"Nggak mau," teriakku memberontak. Sementara Adelio menggeleng. "Gue cuma ngajak lo makan di bawah," kata Adelio pada akhirnya terkekeh. Aku terdiam mengetahui apa Adelio maksud tadi, jujur aku malu karena pikiran otakku terlalu terjauh. "Emang lo mikirnya gue ngajak ke mana?" tanya Adelio memperhatikan diriku. Dengan senyum ragu, aku menggaruk tengkuk. Adelio mencubit pipiku dengan gemas. "Kalo mau sekarang, bisa kok kita buat yang menggemaskan," sambung Adelio menyeramkan. Aku melotot karena perkataan Adelio barusan, aku menabok lengannya. "Sembarangan, kita masih sekolah ini aja bentar lagi ulangan loh!" kesalku di mana Adelio hanya cengengesan. "Dahlah, ayo kita ke bawah aja kalo gitu," ajakku kini menariknya. Bahkan, orang-orang di rumah sudah berada di bawah hanya kami berdua baru turun. "Duh, kalian ngapain di atas ya? Kok lama banget," sindir Bunda Delyna tersenyum amat manis. Jujur aku jadinya agak gimana, karena pasti mengira kejauhan seperti aku barusan. "Biasa
"Dasar berandalan! Lihat nih, baju gue basah gara-gara lo!" Aku, Ranesya Adipurna, kelas 11 MIPA 1 di SMA Angkasa Jaya Aku siswi teladan dan tercantik di sekolah. Usiaku 17 tahun. Rambutku lurus sebahu dan berwarna hitam kemilau. Kata orang, penampilan yang rapi dapat memberikan kesan positif dan meningkatkan rasa percaya diri. Makanya, aku kesal saat bajuku basah gara-gara siswa berandalan itu menumpahkan minumannya. Siswa berandalan itu namanya Adelio Andres. Dia hobi membuat masalah. Dia tidak tahu aturan dan tidak punya tata krama. Pokoknya, Adelio adalah cowok menyebalkan yang pernah aku temui di sekolah. Adelio menatapku tanpa ekspresi. Sepertinya, dia ingin mengatakan sesuatu padaku. Aku yakin, dia pasti mau minta maaf. Aku pun menyeringai. Terlintas ide di benakku. Aku berniat untuk tidak akan memaafkannya dengan mudah. "Siapa suruh lo jalan nggak pake mata?!" Aku berhenti memainkan poni, lalu melototi Adelio. Suasana kantin kembali memanas. Siswa dan siswi berdiri
Aku pulang dengan perasaan jengkel, mengingat aku dihukum karena ulah Adelio!"Nggak akan lagi gue ketemu dia! Nggak akan pernah!" gerutuku memasuki rumah, namun ada kedua orang tuaku di depan pintu. Kedua orang tuaku bernama Guntur Adipurna dan Cahaya Amerta. Aku menghampiri mereka terlihat wajah tegang. "Kalian kenapa, kok keliatan ada sesuatu disembunyikan?" tanyaku memeluk Papa Guntur dari samping. Papa Guntur mengelus rambutku lembut. "Nggak ada kok sayang, kenapa berpikir seperti itu?"Aku menggeleng saja tanpa mau menjawab. "Kebetulan Papa mau bilang sesuatu," ucap Papa Guntur menghela napas panjang. Sementara aku melirik Mama Cahaya yang tidak berkata-kata tapi raut wajahnya sendu. "Sebelumnya Papa minta maaf sama kamu, apakah kamu mau menikah dengan Adelio Andres?" ucap Papa Guntur, beda denganku langsung melepaskan pelukan Papaku. Aku menganga tidak percaya kejadian ini. "Maksud Papa apa?" "Perusahaan kita tertimpa masalah sayang, Papa minta bantuan dengan keluarga A
Selesai makan, bukannya pulang berlanjut membahas pernikahan. Aku hanya tersenyum terpaksa karena selalu di tanya-tanya tentang Adelio. Aaaa, aku tidak kuat di sini. Di ruang tamu, aku duduk bersebelahan dengan Adelio. Orang tua masih mencocokkan tanggal yang pas. Aku dibuat kesal karena Adelio selalu jahil kepadaku. Adelio mengangkat kakinya mengarah ke diriku. Aku melirik tajam Adelio, bukan diturunkan Adelio mengenai Dress ku. Kepalaku mendekat ke telinganya. "Seumur hidup, gue paling benci sama lo." Adelio sedikit mengundurkan tubuhnya. "Dan seumur hidup lo, bakal selalu sama gue," jawabnya tersenyum manis. Kepalaku mendidih sampai aku menggertakkan gigi karena geram. Orang tua tanpa sengaja melirik aku dan Adelio terlihat romantis. "Aduh, belum nikah udah akrab aja," kata Bunda Delyna tersenyum lebar melihat keharmonisan kami. Mama Cahaya mengangguk setuju. "Ini namanya menjalin hubungan bersama."Aku dan Adelio menoleh, semua orang menatap kami dengan kondisi minim. Aku
Aku menutupi telingaku dengan bantal, suara ketukan pintu berkali-kali menganggu tidurku. “Berisik!” teriakku menghela napas berat. Suara pintu terdengar kembali, Mama Cahaya berteriak, “Sayang, bangun mau sekolah. Nanti kamu telat.”Mataku yang tadi terpejam langsung melotot melirik jam di nakas masih 06.20, astaga Mama! Aku kira sudah 07.40 pasti aku akan dihukum Ibu Aini jika telat. “Iya Ma!” seruku dengan langkah malas-malasan ke kamar mandi. Sekitar 20 menit, aku keluar dengan seragam sekolah. Aku mengambil kaca melihat mataku yang bengkak. “Jelek banget lagi,” kataku khawatir, takut jika penggemarku melihat kecantikan bidadari ini pudar. Aku memberi bedak biar tidak terlalu kentara, jika malam tadi aku menangis. Setelah selesai, aku mengambil tas keluar dari kamar dengan bahagia. Melupakan kejadian malam tadi sesaat. Namun, saat sampai di meja makan mataku melotot tidak percaya. Apa-apaan ini kenapa ketemu dia lagi? Adelio?!“Lo ngapain ke rumah gue!” sesalku menatap Ade
“Duh, bau banget lagi,” gerutuku membersihkan wc perempuan. Sebelumnya, aku dan Adelio sudah berlomba memasuki wc siswa siswi. Aku sudah menasehati, supaya tidak membersihkan wc perempuan. Namun, Adelio enggan mendengarkan aku. Tidak lama terdengar, suara keributan dari luar.“Aaaaa, ihh mesum banget sih!”“Ngapain di siniii!”Aku pun membuka pintu wc yang aku bersihkan. Aku menganga lebar, terdapat Adelio dipukul-pukul dua siswi. Aku tertawa terbahak-bahak, karena Adelio menderita di sana, namun Adelio berhenti di depanku. “Udah dong, gue Cuma disuruh doang sama Ranesya,” tunjuk Adelio ke arahku. Dua siswi itu berhenti memukuli Adelio, beralih mendekatiku. Sementara Adelio menjulurkan lidahnya, hendak pergi meninggalkan aku sendiri. “Adelio, lo mau kemana!” Aku ingin mengejar, namun ditarik dua siswi itu. “Ranesya, ini ternyata sifat asli lo yang suka cari perhatian ke guru,” kata Hani menghalangiku. Anggita memberi tatapan sinis kepadaku. “Siswi pintar katanya, tapi bersihin
Sebulan kemudian, tepat hari minggu biasanya untuk bersantai bersama keluarga. Berbeda dengan aku yang harus bangun pagi hanya untuk berhias. Waktu tidurku terganggu!Aku menguap, selagi orang rias memberi bedak di wajahku, sedikit lagi selesai dan aku benar-benar membenci hari ini. Pernikahan yang tidak pernah aku harapkan! Sialnya aku menikah dengan seorang berandal sekolah. “Mbak, udah selesai?” Mama Cahaya menghampiriku, mengusap kepalaku dengan lembut. Tukang rias itu mengangguk pergi dari hadapanku. Aku menghindari tatapan Mama Cahaya, aku tau jika ini semua untuk perusahaan. Tapi kenapa harus aku jadi korban yang diinginkan keluarga Andres? Mama Cahaya menyadari aku yang berbeda, mencangkup pipiku. “Sayang, maafin Mama. Nggak bisa bantu apa-apa,” ucap Mama Cahaya sendu. Aku geleng-geleng, tidak mau terlihat rapuh. “Ranesya? Kamu kenapa?” Mama Cahaya panik, melihat tetesan air mataku jatuh.Aku tidak menjawab, mulutku terasa kelu untuk berucap. Perasaanku tidak karuan, tid
“Tante, Om aku pergi dulu,” pamitku mencium punggung tangan mereka. Bunda Delyna menatapku dalam. “Sayang, panggil Ayah sama Bunda aja. Kita udah jadi keluarga kamu,” pintanya, tersenyum lembut mengusap kepalaku. Aku membalas senyumannya sambil menggaruk tengkukku. “Iya Bunda,” balasku berhadapan keduanya di meja makan. “Kamu nggak bareng Adelio?” Ayah Liam bersuara, mencari-cari keberadaan Adelio.Aku berdeham pelan. “Adelio susah dibangunin,” kilaku padahal aslinya. Aku sama sekali tidak membangunkannya. Pagi sekali, aku bangun begitu kaget karena ada Adelio di sampingku. Untungnya aku tidak berteriak, sehingga aku langsung mempersiapkan diri ke sekolah. Aku marah sekali dengan mereka, karena sudah menikahkan aku dengan berandalan seperti Adelio. Aku mengingat saat surat panggilan itu, aku tidak sama sekali ke BK menemui orang tuaku. Aku pergi menggunakan mobil bersama Pak Danang, sopir pribadi keluarga Andres. Diperjalanan aku hanya diam tanpa menyahuti ocehan Pak Danang, se
"Nggak mau," teriakku memberontak. Sementara Adelio menggeleng. "Gue cuma ngajak lo makan di bawah," kata Adelio pada akhirnya terkekeh. Aku terdiam mengetahui apa Adelio maksud tadi, jujur aku malu karena pikiran otakku terlalu terjauh. "Emang lo mikirnya gue ngajak ke mana?" tanya Adelio memperhatikan diriku. Dengan senyum ragu, aku menggaruk tengkuk. Adelio mencubit pipiku dengan gemas. "Kalo mau sekarang, bisa kok kita buat yang menggemaskan," sambung Adelio menyeramkan. Aku melotot karena perkataan Adelio barusan, aku menabok lengannya. "Sembarangan, kita masih sekolah ini aja bentar lagi ulangan loh!" kesalku di mana Adelio hanya cengengesan. "Dahlah, ayo kita ke bawah aja kalo gitu," ajakku kini menariknya. Bahkan, orang-orang di rumah sudah berada di bawah hanya kami berdua baru turun. "Duh, kalian ngapain di atas ya? Kok lama banget," sindir Bunda Delyna tersenyum amat manis. Jujur aku jadinya agak gimana, karena pasti mengira kejauhan seperti aku barusan. "Biasa
Tamparan keras mengenai pipi Adelio, aku saja langsung menganga lebar. Tanpa peduli, ada beberapa orang di sini termasuk Angga dan Pasya tidak ikut campur. Aku hanya melirik Ayah Liam terliat biasa saja. "Tanggung jawab kamu harus jaga Ranesya! Kenapa masih aja lalai hah?" hardik Bunda Delyna berkacak pinggang. Adelio melirikku masih terkaget, bukannya kesal Adelio terkekeh kecil seolah tidak terjadi apa-apa. "Bunda, aku udah ngelakuin banyak hal sampai nih muka bonyok tau. Nih liat luka karena ngelawan orang gila," rengek Adelio memberitahukan kondisinya. Awalnya memang marah, hanya saat mengetahui apa yang terjadi. Bunda Delyna menarik tangan Adelio. Wajahnya begitu khawatir, bahkan mendorong Adelio perlahan untuk duduk. Mengambil kotak obat untuk membersihkan luka. "Kenapa bisa sampai kayak gini?" kata Bunda Delyna mengambil betadine, kasa dan alkohol. Sebelumnya, Bunda Delyna sudah membersihkan menggunakan alkohol biar tidak terjadi infeksi. Bagaimana tidak khawatir? Tang
Adelio hanya terkekeh mendorong tubuh Rayyen mengenai dinding, aku rasanya jantungan karena perilaku Adelio barusan. "Takutkan lo, tangan berharga lo mau gue patahin?" tanya Adelio senyum penuh arti. Sementara Rayyen meringis terduduk di lantai tanpa menjawab, Adelio langsung menghampiri melepaskan ikatan tangan maupun kakiku. "Kondisi lo, gimana? Apa orgil itu ngelakuin sesuatu?" Adelio bertanya dengan nada khawatir. Aku tidak menjawab, sampai Adelio melihat telapak tangan yang aku sembunyikan. Adelio langsung menoleh ke Rayyen yang masih menahan perih. "Sakit?" tanya Adelio kepadaku yang tidak menjawab. Tanpa perkataan lagi, Adelio mendekati Rayyen dan menatap tajam cowok yang kini menatap balik Adelio. Dengan perasaan senang aku rasakan, saat melihat Adelio menendang Rayyen begitu brutal. "Berani banget lo, nyakiti cewek gue," geram Adelio apalagi suara gertakan giginya itu. Aku tidak tau lagi soal ini, reaksinya berbeda dan aku bisa merasakan kemarahan Adelio. "Haha, dia
Aku menatap sinis orang disamping, aku menabok kepalanya begitu kuat. Sampai cowok itu seakan marah. "Ngelunjak ya lo," kata cowok itu mengeluarkan sapu tangan. Aku tidak tau apa yang akan dilakukannya, hingga aku kaget hidungku ditutupinya. Diri ini sudah meronta-ronta, biar terlepas dari bekapannya. Namun, rasa pusing di kepalaku tidak bisa dihindarkan. "Lo terlalu berisik," lanjut cowok itu dengan tato di tangan. Please, jangan sampai mataku tertutup namun diri ini sudah tidak tahan. Hanya kata terakhir aku dengar dari cowok itu adalah ...."Cukup lo jadi jalang kecil yang baik, jangan sampai Bos jadi harimau galak yang menerkam diri lo," katanya seolah memberikan aku kode. Tidak tau beberapa lama aku pingsan, namun saat aku bangun sudah berada di sebuah kamar begitu luas. Tangan dan kakiku di ikat setiap sisi kasur, asli aku ketakutan gara-gara hal begini. "Eh, lepasin gue. Siapapun itu!" teriakku meronta-ronta. Jujur ini mengerikan yang aku rasakan, sebenarnya ini lebih
Siswi kelas 10 terdiam apalagi perkataan Adelio begitu menyelekit mengatai mereka orang gila. Aku ingin tertawa keras, ekspresi mereka seperti malu sendiri. Apa ini namanya terlalu berlebihan sehingga orang lain ketakutan. "Pak, aku mau ke kelas aja kalo gini," kata Adelio ke Pak Hendra yang mengangguk. Adelio langsung menarik tanganku, di mana aku menoleh kebelakang dan menjulurkan ke semua siswi kelas 10. "Gue dong tanpa mengejar udah dapetin Adelio," ledekku seketika wajah mereka pada masam. Asli aku ingin tertawa, mengingat aku harus menjaga image. Jadi aku hanya bisa terkekeh kecil. Kami meninggalkan lapangan, melewati lorong hanya kali ini cukup sial. Kenapa harus bertemu Rayyen?"Ran, sama gue aja sih entar lo bahagia," kata Rayyen menyenderkan diri di dinding. Aku melirik bersama Adelio, kami berhenti di depannya. Adelio melepaskan genggaman tangannya dariku. "Sadar diri, lo nggak selevel sama gue," kata Adelio menatap tajam Rayyen. Di sana juga sepi, tidak ada orang
Adelio menatap begitu dalam hingga akhirnya, Adelio menutup mulut Zara dengan senyum miring. "Jangan gila lo, gue nggak akan balikan sama cewek murahan kayak lo." Adelio mendorong Zara menjauh, aku tidak percaya. Aku kira Adelio akan menerima dengan senang hati, ternyata Adelio hanya mempermalukan Zara saja. Adelio langsung menoleh ke arahku, apa dia sadar ada diriku dari tadi? "Nyariin gue ya?" tanya Adelio mendekat, merangkul diriku. Aku hanya mengangguk kaku, tidak ingin mengingat kejadian tadi. Asli, aku sudah ingin mencekik Adelio maupun Zara tadi. "Jangan dipikirin, gue nggak akan nerima Zara. Dia hanyalah masa lalu," papar Adelio melirik Zara yang terdiam. "Kamu nggak inget masa di mana kita sama-sama sayang?" tanya Zara berusaha membuat Adelio berbalik arah. Adelio hanya terkekeh pelan. "Dulu sama sekarang beda, gue dulu emang sayang lo, namun sekarang yang terakhir gue sayang cuma Ranesya." "Aku masih sayang kamu Adelio," teriak Zara prustasi. Di sa
Pagi sekali, berita menghebohkan datang dari Tasya di mana merebut suami orang. Aduh, aku sampai tidak habis pikir. Ternyata Zara dan Tasya sama saja, apa jangan-jangan Trisya juga begitu?"Gila tuh sampai viral beritanya, Tasya juga sekarang lagi di rumah Pak RT kalo kata anak kelas 10 dekat rumahnya," seru Gita menatap aku dan Vivian. Bahkan, Vivian mengangguk setuju dan di sini aku hanya bisa heran. Jika soal gosip mereka ada saja pembahasannya. "Di Toktok juga kan? Masa Tasya selingkuh di depan Istri sahnya tau," timpal Vivian seakan mulutnya berbusa. Aku juga melihatnya seperti itu, belum lagi lawannya Gita. Sudah sangat tidak bisa dipisahkan ini. "Astaga, gue sih malu ya," sahut Gita menggeleng kepala tidak percaya. Saat kami sedang merumpi, datangnya Zara merangkul tasnya itu. "Aduh, temennya kena masalah kok nggak bantuin sih?" sindir Gita melirik Zara menoleh ke arah kami. "Kenapa emangnya? Lo kok ngurusin hidup orang," sahut Zara mendekat berkacak pinggang. Gita ter
Kini aku diajak Adelio ke rumah keluarganya, karena perintah Bunda Delyna. Ada apa di sana sehingga aku harus ikut juga. "Sayang, kamu datang juga akhirnya. Bunda kangen sama kamu," kata Bunda Delyna memelukku erat. Aku terkekeh membalas pelukannya. "Aku juga kangen Bunda."Sementara Adelio disamping, aku sempat meliriknya yang sekedap dada dengan mata menyipit dan bibir cemberut. "Anaknya dilupain nih?" sindir Adelio, di mana Bunda Delyna menoleh ke Adelio. Aku melepaskan pelukan, memperhatikan keduanya yang terlihat sangat mirip. Wajah ganteng Adelio mirip dengan Bunda Delyna, dan benar saja memang plek-ketiplek 100% Bunda Delyna. "Emang kamu anak siapa?" Bunda Delyna bertanya dengan tatapan malas. Jujur ini sangat lucu, bahkan Bunda Delyna berani memarahi Adelio di depanku."Udah ada mantu, anaknya dilupain dih," kata Adelio memandangi wajah Bunda Delyna. "Iri ya, nggak bisa kayak Istri kamu? Soalnya Ranesya juga perhatian dan nggak sebandel kamu," papar Bunda Delyna menari
Hari minggu yang ditunggu-tunggu, aku sedang lari pagi bersama Adelio. Kami menikmati keindahan yang tidak ada duanya. Hanya tidak ada angin, tidak ada hujan, kami bertemu Gita dan Vivian ternyata berada di taman yang sama dengan kami. "Mereka samperin kita," kata Adelio melirikku dari samping. Aku hanya mengangguk, ya gimana lagi toh. Gilanya Gita langsung memelukku begitu erat. "Maafin Kakak gue ya?" kata Gita merasa bersalah dari raut wajah. Aku hanya berdeham mengingat perilaku bejat Ghifari, gila banget asli. Dia begitu kepadaku loh. Siapa sih yang terima diperlakukan tidak layak, apalagi di rumah sakit untungnya aku mengajak Adelio. Kalo tidak, bagaimana nasibku?"Lo masih marah?" Gita bertanya penuh harap. "Masih, cuma sama Ghifari doang, sama lo nggak kok," jawabku tersenyum membalas pelukannya. Adelio bersedekap dada dengan decakan kesal, apa dia tidak suka aku begini?Aku menatapnya berada di depanku, pasti dia kesal dengan para perempuan seperti kami. "Kenapa lo?"