. Mana mungkin laki-laki seusia Rajendra tidak mengetahui mengenai hal-hal yang berbau dewasa, kecuali dia benar-benar seorang yang alim. Walaupun tidak pernah melakukan, paling tidak seseorang memiliki pengetahuan lewat buku, artikel maupun film. Di samping itu, Catleya juga tidak percaya bila Rajendra belum pernah berpacaran. Dengan didukung paras tampan dan kantong yang tebal, rasanya mustahil bila tak ada gadis yang berusaha untuk menarik perhatian Rajendra. Merasa ditertawakan, Rajendra menatap heran kepada Catleya. "Apa ucapan saya tadi lucu, Mbak?" Catleya tidak langsung menjawab, karena wanita itu masih berupaya mengendalikan tawanya. Beginilah resiko bila menikah dengan lelaki yang masih bocah biarpun secara fisik sudah terlihat dewasa. Sebagai pihak yang lebih tua, ia harus bisa memahami sisi kekanak-kanakan dalam diri
“Jendra….” lirih Catleya. Sengaja Catleya memanggil Rajendra dengan suara lirih untuk mengetes apakah suaminya itu sudah tidur atau belum. Tak ada sahutan yang terdengar dari lelaki itu, pertanda bahwa ia telah terbang ke alam mimpi. Ternyata Rajendra termasuk tipe orang yang mudah sekali terlelap hanya dalam hitungan menit. Berbeda dengan dirinya yang sulit memejamkan mata bila di sebelahnya ada orang lain. “Sebenarnya dia tidur atau hanya pura-pura?” gumam Catleya bermonolog.Merasa penasaran, Catleya beringsut mendekat kepada Rajendra. Dengan bertumpu pada sikunya, perempuan itu mengintip sang suami. Kedua kelopak mata pemuda itu terkatup rapat tanpa adanya pergerakan sama sekali. Catleya mencoba untuk mengamati Rajendra lebih dekat. Namun, ia malah menjadi gagal fokus saat memperhatikan bentuk wajah, alis, hidung, dan bibir suaminya. Sungguh, seorang lelaki tampan dalam kondisi apa pun tetaplah tampan, bahkan saat ia memejamkan mata. Barangkali jika Catleya bisa melukis, maka
Mendengar itu, Meliana justru memasang ekspresi prihatin sembari melipat tangannya di depan dada. "Kami datang jauh-jauh untuk memberimu ucapan selamat, Kak. Setahuku pengantin baru biasanya penuh kebahagiaan, tetapi kenapa wajahmu masam begitu? Apa kamu mengalami stress berat setelah menjadi wanita desa?” sarkasnya. Sekilas Catleya melihat Adrian menyenggol lengan Meliana agar berhenti bicara. Tindakan Adrian tidak membuat Catleya tersentuh sama sekali. Justru ia ingin menunjukkan kepada lelaki itu bahwa seorang Catleya Wiryawan bisa membela diri tanpa membutuhkan bantuan dari siapapun. “Aku tadi bangun pagi dengan wajah berseri-seri. Tetapi mood-ku langsung hancur saat ada dua lalat pengganggu yang beterbangan di rumahku. Selain bau busuk, lalat itu terus mendengung di telingaku. Aku berencana untuk menggeplaknya dengan raket listrik supaya lalat itu berhenti mengganggu kebahagiaanku,” tandas Catleya menekan setiap kalimatnya. Kini wajah Meliana memanas. Namun, perempuan itu
“Saya memang butuh bantuan dari Mbak Leya, tetapi bukan sekarang. Nanti Mbak Leya juga akan tahu kalau waktunya sudah tiba,” jawab Rajendra penuh teka-teki. Catleya terdiam. Namun, ia mencoba tak ambil pusing dan mengangguk. Mungkin, suaminya ini memang butuh waktu.***** “Jendra, apa kamu akan ke peternakan lagi?” tanya Catleya mengikuti langkah Rajendra yang berjalan menuju dapur. Jika pemuda itu sudah tidak disibukkan oleh pekerjaan, Catleya berencana akan bicara mengenai kepulangannya. Dia juga akan memesan tiket bus agar secepat mungkin bisa meninggalkan desa Purwabinangun. Catleya bertekad untuk mengurus keperluannya sendiri agar tak selalu merepotkan Rajendra. “Iya, dua jam lagi saya akan kembali ke kandang untuk mengawasi penyuntikan vaksin. Mungkin saya pulang agak malam,” kata Rajendra sembari mencuci tangannya dengan air sabun. “Ayam juga perlu divaksin?” tanya Catleya heran. Catleya memang tidak tahu-menahu cara memelihara hewan yang menjadi makanan favorit sebagi
Dalam beberapa detik, Catleya mengerjap-ngerjapkan mata lantas mencubit tangannya sendiri di bawah meja. Ketika merasakan kulitnya tertarik, barulah Catleya yakin bahwa ia tidak bermimpi di siang bolong. Ternyata dewi fortuna sedang berpihak kepadanya hingga Rajendra tiba-tiba mendapat pekerjaan di kota! Meski senang bukan kepalang, Catleya lantas berpikir keras. Bila Rajendra turut serta pindah ke Jakarta, artinya mereka akan tinggal serumah lagi. Bukannya dia benci kepada Rajendra, tetapi Catleya tidak ingin terbawa perasaan jika serumah terus dengan sang suami. Pasalnya dengan jurang perbedaan usia yang cukup jauh, tidak mungkin bagi mereka untuk menjalani pernikahan sungguhan. Di samping itu, Rajendra nampaknya lebih tertarik mengurusi ayam dibandingkan memikirkan masalah cinta...? “Apa kamu akan bekerja di perusahaan peternakan juga? Lalu bagaimana dengan usahamu sendiri di desa ini?” tanya Catleya penasaran. “Pekerjaan saya tidak ada hubungannya dengan ayam, Mbak. Soal pe
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry