Dia masih Taksa yang sama, wajah rupawan yang murah senyum. Tak ada yang berubah bahkan setelah sepuluh tahun tak bertemu. Taksa bahkan tak memperlihatkan kerutan di wajahnya, di usia yang hampir menuju akhir tiga puluh.
Sementara, wanita yang berstatus sebagai istri pria itu, telah berubah banyak, tubuh langsingnya telah berubah gendut, walau pun mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Anita heran, bagaimana seorang Taksa bisa jatuh cinta pada Irma, yang bahkan menurut Anita hanya wanita kampung biasa yang tak pandai berdandan. Wanita itu tengah sibuk dengan tepung dan bahan-bahan kue lainnya, Irma dan ibu Anita begitu cocok. Sedangkan Anita tengah duduk di ruang tamu dengan Taksa, dan ayahnya."Apakah tak ada laki-laki yang mengalahkan gantengnya Mas di kota ini? Sampai saat ini kau belum juga menikah."Guyonan yang bagi Anita begitu memuakkan. Dia masih Taksa yang sama, menjengkelkan, dan juga ... Taksa yang masih menghadirkan debaran di hatinya."Anita wanita yang terlalu pemilih, padahal tak ada lagi yang kurang darinya," sahut ayahnya, pria tua itu begitu gembira dengan kedatangan Taksa.Taksa menatap lekat Anita yang dari tadi menghindari tatapannya."Dia masih Anita yang dulu," sahut Taksa. Anita tak merespon ucapan pria itu, dia bangkit dari duduknya, dia merasa pembicaraan Taksa akan semakin memojokkannya.Anita memilih untuk naik ke lantai atas, kamarnya, dia lebih baik mengurung diri dari pada berbasa basi dengan pria itu. Sedangkan tadi, dia hanya menghormati perintah ayahnya saja.Baru saja Anita memejamkan matanya, pintu kamar terbuka. Pria itu, kenapa masih lancang masuk ke dalam kamarnya."Seharusnya minta izin dulu sebelum masuk." Anita berkata ketus."Ini kamar adikku, apa salahnya?" sahutnya santai, bahkan tak malu meletakkan pantatnya di pinggir ranjang Anita. Anita tak nyaman."Mas tau sendiri, kita tak punya pertalian darah."Taksa tersenyum lebar."Apakah memiliki adik itu harus memiliki pertalian darah terlebih dahulu?""Mas," ucap Anita menatap Taksa lelah. "Keluarlah! Jangan menimbulkan kesalah pahaman, saat ini, bukan lagi situasi sepuluh tahun yang lalu.""Jika bukan lagi situasi sepuluh tahun yang lalu, kenapa kau belum juga menikah, An? Seharusnya kau sudah punya anak, aku tak ingin rasa bersalah terus bercokol di hatiku padamu."Anita berusaha menenangkan jantungnya yang mulai berdetak tak karuan karena emosi."Berhenti mencampuri urusanku, bisa?"***"Wah, ini enak," puji Ayah Anita. Saat ini, mereka tengah menikmati hasil keterampilan memasak Irma, istri Taksa. Wanita itu betah seharian di dapur, membuat aneka masakan dan cemilan, bahkan untuk makan malam.Semua orang makan dengan lahap, bahkan ayahnya mengusap keringat di dahinya karena sangat menikmati kepiting saus pedas yang tersaji cantik di meja makan.Anita belum menyuapkan nasi ke mulutnya, hanya dia satu-satunya orang yang seperti patah selera.Irma, lihatlah dia, dia telaten melayani Taksa, mulai dari mengambilkan nasi, memasukkan lauk, dan mengambilkan segelas air, apa Irma mencoba untuk memanas-manasinya? Tapi yang Anita tau, wanita itu tidak sejahat itu. Dia terlalu sederhana, tak suka mencampuri urusan orang lain dan bersikap apa adanya.Anita kembali berpikir, kenapa Taksa bisa jatuh cinta pada Irma, wanita itu bahkan tak memoleskan lipstik ke bibirnya, dia memakai daster rumahan yang Anita tau, harganya sangat murah."Nggak makan, An?" sapa ibunya, menyentak lamunan Anita. Sejujurnya, ras lapar sudah surut."Ya," sahut Anita mencicit, suaranya memancing perhatian Taksa, pria itu melempar senyum tipis.Sementara di sudut kota, seorang pria muda duduk di halte sambil memeluk tasnya, di sampingnya duduk seorang gadis kecil berambut panjang memakai jaket biru tua dan rok selutut bewarna hitam. Mereka memutuskan berhenti, setelah mengamen ke berbagai tempat, karena hujan, mereka hanya mendapatkan uang sepuluh ribu, hanya bisa untuk mengganjal perut saat makan malam."Bang, setelah ini kita akan pulang ke mana?" tanya gadis kecil itu.Pria yang tak lain adalah Edo itu mengusap rambut adiknya. Siang tadi, mereka baru saja diusir dari kontrakan kumuh, apa lagi alasannya kalau bukan karena tak mampu membayar sewa."Sabar ya, Rin. Kita pikirkan dulu solusinya.""Sampai kapan kita akan kaya gini, Bang?" Rini melipat kakinya, dia memeluk lututnya kerena kedinginan.Edo menatapnya terenyuh, dia mungkin bisa bertahan dengan hidup menjadi gelandangan, tapi Rini? Bahkan dia juga putus sekolah, seharusnya dia sudah duduk di kelas enam SD. Sebentar lagi adiknya itu akan menjelma menjadi remaja, kehidupan sebagai pengamen tak baik baginya.Andai saja, orang tua mereka masih ada, andai saja, mereka punya sanak saudara yang memiliki sifat belas kasih, Edo hanya berandai-andai, dia menengadahkan wajahnya ke atas langit. Memejamkan matanya sejenak, dia ... Rindu ibunya."Bu ...." Suara Edo parau, jika menangis, siapa yang akan menenangkannya.Anita memandang tajam Taksa. Apa lagi kali ini? Dua hari di rumahnya, laki-laki itu semakin leluasa keluar masuk ke dalam kamarnya. Taksa menutup pintu kamar Anita. Tak peduli dengan tatapan protes wanita itu."Mas? Kenapa masuk?""Aku ingin berbincang denganmu, boleh?""Tunggu di tepi kolam renang," sahut Anita ketus. Taksa mengangguk, sebelum berbalik, dia melempar senyum terlebih dulu.Seharusnya Taksa berlaku seperti orang asing, tak baik jika dia bertingkah seperti tak terjadi apa-apa pada mereka. Tapi, laki-laki itu masih seenaknya menarik ulur hatinya bahkan saat dia telah punya istri.Anita duduk di tepi kolam renang, Taksa menggulung celananya, mencelupkan kakinya ke sana. "Ada apa?" tanya Anita sinis."Kenapa berwajah begitu? Aku hanya ingin mengajakmu bicara, tidak boleh?" Wajah Taksa begitu ceria."Mana Mbak Irma?" Anita tak mau kedekatan mereka membuat Irma salah faham, bagaimana pun wanita itu adalah wanita yang baik."Dia pergi dengan ibumu, kursus memasak.""Oh, dia
"Boleh aku masuk?" Suara lembut itu menyentak Anita, Irma tengah berada di ambang pintu kamarnya dengan wajah yang sulit diartikan. Tiba-tiba perasaan Anita menjadi tak enak. Tak biasanya Irma ingin bicara langsung dengannya, mereka tak sedekat itu."Silahkan! Mbak," sahut Anita. Irma berjalan sungkan, lalu duduk di sofa panjang yang menghadap ke televisi."Kamu masih secantik dulu, An." Anita belum bisa meraba ke mana muara basa-basi Irma."Persis seperti yang dikatakan Mas Taksa." Anita terkejut, wanita ini begitu pintar membuat kejutan, setelah memuji, dia akan memberi kalimat yang sukses membuat Anita bertanya-tanya."Mbak Irma mau ngomong apa sebenarnya?" tanya Anita, dia tak suka berbasa basi. Walaupun dia memiliki perasaan pada Taksa, tapi dia tak pernah berniat merebut laki-laki itu dari Irma. Taksa hanya masa lalu yang belum berhasil dia lupakan."An, kamu sudah tau, kan? Kami akan bercerai?" Ada luka di pancaran mata Irma. Anita tergagap, apa artinya dia menguping pembic
Mata tajam ayahnya seakan ingin melenyapkannya dari muka bumi. Bagi ayahnya, kehormatan dan nama baik adalah sesuatu yang sangat dijunjung tinggi di keluarga ini, dan ... Untungnya pria yang kebetulan adalah ayahnya itu memiliki jantung yang sehat, sehingga tak perlu kena serangan jantung. "Siapa?" tanya pria itu tegas. Sedangkan yang lainnya, ikut duduk di ruangan keluarga, seakan juga menunggu apa yang akan keluar dari mulut Anita. Bahkan Irma, memandangnya dengan wajah tak terbaca, sedangkan Taksa, wajahnya menegang menahan marah. Ibunya, mengusap air matanya berkali-kali."Jawab! Siapa laki-laki itu?" Suara sang Ayah menggelegar memenuhi rumah. Ibunya memejamkan mata. "Fernando," sahut Anita tegas. Ayahnya terperangah, ibunya menatapinya tajam, Irma melongo, dan Taksa mengepalkan tinjunya di atas meja."Anak kurang ajar." Ayah Anita benar-benar marah, matanya memerah."Dia ... Dia akan bertanggung jawab." Anita mengutuk kekonyolannya, bahkan. Utusan Edo pasti bisa diurus belakan
Edo melirik adiknya yang tengah menyantap ayam bakar madu, dengan porsi jumbo. Bahkan Rini tak tertarik melihat ke arah lain selain hidangan enak di depannya, bahkan segelas jus jeruk sudah tandas begitu saja. Tak pernah Edo melihat Rini makan selahap itu, dia tak peduli, dengan siapa yang tengah dihadapi abangnya, seorang wanita yang kaya dan sombong."Jadi, apa maksud Mbak meminta waktu bicara dengan saya?" tanya Edo datar, dia masih kesal dan sebal dengan wanita di depannya, yang dianggap tak bisa menghargai usaha orang lain dan berbuat seenaknya."Jadi, aku ingin buat kesepakatan denganmu.""Maaf, saya tak mau lagi berurusan dengan Anda." Edo berniat beranjak dari kursi restoran, tapi tangannya dicegah oleh Anita."Duduk dulu, ini takkan merugikanmu. Jangan pikirkan dirimu, tapi dia ...." Anita menunjuk Rini dengan matanya. Rini tengah asik memisahkan tulang ayam dengan dagingnya."Dia adik saya, bukan urusan Mbak.""Edo, dengarkan dulu! Ini kesepakatan yang menguntungkan, kau pi
Jam satu dini hari, Anita bahkan masih bersemangat. Dia tau, laki-laki muda itu sebentar lagi akan dikuasainya. Dia hanya tinggal berusaha sedikit lagi. Sangat membanggakan bisa menekan orang lain, bukankah dengan uang segalanya bisa lebih mudah?"Edo, kau mau mendengar sedikit ceritaku?"Edo tak menjawab, tapi pandangan malasnya itu masih bertahan menantang mata Anita. Anita tau, Edo kesal setengah mati padanya, tapi laki-laki itu lebih memilih untuk menahan diri."Aku terdesak, sangat terdesak. Begini," ucap Anita, dia tidak tau bagaimana cara menguraikannya pada Edo. Tapi, demi sebuah misi, Anita harus menceritakannya. Waktunya cuma tersisa malam ini, besok, dia harus berhasil membawa Edo ke hadapan ayahnya."Kau pernah jatuh cinta?""Apa maksud, Mbak? Kenapa malah masalah pribadi saya yang Mbak tanya?""Bukan, ini sebagai perbandingan, agar kau bisa memahami keadaanku, aku tak mungkin menceritakan sesuatu pada orang yang belum berpengalaman.""Tentu saja saya pernah jatuh cinta."
"A ... Apa? Pernikahan sebenarnya?" Anita tertawa remeh. Apa laki-laki muda ini sudah gila. Dia hanya butuh suami pura-pura, bukan suami sebenarnya, lagi pula, siapa dia? Edo tak seujung kukunya."Lucu ...." Anita tertawa lagi."Ya, sudah. Saya tak bisa." Edo berujar enteng, dia memang bukan pria yang taat beragama, tapi mempermainkan pernikahan tidak boleh dalam hidupnya. Bagaimanapun, pernikahan memiliki sumpah dan pernjanjian di hadapan Allah SWT."Edo, ini sangat sederhana, kau hanya perlu berpura-pura, dan semua itu pasti menguntungkanmu, kau tak perlu bekerja, tak perlu memikirkan uang, bukankah 100 juta setiap bulan adalah jumlah yang lumayan? Oh, ayolah! Pikirkan lagi.""Mbak, jangan menilai segala sesuatu dengan uang, mentang-mentang saya miskin, Mbak mau membeli hidup saya? Saya lebih baik memakan nasi basi dari pada direndahkan seperti itu." Edo mulai kesal. Dia bangkit dari duduknya."Hei, mau ke mana kamu?" Anita mencekal lengan Edo. Edo menatapnya tajam."Membangunkan Ri
Anita memandang puas wajah Edo, memang, keterampilan tangan Jenny tak perlu diragukan. Wanita muda itu pintar menggunakan gunting dan pisau cukur."Hei, jangan cermberut! Bukannya kau akan bertemu dengan calon mertuamu?" Jenny menggoda. Dia takjub dengan pria muda di depannya, Edo benar-benar tampan. Sangat tampan.Edo tak tertarik untuk menanggapi. Dia hanya memandang bosan. Sedangkan Anita bertepuk tangan."Wooow, inikah suamiku?" Anita mendekat, pujian itu terdengar seperti ejekan bagi Edo.Anita maju, menyisakan jarak sejengkal dari Edo. Dia memandang puas. "Kau tinggi sekali. Keren, aku suka pria yang tinggi.""Hati-hati dengan ucapanmu, An. Bisa saja kau benar-benar menyukai dia," sahut Jenny sambil tertawa ringan. "Menyukai Edo? Ah, itu tak mungkin, tampan saja tak cukup bagiku, aku butuh laki-laki matang.""Seperti Taksa.""Kecuali dia." Anita memutar matanya, dia duduk di sofa Jenny, sedangkan Edo masih mematung dengan wajahnya datarnya. Kesal, menjadi bahan olok-olok oleh d
"Ada beberapa hal yang harus kau ingat, mungkin kau takkan disambut baik oleh keluargaku. Tapi, sekali pun jangan tundukkan wajahmu, kau adalah calon suami Anita. Seorang pimpinan perusahaan yang disegani. Itu yang harus kau ingat.""Baik," sahut Edo."Tak perlu beramah tamah, tak perlu banyak senyum, kalau bisa tunjukkan wajah angkuh, karena keluargaku, mengukur seseorang bukan karena adab dan sikap manisnya. Tapi, uang dan kekuasaan."Edo sudah menduga, keluarga Anita sama persis dengan keluarga orang kaya lainnya. Dia hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Ini bukan pernikahan kontrak, dia takkan menganggukkan semua aturan yang Anita buat.Tak butuh waktu lama, mereka sampai di kediaman Anita. Ada beberapa orang yang telah menunggu. Ayah, ibu Anita. Seorang wanita muda berkulit hitam manis berwajah keibuan, dan satu lagi, seorang laki-laki yang menatapnya penuh penilaian."Kalian terlambat lima menit." Suara ayah Anita membahana. Edo menguasai dirinya, ini bukan lagi sandiwara, laki-
"Sah."Suara saksi menggema memenuhi ruangan khusus di rumah Anita. Wanita itu sampai memejamkan matanya, seakan ada beban berat yang tengah menghinggapinya. Tak ada yang bahagia dengan pernikahan ini, tak ada yang tersenyum kecuali Rini. Gadis itu tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Dia terlalu lugu dan polos untuk memahami situasi. Bahkan, ayah dan ibu Anita, sama sekali tak membuka suara sejak tadi pagi, Taksa menunjukkan wajah tegang, Irma setia dengan kebungkamannya. Sedangkan Edo, tak sekalipun mengeluarkan kata-kata, kecuali kalimat sakral barusan.Tak ada resepsi, tak ada foto bersama, semua murni karena pernikahan yang dianggap sebagai penutup malu. Bahkan, ibunya dan Irma yang biasanya rajin memasak makanan, sepagi ini sama sekali tak menyentuh dapur. Lantunan doa yang dilafazkan penghulu, hanya diaminkan oleh beberapa orang. Tentu saja, siapa yang bahagia dengan pernikahan siri. Pernikahan terpaksa itu, hanyalah seremonial bagi keluarga Anita. Mereka berha
Dua anak manusia itu, memandang ke arah yang sama. Hamparan biru laut yang cerah sejernih langit, deburan teratur serta aroma garam yang tercium pekat. Mereka memutuskan untuk berhenti sebentar mendinginkan kepala yang panas. Setidaknya bisa bernafas dengan bebas setelah menahan hati selama diintrogasi.Anita masih dengan gaun merahnya, rambut yang disanggul tadi pagi sudah tak berbentuk. Sebagian masih berada di posisinya dan sebagian lagi telah lepas dari ikatannya. Besok? Mereka akan menikah besok, bukankah ini terlalu cepat? Bahkan Anita tak menduga akan secepat ini, dalam prediksinya, dia akan menikah dengan Edo, paling cepat dua Minggu lagi. Keputusan ayahnya membuat mereka syok."Besok kita akan menikah," kata Anita membuka percakapan. Ada senyum getir di bibirnya. Matanya memandang ke samping, pada Edo yang masih menampakkan wajah datar. Laki-laki itu sepertinya masih tersinggung dengan perkataan ayahnya. Dia dikatai seorang penipu, apa yang lebih kasar dari kata seorang peni
"Ada beberapa hal yang harus kau ingat, mungkin kau takkan disambut baik oleh keluargaku. Tapi, sekali pun jangan tundukkan wajahmu, kau adalah calon suami Anita. Seorang pimpinan perusahaan yang disegani. Itu yang harus kau ingat.""Baik," sahut Edo."Tak perlu beramah tamah, tak perlu banyak senyum, kalau bisa tunjukkan wajah angkuh, karena keluargaku, mengukur seseorang bukan karena adab dan sikap manisnya. Tapi, uang dan kekuasaan."Edo sudah menduga, keluarga Anita sama persis dengan keluarga orang kaya lainnya. Dia hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Ini bukan pernikahan kontrak, dia takkan menganggukkan semua aturan yang Anita buat.Tak butuh waktu lama, mereka sampai di kediaman Anita. Ada beberapa orang yang telah menunggu. Ayah, ibu Anita. Seorang wanita muda berkulit hitam manis berwajah keibuan, dan satu lagi, seorang laki-laki yang menatapnya penuh penilaian."Kalian terlambat lima menit." Suara ayah Anita membahana. Edo menguasai dirinya, ini bukan lagi sandiwara, laki-
Anita memandang puas wajah Edo, memang, keterampilan tangan Jenny tak perlu diragukan. Wanita muda itu pintar menggunakan gunting dan pisau cukur."Hei, jangan cermberut! Bukannya kau akan bertemu dengan calon mertuamu?" Jenny menggoda. Dia takjub dengan pria muda di depannya, Edo benar-benar tampan. Sangat tampan.Edo tak tertarik untuk menanggapi. Dia hanya memandang bosan. Sedangkan Anita bertepuk tangan."Wooow, inikah suamiku?" Anita mendekat, pujian itu terdengar seperti ejekan bagi Edo.Anita maju, menyisakan jarak sejengkal dari Edo. Dia memandang puas. "Kau tinggi sekali. Keren, aku suka pria yang tinggi.""Hati-hati dengan ucapanmu, An. Bisa saja kau benar-benar menyukai dia," sahut Jenny sambil tertawa ringan. "Menyukai Edo? Ah, itu tak mungkin, tampan saja tak cukup bagiku, aku butuh laki-laki matang.""Seperti Taksa.""Kecuali dia." Anita memutar matanya, dia duduk di sofa Jenny, sedangkan Edo masih mematung dengan wajahnya datarnya. Kesal, menjadi bahan olok-olok oleh d
"A ... Apa? Pernikahan sebenarnya?" Anita tertawa remeh. Apa laki-laki muda ini sudah gila. Dia hanya butuh suami pura-pura, bukan suami sebenarnya, lagi pula, siapa dia? Edo tak seujung kukunya."Lucu ...." Anita tertawa lagi."Ya, sudah. Saya tak bisa." Edo berujar enteng, dia memang bukan pria yang taat beragama, tapi mempermainkan pernikahan tidak boleh dalam hidupnya. Bagaimanapun, pernikahan memiliki sumpah dan pernjanjian di hadapan Allah SWT."Edo, ini sangat sederhana, kau hanya perlu berpura-pura, dan semua itu pasti menguntungkanmu, kau tak perlu bekerja, tak perlu memikirkan uang, bukankah 100 juta setiap bulan adalah jumlah yang lumayan? Oh, ayolah! Pikirkan lagi.""Mbak, jangan menilai segala sesuatu dengan uang, mentang-mentang saya miskin, Mbak mau membeli hidup saya? Saya lebih baik memakan nasi basi dari pada direndahkan seperti itu." Edo mulai kesal. Dia bangkit dari duduknya."Hei, mau ke mana kamu?" Anita mencekal lengan Edo. Edo menatapnya tajam."Membangunkan Ri
Jam satu dini hari, Anita bahkan masih bersemangat. Dia tau, laki-laki muda itu sebentar lagi akan dikuasainya. Dia hanya tinggal berusaha sedikit lagi. Sangat membanggakan bisa menekan orang lain, bukankah dengan uang segalanya bisa lebih mudah?"Edo, kau mau mendengar sedikit ceritaku?"Edo tak menjawab, tapi pandangan malasnya itu masih bertahan menantang mata Anita. Anita tau, Edo kesal setengah mati padanya, tapi laki-laki itu lebih memilih untuk menahan diri."Aku terdesak, sangat terdesak. Begini," ucap Anita, dia tidak tau bagaimana cara menguraikannya pada Edo. Tapi, demi sebuah misi, Anita harus menceritakannya. Waktunya cuma tersisa malam ini, besok, dia harus berhasil membawa Edo ke hadapan ayahnya."Kau pernah jatuh cinta?""Apa maksud, Mbak? Kenapa malah masalah pribadi saya yang Mbak tanya?""Bukan, ini sebagai perbandingan, agar kau bisa memahami keadaanku, aku tak mungkin menceritakan sesuatu pada orang yang belum berpengalaman.""Tentu saja saya pernah jatuh cinta."
Edo melirik adiknya yang tengah menyantap ayam bakar madu, dengan porsi jumbo. Bahkan Rini tak tertarik melihat ke arah lain selain hidangan enak di depannya, bahkan segelas jus jeruk sudah tandas begitu saja. Tak pernah Edo melihat Rini makan selahap itu, dia tak peduli, dengan siapa yang tengah dihadapi abangnya, seorang wanita yang kaya dan sombong."Jadi, apa maksud Mbak meminta waktu bicara dengan saya?" tanya Edo datar, dia masih kesal dan sebal dengan wanita di depannya, yang dianggap tak bisa menghargai usaha orang lain dan berbuat seenaknya."Jadi, aku ingin buat kesepakatan denganmu.""Maaf, saya tak mau lagi berurusan dengan Anda." Edo berniat beranjak dari kursi restoran, tapi tangannya dicegah oleh Anita."Duduk dulu, ini takkan merugikanmu. Jangan pikirkan dirimu, tapi dia ...." Anita menunjuk Rini dengan matanya. Rini tengah asik memisahkan tulang ayam dengan dagingnya."Dia adik saya, bukan urusan Mbak.""Edo, dengarkan dulu! Ini kesepakatan yang menguntungkan, kau pi
Mata tajam ayahnya seakan ingin melenyapkannya dari muka bumi. Bagi ayahnya, kehormatan dan nama baik adalah sesuatu yang sangat dijunjung tinggi di keluarga ini, dan ... Untungnya pria yang kebetulan adalah ayahnya itu memiliki jantung yang sehat, sehingga tak perlu kena serangan jantung. "Siapa?" tanya pria itu tegas. Sedangkan yang lainnya, ikut duduk di ruangan keluarga, seakan juga menunggu apa yang akan keluar dari mulut Anita. Bahkan Irma, memandangnya dengan wajah tak terbaca, sedangkan Taksa, wajahnya menegang menahan marah. Ibunya, mengusap air matanya berkali-kali."Jawab! Siapa laki-laki itu?" Suara sang Ayah menggelegar memenuhi rumah. Ibunya memejamkan mata. "Fernando," sahut Anita tegas. Ayahnya terperangah, ibunya menatapinya tajam, Irma melongo, dan Taksa mengepalkan tinjunya di atas meja."Anak kurang ajar." Ayah Anita benar-benar marah, matanya memerah."Dia ... Dia akan bertanggung jawab." Anita mengutuk kekonyolannya, bahkan. Utusan Edo pasti bisa diurus belakan
"Boleh aku masuk?" Suara lembut itu menyentak Anita, Irma tengah berada di ambang pintu kamarnya dengan wajah yang sulit diartikan. Tiba-tiba perasaan Anita menjadi tak enak. Tak biasanya Irma ingin bicara langsung dengannya, mereka tak sedekat itu."Silahkan! Mbak," sahut Anita. Irma berjalan sungkan, lalu duduk di sofa panjang yang menghadap ke televisi."Kamu masih secantik dulu, An." Anita belum bisa meraba ke mana muara basa-basi Irma."Persis seperti yang dikatakan Mas Taksa." Anita terkejut, wanita ini begitu pintar membuat kejutan, setelah memuji, dia akan memberi kalimat yang sukses membuat Anita bertanya-tanya."Mbak Irma mau ngomong apa sebenarnya?" tanya Anita, dia tak suka berbasa basi. Walaupun dia memiliki perasaan pada Taksa, tapi dia tak pernah berniat merebut laki-laki itu dari Irma. Taksa hanya masa lalu yang belum berhasil dia lupakan."An, kamu sudah tau, kan? Kami akan bercerai?" Ada luka di pancaran mata Irma. Anita tergagap, apa artinya dia menguping pembic