Ketegangan Memuncak di Aditya CorporationDi aula besar Aditya Corporation, suasana semakin panas. Para karyawan berbisik-bisik, saling bertanya-tanya mengenai keberadaan Adrian yang hingga kini belum juga muncul.Di deretan kursi depan, Satya duduk dengan wajah cemas. Pak Benny, yang duduk di sebelahnya, menoleh mendekat dan berbisik pelan, "Pak Satya, bagaimana? Apakah Bapak sudah bisa menghubungi Pak Adrian?"Satya menggeleng, napasnya terdengar berat. "Belum, Pak. Dari tadi nomornya tidak bisa dihubungi. Saya sudah coba berulang kali."Pak Benny mengerutkan kening, semakin khawatir. "Apa Bapak sudah coba menghubungi Pak Aditya?""Sudah, Pak. Kata beliau, Pak Adrian sudah berangkat dari tadi pagi menuju ke kantor. Tapi anehnya, sampai sekarang belum juga sampai," jawab Satya, suaranya memantulkan kegelisahan.Pak Benny mulai gelisah, melihat ke sekeliling aula yang mulai dipenuhi bisik-bisik khawatir dari para karyawan. "Kalau begitu, kem
"Berhenti!"Semua kepala serentak menoleh ke arah suara tersebut. Berdiri tegap di pintu, dengan wajah yang terlihat dingin namun penuh keyakinan, adalah Adrian. Suaranya menggelegar memenuhi aula."Kalian tidak perlu meninggalkan tempat ini, karena acara akan segera dimulai," ucap Adrian lantang, langkahnya perlahan masuk ke aula, setiap gerakannya mengundang tatapan kaget dari semua orang di ruangan itu. Wajah dan tangan yang berbalut perban tidak mengurangi langkah penuh intimidasi yang keluar dari dirinya.Darko membeku di tempatnya, mikrofon di tangannya terasa berat tiba-tiba. Reza yang tadi menyeringai kini tampak seperti melihat hantu. Wajahnya pucat, dan ia dengan cepat menunduk untuk menghindari tatapan Adrian.Satya dan Pak Benny yang awalnya terlihat lesu kini berdiri dengan penuh semangat. Senyum lega langsung muncul di wajah mereka. "Pak Adrian datang!" ucap Satya dengan suara yang sedikit bergetar karena haru.Di tengah aula, para karyawan mulai berbisik-bisik lagi, kal
"Kamu cepat maju ke depan, dan lihat semua orang yang duduk di depanmu," perintah Adrian dengan suara lantang yang menggema di seluruh aula. "Siapa orang yang menyuruhmu untuk memutuskan rem mobilku?"Pria yang sebelumnya dibawa masuk oleh polisi mendongak perlahan. Wajahnya babak belur, namun sorot matanya tajam, memindai satu per satu orang yang duduk di aula besar Aditya Corporation. Semua karyawan terdiam, beberapa bahkan menahan napas. Suasana menjadi mencekam.Pria itu mulai mengedarkan pandangannya, memulai dari deretan paling kanan. Pandangan matanya seperti pisau yang menguliti tiap orang yang dia lewati. Bisik-bisik mulai terdengar dari barisan karyawan. Beberapa dari mereka terlihat ketakutan, tapi banyak pula yang penasaran, mencoba menebak siapa dalang dari kejahatan tersebut.Di pojokan, Reza menunduk dalam-dalam, mencoba menyembunyikan wajahnya. Keringat dingin mulai membasahi kemejanya, meskipun hawa di dalam ruangan terasa dingin. Dalam hatinya, dia berteriak panik. "
Darko mencoba tersenyum, tapi wajahnya jelas menunjukkan rasa takut. "Adrian, kau tidak bisa percaya begitu saja pada ucapan Reza. Dia hanya mencoba menyeretku dalam masalahnya karena dia panik."Adrian menyilangkan tangan di dadanya. "Om Darko, kau pikir aku belum tahu? Aku sudah lama mengetahui semua rencanamu. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk mengungkap semuanya."Karyawan yang hadir terdiam, menahan napas. Mereka tahu, drama besar baru saja dimulai."Apa maksudmu itu, Adrian? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan," ucap Darco dengan nada bingung, meski wajahnya mulai tampak tegang.Adrian melangkah maju dengan tenang, tetapi tatapannya tajam seperti pisau. "Jangan pura-pura tidak tahu, Om. Semua yang perlu kukatakan sudah ada di sini."Ia mengangkat sebuah flashdisk dan menyerahkannya kepada operator di dekat layar. "Masukkan ini ke komputer dan tampilkan semua file yang ada di dalamnya."Operator dengan cekatan mengambil fla
Suara seorang wanita langsung terdengar dari seberang, penuh emosi. "Adrian, apa yang telah kau lakukan pada suamiku? Kenapa kau memasukkan Reza ke dalam penjara?" Adrian mengenali suara itu. Siska, istri Reza.Adrian menghela napas panjang sebelum menjawab. "Oh, jadi suamimu sudah mengabarimu? Apa dia tidak menceritakan padamu alasan kenapa dia masuk penjara?""Itu semua karena kau memfitnahnya!" teriak Siska, suaranya bergetar penuh amarah. "Aku tahu kau membenci kami. Kau masih dendam karena dulu kami memperlakukanmu dengan buruk, tapi bukan berarti kau bisa memfitnah Reza dengan keji seperti ini!"Adrian terkekeh pelan, lalu menjawab tegas. "Fitnah, kau bilang? Bukankah aku sudah menunjukkan bukti-bukti yang sangat jelas? Suamimu bersekongkol untuk mencelakakanku. Kau pikir aku cukup picik untuk menjebaknya tanpa alasan? Dengar, Siska. Ya, aku memang belum melupakan bagaimana kalian menghinaku dulu, tapi aku tidak sekejam itu untuk membuat tuduhan palsu. Aku lebih menghargai keadi
"Tutup mulutmu, Siska! Jangan pernah kurang ajar pada ibumu lagi!" suara Pak Hartono menggema, penuh ketegasan.Siska tertegun, tangannya memegangi pipinya yang memerah. Air matanya jatuh bercucuran. Dengan suara parau, ia berkata, "Papa... Papa menamparku? Papa jahat!"Ia berlari keluar rumah sambil menangis, meninggalkan semua orang yang terdiam terpaku.Ibu Widya, dengan penuh kekhawatiran, berdiri hendak mengejar. "Siska... tunggu! Jangan pergi, nak!" panggilnya, namun langkahnya ditahan oleh tangan suaminya.Pak Hartono menggenggam tangan istrinya dengan lembut. "Sudah, Ma. Biarkan dia pergi. Dia perlu waktu untuk merenungkan semua kesalahannya."Dinda, yang sedari tadi diam, akhirnya ikut bersuara. "Benar, Ma. Biar Siska merenung dulu. Mungkin dengan cara ini dia bisa sadar."Anisa hanya bisa memandang pintu yang terbuka lebar, hatinya tak sepenuhnya tenang. Ia berharap, dari lubuk hati terdalamnya, bahwa ini adalah awal perubahan bagi adiknya. Siska harus memahami kebenaran, me
Siska tersentak. Dengan cepat, ia menoleh ke arah pintu, dan betapa terkejutnya ia melihat seorang wanita berdiri di sana. Wanita itu tampak cantik dengan riasan wajah yang sempurna. Pakaiannya yang rapi dan elegan menunjukkan kepercayaan diri, tetapi senyum kecil di wajahnya terasa menusuk hati Siska."Hai, Mas Re... Tunggu, Mas Reza mana?" suara wanita itu terdengar bingung saat melihat Siska duduk di kursi pengemudi.Untuk beberapa detik, dunia terasa berhenti bagi Siska. Hatinya serasa pecah berkeping-keping. Wanita ini—orang yang diduga selingkuhan suaminya—ternyata berdiri di depan matanya.Namun, Siska bukan orang yang mudah menyerah pada situasi seperti ini. Dengan cepat, ia menguasai dirinya. Matanya menatap tajam wanita itu, seolah ingin menelanjangi semua kebohongannya."Seharusnya aku yang bertanya," ujar Siska dingin, senyumnya tipis namun penuh tekanan. "Siapa kamu sebenarnya? Dan apa hubunganmu dengan suamiku, Reza?"Wanita itu tampak tergagap. Raut percaya dirinya meng
iska menoleh ke arah Lina dengan tatapan penuh kemenangan. "Oh, jadi kamu belum tahu kalau kekasihmu itu sekarang mendekam di balik jeruji? Kasihan sekali kamu ini. Mulai sekarang, kamu harus siap menahan rindu cukup lama, karena dia dituduh sebagai otak pembunuhan seorang CEO terkenal. Tuntutannya tidak main-main," ujar Siska dengan nada tajam, menyiratkan kepuasan di balik rasa perihnya.Lina terdiam, matanya berkaca-kaca. Dalam hati, ia meratapi nasibnya. "Ternyata Mas Reza gagal... Sekarang aku harus bagaimana? Aku tidak bisa hidup tanpa dia..." pikir Lina sambil menunduk, penampilannya yang kusut makin menambah kesan pilu.Melihat Lina yang terpukul, Siska mendekatinya. Ia menunduk sedikit untuk memastikan Lina mendengar dengan jelas kata-katanya. "Dengar ya, pelakor. Mulai sekarang, aku tidak peduli lagi dengan Reza. Dia bukan suamiku lagi. Kau bebas memilikinya. Anggap saja hadiah dariku untuk wanita sepertimu."Tanpa menunggu jawaban, Siska berbalik menghadap ibu-ibu yang tadi
Namun, Mr. Lee mengangkat tangan, menghentikan Daniel. “Cukup. Saya juga akan memberi tahu kepada semua mitra bisnis kami di China tentang apa yang sudah terjadi hari ini. Saya ingin mereka tahu betapa bobroknya integritas Prawira Group.”Daniel tampak seperti dihantam badai. Wajahnya merah padam, tetapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena ketakutan. “Tuan Lee, tolong… tolong jangan lakukan itu. Anda tahu apa artinya bagi perusahaan kami jika reputasi kami hancur di pasar China. Kami tidak akan bisa bertahan. Saya mohon, beri kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini.”Mr. Lee menatapnya dengan dingin. “Kesempatan? Kesempatan itu Anda sudah sia-siakan ketika Anda memutuskan untuk bermain kotor. Saya tidak peduli berapa besar perusahaan Anda. Bagi kami, kejujuran adalah segalanya.”Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Mr. Lee meraih koper itu dan menyerahkannya kembali kepada Daniel. “Ambil u
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Ruang konferensi besar di sebuah hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi oleh perwakilan dari dua perusahaan besar, Aditya Corporation dan Prawira Group, serta para eksekutif dari Techno Guard, perusahaan teknologi nomor satu di Asia. Atmosfer di ruangan itu tegang, penuh dengan harapan, ambisi, dan strategi tersembunyi.Adrian duduk di barisan depan bersama timnya, mengenakan jas hitam yang rapi, dengan tatapan penuh keyakinan. Di sebelahnya, Satya dengan percaya diri memegang tumpukan dokumen presentasi yang baru saja selesai dipaparkan. Adrian menepuk bahu Satya pelan. "Kerja bagus. Presentasimu tadi sempurna. Semua poin yang aku ingin sampaikan berhasil kau jabarkan dengan jelas," ucapnya.Satya tersenyum lega. "Terima kasih, Pak Adrian. Semoga ini cukup untuk memenangkan kepercayaan mereka."Di sisi lain ruangan, Daniel duduk santai di kursinya dengan senyum sinis. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, sesekali melirik ke
"Risiko?" Daniel menyambar dengan nada dingin, memotong kalimat pria itu sebelum selesai. "Risiko terbesar buatku adalah jika kalain semua gagal mendapatkan tender itu. Dan aku tidak akan mentolerir kegagalan lagi. Kalian tahu betapa malunya aku ketika Adrian memenangkan tender terakhir?!" Suaranya meninggi di akhir kalimat, membuat manajer itu menunduk dalam-dalam, takut untuk menjawab.Daniel menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Kalian pikir Adrian lebih pintar dariku? Tidak! Dia hanya lebih licik, lebih oportunis dan kebetulan lebih beruntung dari ku. Tapi kali ini, kita akan menunjukkan siapa yang sebenarnya memegang kendali." Dia berhenti sejenak, matanya menatap jauh ke jendela besar di belakang ruangan, mengamati gemerlap lampu kota yang seolah menertawakannya."Adrian pikir dia sudah bisa mengalahkanku dan akan terus berada di atas," gumam Daniel, lebih kepada dirinya sendiri. Kemudian dia berbalik menghadap timnya lagi, menambahkan dengan n
Anisa dan Siska saling berpandangan, ekspresi keduanya sama-sama penuh rasa penasaran. Kedatangan Dirga yang tiba-tiba membuat mereka bertanya-tanya."Kamu memangnya ada janji sama Dirga, Sis?" tanya Anisa, matanya menyipit seolah mencoba membaca pikiran adiknya.Siska menggeleng pelan. "Tidak, aku nggak punya janji apa-apa sama dia."Anisa mengerutkan kening, berpikir keras. "Terus, kenapa ya dia datang ke sini? Ada urusan apa kira-kira?" ucapnya sambil memiringkan kepala, jelas tak puas dengan jawaban Siska.Tiba-tiba, sebuah pemikiran melintas di benak Anisa, membuatnya tersenyum menggoda. "Jangan-jangan dia suka sama kamu, Sis! Makanya dia datang menemuimu kesini" celetuk Anisa dengan nada menggoda.Siska langsung merona, wajahnya memerah. "Apaan sih, Nis? Jangan ngomong yang aneh-aneh deh." Dia mencoba menutupi rasa malunya dengan memalingkan wajah. "Aku lagi nggak mau punya hubungan sama pria dulu. Karena aku masih trauma sama hubuganku dengan Reza."Anisa tersenyum lembut, mele
"Maafkan Mama, Nisa... Mama nggak pernah bermaksud membuat kalian merasa berbeda. Mama selalu berusaha adil, tapi mungkin Mama salah cara. Kalau sampai hubungan kalian jadi seperti ini, Mama ikut merasa bersalah."Anisa tersenyum lemah, mencoba menenangkan ibunya. "Mama, jangan salahkan diri Mama sendiri. Siska hanya perlu waktu untuk menyadari semua itu. Aku yakin nanti dia akan mengerti kalau perhatian Mama dan Papa selama ini bukan untuk membandingkan, tapi karena Mama ingin yang terbaik buat kami berdua."Adrian menimpali, mencoba mengalihkan suasana. "Sebaiknya kita berdoa saja. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran buat Siska, supaya dia sadar kalau perlakuannya selama ini terhadap Anisa itu salah." Dia memeluk Anisa lebih erat, lalu mencium puncak kepalanya penuh kasih.Anisa mengangguk pelan. "Semoga saja, Mas. Aku cuma ingin dia sadar, kalau semua orang menyayanginya."Di sudut ruangan, Dirga berdiri diam, memperhatikan dari kejauhan. Tangannya terlipat di depan dada, tapi ma
Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar. Dirga mendongak, melihat wajah-wajah yang familiar. Anisa tiba bersama keluarganya—Adrian, Dimas, serta kedua orang tua mereka. Wajah mereka dipenuhi kekhawatiran."Dirga! Apa yang sebenarnya terjadi pada Siska?" tanya Anisa panik, langsung mendekati Dirga. Tangannya menggenggam lengan Dirga erat.Dirga menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Siska mengalami luka tembak. Dia masih berada di dalam, Anisa. Dokter masih berusaha menyelamatkan nyawanya. ""Tertembak?!" Anisa menjerit kecil, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya langsung pucat. "Siapa yang melakukannya, Dirga? Bagaimana ini bisa terjadi?!"Adrian yang berdiri di belakangnya memasang wajah tegang. "Ya, Dirga. Tolong jelaskan pada kami. Apa yang sebenarnya terjadi?"Dirga mengangguk, berusaha menjelaskan semuanya sejelas mungkin meski hatinya sendiri masih terguncang. "Tadi, Siska diculik oleh dua orang pria suru
KAU HARUS MATI, SISKA!" Lina berteriak histeris.Sebelum siapa pun sempat bergerak, suara tembakan menggema di ruangan itu. Peluru itu meluncur cepat, dan semua terasa seperti berjalan lambat. "DOR!"Peluru itu menghantam perut Siska, membuat tubuhnya terhempas ke belakang. Siska jatuh ke lantai dengan tangan yang mencengkeram perutnya. Darah segera mengalir membasahi pakaiannya. "Ahh!" Siska mengerang kesakitan, tubuhnya menggeliat saat rasa nyeri yang luar biasa menyerangnya."SISKA!" Dirga berteriak panik, langsung berlari ke arahnya. Sementara polisi lainnya bereaksi cepat, menundukkan Lina dan menjatuhkannya ke lantai. Pistol yang dia genggam terlepas dari tangannya, dan dia menjerit seperti orang kesetanan. "Dia harus mati! Dia pantas mati!" Lina terus meronta meski tangannya sudah diborgol dengan kuat.Dirga berlutut di samping Siska, wajahnya penuh dengan kecemasan. "Siska, bertahanlah! Tolong, jangan tutup matamu! Bantuan medis sedang dalam perjalanan!" Dia menekan luka di pe
Kedua pria suruhan Lina yang sejak tadi diam mulai saling melirik. Pria gondrong itu akhirnya memberanikan diri berbicara, meski suaranya bergetar. "Bos... maaf, ini kayaknya sudah di luar kesepakatan kita. Kita cuma disuruh bawa wanita ini ke sini. Kalau urusan ngebunuh, kita nggak mau ikut campur."Lina langsung berbalik ke arah mereka, matanya penuh dengan api kemarahan. "Diam kalian! Dari awal kalian membawa dia ke sini saja, kalian sudah ikut campur. Dan jangan lupa, kalian sudah kubayar mahal. Jadi sekarang, lakukan perintahku, atau aku akan memastikan kalian tidak akan bisa lari dari ini!"Pria botak mulai berkeringat dingin. "Tapi, Bos... ini bukan pekerjaan kita. Kita nggak pernah ngelakuin hal seperti ini sebelumnya. Kalau ini ketahuan, kita bisa kena masalah besar."Lina mendesah kesal, lalu mengambil amplop lain dari tasnya dan melemparkannya ke meja di depan mereka. "Dengar baik-baik. Kalau kalian membantuku menghabisinya, aku akan bayar kalian dua kali lipat dari yang su
Wanita itu menatap Siska dengan pandangan dingin, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan—antara kebencian, kepuasan, dan mungkin dendam yang membara. Dirga mengamati semua itu dengan hati yang semakin dipenuhi kegelisahan."Siapa dia sebenarnya? Apa hubungannya dengan Siska? Kenapa dia sampai tega melakukan ini?" pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Dirga.Ia mencoba mengatur napasnya yang semakin berat, menanti saat yang tepat untuk bertindak, sementara kepalanya terus memutar berbagai kemungkinan. Di saat itu juga, suara sirene yang samar mulai terdengar di kejauhan, memberikan secercah harapan dalam situasi yang mencekam.Dirga merapat ke sisi rumah kosong itu, bersembunyi di bawah jendela yang retak. Ia menahan napas, berharap mendengar atau melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dari celah kecil di jendela, ia bisa melihat wanita cantik itu berdiri angkuh, sementara kedua pria suruhan membungkuk hormat di hadapannya.Wanita itu menyerahkan amplop cokelat yang