Darko mencoba tersenyum, tapi wajahnya jelas menunjukkan rasa takut. "Adrian, kau tidak bisa percaya begitu saja pada ucapan Reza. Dia hanya mencoba menyeretku dalam masalahnya karena dia panik."Adrian menyilangkan tangan di dadanya. "Om Darko, kau pikir aku belum tahu? Aku sudah lama mengetahui semua rencanamu. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk mengungkap semuanya."Karyawan yang hadir terdiam, menahan napas. Mereka tahu, drama besar baru saja dimulai."Apa maksudmu itu, Adrian? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan," ucap Darco dengan nada bingung, meski wajahnya mulai tampak tegang.Adrian melangkah maju dengan tenang, tetapi tatapannya tajam seperti pisau. "Jangan pura-pura tidak tahu, Om. Semua yang perlu kukatakan sudah ada di sini."Ia mengangkat sebuah flashdisk dan menyerahkannya kepada operator di dekat layar. "Masukkan ini ke komputer dan tampilkan semua file yang ada di dalamnya."Operator dengan cekatan mengambil fla
Suara seorang wanita langsung terdengar dari seberang, penuh emosi. "Adrian, apa yang telah kau lakukan pada suamiku? Kenapa kau memasukkan Reza ke dalam penjara?" Adrian mengenali suara itu. Siska, istri Reza.Adrian menghela napas panjang sebelum menjawab. "Oh, jadi suamimu sudah mengabarimu? Apa dia tidak menceritakan padamu alasan kenapa dia masuk penjara?""Itu semua karena kau memfitnahnya!" teriak Siska, suaranya bergetar penuh amarah. "Aku tahu kau membenci kami. Kau masih dendam karena dulu kami memperlakukanmu dengan buruk, tapi bukan berarti kau bisa memfitnah Reza dengan keji seperti ini!"Adrian terkekeh pelan, lalu menjawab tegas. "Fitnah, kau bilang? Bukankah aku sudah menunjukkan bukti-bukti yang sangat jelas? Suamimu bersekongkol untuk mencelakakanku. Kau pikir aku cukup picik untuk menjebaknya tanpa alasan? Dengar, Siska. Ya, aku memang belum melupakan bagaimana kalian menghinaku dulu, tapi aku tidak sekejam itu untuk membuat tuduhan palsu. Aku lebih menghargai keadi
"Karena kamu lebih memilih menikah dengan pria ini, maka tinggalkan rumah dan keluarga ini!"Kalimat itu bergema dalam benak Anisa, membuatnya tersentak dari lamunan. Setahun lebih telah berlalu, tapi luka itu masih terasa nyata. Matanya menerawang ke luar jendela mobil yang melaju pelan menembus jalanan Jakarta yang mulai lengang di sore hari."Apa yang sedang kamu pikirkan sampai mengerutkan kening seperti itu?"Suara dalam nan lembut membuat Anisa menoleh. Adrian, suaminya, menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. Pria itu menggenggam tangan Anisa lembut, seolah berusaha menyalurkan kekuatan."Aku hanya sedang teringat masa lalu," Anisa tersenyum tipis.Adrian mengangguk paham. "Kita sudah sepakat kan? Hari ini kita akan menulis lembaran baru."Anisa menatap Adrian lekat-lekat. Setahun yang lalu, ia memilih untuk meninggalkan keluarganya demi cintanya pada pria ini. Adrian mungkin hanya seorang staff biasa di sebuah perusahaan swasta, jauh dari ekspektasi orangtuanya yang meng
Suasana tegang masih menyelimuti ruang tamu keluarga besar Anisa. Ucapan terakhir sang ayah membuat semua orang terdiam, seolah menahan napas."Pa, jangan begitu," Ibu Anisa akhirnya angkat bicara, suaranya lembut namun tegas. "Mereka berdua datang dengan niat baik. Lihatlah, kita punya cucu sekarang."Ayah Anisa mendengus, tapi matanya tak lepas dari bayi mungil dalam gendongan Adrian. Perlahan, sorot matanya melembut."Pa, coba kamu gendong cucu kita, lihat dia sangat lucu kan ?" ujar Ibu Anisa.Dengan hati-hati, Ibu Anisa mengambil si kecil dari Adrian dan menyerahkannya pada sang suami. Untuk pertama kalinya, Anisa melihat ekspresi ayahnya berubah. Ada kelembutan yang tak pernah ia lihat sebelumnya saat pria itu menggendong cucunya."Siapa namanya?" tanya Ayah Anisa, masih menatap si bayi."Alisha," jawab Anisa pelan. "Artinya yang mulia dan dilindungi."Ayah Anisa mengangguk pelan. Untuk beberapa saat, suasana hening. Hanya terdengar suara dengkuran halus Alisha."Baiklah," Ayah A
Anisa menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab tawaran Daniel. Ruangan itu hening, menunggu jawabannya."Maaf. Aku menghargai tawaran anda, tapi aku harus menolak," ujar Anisa tegas.Seketika, ruangan meledak dalam kekacauan."Kau gila!" Dimas menggebrak meja, membuat piring-piring bergetar. "Itu kesempatan emas, bodoh!"Anisa berdiri, matanya berkilat-kilat. "Aku bukan bodoh, kak! Ini pilihanku sendiri!""Pilihan?" Ayahnya mendengus, bangkit dari kursinya. "Atau cucian otak dari suamimu yang tidak berguna itu?"Adrian hendak membela diri, tapi Anisa mengangkat tangannya, menghentikannya."Bukan, Yah. Ini murni keinginanku sendiri. Aku ingin fokus menjadi ibu dan istri yang baik untuk Adrian dan Alisha."Siska tertawa mengejek, suaranya melengking tinggi. "Oh, jadi sekarang kau mau jadi budak rumah tangga? Hebat sekali!""Diam kau!" bentak Anisa, membuat semua orang terkejut. Ini pertama kalinya mereka melihat Anisa begitu marah.Reza berdiri, matanya menatap tajam Adrian. "Kau," ia
Ayah Anisa, dengan mata menyipit penuh curiga, menatap Daniel lekat-lekat. "Apa maksudmu dengan 'merebutnya ', Daniel? Jelaskan padaku!"Ruangan itu seketika hening, semua mata tertuju pada Daniel yang berdiri tegak di ujung meja. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab dengan suara mantap."Saya jatuh cinta pada Anisa, Pak. Pada saat pertama kali melihat dia." Daniel menatap satu per satu anggota keluarga. "Keberaniannya, ketegasannya... semua itu membuatku terpesona. Saya ingin merebutnya dari pria itu, memberikannya kehidupan yang lebih layak."Dimas, yang sedari tadi diam, tiba-tiba tertawa keras. "Ini dia! Inilah yang kita tunggu-tunggu!" Ia menepuk pundak ayahnya dengan semangat. "Ayah, ini kesempatan kita!"Ayah Anisa mengangguk, senyum licik tersungging di bibirnya. "Kau benar Dimas. Daniel, kau punya dukungan dan restu penuh dariku. Bawa anakku kembali kerumah ini""Tunggu dulu!" Ibu Anisa berseru, wajahnya pucat. "Kalian tidak bisa melakukan ini semua! Anisa sudah bahagia den
"S-Siska, dengarkan aku," Reza tergagap, suaranya sedikit bergetar. "Aku tidak... maksudku, aku sama sekali tidak punya perasaan apa-apa pada Anisa. Sungguh!" Siska melipat tangannya di dada, matanya menyipit curiga. "Oh ya? Lalu kenapa kamu terlihat sangat tidak suka saat Daniel menunjukkan ketertarikan padanya?" Reza menelan ludah dengan susah payah. Dia tahu harus meyakinkan Siska, meskipun itu berarti dia harus berbohong. "Sayang, dengar," Reza mencoba menenangkan suaranya. "Apa yang kurasakan dulu pada Anisa... itu sudah lama terkubur. Saat aku menikah denganmu dan menerima perjodohan ini, semua perasaan itu hilang. Kamu satu-satunya wanita dalam hidupku sekarang." Siska masih tampak ragu. "Benarkah? Lalu kenapa kamu begitu kesal tadi?" Reza menghela napas panjang, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. "Itu karena... karena aku tahu seperti apa Daniel. Dia sepupuku, ingat? Aku tahu track record-nya dengan wanita. Aku hanya tidak ingin Anisa terluka." "Jadi kamu
Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan keluarga yang penuh ketegangan itu. Kehidupan Anisa kembali ke rutinitas normalnya, dipenuhi dengan tugas-tugas sebagai istri dan ibu muda.Pagi itu, seperti biasa, Anisa sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Adrian. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan suara denting peralatan masak."Sayang, kamu lihat dasi biruku tidak?" suara Adrian terdengar dari kamar.Anisa tersenyum kecil. "Di laci kedua, Adrian. Aku sudah menyetrikanya semalam."Tiba-tiba, tangisan bayi memecah keheningan pagi. Alisha, putri mereka yang baru berusia 3 bulan, terbangun dari tidurnya."Biar aku yang urus," Adrian berkata cepat, melihat Anisa yang masih sibuk dengan penggorengan.Anisa mengangguk penuh terima kasih. "Terima kasih, sayang. Mungkin popoknya perlu diganti."Adrian bergegas ke kamar bayi. Tak lama kemudian, tangisan Alisha mereda, digantikan oleh suara tawa kecil dan celotehan Adrian yang mengajak putrinya bermain.Anisa tersenyum
Suara seorang wanita langsung terdengar dari seberang, penuh emosi. "Adrian, apa yang telah kau lakukan pada suamiku? Kenapa kau memasukkan Reza ke dalam penjara?" Adrian mengenali suara itu. Siska, istri Reza.Adrian menghela napas panjang sebelum menjawab. "Oh, jadi suamimu sudah mengabarimu? Apa dia tidak menceritakan padamu alasan kenapa dia masuk penjara?""Itu semua karena kau memfitnahnya!" teriak Siska, suaranya bergetar penuh amarah. "Aku tahu kau membenci kami. Kau masih dendam karena dulu kami memperlakukanmu dengan buruk, tapi bukan berarti kau bisa memfitnah Reza dengan keji seperti ini!"Adrian terkekeh pelan, lalu menjawab tegas. "Fitnah, kau bilang? Bukankah aku sudah menunjukkan bukti-bukti yang sangat jelas? Suamimu bersekongkol untuk mencelakakanku. Kau pikir aku cukup picik untuk menjebaknya tanpa alasan? Dengar, Siska. Ya, aku memang belum melupakan bagaimana kalian menghinaku dulu, tapi aku tidak sekejam itu untuk membuat tuduhan palsu. Aku lebih menghargai keadi
Darko mencoba tersenyum, tapi wajahnya jelas menunjukkan rasa takut. "Adrian, kau tidak bisa percaya begitu saja pada ucapan Reza. Dia hanya mencoba menyeretku dalam masalahnya karena dia panik."Adrian menyilangkan tangan di dadanya. "Om Darko, kau pikir aku belum tahu? Aku sudah lama mengetahui semua rencanamu. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk mengungkap semuanya."Karyawan yang hadir terdiam, menahan napas. Mereka tahu, drama besar baru saja dimulai."Apa maksudmu itu, Adrian? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan," ucap Darco dengan nada bingung, meski wajahnya mulai tampak tegang.Adrian melangkah maju dengan tenang, tetapi tatapannya tajam seperti pisau. "Jangan pura-pura tidak tahu, Om. Semua yang perlu kukatakan sudah ada di sini."Ia mengangkat sebuah flashdisk dan menyerahkannya kepada operator di dekat layar. "Masukkan ini ke komputer dan tampilkan semua file yang ada di dalamnya."Operator dengan cekatan mengambil fla
"Kamu cepat maju ke depan, dan lihat semua orang yang duduk di depanmu," perintah Adrian dengan suara lantang yang menggema di seluruh aula. "Siapa orang yang menyuruhmu untuk memutuskan rem mobilku?"Pria yang sebelumnya dibawa masuk oleh polisi mendongak perlahan. Wajahnya babak belur, namun sorot matanya tajam, memindai satu per satu orang yang duduk di aula besar Aditya Corporation. Semua karyawan terdiam, beberapa bahkan menahan napas. Suasana menjadi mencekam.Pria itu mulai mengedarkan pandangannya, memulai dari deretan paling kanan. Pandangan matanya seperti pisau yang menguliti tiap orang yang dia lewati. Bisik-bisik mulai terdengar dari barisan karyawan. Beberapa dari mereka terlihat ketakutan, tapi banyak pula yang penasaran, mencoba menebak siapa dalang dari kejahatan tersebut.Di pojokan, Reza menunduk dalam-dalam, mencoba menyembunyikan wajahnya. Keringat dingin mulai membasahi kemejanya, meskipun hawa di dalam ruangan terasa dingin. Dalam hatinya, dia berteriak panik. "
"Berhenti!"Semua kepala serentak menoleh ke arah suara tersebut. Berdiri tegap di pintu, dengan wajah yang terlihat dingin namun penuh keyakinan, adalah Adrian. Suaranya menggelegar memenuhi aula."Kalian tidak perlu meninggalkan tempat ini, karena acara akan segera dimulai," ucap Adrian lantang, langkahnya perlahan masuk ke aula, setiap gerakannya mengundang tatapan kaget dari semua orang di ruangan itu. Wajah dan tangan yang berbalut perban tidak mengurangi langkah penuh intimidasi yang keluar dari dirinya.Darko membeku di tempatnya, mikrofon di tangannya terasa berat tiba-tiba. Reza yang tadi menyeringai kini tampak seperti melihat hantu. Wajahnya pucat, dan ia dengan cepat menunduk untuk menghindari tatapan Adrian.Satya dan Pak Benny yang awalnya terlihat lesu kini berdiri dengan penuh semangat. Senyum lega langsung muncul di wajah mereka. "Pak Adrian datang!" ucap Satya dengan suara yang sedikit bergetar karena haru.Di tengah aula, para karyawan mulai berbisik-bisik lagi, kal
Ketegangan Memuncak di Aditya CorporationDi aula besar Aditya Corporation, suasana semakin panas. Para karyawan berbisik-bisik, saling bertanya-tanya mengenai keberadaan Adrian yang hingga kini belum juga muncul.Di deretan kursi depan, Satya duduk dengan wajah cemas. Pak Benny, yang duduk di sebelahnya, menoleh mendekat dan berbisik pelan, "Pak Satya, bagaimana? Apakah Bapak sudah bisa menghubungi Pak Adrian?"Satya menggeleng, napasnya terdengar berat. "Belum, Pak. Dari tadi nomornya tidak bisa dihubungi. Saya sudah coba berulang kali."Pak Benny mengerutkan kening, semakin khawatir. "Apa Bapak sudah coba menghubungi Pak Aditya?""Sudah, Pak. Kata beliau, Pak Adrian sudah berangkat dari tadi pagi menuju ke kantor. Tapi anehnya, sampai sekarang belum juga sampai," jawab Satya, suaranya memantulkan kegelisahan.Pak Benny mulai gelisah, melihat ke sekeliling aula yang mulai dipenuhi bisik-bisik khawatir dari para karyawan. "Kalau begitu, kem
Hari yang dinantikan tiba—hari penyerahan jabatan di kantor, dan Adrian tampak penuh percaya diri. Seperti biasa, Anisa, istrinya, menyiapkan segala keperluan suaminya dengan telaten. "Mas, sarapannya sudah siap. Ayo, kita sarapan sama-sama," panggil Anisa dari ruang makan, melihat Adrian masih berdiri di depan cermin, sibuk memasang dasinya."Iya, sayang. Sebentar lagi, tinggal pasang dasi ini saja. Nanti aku ke meja makan," jawab Adrian sambil tersenyum."Baik, Mas. Kalau begitu, aku lihat Alisha dulu ya. Aku mau bangunin dia. Siapa tahu, dia mau sarapan bareng Papa," ujar Anisa sebelum berlalu.Adrian mengangguk ringan. Setelah dasinya rapi, ia turun ke ruang makan, di mana Aditya, ayahnya, sudah menunggu sambil membaca koran pagi."Pagi, Pa," sapa Adrian sembari menarik kursi dan duduk di hadapan ayahnya."Pagi, Nak. Bagaimana? Sudah siap untuk hari ini?" tanya Aditya, menurunkan korannya dan menatap putranya penuh harap."Tentu, Pa. Aku sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.
Reza langsung menegang. "Apa? Tidak mau. Aku bukan OB. Kalau kamu mau kopi, suruh saja OB untuk membuatkan," balasnya tegas, mencoba mempertahankan sisa harga dirinya.Namun, Dendi tidak kehabisan akal. Dengan wajah penuh kepura-puraan, ia berkata, "Oh, OB kita sedang sibuk semua. Lagi ada masalah ruangan bocor, jadi mereka semua dikerahkan ke sana.""Tetap saja aku tidak mau. Itu bukan jobdesk-ku!" ucap Reza dengan suara yang mulai meninggi.Dendi tersenyum licik. "Oooh, jadi kamu tidak mau? Baiklah, nanti aku akan buat laporan kalau kamu melawan perintah atasan. Akan ku buat seolah-olah kamu tidak mau bekerja sama. Kau tahu apa akibatnya, kan? Kamu bisa dipecat, Reza. Apalagi sekarang posisimu sudah sangat lemah di perusahaan ini."Reza terdiam. Dalam hati, ia menahan luapan emosinya. "Sialan! Orang-orang di perusahaan ini sekarang semua berani melawanku. Kalau aku tidak mengiku
Reza hanya menoleh sekilas, tanpa berkata apa-apa, dan mengangguk dengan malas. Nindi berjalan di depan, memimpin langkah. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan lain yang mengenal Nindi berusaha bertanya tanpa suara. Dengan hanya menggerakkan bibir, mereka bertanya, "Kenapa Pak Reza?"Nindi, yang sudah terbiasa membaca gerakan mulut rekan-rekannya, hanya menjawab singkat, "Nanti aku ceritakan." Mereka pun mengangguk, sambil memandang Reza dengan penuh tanda tanya.Setelah beberapa menit, mereka tiba di bagian produksi. Nindi berhenti di depan sebuah meja sempit yang diletakkan di pojok ruangan. Di atas meja itu, hanya ada sebuah buku besar yang tampak usang dan tumpukan berkas yang menjulang seperti menara."Ini meja saya? Apa tidak salah?!" ucap Reza terkejut. Ia memandang meja itu seolah-olah melihat sesuatu yang sangat hina. "Dan... di mana laptop saya untuk bekerja?"N
Keesokan Pagi di Aditya CorporationPagi itu, Adrian berdiri di depan jendela ruangan Satya, memandang ke luar dengan tatapan tajam. Sinar matahari yang menerobos kaca tidak mampu mengusir dinginnya suasana di dalam ruangan. Di belakangnya, Pak Beni duduk dengan ekspresi tegas, bersiap menghadapi apa yang sudah direncanakan Adrian."Bagaimana, Pak Beni? Apa Anda sudah siap?" tanya Adrian, suaranya datar namun tegas."Saya sudah siap, Pak Adrian untuk mengemban tugas yang akan bapak berikan, sepertinya sudah waktunya semua ini dibenahi," jawab Pak Beni mantap.Adrian mengangguk perlahan. "Bagus. Kalau begitu, ayo kita sekarang pergi keruangan Reza dan memberi pelajaran yang tak akan pernah bisa dia lupakan."Adrian melangkah keluar, diikuti oleh Pak Beni dan Satya. Sepanjang perjalanan ke ruangan Reza, bisik-bisik mulai terdengar di antara karyawan. Wajah Adrian yang jarang terlihat di kantor, serta kehadiran Pak Beni yang legendaris, membuat suasana penuh teka-teki."Siapa mereka? Ken