"Kamu cepat maju ke depan, dan lihat semua orang yang duduk di depanmu," perintah Adrian dengan suara lantang yang menggema di seluruh aula. "Siapa orang yang menyuruhmu untuk memutuskan rem mobilku?"Pria yang sebelumnya dibawa masuk oleh polisi mendongak perlahan. Wajahnya babak belur, namun sorot matanya tajam, memindai satu per satu orang yang duduk di aula besar Aditya Corporation. Semua karyawan terdiam, beberapa bahkan menahan napas. Suasana menjadi mencekam.Pria itu mulai mengedarkan pandangannya, memulai dari deretan paling kanan. Pandangan matanya seperti pisau yang menguliti tiap orang yang dia lewati. Bisik-bisik mulai terdengar dari barisan karyawan. Beberapa dari mereka terlihat ketakutan, tapi banyak pula yang penasaran, mencoba menebak siapa dalang dari kejahatan tersebut.Di pojokan, Reza menunduk dalam-dalam, mencoba menyembunyikan wajahnya. Keringat dingin mulai membasahi kemejanya, meskipun hawa di dalam ruangan terasa dingin. Dalam hatinya, dia berteriak panik. "
Darko mencoba tersenyum, tapi wajahnya jelas menunjukkan rasa takut. "Adrian, kau tidak bisa percaya begitu saja pada ucapan Reza. Dia hanya mencoba menyeretku dalam masalahnya karena dia panik."Adrian menyilangkan tangan di dadanya. "Om Darko, kau pikir aku belum tahu? Aku sudah lama mengetahui semua rencanamu. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk mengungkap semuanya."Karyawan yang hadir terdiam, menahan napas. Mereka tahu, drama besar baru saja dimulai."Apa maksudmu itu, Adrian? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan," ucap Darco dengan nada bingung, meski wajahnya mulai tampak tegang.Adrian melangkah maju dengan tenang, tetapi tatapannya tajam seperti pisau. "Jangan pura-pura tidak tahu, Om. Semua yang perlu kukatakan sudah ada di sini."Ia mengangkat sebuah flashdisk dan menyerahkannya kepada operator di dekat layar. "Masukkan ini ke komputer dan tampilkan semua file yang ada di dalamnya."Operator dengan cekatan mengambil fla
Suara seorang wanita langsung terdengar dari seberang, penuh emosi. "Adrian, apa yang telah kau lakukan pada suamiku? Kenapa kau memasukkan Reza ke dalam penjara?" Adrian mengenali suara itu. Siska, istri Reza.Adrian menghela napas panjang sebelum menjawab. "Oh, jadi suamimu sudah mengabarimu? Apa dia tidak menceritakan padamu alasan kenapa dia masuk penjara?""Itu semua karena kau memfitnahnya!" teriak Siska, suaranya bergetar penuh amarah. "Aku tahu kau membenci kami. Kau masih dendam karena dulu kami memperlakukanmu dengan buruk, tapi bukan berarti kau bisa memfitnah Reza dengan keji seperti ini!"Adrian terkekeh pelan, lalu menjawab tegas. "Fitnah, kau bilang? Bukankah aku sudah menunjukkan bukti-bukti yang sangat jelas? Suamimu bersekongkol untuk mencelakakanku. Kau pikir aku cukup picik untuk menjebaknya tanpa alasan? Dengar, Siska. Ya, aku memang belum melupakan bagaimana kalian menghinaku dulu, tapi aku tidak sekejam itu untuk membuat tuduhan palsu. Aku lebih menghargai keadi
"Tutup mulutmu, Siska! Jangan pernah kurang ajar pada ibumu lagi!" suara Pak Hartono menggema, penuh ketegasan.Siska tertegun, tangannya memegangi pipinya yang memerah. Air matanya jatuh bercucuran. Dengan suara parau, ia berkata, "Papa... Papa menamparku? Papa jahat!"Ia berlari keluar rumah sambil menangis, meninggalkan semua orang yang terdiam terpaku.Ibu Widya, dengan penuh kekhawatiran, berdiri hendak mengejar. "Siska... tunggu! Jangan pergi, nak!" panggilnya, namun langkahnya ditahan oleh tangan suaminya.Pak Hartono menggenggam tangan istrinya dengan lembut. "Sudah, Ma. Biarkan dia pergi. Dia perlu waktu untuk merenungkan semua kesalahannya."Dinda, yang sedari tadi diam, akhirnya ikut bersuara. "Benar, Ma. Biar Siska merenung dulu. Mungkin dengan cara ini dia bisa sadar."Anisa hanya bisa memandang pintu yang terbuka lebar, hatinya tak sepenuhnya tenang. Ia berharap, dari lubuk hati terdalamnya, bahwa ini adalah awal perubahan bagi adiknya. Siska harus memahami kebenaran, me
Siska tersentak. Dengan cepat, ia menoleh ke arah pintu, dan betapa terkejutnya ia melihat seorang wanita berdiri di sana. Wanita itu tampak cantik dengan riasan wajah yang sempurna. Pakaiannya yang rapi dan elegan menunjukkan kepercayaan diri, tetapi senyum kecil di wajahnya terasa menusuk hati Siska."Hai, Mas Re... Tunggu, Mas Reza mana?" suara wanita itu terdengar bingung saat melihat Siska duduk di kursi pengemudi.Untuk beberapa detik, dunia terasa berhenti bagi Siska. Hatinya serasa pecah berkeping-keping. Wanita ini—orang yang diduga selingkuhan suaminya—ternyata berdiri di depan matanya.Namun, Siska bukan orang yang mudah menyerah pada situasi seperti ini. Dengan cepat, ia menguasai dirinya. Matanya menatap tajam wanita itu, seolah ingin menelanjangi semua kebohongannya."Seharusnya aku yang bertanya," ujar Siska dingin, senyumnya tipis namun penuh tekanan. "Siapa kamu sebenarnya? Dan apa hubunganmu dengan suamiku, Reza?"Wanita itu tampak tergagap. Raut percaya dirinya meng
iska menoleh ke arah Lina dengan tatapan penuh kemenangan. "Oh, jadi kamu belum tahu kalau kekasihmu itu sekarang mendekam di balik jeruji? Kasihan sekali kamu ini. Mulai sekarang, kamu harus siap menahan rindu cukup lama, karena dia dituduh sebagai otak pembunuhan seorang CEO terkenal. Tuntutannya tidak main-main," ujar Siska dengan nada tajam, menyiratkan kepuasan di balik rasa perihnya.Lina terdiam, matanya berkaca-kaca. Dalam hati, ia meratapi nasibnya. "Ternyata Mas Reza gagal... Sekarang aku harus bagaimana? Aku tidak bisa hidup tanpa dia..." pikir Lina sambil menunduk, penampilannya yang kusut makin menambah kesan pilu.Melihat Lina yang terpukul, Siska mendekatinya. Ia menunduk sedikit untuk memastikan Lina mendengar dengan jelas kata-katanya. "Dengar ya, pelakor. Mulai sekarang, aku tidak peduli lagi dengan Reza. Dia bukan suamiku lagi. Kau bebas memilikinya. Anggap saja hadiah dariku untuk wanita sepertimu."Tanpa menunggu jawaban, Siska berbalik menghadap ibu-ibu yang tadi
Lina menghela napas panjang, lalu menunduk sebelum akhirnya berkata, "Karena Siska sudah tahu tentang hubungan kita."Mata Reza membelalak. "Apa?! Lina, jangan bercanda. Bagaimana mungkin Siska tahu tentang kita?"Lina menatap Reza dengan kesal. "Ini semua salahmu sendiri! Siapa suruh ponselmu sampai ke tangan Siska?"Reza terkejut. "Apa hubungannya ponselku dengan Siska tahu hubungan kita? Dan lagi pula, polisi yang memberikan ponsel itu ke Siska, bukan aku."Lina mendengus. "Tentu saja ada hubungannya! Kemarin aku chat kamu, menanyakan keberadaanmu karena aku tidak mendapat kabar apa pun. Aku kira yang membalas itu kamu, ternyata Siska yang menjawab! Dia menyamar jadi kamu, meminta aku bertemu di kafe. Dan dari situlah dia tahu semuanya."Reza tertegun, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Tidak mungkin... Siska sampai sejauh itu? Aku tahu dia, dia bukan orang seperti itu.""Kalau tidak percaya, lihat ini!" Lina menunjuk luka kecil di sudut bibirnya. "Dia mempermalukanku di dep
"Siska?" panggil Reza, suaranya bergetar.Siska menoleh perlahan, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Namun, matanya yang memerah menunjukkan betapa hancurnya perasaannya."Kenapa kamu terkejut seperti itu?" tanya Siska dingin, tanpa basa-basi.Reza mencoba tersenyum, tetapi senyum itu tak mampu menyembunyikan kegugupannya. "Ya, aku tidak menyangka saja kamu akan datang hari ini. Ada apa, Siska? Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya, berusaha terdengar peduli.Siska duduk kembali, melipat tangan di depan dada. "Aku ingin mendengar langsung dari kamu, Reza. Apa benar apa yang dikatakan Anisa?"Reza mengernyitkan dahi, meskipun dalam hati ia tidak tahu ke mana arah percakapan ini. "Anisa? Memang apa yang dia katakannya?" tanyanya, mencoba tetap tenang."Dia bilang kalau kamu menikahiku hanya untuk mendapatkan saham bagianku di Hartono Corp. Bahwa pernikahan kita ini hanya sebuah kedok. Apa itu benar?" ucap Siska dengan nada tajam, matanya langsung me
Dimas terduduk di lantai, matanya memandang kosong ke arah pembatas tempat Daniel terjatuh. "Aku hampir menyelamatkannya... Aku hampir mengubah segalanya," gumamnya dengan suara bergetar.Adrian menepuk bahu Dimas dengan lembut. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Dia memilih untuk meminta maaf. Setidaknya, dia pergi dengan hati yang tidak lagi dipenuhi kebencian."Mereka berdua terdiam, menatap langit malam yang dingin. Dalam keheningan itu, keduanya berjanji dalam hati bahwa mereka akan menjaga keluarga mereka dan tidak akan membiarkan kebencian seperti ini menghancurkan lagi.Meskipun akhir ini tragis, mereka tahu bahwa cerita ini mengajarkan mereka tentang arti pentingnya memaafkan dan melepaskan dendam..***Beberapa bulan setelah insiden tragis yang mengguncang kehidupan Adrian dan keluarganya, kehidupan akhirnya kembali berjalan normal. Waktu telah menjadi penyembuh yang luar biasa, perlahan tapi pasti mengobati luka-luka hati yang ditinggalkan oleh kejadian itu. Kehidupan baru
Adrian melangkah mendekat, tetap memeluk Alisha dengan hati-hati. "Dia selamat, Dimas. Aku dan polisi sudah berhasil menyelamatkannya. Kami tahu Daniel mungkin akan melakukan sesuatu yang nekat."Dimas menatap Adrian dengan kebingungan. "Tapi bagaimana mungkin...? Aku melihat sendiri, kalau dia... Daniel melemparnya..."Adrian menghela napas, mencoba menjelaskan di tengah emosi yang berkecamuk. "Sebelum aku ke sini, aku dan polisi sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Kami memasang jaring pengaman di balkon kamar yang ada tepat di bawah rooftop ini. Saat Daniel melepaskan Alisha..." Adrian berhenti sejenak, menatap Alisha yang masih terisak. "...instingku benar. Jaring itu menyelamatkannya."Dimas tersandar lemas ke lantai, matanya mulai berkaca-kaca lagi, tetapi kali ini karena lega yang luar biasa. "Alisha... dia selamat. Dia benar-benar selamat..."Dimas menatap Adrian dengan penuh harap, suaranya gemetar ketika bertanya, "Bagaimana dengan Anisa dan semua anggota keluarga kita? A
Sementara itu, di rooftop yang penuh ketegangan, Dimas terus mencoba berbicara dengan Daniel. Dengan suara penuh harapan, ia berkata, “Daniel, aku mohon, lepaskan Alisha. Dia hanya seorang anak kecil, dia tidak bersalah. Kau tidak perlu melibatkan dia dalam dendammu ini.”Namun, Daniel tetap tak tergoyahkan. Dengan ekspresi penuh amarah, ia berteriak, “Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan, Dimas! Aku sudah kehilangan segalanya. Adrian mengambil semua dariku—hidupku, mimpiku, bahkan wanita yang aku cintai! Dan sekarang, dia harus merasakan penderitaan yang sama.”Alisha terus menangis dalam dekapan Daniel, tangisannya semakin memilukan. Hati Dimas terasa hancur melihat keponakannya yang ketakutan. Ia tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu, situasinya bisa menjadi lebih buruk. Dimas mencoba mengalihkan pikiran Daniel dengan berbicara lebih tenang. “Dengar, Daniel. Aku tahu kau terluka, dan aku tidak bisa menghapus rasa sakit itu. Tapi aku percaya kau masih punya hati. Jangan biarkan d
“Dengar kan aku baik-baik. Sebaiknya kalian berhenti berisik sekarang. Karena pertunjukanku yang kedua akan segera dimulai.”Kata-kata itu membuat Dimas dan Adrian saling berpandangan, bingung dan waspada.“Pertunjukan apa, Daniel? Apa yang sudah kau rencanakan?” tanya Adrian dengan suara tegang, mencoba mencari tahu apa maksud pria di depannya.Daniel hanya tertawa pelan, suara tawanya menggema di rooftop yang dingin. Belum sempat Adrian menuntut jawaban, tiba-tiba suara ledakan keras mengguncang udara, diikuti getaran yang terasa hingga ke tempat mereka berdiri.“Boom!” seru Daniel dengan nada puas, senyumnya semakin lebar melihat kepanikan yang mulai merayap di wajah Adrian dan Dimas.“Apa yang sudah kau lakukan, Daniel?!” teriak Dimas, suaranya penuh kepanikan. Adrian segera mengalihkan pandangannya ke arah suara ledakan, wajahnya memucat.Daniel menatap mereka dengan tatapan penuh kemenangan. “Tenang saja, ledakan kecil itu hanya untuk memberimu pilihan, Adrian. Kau mau menyelama
“Jangan mendekat!” balas pria itu, menolehkan wajahnya ke Adrian dengan mata merah dan penuh kebencian. “Kalau kau mendekat, aku tidak akan ragu-ragu untuk... untuk...” Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, tapi gesturnya sudah cukup jelas.Angin kencang malam itu membuat suasana semakin mencekam. Alisha menangis keras, tangannya mencoba meraih udara seolah meminta bantuan.“Kau tidak perlu melakukan ini,” kata Adrian, mencoba menenangkan situasi. “Apa pun masalahnya, kita bisa menyelesaikannya secara baik baik. Jangan melibatkan anak kecil yang tidak bersalah.”Pria itu menatap Adrian dengan ekspresi penuh rasa sakit. “Tidak bersalah? Semua kejadian ini adalah salahmu, Adrian! Hidupku hancur karena kau! Sekarang kau harus merasakan penderitaanku!”Adrian melangkah pelan, berhati-hati agar tidak memprovokasi. “Dengar, aku tidak tahu apa yang sudah kau alami, tapi aku bisa membantumu. Asal kau menyerahkan Alisha padaku. Dia tidak seharusnya berada dalam situasi seperti ini.”Pria it
Daniel mengepalkan tangannya, suaranya berbisik dingin, “Nikmati kebahagiaan kalian sekarang, Adrian. Sebentar lagi, aku akan memastikan tawa itu berubah menjadi jeritan kesedihan.”Ia menatap Anisa yang tersenyum cerah sambil memegang tangan Alisha. Pemandangan itu membuat hatinya terbakar. Ia memalingkan wajahnya sebentar, berusaha meredam emosi yang semakin memuncak. Dengan langkah perlahan namun penuh perhitungan, ia bergerak menuju belakang panggung kecil tempat perayaan berlangsung.Di atas panggung, Adrian dan Anisa melanjutkan nyanyian mereka, memimpin para tamu dalam perayaan. Alisha, yang kini genap dua tahun, tertawa riang di tengah sorakan semua orang. Suasana bahagia memenuhi ballroom, penuh dengan senyum dan tawa dari keluarga dan teman dekat.Namun, kegembiraan itu tiba-tiba terhenti. Dalam sekejap, lampu di seluruh ballroom padam, meninggalkan kegelapan yang pekat. Suara bisikan dan gumaman panik mulai terdengar dari para tamu.
Doni menelan ludah, merasa merinding oleh intensitas di mata bosnya. Ia bertanya hati-hati, “Kalau boleh tahu, Pak, apa rencana Bapak?”Daniel terdiam sejenak, memutar gelas minumannya di tangan. Cairan bening di dalamnya berputar lambat, seolah mencerminkan kekacauan yang bergejolak di dalam pikirannya. Setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang dan tersenyum kecil, sebuah senyuman yang dingin dan penuh tekad. “Nanti juga kamu akan tahu, Doni. Yang jelas, aku akan membuat Adrian merasakan apa yang kurasakan sekarang. Kehilangan segalanya. Hancur. Dan aku akan pastikan dia tidak pernah bangkit lagi.” Suaranya dipenuhi bara dendam yang membakar setiap kata yang diucapkannya.Doni mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatinya. “Baik, Pak Daniel. Saya percaya, apa pun yang Bapak lakukan pasti yang terbaik. Tapi... saya tetap harus mengingatkan, anda Pak. Pak Adrian itu bukan orang sembarangan. Dia punya uang, kekua
Sementara itu, di kediaman AdrianSenja baru saja turun, mewarnai langit dengan semburat jingga. Di ruang tamu rumah besar milik Adrian, Anisa sedang duduk membaca buku sambil menunggu suaminya pulang. Suara mesin mobil berhenti di halaman, membuatnya segera menutup buku dan bangkit menuju pintu.Ketika pintu terbuka, Adrian muncul dengan senyuman yang lebar. Langkahnya ringan, wajahnya berseri seperti seseorang yang baru saja memenangkan perang besar.Anisa menyipitkan mata, heran. “Mas? Kok kamu kelihatan bahagia sekali? Ada apa?” tanyanya, berjalan mendekat.Adrian hanya tersenyum, melepaskan jasnya dan menyerahkannya pada Anisa sambil berjalan menuju sofa. Anisa mengikutinya dengan rasa penasaran yang semakin membuncah.Setelah duduk, Adrian menepuk sofa di sebelahnya, memberi isyarat agar Anisa duduk di sampingnya. Anisa patuh, duduk dengan mata yang menatap tajam, menunggu jawaban.“Cerita dong, Mas. Jangan membuat aku semakin penasaran,” katanya sambil menyodorkan secangkir kop
Namun, Mr. Lee mengangkat tangan, menghentikan Daniel. “Cukup. Saya juga akan memberi tahu kepada semua mitra bisnis kami di China tentang apa yang sudah terjadi hari ini. Saya ingin mereka tahu betapa bobroknya integritas Prawira Group.”Daniel tampak seperti dihantam badai. Wajahnya merah padam, tetapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena ketakutan. “Tuan Lee, tolong… tolong jangan lakukan itu. Anda tahu apa artinya bagi perusahaan kami jika reputasi kami hancur di pasar China. Kami tidak akan bisa bertahan. Saya mohon, beri kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini.”Mr. Lee menatapnya dengan dingin. “Kesempatan? Kesempatan itu Anda sudah sia-siakan ketika Anda memutuskan untuk bermain kotor. Saya tidak peduli berapa besar perusahaan Anda. Bagi kami, kejujuran adalah segalanya.”Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Mr. Lee meraih koper itu dan menyerahkannya kembali kepada Daniel. “Ambil u