Sejak satu jam lalu, Atika tidak bisa duduk diam. Ia terus berjalan ke sana kemari menunggu kedatangan suaminya. Setelah informasi yang Hanny berikan, Atika mencoba menghubungi Elang berkali-bekali tetapi pria itu sama sekali tidak mengangkat panggilan Atika. Akhirnya, Atika menghubungi nomor Liana. Sekertaris Elang itu mengatakan kalau suaminya sedang ada rapat penting sehingga tidak bisa menerima panggilan dari siapapun tidak terkecuali Atika."Nyonya, tunggu di dalam saja. Sudah malam dan sepertinya sebentar lagi akan turun hujan," kata Rika yang sejak tadi menemani Atika berdiri menunggu Elang di gerbang masuk rumah. "Tidak akan ada bedanya menunggu di dalam dan di luar rumah, Tuan Elang tidak mungkin melompat langsung masuk ke lantai dua. Pasti Nyonya akan bertemu dengan Tuan Elang.""Bukan begitu, Bi. Kalau aku hanya duduk diam di dalam, aku semakin tidak bisa tenang!" gerutu Atika. "Entah kenapa, aku merasa ada firasat aneh.""Firasat aneh apa maksud Nyonya? Bukannya sekarang m
Suara pintu yang dibuka membuat Atika tersentak dan memandang terkejut pada bayangan Elang di cermin. Suaminya itu telah mengganti baju kerjanya dengan kaus putih dan celana kain berwarna senada. Rambutnya yang sudah mulai panjang terlihat basah baru keramas, tetes-tetes air yang belum dikeringkan terlihat bergelantungan di ujung rambut pria itu. Atika merasakan jantungnya kini berdebar kencang, entah kapan ia akan terbiasa melihat ketampanan suaminya sendiri."Maaf aku mengagetkanmu," ujar Elang menghampiri Atika. Pria itu kemudian meraih sisir di tangan Atika."Geli," kata Atika pelan ketika tanpa sengaja jemari Elang mengenai tengkuknya."Jadi ini titik sensitifmu yang lain," gumam Elang seraya tersenyum penuh arti.Seketika wajah Atika memanas memahami arti perkataan Elang. Secepat kilat Atika berbalik dan merebut handuk yang berada di pundak suaminya, lalu menarik pria itu hingga duduk berlutut di hadapannya."Setelah mandi, cepat keringkan rambutmu! Nanti bisa masuk angin," omel
Satu jam kemudian, Hanny sukses menyeret Atika kesana kemari menjelajahi salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota. Dua orang asisten Rika turut serta mengikuti mereka, kedua tangan gadis-gadis belia itu penuh dengan tas kertas berisi 'perbekalan Atika untuk berbulan madu', sebuah istilah yang diciptakan Hanny setiap kali Atika merengek minta pulang dan mengakhiri sesi belanja mereka."Tika, ini pertama kalinya dalam hidupmu pergi berlibur! Kamu gak tahu kan, sebanyak apa baju yang kamu perlukan nanti. Jadi, mumpung suami kamu memberikan kartu unlimited ini, manfaatkan saja sepuasnya!" kata Hanny begitu Atika mengerucutkan bibirnya lagi.Atika menjatuhkan bok*ngnya ke kursi tunggu dan membiarkan Hanny berkeliling sendirian melihat tas-tas yang dipajang dalam etalase kaca."Aku yang bulan madu, tapi kamu yang lebih antusias!" gerutu Atika sambil melepas sepatu hak tingginya, dan memijat tumitnya pelan.Seorang pegawai toko tiba-tiba menghampiri dan menyerahkan sebuah sandal rumah
"Apa keputusanku ini salah?" gumam Atika pada dirinya sendiri.Perempuan itu kini memandang menembus sekat kaca yang memisahkan ruang tamu dan ruang baca, kepada seorang gadis belia berambut panjang sepunggung. Gadis itu bernama Aqila. sesuai dugaan Atika saat mendengar nama Aqila kali pertama di rumahnya dulu, gadis itu cantik dengan pesonanya sendiri. Matanya yang bulat sangat serasi dengan hidung mungil walau tidak begitu mancung, bibirnya juga mungil namun berisi membuat setiap lawan jenis bisa mudah melirik.Elang menyangkal kalau dulu ia dan gadis ini memiliki hubungan spesial, namun melihat betapa menariknya Aqila, sepertinya ada yang bermasalah dengan penglihatan suaminya. Sebab, terlihat jelas Aqila menaruh perasaan lebih pada Elang. Gadis itu datang sendirian melintasi tiga buah provinsi, hanya untuk bertemu dengan Elang."Kalau boleh saya tahu, siapa gadis itu, Nyonya?" tanya Rika yang baru kembali dari dapur setelah menyiapkan makan malam. "Seingat saya, tidak pernah ada s
"Temani Aqila makan malam," kata Elang singkat pada salah satu asisten Rika.Pria itu lalu bergegas menyusul Atika naik ke lantai dua, Namun saat Elang baru tiba di anak tangga kedua, Aqila keluar dari kamar tamu memanggil Elang."Mas, bisa kita bicara sebentar?" pinta Aqila sambil berjalan menghampiri Elang. Gadis itu meraih ujung lengan kemeja Elang dan menariknya perlahan, seperti anak kecil.Elang mengalihkan pandangan sekilas ke atas, sekelebat bayangan melintas di celah pintu kamarnya yang terbuka. Tak lama, bunyi pintu yang dibanting terdengar. Elang kemudian menggangguk pada Aqila."Kita bicara di ruang kerjaku saja."Aqila tersenyum puas dan tanpa sadar mengamit lengan Elang, tetapi sigap pria itu melepaskan tangan Aqila dari lengannya dan berjalan mendahuluinya."Wah, Mas Elang benar-benar kaya raya sekarang! Seandainya Budhe Hanum masih ada, pasti Budhe akan senang melihat rumah Mas Elang yang besar ini!" celoteh Aqila bersemangat begitu memasuki ruang kerja Elang.Gadis it
Atika merasa pagi datang dengan sangat lambat. Gambaran adegan Aqila yang berlutut di hadapan Elang agar dijadikan istri kedua, membayangi pelupuk mata Atika setiap kali ia memejamkan mata. Sebab itulah, hingga jam analog menunjukkan angka tiga, Atika tidak sedetik pun jatuh ke alam mimpi. Selain itu, Atika juga tidak dapat tidur karena sejak semalam, Elang tidak kembali ke kamar. Entah bermalam dimana suaminya, Atika enggan untuk mencari tahu.Tidak, tepatnya Atika ketakutan kalau ternyata Elang sedang bersama Aqila, menghibur gadis itu atau bahkan memenuhi permintaan Aqila untuk dinikahi. Kepala Atika tiba-tiba terasa berat memikirkan kemungkinan terburuk itu. Daripada berdiam mengurung diri di dalam kamar, Atika memutuskan untuk berjalan-jalan di halaman rumah sambil menunggu matahari terbit. Sayangnya, belum sampai di halaman langkah Atika terhenti ketika mendengar bunyi benda-benda berjatuhan dari arah dapur."Kenapa mereka memasak sepagi ini?" gumam Atika sambil berjalan cepat m
"Berhenti!" pekik Aqila nyaring mengejar Atika keluar dari dapur.Atika berbalik dan menemukan wajah gadis itu sudah semerah tomat, dengan cepat Aqila berjalan mendekati Atika. Tangan kanan gadis itu kini mengacungkan sebuah pisau daging ke udara."Kalau perlu aku yang akan mengambil alih tugas Tuhan memisahkan kalian!" teriak Aqila sambil berlari siap menghunuskan benda di tangannya ke arah Atika.Atika tidak siap menerima serangan mendadak seperti ini, otaknya mendadak beku membuat tubuhnya seperti dipaku ke lantai. Atika hanya mampu memejamkan mata bersiap menerima nasib buruk yang akan menimpanya. Namun, selang beberapa detik kemudian, Atika tidak merasakan apapun. Sebaliknya, ia hanya mendengar bunyi benda besar terjatuh. Dengan hati-hati, Atika membuka mata. Di hadapannya, Aqila terkapar meringis kesakitan memegangi sikunya yang lecet sementara beberapa langkah di samping gadis itu, Elang berdiri tegak membelakangi Atika, menghadap Aqila."Mulai saat ini, jangan pernah muncul d
"Keluar! Dasar anak haram, pembawa sial! Keluar kamu, mau kamu sembunyikan dimana pun anakku, aku bisa menemukannya!"Teriakan Guntur, salah satu tetua desa yang juga ayah dari Aqila menambah suasana mencekam malam itu. Seruan serta gedoran pintu dan juga kaca jendela ikut mengiringi amukan Guntur yang mencari keberadaan putrinya. Elang yang melihat orang-orang desa mengererumuni rumahnya, sontak menepikan motor tua yang ia kendarai beberapa meter sebelumnya. Kening pria itu berkerut dalam belum menyadari bahaya yang mengintainya."Ini dia, orangnya sudah datang!" seru seorang ibu-ibu tambun penjual nasi pecel.Guntur yang berdiri paling depan dekat dengan pagar rumah Elang, merangsek berbalik arah menjauhi kerumunan dan menarik ujung kaus lusuh Elang."Kamu sembunyikan dimana putriku?""Apa maksud Bapak? Saya tidak menyembunyikan Aqila!"Sebuah tendangan keras menghantam tulang kering Elang membuat pria itu jatuh tersungkur ke tanah. Guntur lalu menginjak punggung Elang, membuat pria