Anita melempar tasnya asal. Sepatunya pun dibiarkan tergeletak dan berceceran di pintu kamar. Satu tujuannya, dia butuh tidur.
Tak mudah memang, memimpin perusahaan keluarga yang telah diwariskan turun temurun. Mau tak mau dia harus mengemban amanah karena dia adalah anak satu-satunya keluarga besar Sultan Yusuf.Hari ini, dia menjalani rapat tanpa henti. Para pemegang saham harus berfikir keras bagaimana perusahaan tidak gulung tikar di masa krisis begini.Anita mulai memejamkan mata saat ketukan kecil menganggunya."Boleh ibu masuk?"Pertanyaan ibunya sebenarnya tak berguna, tanpa dijawab pun, wanita yang rambutnya mulai ditaburi uban itu telah berjalan mendekat ke ranjangnya.Anita memaksa tubuhnya yang lelah untuk bangun, matanya dipaksa untuk terbuka."Kamu pasti belum mandi," tebak ibunya, dan Anita tau, itu hanya sekedar basa-basi. Pasti ada hal mendesak sampai-sampai ibunya menemuinya ke kamar di jam sebelas malam."Iya, Bu. Belum.""Ibu mau ngomong, boleh?"Anita sudah menduga, basa-basi tadi berganti dengan percakapan serius."Ada apa, Bu?""Tadi, ayahmu ...." Ibunya terlihat ragu, ibunya tau betul, dia dan ayahnya tak pernah akur, mereka sama-sama keras, tapi tak bisa berpisah lama. "Menanyakan apa kamu sudah bisa membawa calon yang kamu janjikan itu ke rumah?"Anita tersadar, matanya yang berat sukses terbuka lebar. Baru dia ingat, dia berjanji akan membawa calon sendiri karena tak mau dijodohkan."An?""Eh? Oh, ya, besok. Kami belum sempat bertemu hari ini."Ibunya menatapnya tenang, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja dikatakannya."An, berdamailah, ibu tau betul kamu tak memiliki kekasih, karena siang malam menghabiskan waktumu untuk bekerja, jika ...,""Anita punya pacar, kok. Besok akan Anita bawa ke rumah menghadap ayah.""Baiklah," sahut ibunya. "Mandilah dulu sebelum tidur." Sentuhan lembut mendarat di pipi Anita. Ibunya begitu lembut dan perhatian.Sepeninggal ibunya, Anita mengusap kasar wajahnya. Calon suami? Dari mana? Dari langit? Dia tak punya teman laki-laki, apalagi kekasih."Oh, God. Gila, aku menjanjikan besok, mati, mati, aku pasti mati." Anita terlonjak dari tidurnya. Rasa kantuk hilang sudah."Oh otak, berpikirlah!"***Anita mengetuk-ngetuk meja restoran dengan perasaan campur aduk, bahkan setelah ibunya masuk ke kamarnya beberapa saat yang lalu, Anita tidak lagi melanjutkan tidurnya. Dia harus memaksimalkan waktu yang tersisa, calon suami? Mau didapat di mana? Anita butuh makanan pedas malam ini. Karena makanan pedas bisa membuat otaknya cepat berpikir.Bukan restoran mewah, tapi sebuah restoran kaki lima yang berdiri di atas trotoar jalan. Langganan Anita sejak SMP, restoran kaki lima itu hanya buka di malam hari, di atas jam sembilan malam.Anita merapatkan jaketnya, jangan tanya dinginnya udara. Anita bahkan menggosokkan tangannya sendiri agar lebih hangat."Permisi, Om dan Tante."Anita menoleh ke sumber suara, seorang pemuda dengan wajahnya yang penuh senyum. Dia memakai kemeja kotak-kotak yang warnanya telah pudar, celana jins robek di lutut dan sepatu sport yang lusuh. Rambutnya yang bewarna hitam, dipotong ala bintang drama korea , gitar yang berada di tangannya dipetik beberapa kali.Dia lebih cocok dikatakan manis dari pada ganteng. Atau, bahkan cantik? Oh, sejak kapan Anita peduli pada orang asing?Anita mengalihkan pandangan pada mie pedas level sepuluh kesukaannya. Matanya berbinar, makanan favorit yang sering membuat sakit perut itu, adalah teman sejatinya. Walaupun di pagi hari, dia harus berurusan dengan kamar mandi berulangkali."Permisi, Mbak!"Anita mengangkat wajahnya sambil meletakkan sumpit. Sebuah plastik bekas makanan yang berisi uang receh disodorkan pemuda itu padanya.Anita merogoh tasnya. Tak ada uang kecil. Hanya ada pecahan seratus ribu.Anita mengakui, suara pemuda itu cukup merdu, tapi dia tak pernah mendengarkan lagu itu sebelumnya, apakah dia menciptakannya sendiri? Anita tak begitu ingin tau."Maaf, Mbak. Saya nggak punya kembalian," jawabnya, dia menyodorkan uang itu kembali."Ambil saja!""Tidak usah, Mbak. Terimakasih." Pria itu berlalu ke meja di sebelah Anita.Mata Anita mengikuti punggung itu, bagaimana dia membungkuk setiap kali orang-orang memberinya uang receh. Bahkan sampai pria itu keluar dari area restoran kaki lima, mata Anita masih mengikutinya.Perasaan Anita sedikit lega, perut kenyang dan dia akan tidur dengan nyenyak. Untungnya, besok adalah hari Sabtu, walaupun terlambat bangun, dia bisa agak santai sedikit dibanding hari kerja.Jam dua belas malam, bukankah ini terlalu larut malam? Anita tak peduli, sebagai wanita yang berumur lebih dari tiga puluh tahun yang kemana-mana biasa sendiri, dia tak pernah dikekang oleh orangtuanya. Kecuali perkara calon suami.Entah kenapa, ingatan Anita melayang pada pemuda manis itu."Gila," gerutunya pada diri sendiri. Dia menyalakan mobilnya. Sesekali Anita mengeluarkan sendawa.Anita tiba-tiba menepikan mobilnya. Pemuda tadi, si pengamen tengah berjalan kaki sendiri sambil menghitung uang yang berada di dalam plastik bekas makanan yang dilihatnya beberapa saat yang lalu. Wajahnya terlihat kecewa.Tin! Tin! Suara klakson Anita menghentikan langkah itu, seiring dengan turunnya kaca mobil miliknya."Tinggal di mana?""Mbak seratus ribu?"Anita mendengus, julukan apa itu? Sangat tak enak di
Edo berulangkali mencari posisi yang pas agar matanya bisa terpejam, jam dua dini hari, artinya beberapa jam lagi waktu subuh akan datang.Percakapan dengan wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Anita itu masih terngiang-ngiang sampai saat ini."Pekerjaan? Mbak serius?" Dia menjawab antusias, Anita terseyum tipis. Lalu mengangguk mantap."Iya, pekerjaan, dengan gaji yang bisa kamu tuliskan berapa yang kamu mau."Edo melebarkan matanya, apa yang dibicarakan wanita ini terdengar mustahil, tapi melihat kendaraan yang dimilki Anita, Edo tau wanita ini bukan orang sembarangan."Kalau boleh tau, apa pekerjaannya?" tanya Edo penuh semangat."Menjadi pacar pura-pura aku." Anita menjawab santai, dia berkata dengan enteng, sambil menghabiskan coklat panas yang tersisa.Wajah semangat Edo berubah surut."Maaf, saya tak bisa.""Alasanmu? Bukannya kau bilang tak punya pacar, tak pernah menikah, apalagi duda. Kenapa tak bisa?""Saya tak mau menjadi pembohong. Pacaran itu harus dengan hati."An
"Aku butuh pacar," kata Anita santai."Eh?" Edo melongo."Bukan, bukan pacar sebenarnya, tapi pacar pura-pura. Kamu hanya perlu melakukan apa yang aku katakan, tidak berat, bukan?""Sampai sejauh ini, saya belum faham akan alasan Mbak Anita. Dengan semua yang Mbak miliki, tentu sangat mudah bagi Mbak memiliki pacar."Anita tersenyum, dia menggulung rambutnya, jika dinilai secara sekilas, dia wanita yang tak mau ribet, salah satunya, bertelanjang kaki dan tak menggunakan sepatunya. Cukup unik."Aku adalah wanita 30 tahun, cukup tua, jadi aku tak perlu pacar. Aku butuh pacar pura-pura untuk menghentikan ayahku yang terus menjodohkan dengan anak koleganya.""Maaf, di usia 30, saya rasa yang dibutuhkan adalah suami, bukan pacar.""Suami pura-pura?" Anita terkekeh geli. "Aku tak berencana untuk menikah."Edo heran dengan wanita yang satu ini, dengan kekayaan dan kecantikannya, dia malah tak berniat untuk menikah. Ado rasa, wanita seperti Anita tak sama dengan wanita pada umumnya."Jadi, ke
Anita menepikan mobilnya sebelum sampai ke sebuah rumah megah yang memiliki pagar tinggi menjulang. Sepanjang perjalanan, Anita tak berhenti-berhentinya mengoceh, bahkan Edo sampai pusing mendengarnya. Sejujurnya, dia tak nyaman dengan wanita yang cerewet."Kamu harus mengingat semua yang aku sampaikan barusan. Aku tak ingin pertemuan pertama malah kacau." Anita sebenarnya juga tak yakin, tapi apa salahnya dia mencoba, bukan? "Yang mananya?""Ya, ampun," Anita menatap Edo tak percaya."Banyak hal yang Mbak katakan, bagian mana yang harus saya ingat?""Semuanya. Jika ayahku bertanya, berapa lama kita telah berpacaran, apa yang akan kau jawab?""Dua tahun?""Apa pekerjaanmu?""Pengusaha hotel.""Di mana orangtuamu?""Di luar negri.""Nah, itu cukup." Anita menjawab puas. Itu yang paling penting. Aku yakin kau bukan pria yang bodoh, tak ada waktu lagi untuk bermain peran, ayo! Ingat, naikkan dagumu, kau adalah seorang pengusaha kaya yang memiliki usaha perhotelan. Nasibku ada di tanganm
Anita hanya bisa pasrah menghadapi ayahnya itu, usaha pertama gagal sudah. Dia tak mau lagi memakai jasa Edo, Edo tak ada bakat sedikit pun, hanya bisa mengacaukan rencana.Ayahnya bukan orang yang bodoh, setelah tatapan ragunya pada Edo kemaren, Anita yakin, tak ada lagi kesempatan untuknya."Jadi, kalian telah berpacaran selama bertahun-tahun?"Anita tau, ayahnya takkan berhenti sampai di sana, dia tipe orang yang persis seperti detektif, menggali sumber ke akar-akarnya."Benar, Ayah.""Ayah baru tau, seleramu aneh, dia bukan tipe laki-laki yang bisa diharapkan.""Dia laki-laki yang baik.""Baik saja tidak cukup. Apa benar dia seorang pemilik hotel? Apa dia tak menipumu? Karena saat ayah menanyakan masalah saham, dia kebingungan menjawab, ayah tak mau, kamu malah dimanfaatkan oleh pria yang salah.""Aku tak mengerti.""Dia bisa saja berpura-pura kaya, demi mendapatkan harta darimu."Bibir Anita gatal untuk menjawab, bahwa Edo tidak seperti itu, buktinya, dia mengembalikan semua uang
Dia masih Taksa yang sama, wajah rupawan yang murah senyum. Tak ada yang berubah bahkan setelah sepuluh tahun tak bertemu. Taksa bahkan tak memperlihatkan kerutan di wajahnya, di usia yang hampir menuju akhir tiga puluh.Sementara, wanita yang berstatus sebagai istri pria itu, telah berubah banyak, tubuh langsingnya telah berubah gendut, walau pun mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Anita heran, bagaimana seorang Taksa bisa jatuh cinta pada Irma, yang bahkan menurut Anita hanya wanita kampung biasa yang tak pandai berdandan. Wanita itu tengah sibuk dengan tepung dan bahan-bahan kue lainnya, Irma dan ibu Anita begitu cocok. Sedangkan Anita tengah duduk di ruang tamu dengan Taksa, dan ayahnya."Apakah tak ada laki-laki yang mengalahkan gantengnya Mas di kota ini? Sampai saat ini kau belum juga menikah."Guyonan yang bagi Anita begitu memuakkan. Dia masih Taksa yang sama, menjengkelkan, dan juga ... Taksa yang masih menghadirkan debaran di hatinya."Anita wanita yang terlalu pemil
Anita memandang tajam Taksa. Apa lagi kali ini? Dua hari di rumahnya, laki-laki itu semakin leluasa keluar masuk ke dalam kamarnya. Taksa menutup pintu kamar Anita. Tak peduli dengan tatapan protes wanita itu."Mas? Kenapa masuk?""Aku ingin berbincang denganmu, boleh?""Tunggu di tepi kolam renang," sahut Anita ketus. Taksa mengangguk, sebelum berbalik, dia melempar senyum terlebih dulu.Seharusnya Taksa berlaku seperti orang asing, tak baik jika dia bertingkah seperti tak terjadi apa-apa pada mereka. Tapi, laki-laki itu masih seenaknya menarik ulur hatinya bahkan saat dia telah punya istri.Anita duduk di tepi kolam renang, Taksa menggulung celananya, mencelupkan kakinya ke sana. "Ada apa?" tanya Anita sinis."Kenapa berwajah begitu? Aku hanya ingin mengajakmu bicara, tidak boleh?" Wajah Taksa begitu ceria."Mana Mbak Irma?" Anita tak mau kedekatan mereka membuat Irma salah faham, bagaimana pun wanita itu adalah wanita yang baik."Dia pergi dengan ibumu, kursus memasak.""Oh, dia
"Boleh aku masuk?" Suara lembut itu menyentak Anita, Irma tengah berada di ambang pintu kamarnya dengan wajah yang sulit diartikan. Tiba-tiba perasaan Anita menjadi tak enak. Tak biasanya Irma ingin bicara langsung dengannya, mereka tak sedekat itu."Silahkan! Mbak," sahut Anita. Irma berjalan sungkan, lalu duduk di sofa panjang yang menghadap ke televisi."Kamu masih secantik dulu, An." Anita belum bisa meraba ke mana muara basa-basi Irma."Persis seperti yang dikatakan Mas Taksa." Anita terkejut, wanita ini begitu pintar membuat kejutan, setelah memuji, dia akan memberi kalimat yang sukses membuat Anita bertanya-tanya."Mbak Irma mau ngomong apa sebenarnya?" tanya Anita, dia tak suka berbasa basi. Walaupun dia memiliki perasaan pada Taksa, tapi dia tak pernah berniat merebut laki-laki itu dari Irma. Taksa hanya masa lalu yang belum berhasil dia lupakan."An, kamu sudah tau, kan? Kami akan bercerai?" Ada luka di pancaran mata Irma. Anita tergagap, apa artinya dia menguping pembic
"Sah."Suara saksi menggema memenuhi ruangan khusus di rumah Anita. Wanita itu sampai memejamkan matanya, seakan ada beban berat yang tengah menghinggapinya. Tak ada yang bahagia dengan pernikahan ini, tak ada yang tersenyum kecuali Rini. Gadis itu tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Dia terlalu lugu dan polos untuk memahami situasi. Bahkan, ayah dan ibu Anita, sama sekali tak membuka suara sejak tadi pagi, Taksa menunjukkan wajah tegang, Irma setia dengan kebungkamannya. Sedangkan Edo, tak sekalipun mengeluarkan kata-kata, kecuali kalimat sakral barusan.Tak ada resepsi, tak ada foto bersama, semua murni karena pernikahan yang dianggap sebagai penutup malu. Bahkan, ibunya dan Irma yang biasanya rajin memasak makanan, sepagi ini sama sekali tak menyentuh dapur. Lantunan doa yang dilafazkan penghulu, hanya diaminkan oleh beberapa orang. Tentu saja, siapa yang bahagia dengan pernikahan siri. Pernikahan terpaksa itu, hanyalah seremonial bagi keluarga Anita. Mereka berha
Dua anak manusia itu, memandang ke arah yang sama. Hamparan biru laut yang cerah sejernih langit, deburan teratur serta aroma garam yang tercium pekat. Mereka memutuskan untuk berhenti sebentar mendinginkan kepala yang panas. Setidaknya bisa bernafas dengan bebas setelah menahan hati selama diintrogasi.Anita masih dengan gaun merahnya, rambut yang disanggul tadi pagi sudah tak berbentuk. Sebagian masih berada di posisinya dan sebagian lagi telah lepas dari ikatannya. Besok? Mereka akan menikah besok, bukankah ini terlalu cepat? Bahkan Anita tak menduga akan secepat ini, dalam prediksinya, dia akan menikah dengan Edo, paling cepat dua Minggu lagi. Keputusan ayahnya membuat mereka syok."Besok kita akan menikah," kata Anita membuka percakapan. Ada senyum getir di bibirnya. Matanya memandang ke samping, pada Edo yang masih menampakkan wajah datar. Laki-laki itu sepertinya masih tersinggung dengan perkataan ayahnya. Dia dikatai seorang penipu, apa yang lebih kasar dari kata seorang peni
"Ada beberapa hal yang harus kau ingat, mungkin kau takkan disambut baik oleh keluargaku. Tapi, sekali pun jangan tundukkan wajahmu, kau adalah calon suami Anita. Seorang pimpinan perusahaan yang disegani. Itu yang harus kau ingat.""Baik," sahut Edo."Tak perlu beramah tamah, tak perlu banyak senyum, kalau bisa tunjukkan wajah angkuh, karena keluargaku, mengukur seseorang bukan karena adab dan sikap manisnya. Tapi, uang dan kekuasaan."Edo sudah menduga, keluarga Anita sama persis dengan keluarga orang kaya lainnya. Dia hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Ini bukan pernikahan kontrak, dia takkan menganggukkan semua aturan yang Anita buat.Tak butuh waktu lama, mereka sampai di kediaman Anita. Ada beberapa orang yang telah menunggu. Ayah, ibu Anita. Seorang wanita muda berkulit hitam manis berwajah keibuan, dan satu lagi, seorang laki-laki yang menatapnya penuh penilaian."Kalian terlambat lima menit." Suara ayah Anita membahana. Edo menguasai dirinya, ini bukan lagi sandiwara, laki-
Anita memandang puas wajah Edo, memang, keterampilan tangan Jenny tak perlu diragukan. Wanita muda itu pintar menggunakan gunting dan pisau cukur."Hei, jangan cermberut! Bukannya kau akan bertemu dengan calon mertuamu?" Jenny menggoda. Dia takjub dengan pria muda di depannya, Edo benar-benar tampan. Sangat tampan.Edo tak tertarik untuk menanggapi. Dia hanya memandang bosan. Sedangkan Anita bertepuk tangan."Wooow, inikah suamiku?" Anita mendekat, pujian itu terdengar seperti ejekan bagi Edo.Anita maju, menyisakan jarak sejengkal dari Edo. Dia memandang puas. "Kau tinggi sekali. Keren, aku suka pria yang tinggi.""Hati-hati dengan ucapanmu, An. Bisa saja kau benar-benar menyukai dia," sahut Jenny sambil tertawa ringan. "Menyukai Edo? Ah, itu tak mungkin, tampan saja tak cukup bagiku, aku butuh laki-laki matang.""Seperti Taksa.""Kecuali dia." Anita memutar matanya, dia duduk di sofa Jenny, sedangkan Edo masih mematung dengan wajahnya datarnya. Kesal, menjadi bahan olok-olok oleh d
"A ... Apa? Pernikahan sebenarnya?" Anita tertawa remeh. Apa laki-laki muda ini sudah gila. Dia hanya butuh suami pura-pura, bukan suami sebenarnya, lagi pula, siapa dia? Edo tak seujung kukunya."Lucu ...." Anita tertawa lagi."Ya, sudah. Saya tak bisa." Edo berujar enteng, dia memang bukan pria yang taat beragama, tapi mempermainkan pernikahan tidak boleh dalam hidupnya. Bagaimanapun, pernikahan memiliki sumpah dan pernjanjian di hadapan Allah SWT."Edo, ini sangat sederhana, kau hanya perlu berpura-pura, dan semua itu pasti menguntungkanmu, kau tak perlu bekerja, tak perlu memikirkan uang, bukankah 100 juta setiap bulan adalah jumlah yang lumayan? Oh, ayolah! Pikirkan lagi.""Mbak, jangan menilai segala sesuatu dengan uang, mentang-mentang saya miskin, Mbak mau membeli hidup saya? Saya lebih baik memakan nasi basi dari pada direndahkan seperti itu." Edo mulai kesal. Dia bangkit dari duduknya."Hei, mau ke mana kamu?" Anita mencekal lengan Edo. Edo menatapnya tajam."Membangunkan Ri
Jam satu dini hari, Anita bahkan masih bersemangat. Dia tau, laki-laki muda itu sebentar lagi akan dikuasainya. Dia hanya tinggal berusaha sedikit lagi. Sangat membanggakan bisa menekan orang lain, bukankah dengan uang segalanya bisa lebih mudah?"Edo, kau mau mendengar sedikit ceritaku?"Edo tak menjawab, tapi pandangan malasnya itu masih bertahan menantang mata Anita. Anita tau, Edo kesal setengah mati padanya, tapi laki-laki itu lebih memilih untuk menahan diri."Aku terdesak, sangat terdesak. Begini," ucap Anita, dia tidak tau bagaimana cara menguraikannya pada Edo. Tapi, demi sebuah misi, Anita harus menceritakannya. Waktunya cuma tersisa malam ini, besok, dia harus berhasil membawa Edo ke hadapan ayahnya."Kau pernah jatuh cinta?""Apa maksud, Mbak? Kenapa malah masalah pribadi saya yang Mbak tanya?""Bukan, ini sebagai perbandingan, agar kau bisa memahami keadaanku, aku tak mungkin menceritakan sesuatu pada orang yang belum berpengalaman.""Tentu saja saya pernah jatuh cinta."
Edo melirik adiknya yang tengah menyantap ayam bakar madu, dengan porsi jumbo. Bahkan Rini tak tertarik melihat ke arah lain selain hidangan enak di depannya, bahkan segelas jus jeruk sudah tandas begitu saja. Tak pernah Edo melihat Rini makan selahap itu, dia tak peduli, dengan siapa yang tengah dihadapi abangnya, seorang wanita yang kaya dan sombong."Jadi, apa maksud Mbak meminta waktu bicara dengan saya?" tanya Edo datar, dia masih kesal dan sebal dengan wanita di depannya, yang dianggap tak bisa menghargai usaha orang lain dan berbuat seenaknya."Jadi, aku ingin buat kesepakatan denganmu.""Maaf, saya tak mau lagi berurusan dengan Anda." Edo berniat beranjak dari kursi restoran, tapi tangannya dicegah oleh Anita."Duduk dulu, ini takkan merugikanmu. Jangan pikirkan dirimu, tapi dia ...." Anita menunjuk Rini dengan matanya. Rini tengah asik memisahkan tulang ayam dengan dagingnya."Dia adik saya, bukan urusan Mbak.""Edo, dengarkan dulu! Ini kesepakatan yang menguntungkan, kau pi
Mata tajam ayahnya seakan ingin melenyapkannya dari muka bumi. Bagi ayahnya, kehormatan dan nama baik adalah sesuatu yang sangat dijunjung tinggi di keluarga ini, dan ... Untungnya pria yang kebetulan adalah ayahnya itu memiliki jantung yang sehat, sehingga tak perlu kena serangan jantung. "Siapa?" tanya pria itu tegas. Sedangkan yang lainnya, ikut duduk di ruangan keluarga, seakan juga menunggu apa yang akan keluar dari mulut Anita. Bahkan Irma, memandangnya dengan wajah tak terbaca, sedangkan Taksa, wajahnya menegang menahan marah. Ibunya, mengusap air matanya berkali-kali."Jawab! Siapa laki-laki itu?" Suara sang Ayah menggelegar memenuhi rumah. Ibunya memejamkan mata. "Fernando," sahut Anita tegas. Ayahnya terperangah, ibunya menatapinya tajam, Irma melongo, dan Taksa mengepalkan tinjunya di atas meja."Anak kurang ajar." Ayah Anita benar-benar marah, matanya memerah."Dia ... Dia akan bertanggung jawab." Anita mengutuk kekonyolannya, bahkan. Utusan Edo pasti bisa diurus belakan
"Boleh aku masuk?" Suara lembut itu menyentak Anita, Irma tengah berada di ambang pintu kamarnya dengan wajah yang sulit diartikan. Tiba-tiba perasaan Anita menjadi tak enak. Tak biasanya Irma ingin bicara langsung dengannya, mereka tak sedekat itu."Silahkan! Mbak," sahut Anita. Irma berjalan sungkan, lalu duduk di sofa panjang yang menghadap ke televisi."Kamu masih secantik dulu, An." Anita belum bisa meraba ke mana muara basa-basi Irma."Persis seperti yang dikatakan Mas Taksa." Anita terkejut, wanita ini begitu pintar membuat kejutan, setelah memuji, dia akan memberi kalimat yang sukses membuat Anita bertanya-tanya."Mbak Irma mau ngomong apa sebenarnya?" tanya Anita, dia tak suka berbasa basi. Walaupun dia memiliki perasaan pada Taksa, tapi dia tak pernah berniat merebut laki-laki itu dari Irma. Taksa hanya masa lalu yang belum berhasil dia lupakan."An, kamu sudah tau, kan? Kami akan bercerai?" Ada luka di pancaran mata Irma. Anita tergagap, apa artinya dia menguping pembic