"Terima kasih ya, Lena. Sampai jumpa besok, kamu gak mau mampir dulu?" Ann menoleh pada Lena. "Gak deh, aku mau kabarin hts-an aku dengan segera!" ujarnya. "Gila!" hardik Ann keras. "Udah dulu ya, aku duluan!" seru Lena dengan buru-buru. "Hati-hati!" Ann berjalan memasuki kawasan rumah megah Sena, beberapa mata menatapnya dengan tajam. "Sena, ada apa dengan orang-orang di sini?" tanya Ann dengan raut kebingungannya. Bahkan Sena menatapnya tajam, seolah siap melahap Ann hidup-hidup. "Pantas kamu bertanya seperti itu?" tanya Sena dengan nada yang cukup tinggi. "Aku bertanya, kalau kamu gak mau jawab ya udah. Gak usah marah-marah begitu! Aku tidak tuli," pekik Ann dengan nada lebih keras. Ia berjalan masuk tanpa memedulikan suaminya, kesal bukan main! Tubuhnya sudah lelah setelah bekerja, baru saja me-time malah dibuat kesal. "Ann, kamu dari mana saja sih?" tanya Sena sesaat setelah ia masuk ke kamar. "Kalau kamu mau marah aku lagi malas nanggapi!" peki
"Tapi aku suka ...," Sena menjeda ucapannya. Naasnya, ia mendapatkan tatapan tajam dari Ann. "Aku suka sama kamu, jangan negatif thinking dong sama aku. Yuk turun, kita sudah sampai," ajak Sena. Kini keduanya berjalan beriringan, meski Ann enggan digandeng oleh Sena. "Kamu mau apa? beli semua!" ujar Sena dengan lantang. "Borong semua mbak, lalu sebagian bisa dibagikan pada orang-orang," ucap Ann. Mata Sena menatap Ann dengan tiba-tiba, sebenarnya bukan masalah baginya. "Kenapa, kamu gak suka?" tanya Ann mendongak pada suaminya. "Suka, kamu lakukan aja yang kamu mau. Aku ikut dan akan aku bayar," ucap Sena. Seorang kasir wanita itu tersenyum pada Ann dan Sena. "Semoga rezeki mas dan mbak selalu dilancarkan, kami akan membantu membagikan ice creamnya," ucap kasir itu. "Terima kasih atas doa baiknya, Mbak," ucap Ann dengan balasan senyum. Ia hanya meminta dua cone ice cream untuk dirinya sendiri, dan Sena hanya meminta satu. Ia sudah terlalu bahagia at
"Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus bisa menguras harta Sena!" tegas Ratih. Setelah mengucapkan itu, ia melenggang pergi entah ke mana. Dewi masih termangu pada isi pikirannya. "Kalau bisa tukar tambah orang tua, mungkin sudah aku lakukan sejak lama!" gumam Dewi. Semalaman tidurnya terganggu, hingga pagi itu manik matanya melihat sebuah mobil yang terparkir. Asing! "Wah, kesempatan bagus!" gumam Dewi. Matanya melihat Sena keluar dari mobil dengan setelan jas. "Pantas saja ibu memaksaku, ternyata dari kejauhan saja sudah tampan. Aura uangnya sangat kentara, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Dewi pada dirinya sendiri. Tanpa basa-basi, ia mulai berdandan. Merapikan pakaiannya. "Mas Sena!" seru Dewi tatkala melihat Sena berjalan. "Ya?" Sena menoleh pada adik iparnya, matanya menatap Dewi dengan penuh tanya. "Sama siapa, Mas?" tanya Dewi. Enggan memberikan jawaban, Sena berjalan begitu saja tanpa menghiraukan Dewi. "Mas!" seru Dewi.
"Tumben, ada apa, Ann?" tanya Sena. Seharusnya ia tidak mempertahankan itu, tapi apa boleh buat? "Tidak apa-apa, aku hanya ingin." Singkat jawaban Ann yang membuat Sena tersenyum. "Kamu rindu sama aku? Kita pagi tadi juga sarapan bersama loh!" celetuk Sena. Ann tersenyum, "Aku tahu, kalau kamu tidak mau ... harusnya tidak perlu datang ke kantorku dan katakan kamu menolak ajakanku," papar Ann. "Bukan begitu juga, jujur aku senang kamu mengajakku bertemu siang ini. Aku ingin bicara," ucap Sena. Meski negosiasinya dengan Adi lagi-lagi gagal, tapi ia tidak boleh mengacaukan makan siang itu. "Tapi, Sena. Ada apa dengan pakaianmu hari ini?" tanya Ann. Beberapa kali ia mengamati kemeja Sena yang sedikit lusuh bahkan acak-acakan. "Ke mana kamu pergi sebelum ke kantorku?" tambah Ann. "Rumah ayahmu," singkat. Hanya itu yang bisa ia utarakan, selebihnya tentang keanehan Dewi tidak mungkin ia utarakan. "Apa kalian berantem? atau ... ya, itu urusanmu dengan a
"Semua ini terjadi seperti beberapa bulan lalu, dan bodohnya... Hahaha," Ann terkekeh saat tiba di parkiran kantor. Ia tergopoh-gopoh saat berlari keluar, nafasnya tersengal-sengal. "Ini benar-benar gila!" umpatnya. Dari belakang, Ann mendengar suara Sena berteriak memanggil namanya. Perduli setan, ia tidak ingin lagi mendengar apa pun. "Ann, kamu gak papa?" tanya Sena saat melihat Ann terduduk diam. "Kamu bisa melihatku tanpa harus bertanya 'kan?" ketus Ann. "Sayang, ayo aku obati kakimu. Setelah itu kita pulang," ajak Sena dengan meraih tangan Ann. "Basi, aku bisa pulang sendiri. Untuk apa aku pulang bersamamu. Sudah, kamu tidak ada bedanya dengan bajingan itu!" pekik Ann. Sena menghela nafas gusar, ia ikut terduduk di parkiran. Menatap nanar wajah istrinya yang penuh dengan kekesalan. "Kamu percaya sama aku?" tanya Sena lembut. "Tidak lagi!" pekik Ann. Ia beranjak begitu saja, memberhentikan taxi dan meninggalkan Sena sendirian. "Keluarga Adi mem
"Selamat datang, Sayang. Ini apartment milikmu!" seru Sena saat keduanya tiba di apartment. Ann melangkah masuk ke dalam, interiornya memang sangat memanjakan mata. Ia saja langsung suka pada dekorasinya. Definisi tempat yang sangat nyaman. "Kenapa tiba-tiba memberikan apartment?" tanya Ann. "Kalau kamu suntuk dan tidak ingin pulang ke rumah, tempat ini bisa menjadi tempat yang nyaman untukmu," ucap Sena dengan senyuman. "Oh, oke. Aku mau tidur!" tegas Ann. Entah langkahnya ke mana, ia hanya melenggang ke sembarang arah. "Ann, kamarnya di sebelah sini," tunjuk Sena Padaa satu ruangan yang tidak jauh dari ruang tamu. 'Sialan!' umpat Ann dalam hatinya. Ann berjalan menuju tempat yang ditunjuk Sena, matanya membelalak saat Sena mengikuti langkahnya. "Ini kamarku, kenapa kau juga masuk ke sini?" tanya Ann dengan ketus. "Hehehe, hanya ada satu kamar di apartment ini," dengan mengulas senyumnya. Mendengar itu, Ann hanya bisa pasrah. Memang Sena membeli ap
"Dewi memintaku untuk membantu membenarkan lampu di kamar, aku tidak nyaman dan pergi meninggalkannya dengan emosi," terang Sena. Sorot matanya tajam, ia tidak sedang berbohong pada Ann. Kejujurannya patut diapresiasi kali ini, bagaimana tidak? "Apa kamu masih marah padaku, Ann?" tanya Sena. "Seharusnya tidak, tapi ... Aku tidak bisa mudah percaya padamu, Sena. Terlepas dari ucapanmu itu jujur atau berbohong, aku ... Aku tidak bisa percaya," ucapnya. Langkahnya meninggalkan dapur dan kembali ke kamar. Sena hanya tersenyum, mie buatannya habis. Setidaknya, jika Ann terlelap ia sudah makan dengan kenyang. [Arka, bagaimana keadaan di kantor?] Sena. Setelah mengirimkan pesan, ia menyusul istrinya di kamar. Ternyata benar tebakan Sena, Ann merebahkan tubuhnya di kasur. Memejamkan matanya yang indah itu, dan kini ia mengambil tempat di samping istrinya. "Wanita sepertimu, seharusnya mendapatkan yang terbaik dalam hidup, Ann!" gumamnya. Matanya membelalak, bagaiman
"Sena, bangun!" bisik Ann. Amarahhya sedikit mereda, tapi tidak sepenuhnya percaya juga. "Aku lusa harus ke luar kota, Ann," ucapnya lirih. "Ya, aku akan tinggal di rumah ayah untuk sementara. Tapi ... sepertinya aku lebih aman ada di sini," ucap Ann. Sena perlahan mengerjapkan matanya, samar ia menatap istrinya yang kini hanya terdiam. Cahaya matahari yang menembus kamar tidur keduanya. "Aku suka dengan apartment ini, terima kasih. Tapi ... aku masih belum percaya padamu, Sena," tutur Ann. Mata coklat itu menelisik ke luar, ragu! Perasaannya cukup mengguncang ketenangan dirinya. "Aku akan berusaha membuatmu percaya, kalau kamu ingin tinggal di sini selama aku di luar kota. Aku tidak masalah, dan bahkan aku senang jika kamu tinggal di sini ...," Sena menjeda ucapannya. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. "Apa kamu tidak ingin aku di rumah ayah?" tanya Ann dengan menatap nyalang ke arah suaminya. "Ya, aku tidak bisa mempercayai mereka," ucap Sena jujur. Lengkunga
"Lena?" tanya Sena dengan tatapan penuh tanya. "Kan kamu janjiin dia cowok, Sayang. Kamu lupa?" tanya Ann dengan kekesalan. "Tidak, aku masih ingat kok. Hm, beberapa temanku memang sedang mencari pacar, nanti aku akan mengenalkan salah satunya pada Lena," terang Sena. Mata yang teduh kini menatap lekat ke arah Ann, perjalanan menuju apartment selalu menyenangkan baginya. "Malam ini biarkan aku memasak untukmu, Sayang. Kamu istirahat saja ya," bisik Sena. "Ta-tapi? Kenapa tidak pesan di luar saja?" Ann melempar tanya. Ia hanya cemas jika Sena memasak asal dan tidak bisa dimakan. Akan sangat mubazir jika itu terjadi. "Tenang saja!" ucap Sena. Tibalah mereka berdua di apartment, Sena yang langsung membawa Ann ke kamar. "Kamu istirahat ya, mandi dulu," titah Sena. "Tapi, Sayang," Ann memeluk erat tubuh Sena. Membuat lelaki itu terdiam sejenak, Ia membalas pelukan Ann dengan hangat. "Kamu mau apa sekarang? Mandi dulu ya, nanti aku yang memasak," terang Se
"Siang, Tuan Muda," sapa Arka dan Aisha kompak. Kini mereka duduk di sebuah restoran cukup ternama, Ann yang duduk di samping Sena membuat Aisha canggung. Bukan karena apa, hanya saja suaminya mengajaknya makan siang bersama. "Aisha, aku dengar dari Lena kamu lagi cari rumah?" tanya Ann dengan menatap wajah Aisha sekilas. "Iya, Mbak. Dasar Lena suka bahas hal-hal yang gak perlu!" Aisha menanggapi dengan kekehan ringan. Merasa malu, ia meremas ujung bajunya sampai kusut. "Aku berniat memberikan apartment padamu, Aisha," ucap Sena. Satu kalimat yang berhasil membuat mulut Aisha ternganga, bukan ini yang ia inginkan. Tapi ... kenapa Sena ingin memberikan apartment padanya? "Tuan, saya punya tabungan untuk menyewa rumah kecil saja. Saya ...," Aisha menghentikan ucapannya. "Aisha, semua ini tidak kuberikan cuma-cuma, karena kamu teman baik istriku. Dia yang meminta padaku tentang ini, jangan ditolak ya!" peringat Sena. Manik mata yang kini basah menatap Arka secara berulang, ia m
"Aku dengar Aisha lagi cari kontrakan ya," celetuk Lena saat tiba di tempat duduknya. "Aku malah gak dengar apa-apa, Len." Ann kembali fokus pada pekerjaan yang ada di hadapannya. "Aku masih bertanya-tanya, apa bapaknya belum berubah dari dulu?" Lena masih dengan tanya yang ada di kepalanya. Mendengar itu, Ann mendongak pada sahabatnya yang kini bersandar di kubikel. sorot mata penuh tanya dengan tatapan tajam. "Bapaknya belum berubah? Maksudmu apa?" tanya Ann. "Orangnya kasar banget, Ann. Dulu waktu masih SMA, Aisha sering dateng babak belur ke sekolah," terang Lena dengan mengingat beberapa tahun ke belakang. "Gila, kenapa kamu diam aja sih!" seru Ann. Lena menatap Ann dengan penuh tanya, bingung! Padahal awalnya Lena hanya membahas tentang Aisha yang mencari rumah. "Aisha itu kelihatannya mau kabur dari rumah, Ann. Makanya dia berniat beli rumah baru," terang Lena sebagai tambahan. "Iya, aku telpon suamiku dulu." Ann meraih ponselnya yang tergeletak di
"Mas, kan kita mau pulang. Kenapa lewat sini?" tanya Aisha saat mengamati arah laju mobil Arka. "Kita makan," singkat. Akhirnya, Aisha memilih diam tanpa bertanya lagi. Ia hanya bersandar dengan posisi nyaman. Menatap jalanan yang ramai di malam hari. "Ai, kenapa diam?" tanya Arka dengan lembut. "Gak apa-apa, Mas. Aku tidak lapar," jawabnya. Meski perutnya terasa kosong dan membuat tubuhnya lemas. Aisha tidak lagi ingin merepotkan Arka, sudah terlalu banyak bantuan yang ia terima. Hingga Aisha bingung harus membalas dengan apa. "Mas, aku jadi bebanmu ya sekarang?" Kalimat itu keluar begitu saja, membuat Arka sempat tergelak. "Maksudmu, Ai?" tanya Arka dengan menatap penuh tanya. "Karena Mas Arka melamarku, aku sekarang jadi merepotkanmu, Mas!" kata Aisha dengan ragu. Ia tidak lagi mampu menopang dirinya sendiri, dan ia malah merepotkan orang lain yang notabene pria yang melamarnya. "Mas, harusnya aku gak memperlakukanmu seperti ini," ucap Aisha lagi.
"Aisha, ada apa?" tanya Arka dengan penuh kecemasan. Di sambungan telepon, di ruangan yang gelap. Aisha memberanikan diri menghubungi Arka, malam itu. "Aku gak apa-apa, Mas. Tapi temani aku sebentar ya," kata Aisha dengan gemetar. "Iya, aku temani. Apa kamu mau aku ke sana? Aku temani ya," Arka kian mencemaskan Aisha kali ini. Logikanya tidak lagi bisa diajak kompromi, satu hal yang ia inginkan. "Jangan ya, Mas. Aku gak mau Mas Arka ikutan keseret. Temenin aku aja via telepon," elak Aisha. "Baiklah, Aisha. Katakan saja kalau ada apa-apa," timpal Arka. Kecemasan yang tidak ada habisnya, ia hanya bisa menahan diri. Menemani Aisha dalam kekalutan yang tidak dia pahami. "Arghhh!" pekik Arka dengan keras. Tanpa sadar ia berteriak saat telepon masih tersambung. "Mas, ada apa?" tanya Aisha terburu-buru. "Tidak apa-apa, Aisha. Mas ke sana aja ya, di sini gak bisa tenang," tegas Arka. "Ta-tapi, ... Aku gak bisa jamin loh, Mas," Aisha terbata dengan suara gem
"Kamu senang?" tanya Arka saat diperjalanan mengantar Aisha. "Ya, Mas Sena dan Mbak Ann sangat baik, Mas," tutur Aisha. "Hehehe, Tuan muda memang selalu baik, Ais. Tanpa dia sepertinya aku gak akan seperti sekarang," Arka menyetir dengan mengulas senyuman. "Aku hanya berharap mereka selalu bahagia bersama," ucap Aisha dengan tulus. Arka tersenyum, "Aku juga berharap kita bahagia, Aisha!" ungkapnya lembut. Ke duanya hanya tersipu dengan ucapan masing-masing. Setibanya di depan gang rumah Aisha, Arka hanya membukakan pintu. "Mas, ikut ya?" tanya Arka. "Mas, jangan dulu ya!" Aisha mengelak. Entah kenapa Aisha masih enggan membawa Arka pada keluarganya. "Ya, oke." Meski sudah melamar Aisha, Arka masih suka bertanya-tanya tentang keadaan keluarganya. Tapi, Aisha selalu menghindari itu. "Aku pulang dulu, Sayang," ucap Arka dengan senyuman. "Ya, hati-hati, Sayang," balas Aisha. *** "Suami kamu royal banget, Ann!" seru Lena tatkala tiba di kantor. "Ya, makanya
"Hehehe," Hari berlalu dengan sibuk, Ann menatap layar komputer sampai matanya pedas. Pekerjaan yang cukup menumpuk akibat ia mengambil cuti. Lena dengan emosionalnya akibat tumpukan pekerjaan. "Kau benar-benar gila, lihatlah semua ini aku yang kerjakan!" seru Lena. "Iya, maaf, Lena. Aku juga tidak tahu kenapa Pak Dewa melimpahkan itu padamu," Ann menatap nanar ke Lena. "Hahaha, canda besti. Nanti bilang ke suamimu ya, suruh dia mengenalkan teman tampannya untukku," bisik Lena dengan mengedipkan sebelah mata. "Punya teman serakah itu seperti ini ternyata," ujar Ann tanpa ragu. *** "Bagaimana kerjaan kamu?" tanya Sena dengan lembut. "Lancar, kamu gimana, sayang?" Ann membalikkan tanya. Sedangkan wanita yang duduk di samping kemudi seperti obat nyamuk. Hanya bermain ponsel dengan tatapan kosong. "Minimal sadar ya!" sindirnya. "Hahaha, Lena ... benarkah kamu sedang mencari calon suami?" tanya Sena dengan kekehan ringan. "Wah, benar, Tuan muda. Kalau
"Siap, Sayang? Kita kembali ke kota yang ramai dengan hiruk pikuk dunia," celetuk Sena seraya menatap istrinya yang terlihat diam. "Siap gak siap, Sena. Di sini sangat nyaman, jadi aku cukup jatuh cinta dengan kota ini," balas Ann dengan nanar. Sena hanya tersenyum simpul, tidak ada yang salah dari ucapan Ann. Ia begitu mencintai pantai dan laut, akan sangat senang jika ia bisa tinggal di dekat dua tempat itu. "Nanti kita ambil cuti lagi ya, yang lebih lama lagi. Sekarang sudah saatnya kita pulang, Sayang," ucap Sena dengan lembut. "Ya." *** "Permisi, Tuan muda. Sarapannya sudah siap!" Suara Reni yang menggelegar terdengar nyaring dan memekakkan telinga Ann dan Sena. Dua sejoli yang baru terlelap beberapa jam itu harus segara membuka matanya. "Huahh, aku masih mengantuk sekali, Ann!" gumam Sena lembut. "Sama, tapi tidak mungkin kita terus terbaring di sini, Sayang!" Sena meraih tangan Ann, menariknya masuk ke kamar mandi. "Ya, Reni. 30 menit kami akan
"Saudara perempuan?" Ann melemparkan tanya dengan tatapan bingung. "Iya, Ann. Entah ini benar atau salah, tapi ini sangat membebani pikiranku," keluh Sena. Pelan Ann menelaah setiap kalimat yang keluar dari bibir Sena. Aneh, dan penuh tanda tanya besar. "Kamu yakin itu adik kamu?" tanya Ann lirih. "Tidak, aku percaya dengan ucapan ibuku sebelum meninggal. Aku adalah satu-satunya anak dari pasangan keluarga Gaharu," terang Sena. Ann bingung harus menanggapi apa, raut wajah Sena yang terlihat tertekan dengan keadaan yang diluar kendalinya. "Sayang, peluk aku!" ucap Ann. Ia merentangkan tangan dengan penuh keyakinan, jika mulutnya tidak mampu berkata dengan benar. Setidaknya, dekapannya mampu memberikan ketenangan pada Sena. "Sayang, terima kasih ya," bisik Sena. Ke duanya saling mendekap satu sama lain, mengeratkan pelukannya. "Besok sore kita pulang, ayo nikmati bulan madu kali ini, Sayang," bisik Sena. "Badanku rasanya remuk sekali, Sena. Bahkan untuk