Mendengar itu, Meliana justru memasang ekspresi prihatin sembari melipat tangannya di depan dada. "Kami datang jauh-jauh untuk memberimu ucapan selamat, Kak. Setahuku pengantin baru biasanya penuh kebahagiaan, tetapi kenapa wajahmu masam begitu? Apa kamu mengalami stress berat setelah menjadi wanita desa?” sarkasnya. Sekilas Catleya melihat Adrian menyenggol lengan Meliana agar berhenti bicara. Tindakan Adrian tidak membuat Catleya tersentuh sama sekali. Justru ia ingin menunjukkan kepada lelaki itu bahwa seorang Catleya Wiryawan bisa membela diri tanpa membutuhkan bantuan dari siapapun. “Aku tadi bangun pagi dengan wajah berseri-seri. Tetapi mood-ku langsung hancur saat ada dua lalat pengganggu yang beterbangan di rumahku. Selain bau busuk, lalat itu terus mendengung di telingaku. Aku berencana untuk menggeplaknya dengan raket listrik supaya lalat itu berhenti mengganggu kebahagiaanku,” tandas Catleya menekan setiap kalimatnya. Kini wajah Meliana memanas. Namun, perempuan itu
“Saya memang butuh bantuan dari Mbak Leya, tetapi bukan sekarang. Nanti Mbak Leya juga akan tahu kalau waktunya sudah tiba,” jawab Rajendra penuh teka-teki. Catleya terdiam. Namun, ia mencoba tak ambil pusing dan mengangguk. Mungkin, suaminya ini memang butuh waktu.***** “Jendra, apa kamu akan ke peternakan lagi?” tanya Catleya mengikuti langkah Rajendra yang berjalan menuju dapur. Jika pemuda itu sudah tidak disibukkan oleh pekerjaan, Catleya berencana akan bicara mengenai kepulangannya. Dia juga akan memesan tiket bus agar secepat mungkin bisa meninggalkan desa Purwabinangun. Catleya bertekad untuk mengurus keperluannya sendiri agar tak selalu merepotkan Rajendra. “Iya, dua jam lagi saya akan kembali ke kandang untuk mengawasi penyuntikan vaksin. Mungkin saya pulang agak malam,” kata Rajendra sembari mencuci tangannya dengan air sabun. “Ayam juga perlu divaksin?” tanya Catleya heran. Catleya memang tidak tahu-menahu cara memelihara hewan yang menjadi makanan favorit sebagi
Dalam beberapa detik, Catleya mengerjap-ngerjapkan mata lantas mencubit tangannya sendiri di bawah meja. Ketika merasakan kulitnya tertarik, barulah Catleya yakin bahwa ia tidak bermimpi di siang bolong. Ternyata dewi fortuna sedang berpihak kepadanya hingga Rajendra tiba-tiba mendapat pekerjaan di kota! Meski senang bukan kepalang, Catleya lantas berpikir keras. Bila Rajendra turut serta pindah ke Jakarta, artinya mereka akan tinggal serumah lagi. Bukannya dia benci kepada Rajendra, tetapi Catleya tidak ingin terbawa perasaan jika serumah terus dengan sang suami. Pasalnya dengan jurang perbedaan usia yang cukup jauh, tidak mungkin bagi mereka untuk menjalani pernikahan sungguhan. Di samping itu, Rajendra nampaknya lebih tertarik mengurusi ayam dibandingkan memikirkan masalah cinta...? “Apa kamu akan bekerja di perusahaan peternakan juga? Lalu bagaimana dengan usahamu sendiri di desa ini?” tanya Catleya penasaran. “Pekerjaan saya tidak ada hubungannya dengan ayam, Mbak. Soal pe
Bukannya ikut bersemangat, Catleya justru menguap lebar. Kedua kelopak matanya mendadak terasa berat dan minta untuk dipejamkan dengan segera. Mungkin ini merupakan efek samping dari perutnya yang sudah kekenyangan. Atau bisa jadi dia terlalu bosan mendengarkan informasi yang disampaikan oleh Ineke.“Ley, kamu masih mendengarkan aku?” tanya Ineke merasa diabaikan.“Sorry, aku tiba-tiba ngantuk banget, Ke,” jawab Catleya sambil menguap untuk kedua kalinya.“Ish, bisa-bisanya menguap di saat aku bicara serius denganmu. Aku sumpahin kamu nanti jatuh cinta dengan CEO baru kita,” sembur Ineke.“Itu tidak mungkin terjadi, karena kami beda alam,” jawab Catleya sekenanya. Mana mungkin dia bisa jatuh cinta sedangkan melihat rupa CEO saja belum pernah. Seandainya suatu hari mereka tak sengaja berpapasan di lobi atau lift, paling hanya dianggap angin lalu saja. Mustahil ada adegan jatuh terpeleset atau tabrak-menabrak yang berujung cinta, seperti dalam serial drama. Itu semua hanyalah imajinasi
Mengetahui ada lelaki lain yang menelepon istrinya, entah mengapa Rajendra merasa tidak suka. Pemuda itu pun meraih ponsel Catleya dan bermaksud untuk menerima panggilan tersebut. Namun selang beberapa detik, Rajendra mengurungkan niatnya. Bisa jadi Catleya akan marah bila ranah pribadinya diusik oleh orang lain. Akhirnya, Rajendra mencoba lagi untuk membangunkan Catleya. Kali ini, dia menggoyangkan lengan Catleya lebih kencang dari sebelumnya, tetapi wanita itu masih tak bergeming. Catleya malah mencebikkan bibirnya, seolah kesal karena ada yang berani mengganggu tidurnya. Merasa gemas sendiri, Rajendra pun berpikir untuk membangunkan istrinya itu dengan cara yang sedikit ekstrem. Sementara Catleya yang masih tidur nyenyak memimpikan seorang pria mendatanginya. Wajah pria itu tidak jelas seperti terhalang oleh bayang-bayang hitam. Lambat laun pria itu semakin mendekat hingga bibir mereka berdua hampir menempel. Bukannya menolak, Catleya justru tidak berkutik sama sekali. Dia su
Catleya hanya termangu saat Rajendra menyinggung soal konsep pernikahan. Memang idealnya pernikahan itu adalah sekali untuk selamanya, tetapi pada kasus mereka hal ini tidak bisa diterapkan. Mana mungkin mereka terikat seumur hidup sementara tak ada perasaan yang mendasarinya. Jika dipaksakan sekali pun, hasilnya malah akan menyakiti mereka berdua.“Aku setuju dengan pemikiranmu, Jendra, tetapi kasus kita berbeda. Kita menikah demi meraih tujuan masing-masing, bukan untuk bersama selamanya. Kamu masih muda dan punya banyak kesempatan untuk mengenal gadis lain yang sebaya denganmu. Saat kamu bekerja di Jakarta nanti, kamu bisa….”“Tapi saya tidak mau melakukan perselingkuhan. Saya akan menghargai status saya sebagai suami dan saya berharap Mbak Leya juga melakukan hal yang sama. Pernikahan kita tidak dibatasi dengan waktu,” potong Rajendra.Setelah berkata demikian, Rajendra pergi begitu saja dari hadapan Catleya dengan ekspresi kesal. Membuat Catleya semakin bingung ada apa dengan sua
Nyonya Tiara lebih dulu memeluk Bintang, sedangkan Tuan Chandra membiarkan sang istri melepas rindu terlebih dahulu kepada sang cucu. Pria tua itu lebih memilih untuk memperhatikan gadis kecil di samping Bintang, yang tak lain adalah cicitnya. Sembari tersenyum, Tuan Chandra menyapa Milly yang masih menundukkan kepala, tak berani menatapnya. “Ayo, kemari, Milly, ini Kakek Buyut,” ujar Tuan Chandra merentangkan kedua tangannya. Milly menggelengkan kepala dan malah merapatkan tubuhnya kepada Bintang. Merasa berada di tempat terasing, gadis kecil itu tidak ingin terpisah sedetik pun dari sang ayah. Bagaimana tidak, terakhir kali ia ke rumah Tuan Chandra adalah saat berumur enam bulan. Mustahil Milly masih mengingat kenangannya semasa bayi. Melihat Milly menolak permintaan Tuan Chandra, Nyonya Tiara melerai pelukannya kepada Bintang lalu beralih menatap cicitnya itu. Wajah Milly sangat cantik, perpaduan antara Bintang dengan mendiang istrinya, Monica, yang merupakan keturunan Indo-P
Tenggelam dalam pemikirannya sendiri, Catleya tidak tahu jika Rajendra membawanya ke peternakan, bukan kembali ke rumah mereka. Perempuan itu baru tersadar saat hidungnya mencium aroma khas ayam yang menusuk. “Jendra, kenapa kita ke peternakan?” tanya Catleya. Tubuh Rajendra yang jangkung membuatnya harus mendongakkan kepala setiap kali bertanya kepada suaminya itu. “Tempat ini lebih dekat dari sungai. Kalau kita kembali ke rumah, Mbak Leya bisa masuk angin.” Tak berani bertanya lagi, Catleya terpaksa patuh saat Rajendra membawanya ke area peternakan. Namun kali ini mereka tidak memasuki kandang, melainkan berbelok ke bangunan kayu yang berjajar di seberangnya. Mereka sempat bertegur sapa dengan Pak Yadi yang sedang berjaga di sana. Pria berkulit sawo matang itu langsung berinisiatif untuk membawakan payung milik Rajendra. “Mau saya buatkan teh jahe hangat? Ibu sepertinya kedinginan,” tawar Pak Yadi kepada Rajendra. “Iya, Pak, terima kasih.” Catleya tak menyangka bila di peter
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry