"Sena, bangun!" bisik Ann. Amarahhya sedikit mereda, tapi tidak sepenuhnya percaya juga. "Aku lusa harus ke luar kota, Ann," ucapnya lirih. "Ya, aku akan tinggal di rumah ayah untuk sementara. Tapi ... sepertinya aku lebih aman ada di sini," ucap Ann. Sena perlahan mengerjapkan matanya, samar ia menatap istrinya yang kini hanya terdiam. Cahaya matahari yang menembus kamar tidur keduanya. "Aku suka dengan apartment ini, terima kasih. Tapi ... aku masih belum percaya padamu, Sena," tutur Ann. Mata coklat itu menelisik ke luar, ragu! Perasaannya cukup mengguncang ketenangan dirinya. "Aku akan berusaha membuatmu percaya, kalau kamu ingin tinggal di sini selama aku di luar kota. Aku tidak masalah, dan bahkan aku senang jika kamu tinggal di sini ...," Sena menjeda ucapannya. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. "Apa kamu tidak ingin aku di rumah ayah?" tanya Ann dengan menatap nyalang ke arah suaminya. "Ya, aku tidak bisa mempercayai mereka," ucap Sena jujur. Lengkunga
"Pria gila!" ujar Dewi tatkala melangkah keluar meninggalkan kantor Sena. Hari ini semuanya terlihat kacau, Adi yang memanggilnya secara tiba-tiba. Ratih yang suka mengomel, dan ... Rafael yang terlihat mulai bermain di belakang. "Ada apa dengan hari ini?" tanya Dewi berulang kali. Ia memberhentikan taxi, niatnya untuk pergi sejenak menghindari Ratih. "Semoga apa yang aku dengar itu salah, mana mungkin Mas Rafael melakukan itu," gumam Dewi. "Nona, kita sudah sampai," ucapnya. "Terima kasih." Setibanya di cafe, ia duduk dengan nyaman di sudut ruangan. Matanya menelisik, sejenak ia teringat masa ia masih kecil dan hidup miskin. "Dulu aku bermimpi bisa duduk di sini," gumamnya dengan tatapan kosong. "Permisi!" ujar seorang di hadapan Dewi. Matanya membelalak lebar tatkala mendapati seorang pria yang berdiri tidak jauh darinya. "Ya!" seru Dewi. "Boleh saya duduk di sini?" ucapnya dengan mengulas senyuman. "Silakan, saya juga sendiri," Tanpa memikirkan
"Arghhh!" teriak Dewi kian mengeras. "Dewi!" Seno berlari saat melihat Dewi terhuyung. Tanpa ragu ia menggendong tubuh istri rekan kerjanya, membawanya ke rumah sakit terdekat. "Aku harap dia tidak apa-apa," ucap Seno. Setibanya di rumah sakit, ia langsung menyerahkan Dewi pada perawat. Membiarkan tubuh Dewi diperiksa. Satu jam berlalu, ia masih dengan perasaan cemas. "Apakah bapak suami pasien?" tanya dokter yang baru saja keluar ruangan IGD. "Bukan, Dok. Saya teman suaminya, kebetulan tadi kami bertemu di cafe," papar Seno. "Baiklah, mari Anda ikut saya," titah Dokter. Seno hanya mengikuti langkah dokter, hingga ia tiba di sebuah ruangan dengan nuansa putih. "Jadi, Nyonya Dewi tidak apa-apa, hanya ada kontraksi palsu dan ia tidak bisa menahan sakitnya. Itu membuat dia pingsan, istirahat dan mengurangi stress kuncinya. Usahakan saat hamil tidak stres," terang Dokter bernama Lina itu. "Baik, Dokter. Apa Dewi sudah siuman?" tanya Seno. "Mungkin seben
"Dan ... apa, Sena?" tanya Ann menajamkan tatapannya. "Lihat, itu bukannya Rafael ya, Ann?" Sena menunjuk ke satu arah. Membuat Ann mengikuti arah pandang Sena, matanya menajam tatkala melihat seorang pria yang cukup ia kenal. Bahkan, perawakannya sangat Ann kenal, hingga ia tertegun. "Dia sama wanita lain?" tanya Ann dengan sigap menutup mulutnya. "Siapa ya? Bagaimana bisa ia bersama wanita lain saat istrinya hamil?" Sena bertanya-tanya. Ann menatap Sena tajam, ia menarik wajah Sena menghadap dirinya. "Tutup mata, tutup telinga. Gak usah dilihat atau apa pun, itu urusannya sama istrinya. Kita gak usah ikut campur ya, Sayang," ucap Ann dengan menutup telinga Sena. Pipinya menghangat, kalimat yang keluar dari mulut Ann membuat Sena tersenyum manis. "Kamu hari ini makan apa, Sayang?" tanya Sena. Hah? Ann hanya bisa menatap Sena dengan bingung, masalahnya pagi ia dan Sena sarapan bersama. Mana mungkin Sena tidak tahu. "Kamu aneh banget, aku sarapan sama
"Selamat pagi, Sayang!" sapa Rafael. Ia baru saja masuk ke kamar, matanya menelisik pada Dewi yang masih terlelap. 'Dasar wanita bodoh!' batinnya. Ia hanya membutuhkan partisipasinya untuk mendapatkan Ann kembali. Persetan perasannya dan segala hal tentang Dewi Rafael tidak peduli. "Si-siapa? Kenapa kau datang kembali, Rafael!" hardik Dewi. Ia mendorong keras tubuh Rafael tanpa memedulikan raut kaget pria itu. Tatapan tajamnya seolah siap menusuk bak belati yang tajam. "Sayang, ada apa?" tanya Rafael dengan tatapan aneh. "Ada apa katamu? Masih pantaskah kau ada di sini, setelah kau bergumul dengan wanita lain? pria gila!" pekik Dewi dengan suara kian mengeras. "Dewi, apa maksudmu? jujur aku tidak paham dengan jalan pikiranmu kali ini, katakan apa yang salah dariku?" tanya Rafael. "Hahaha, bukan apa-apa, Sayang. Kenapa wajahmu panik sekali?" Dewi mengulas senyum manisnya. Menatap suaminya dengan wajah penuh keterkejutan. "Ah ... aku kira kamu kenapa, De
"Apa maksudmu, Antasena Gaharu?!" hardik Adi dengan berdiri secara tiba-tiba. "Lihatlah keluarga Anda sekarang, apakah layak seorang ayah membiarkan anaknya di ... Mungkin Anda harus melihat sendiri. Saya pamit, sepertinya lain kali saja kita bahas ini, Pak Adi," papar Sena dengan senyuman tajam. "Kurang ajar!" pekik Adi keras. Adi ingin sekali memaki menantunya satu itu, tapi apa dayanya? "Maaf, Pak Adi," ucap Sena seraya melambaikan tangan. Saat Sena memasuki ruang tamu, Ann menatapnya dengan tajam. Penuh tanya dalam benak Sena, apa yang terjadi pada istrinya? "Ibu, Dewi, kami pamit dulu!" ucap Sena dengan mengulas senyuman. "Lihatlah, Bu. Mas Sena sangat tampan ya!" ucap Dewi dengan berbisik pada Ratih. "Iya, dan sangat kaya! Kenapa kamu dulu memilih Rafael yang sebenarnya kere sih!" hardik Ratih dengan kesal. "Ya siapa suruh 'kan, dulu ibu yang nyuruh kok aku yang salah!" Dewi beranjak dengan mengomel. Kesal rasanya mendengar ucapan Ratih, ia yang menj
Sena menatap nyalang pintu ruangan yang kembali tertutup rapat. "Gila!" pekiknya. Tidak lama dari itu, Arka memasuki ruangan dengan ragu. Menatap sekilas wajah atasannya yang terlihat kaku. "Ada apa, Tuan muda?" tanyanya. "Siapa yang datang mencariku, Arka?" tanya Sena membalikkan kalimat Arka. "Oh itu, anak Pak Adi lagi-lagi datang. Tapi sudah saya usir," jawab Arka. Lihai ia meletakkan gelas kopi pada meja Sena, sesaat kemudian ia mulai menikmati kopinya. "Sebenarnya apa yang diinginkan oleh Dewi dariku? Memangnya kurang apa Rafael menjadi suaminya?" gumam Sena. "Cari tahu tentang Rafael, apa pun itu sampaikan padaku dalam 3 hari!" titah Sena. Ia tidak ingin apa pun terjadi lebih dalam dan membahayakan Ann. *** "Selamat sore, Sayang. Muka kamu kusut banget?" tanya Ann seraya memasuki mobil. "Maaf ya, bagaimana hari ini?" Sena membalikkan tanya. Moodnya sedari pagi memang sudah tidak baik, ia hanya membutuhkan Ann untuk mengembalikan itu semua me
"Aku lebih mencintaimu, Ann!" balas Sena. Ia terpaku pada wanita cantik di hadapannya yang tidak lain adalah istrinya sendiri. Mata coklatnya berbinar layaknya lampu. Perlahan, alunan musik klasik terdengar merdu. Suasana kian intim di antara ke duanya. "Ann, apa kamu menyukainya?" tanya Sena. Matanya menatap Sena dengan berbinar, bibir tipisnya kini mengulas senyuman manis. "Aku sangat menyukainya, ini akan menjadi malam yang sangat aku sukai. Jika aku diijinkan untuk menghentikan waktu dalam hidupku, mungkin aku akan menghentikannya sekarang juga!" serunya dengan keras. Tawanya riang, senyumnya tulus! Tidak ada yang berubah, tidak ada yang bisa ia rubah. Semua ini indah, seperti bayangannya. 'Aku benar-benar ingin memilikinya seutuhnya!" pekik Sena dalam batinnya. Perlahan makanan itu datang, Ann dan Sena saling menatap lembut. "Malam ini, kamu diijinkan makan sebanyak yang kamu mau. Jangan ragu!" ucap Sena seraya menggoda. "Kamu secara tidak sengaja me
"Lena?" tanya Sena dengan tatapan penuh tanya. "Kan kamu janjiin dia cowok, Sayang. Kamu lupa?" tanya Ann dengan kekesalan. "Tidak, aku masih ingat kok. Hm, beberapa temanku memang sedang mencari pacar, nanti aku akan mengenalkan salah satunya pada Lena," terang Sena. Mata yang teduh kini menatap lekat ke arah Ann, perjalanan menuju apartment selalu menyenangkan baginya. "Malam ini biarkan aku memasak untukmu, Sayang. Kamu istirahat saja ya," bisik Sena. "Ta-tapi? Kenapa tidak pesan di luar saja?" Ann melempar tanya. Ia hanya cemas jika Sena memasak asal dan tidak bisa dimakan. Akan sangat mubazir jika itu terjadi. "Tenang saja!" ucap Sena. Tibalah mereka berdua di apartment, Sena yang langsung membawa Ann ke kamar. "Kamu istirahat ya, mandi dulu," titah Sena. "Tapi, Sayang," Ann memeluk erat tubuh Sena. Membuat lelaki itu terdiam sejenak, Ia membalas pelukan Ann dengan hangat. "Kamu mau apa sekarang? Mandi dulu ya, nanti aku yang memasak," terang Se
"Siang, Tuan Muda," sapa Arka dan Aisha kompak. Kini mereka duduk di sebuah restoran cukup ternama, Ann yang duduk di samping Sena membuat Aisha canggung. Bukan karena apa, hanya saja suaminya mengajaknya makan siang bersama. "Aisha, aku dengar dari Lena kamu lagi cari rumah?" tanya Ann dengan menatap wajah Aisha sekilas. "Iya, Mbak. Dasar Lena suka bahas hal-hal yang gak perlu!" Aisha menanggapi dengan kekehan ringan. Merasa malu, ia meremas ujung bajunya sampai kusut. "Aku berniat memberikan apartment padamu, Aisha," ucap Sena. Satu kalimat yang berhasil membuat mulut Aisha ternganga, bukan ini yang ia inginkan. Tapi ... kenapa Sena ingin memberikan apartment padanya? "Tuan, saya punya tabungan untuk menyewa rumah kecil saja. Saya ...," Aisha menghentikan ucapannya. "Aisha, semua ini tidak kuberikan cuma-cuma, karena kamu teman baik istriku. Dia yang meminta padaku tentang ini, jangan ditolak ya!" peringat Sena. Manik mata yang kini basah menatap Arka secara berulang, ia m
"Aku dengar Aisha lagi cari kontrakan ya," celetuk Lena saat tiba di tempat duduknya. "Aku malah gak dengar apa-apa, Len." Ann kembali fokus pada pekerjaan yang ada di hadapannya. "Aku masih bertanya-tanya, apa bapaknya belum berubah dari dulu?" Lena masih dengan tanya yang ada di kepalanya. Mendengar itu, Ann mendongak pada sahabatnya yang kini bersandar di kubikel. sorot mata penuh tanya dengan tatapan tajam. "Bapaknya belum berubah? Maksudmu apa?" tanya Ann. "Orangnya kasar banget, Ann. Dulu waktu masih SMA, Aisha sering dateng babak belur ke sekolah," terang Lena dengan mengingat beberapa tahun ke belakang. "Gila, kenapa kamu diam aja sih!" seru Ann. Lena menatap Ann dengan penuh tanya, bingung! Padahal awalnya Lena hanya membahas tentang Aisha yang mencari rumah. "Aisha itu kelihatannya mau kabur dari rumah, Ann. Makanya dia berniat beli rumah baru," terang Lena sebagai tambahan. "Iya, aku telpon suamiku dulu." Ann meraih ponselnya yang tergeletak di
"Mas, kan kita mau pulang. Kenapa lewat sini?" tanya Aisha saat mengamati arah laju mobil Arka. "Kita makan," singkat. Akhirnya, Aisha memilih diam tanpa bertanya lagi. Ia hanya bersandar dengan posisi nyaman. Menatap jalanan yang ramai di malam hari. "Ai, kenapa diam?" tanya Arka dengan lembut. "Gak apa-apa, Mas. Aku tidak lapar," jawabnya. Meski perutnya terasa kosong dan membuat tubuhnya lemas. Aisha tidak lagi ingin merepotkan Arka, sudah terlalu banyak bantuan yang ia terima. Hingga Aisha bingung harus membalas dengan apa. "Mas, aku jadi bebanmu ya sekarang?" Kalimat itu keluar begitu saja, membuat Arka sempat tergelak. "Maksudmu, Ai?" tanya Arka dengan menatap penuh tanya. "Karena Mas Arka melamarku, aku sekarang jadi merepotkanmu, Mas!" kata Aisha dengan ragu. Ia tidak lagi mampu menopang dirinya sendiri, dan ia malah merepotkan orang lain yang notabene pria yang melamarnya. "Mas, harusnya aku gak memperlakukanmu seperti ini," ucap Aisha lagi.
"Aisha, ada apa?" tanya Arka dengan penuh kecemasan. Di sambungan telepon, di ruangan yang gelap. Aisha memberanikan diri menghubungi Arka, malam itu. "Aku gak apa-apa, Mas. Tapi temani aku sebentar ya," kata Aisha dengan gemetar. "Iya, aku temani. Apa kamu mau aku ke sana? Aku temani ya," Arka kian mencemaskan Aisha kali ini. Logikanya tidak lagi bisa diajak kompromi, satu hal yang ia inginkan. "Jangan ya, Mas. Aku gak mau Mas Arka ikutan keseret. Temenin aku aja via telepon," elak Aisha. "Baiklah, Aisha. Katakan saja kalau ada apa-apa," timpal Arka. Kecemasan yang tidak ada habisnya, ia hanya bisa menahan diri. Menemani Aisha dalam kekalutan yang tidak dia pahami. "Arghhh!" pekik Arka dengan keras. Tanpa sadar ia berteriak saat telepon masih tersambung. "Mas, ada apa?" tanya Aisha terburu-buru. "Tidak apa-apa, Aisha. Mas ke sana aja ya, di sini gak bisa tenang," tegas Arka. "Ta-tapi, ... Aku gak bisa jamin loh, Mas," Aisha terbata dengan suara gem
"Kamu senang?" tanya Arka saat diperjalanan mengantar Aisha. "Ya, Mas Sena dan Mbak Ann sangat baik, Mas," tutur Aisha. "Hehehe, Tuan muda memang selalu baik, Ais. Tanpa dia sepertinya aku gak akan seperti sekarang," Arka menyetir dengan mengulas senyuman. "Aku hanya berharap mereka selalu bahagia bersama," ucap Aisha dengan tulus. Arka tersenyum, "Aku juga berharap kita bahagia, Aisha!" ungkapnya lembut. Ke duanya hanya tersipu dengan ucapan masing-masing. Setibanya di depan gang rumah Aisha, Arka hanya membukakan pintu. "Mas, ikut ya?" tanya Arka. "Mas, jangan dulu ya!" Aisha mengelak. Entah kenapa Aisha masih enggan membawa Arka pada keluarganya. "Ya, oke." Meski sudah melamar Aisha, Arka masih suka bertanya-tanya tentang keadaan keluarganya. Tapi, Aisha selalu menghindari itu. "Aku pulang dulu, Sayang," ucap Arka dengan senyuman. "Ya, hati-hati, Sayang," balas Aisha. *** "Suami kamu royal banget, Ann!" seru Lena tatkala tiba di kantor. "Ya, makanya
"Hehehe," Hari berlalu dengan sibuk, Ann menatap layar komputer sampai matanya pedas. Pekerjaan yang cukup menumpuk akibat ia mengambil cuti. Lena dengan emosionalnya akibat tumpukan pekerjaan. "Kau benar-benar gila, lihatlah semua ini aku yang kerjakan!" seru Lena. "Iya, maaf, Lena. Aku juga tidak tahu kenapa Pak Dewa melimpahkan itu padamu," Ann menatap nanar ke Lena. "Hahaha, canda besti. Nanti bilang ke suamimu ya, suruh dia mengenalkan teman tampannya untukku," bisik Lena dengan mengedipkan sebelah mata. "Punya teman serakah itu seperti ini ternyata," ujar Ann tanpa ragu. *** "Bagaimana kerjaan kamu?" tanya Sena dengan lembut. "Lancar, kamu gimana, sayang?" Ann membalikkan tanya. Sedangkan wanita yang duduk di samping kemudi seperti obat nyamuk. Hanya bermain ponsel dengan tatapan kosong. "Minimal sadar ya!" sindirnya. "Hahaha, Lena ... benarkah kamu sedang mencari calon suami?" tanya Sena dengan kekehan ringan. "Wah, benar, Tuan muda. Kalau
"Siap, Sayang? Kita kembali ke kota yang ramai dengan hiruk pikuk dunia," celetuk Sena seraya menatap istrinya yang terlihat diam. "Siap gak siap, Sena. Di sini sangat nyaman, jadi aku cukup jatuh cinta dengan kota ini," balas Ann dengan nanar. Sena hanya tersenyum simpul, tidak ada yang salah dari ucapan Ann. Ia begitu mencintai pantai dan laut, akan sangat senang jika ia bisa tinggal di dekat dua tempat itu. "Nanti kita ambil cuti lagi ya, yang lebih lama lagi. Sekarang sudah saatnya kita pulang, Sayang," ucap Sena dengan lembut. "Ya." *** "Permisi, Tuan muda. Sarapannya sudah siap!" Suara Reni yang menggelegar terdengar nyaring dan memekakkan telinga Ann dan Sena. Dua sejoli yang baru terlelap beberapa jam itu harus segara membuka matanya. "Huahh, aku masih mengantuk sekali, Ann!" gumam Sena lembut. "Sama, tapi tidak mungkin kita terus terbaring di sini, Sayang!" Sena meraih tangan Ann, menariknya masuk ke kamar mandi. "Ya, Reni. 30 menit kami akan
"Saudara perempuan?" Ann melemparkan tanya dengan tatapan bingung. "Iya, Ann. Entah ini benar atau salah, tapi ini sangat membebani pikiranku," keluh Sena. Pelan Ann menelaah setiap kalimat yang keluar dari bibir Sena. Aneh, dan penuh tanda tanya besar. "Kamu yakin itu adik kamu?" tanya Ann lirih. "Tidak, aku percaya dengan ucapan ibuku sebelum meninggal. Aku adalah satu-satunya anak dari pasangan keluarga Gaharu," terang Sena. Ann bingung harus menanggapi apa, raut wajah Sena yang terlihat tertekan dengan keadaan yang diluar kendalinya. "Sayang, peluk aku!" ucap Ann. Ia merentangkan tangan dengan penuh keyakinan, jika mulutnya tidak mampu berkata dengan benar. Setidaknya, dekapannya mampu memberikan ketenangan pada Sena. "Sayang, terima kasih ya," bisik Sena. Ke duanya saling mendekap satu sama lain, mengeratkan pelukannya. "Besok sore kita pulang, ayo nikmati bulan madu kali ini, Sayang," bisik Sena. "Badanku rasanya remuk sekali, Sena. Bahkan untuk