"Adelio, cepetan!" teriakku, astaga bentar lagi telat ini. Aku mulai terbiasa dengan Adelio. Walau tingkahnya, di luar nurul. Tidak aku sangka, sifat dewasanya membuatku nyaman kepadanya. Diperjalanan ke sekolah, tiba-tiba saja ada yang memberhentikan kami. Seorang anak kecil dengan sebuah bungkus mainan. "Kak, beli ya?" Anak kecil itu, menyodorkan beberapa mainan lucu. Aku sedikit takut, karena anak kecil itu menghadang, untungnya Adelio bisa mengerem. Wajahnya terlihat pucat. Aku tidak tega, jika tidak membelinya. Aku melirik Adelio mengangguk. "Kakak beli dua ya!" ucapku, memberikan uang berwarna merah. Aku tersenyum karena anak kecil itu sangat bahagia, dia pun ingin memberi uang kembalian kepadaku. "Ambil aja, buat Adek," jawabku menolak, seketika dia terlihat bahagia. "Serius buat aku Kak?" tanyanya, aku tersenyum kecil dan mengangguk. Anak kecil itu kegirangan sambil loncat-loncat. Kami pergi dari sana, aku memperhatikan mobil-mobilan kecil dengan bentukan lucu. Aku
"Bentar, tunggu gue!" teriakku, mengejar Adelio. Kami akan menuju bioskop. Awalnya, aku mengajak kedua sahabatku. Adelio yang tidak terima, marah dan ngambek. Aku menghela napas jika mengingatnya, kali ini dia mengejekku karena lamban. "Kaki lo harus dipanjangin lagi," ledeknya, tertawa kecil, dan banyak orang melihat kami. Aku berdecak kesal. "Lo aja yang ketinggian!" teriakku, mendekatinya berhenti di depanku. Saat sampai di tempatnya, Adelio memesan film romantis. Karena aku sudah memberitahu, tidak ingin menonton film horor. Di dalam juga, aku memakan popcorn yang dibeli sebelumnya. Aku mulai menonton, merasa bahagia. Uhh, apalagi adegan mereka saling berantem, satu sama lain. Mengingatku pertama kali bertemu Adelio. "Kek kita," bisik Adelio di telinga, aku tersenyum samar. Arghh! Apaan sih dia, kan aku jadi salah tingkah sendiri. Aku tidak menyangka, jika sekarang saling menyukai. "Gue tau," balasku, menatapnya lembut. Adelio terkekeh, mengusap kepalaku. Aslinya, dulu
Pagi harinya, suasana yang cerah. Aku ingin berangkat, ditahan oleh Adelio. Mengajakku untuk sarapan dahulu. Aku sangat tidak menyangka, jika Adelio sempat memasakan makanan untukku. Inipun ada 2 bekal, dia begitu perhatian denganku. Nasi goreng dengan susu, perpaduan luar biasa enaknya. "Nih, lo makan yang banyak ya!" pinta Adelio, memberikan beberapa sendok nasi goreng ke piringku. Aku mengangguk semangat. "Makasih! Lo juga ya?" balasku, Adelio terpaku dengan perkataanku. Apa yang salah? Tidak apa bukan, jika aku perhatian dengannya? Adelio seperti, kehilangan akal senyum sendiri. "Adelio, lo kenapa? Gapapakan?" Aku panik memegang dahinya, please dia belum sadar. Aku jadinya sedikit ketakutan, nanti dia kesurupan bagaimana? Aku menabok pipinya, biar sadar. Aku berdiri mendekatinya. "Adelio!" pekikku, tepat di telinganya. Akhirnya, Adelio baru sadar. Menoleh ke arahku yang sedang menatap kesal Adelio. "Lo kenapa sih?" Aku menepuk pipinya, Adelio tersenyum lebar. Tidak aku
"Aku minta maaf, kalo aku sering bandel. Nggak bisa dengerin omongan, aku juga ingin berubah untuk kalian. Aku tau umur segini, seharusnya aku belajar tapi—" jeda Adelio melirikku. Dengan tatapan saling beradu, aku mengangguk membuatnya. Dia mengungkapkan semuanya. Aku yakin Adelio, pasti bisa!"Aku bandel, suka tawuran dan buat kalian pusing. Aku bakal belajar lebih giat lagi, biar Ayah bangga dengan aku. Terutama Mama, makasih sudah melahirkan aku di keluarga ini," papar Adelio, menunduk dalam. Bunda Delyna, mengusap pipinya basah. Pasti bangga, mempunyai anak seperti Adelio. "Sayang, kamu serius? Siapa yang buat kamu, mengubah pikiran kamu begini?" Bunda Delyna mendekat, memeluk Adelio penuh kasih sayang. Ayah Liam, tersenyum kecil meminum air mineralnya. "Ranesya, dia selalu ngasih tau aku yang baik. Karena nggak selamanya aku seperti ini, aku pasti akan memimpin tanggung jawab besar di perusahaan," ungkap Adelio, kedua orang tuanya langsung tersenyum lebar. "Sayang, makasih
Aku sudah di depan pintu Adelio, mengetuk berkali-kali. Sungguh, aku tidak melakukan perbuatan seperti itu. Aku menghela napas panjang, terasa lelah begitu lama menunggu. Pintu terbuka, tapi Adelio menggeserku. Tanpa bicara apa-apa, dia pergi tanpa mendengar panggilanku. "Adelio!" Kejarku, Adelio tidak menoleh sama sekali. Menaiki motornya, ingin pergi. Aku dengan secepat mungkin memberhentikannya. Adelio menoleh ke belakang. "Lepas! Gue mau ke sekolah," kesal Adelio, menatap datar diriku. "Gue mau jelasin, itu beneran bukan gue Adelio," kataku, sepertinya Adelio tidak peduli kejujuranku. Dia hanya percaya foto yang dia liat di hp, aku sangat prustasi dengan tingkahnya itu. "Gue bilang lepas! Jangan pegang motor gue." Adelio melirik tajam ke diriku, aku merasa Adelio marah. Langsung melepaskan motornya Adelio langsung meluncur pergi, meninggalkan aku sendiri membeku. Dengan langkah lunglai, menaiki mobil di garasi. Aku pergi ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Saat samp
"Stop! Kalian nggak boleh bully Ranesya!" teriak Jean, menghampiri dan melindungiku. Aku tidak habis pikir, walau semua orang berkata aku hina. Jean membelaku. "Gue emang kecewa sama lo, tapi lo tetap Adek gue," kata Jean, aku terpaku padanya. Jean menghadang untuk Trisya dan Tasya tidak melakukan hal lebih. Aku terdiam menahan tangis. "Lo masih lindungi dia? Ingat Jean, dia cewek murahan. Bisa-bisanya pelukan sama orang, apa dia suka sama Om?" tuduh Trisya, mereka semua tertawa. Tasya mengangguk, menatapku dari bawah ke atas. "Apa dia pintar karena duit Om-om?" Tasya makin menghinaku, Jean mendengar itu mengepalkan tangan tidak terima. "Dengerin gue, lo berdua lebih hina dari Adek gue! Lo manusia licik dengan mulut jelek lo itu," ejek Jean, keduanya menggeram marah. Aku ditarik Jean, menjauh dari kantin. Aku hanya mengikuti langkahnya. Sampai taman belakang, aku menunduk dalam karena merasa tidak pantas dengan semua ini. Jean mengangkat daguku. "Kalo lo emang nggak salah, b
Malam harinya, aku duduk di kamar sendiri. Memikirkan, apa Bastian akan menemukan buktinya?Huh! Aku merasa lelah dengan semuanya, aku keluar kamar tidak ada Adelio. Karena terasa panas, aku ke teras. "Adelio?" gumamku, kali ini dia merokok dengan asap mengepul. Seolah menyadari diriku, dia menoleh, tatapan sangat dingin. Aku sangat sedih, dia berbeda dari biasanya. "Lo ngapain ke sini?!" hardik Adelio, berdiri, dan memilih untuk masuk. Aku menahan tangannya. "Gue mau jelasin, itu cuma editan Adelio.""Nggak usah banyak alasan, gue tau lo semurah itu," hina Adelio, aku mendengar ucapannya, langsung melepaskan cengkraman tangan Adelio. "Sehina itu gue di mata lo sekarang Adelio?" kataku, duduk sendiri menatap malam yang gelap. Siapa sih yang ingin menghancurkan, reputasiku seperti ini? Jelas-jelas, aku tidak pernah bermasalah dengan orang. Kecuali, jika mereka mengangguku terlebih dahulu. Aku sangat lesu, tidak ada semangat lagi. "Semoga gue bisa kuat, hadapi semua ini," kataku
"Lah, serius sekarang?"Aku membaca pesan dari Bastian, jika nanti dia akan menjemputku. Bukan itu masalahnya, kami baru pulang sekolah. Tapi Bastian ingin langsung ke rumah. Duh, aku harus kasih alamat sedikit jauh dari rumah kami. "Cepat Ranesya! Sebelum dia lebih dulu di sana." Aku tergesa-gesa keluar rumah. Tanpa memedulikan ada Adelio, atau tidak di rumah. Aku berjalan kaki, hanya beda beberapa jarak. Masih dekat rumah kami, Bastian berhenti membawa mobilnya. "Naik sekarang," kata Bastian, melirikku sampai ke bawah."Iya," jawabku mengangguk, merasakan deg-degan. Apa yang sebenarnya Bastian lakukan. Mengajakku bersamanya, apa dia ingin menunjukkan sesuatu?"Mau kemana?" Aku bertanya, Bastian melirik sekilas. "Nanti lo bakal tau," balasnya, membawa mobil tersebut ke kawasan kumuh. Kenapa harus ke sini? Aku menatapnya lama, Bastian mengangguk saja. Kode apaan itu?! Aku tidak pahamlah, aku mengikutinya dari belakang. Bastian menuju satu rumah, dia masuk secara diam-diam. A
Rayyen mendekat dengan senyum mengembang, tanpa peduli adanya Adelio. Heh, kok dia tidak berpikir ya?! Apa Rayyen tidak tau aku memiliki pacar, aduh bagaimana ini. Pasti Adelio berpikir aku berselingkuh. "Dengan siapa cantik?" tanya Rayyen sudah berada di samping meja. Aku menoleh dengan tatapan datar, apa yang Rayyen mau sampai sengaja memanggilku sayang di depan Adelio. "Gue pacarnya," jawab Adelio berdiri. Dapat aku perhatikan lirikan mata mereka sama-sama sinis, seakan menembus jantung. Aku tidak percaya ini akan terjadi, apalagi pengirim surat cap berdarah itu, aku tidak tau siapa orangnya. "Pacar doang, belum jadi suami. Bisalah rebut Ranesya dari lo." Rayyen berkata begitu percaya diri. Seketika aku menahan tawa mendengarnya, andai dia tau jika aku sudah menikah. Apakah Rayyen masih ingin berkata seperti itu? Kalo masih, berarti Rayyen sudah gila. "Ada keberanian apa lo, bilang kayak gitu di depan gue?" kata Adelio menyuruhku bergeser dengan kode tangannya. Kini mer
Aku melangkah di lorong sekolah, karena pagi sekali Adelio sudah rajin membangunkan aku. Hanya tidak aku sangka, terdapat ketiga cabe-cabean di depanku. Tidak lain Tasya, Trisya dan Zara. "Minggir bisa nggak?" hardikku menatap ketiganya malas. Bukannya mikir, tidak ada akalnya mereka menghadang diriku. Lebih gilanya Zara masih sanggup berjalan?Sudah tidak waras Zara itu, aku berdecak mendorong Trisya. Apa mereka tidak mengerti aku sedang malas bertengkar. "Berani banget lo!" kesal Tasya menarik tanganku. Aku tidak bisa bergerak kemana-mana, aku menoleh kebelakang. Bahkan Zara masih bisa tersenyum, apa dia tidak merasa bersalah?"Iyalah, lo juga bukan siapa-siapa di sini jangan ngatur gue," kataku menarik paksa tanganku dari cengkalnya. "Takut ya lo sama kita?" kata Trisya tiba-tiba tersenyum miring. Aku melihat senyum itu, ingin ngamuk rasanya. Siapa yang takut dengannya? Aku bisa lawan mereka sekaligus. "Kenapa mata lo, mau keluar ya?" ejek Zara tertawa kecil. Trisya maupun
"Haha, nggak bakal ada Adelio," kata Ghifari mengejekku. Tatapannya sangat mengerikan, tubuhku menegang dengan hawa panas dingin. Padahal ruangan begitu dingin, hanya aku merasakan hal berbeda. Apalagi Ghifari makin mendekat. "Gue udah lama ingin dapatin lo." Ghifari berkata sambil menarik tanganku. Gilanya, dia menarik hanya untuk memelukku. Jujur, ini hal menyiksa bagiku. Rasa takut mendalam di mana Ghifari mengelus helai rambutku secara perlahan. "Apa gue harus lakuin sesuatu, biar lo jadi sepenuh milik gue, Ranesya?" Ghifari mengecup puncak kepalaku. Tidak menjawab, aku mendorong dadanya untuk menjauh tapi ditahan oleh Ghifari. "Lo mau kemana, lo nggak ada niatan sama gue aja?" tanya Ghifari memelas. Aku melonggarkan pelukan, mendongak menatapnya intens. "Nggak, soalnya Adelio itu cowok gue dan orang spesial gue punya," jawabku begitu menusuk. Tiba-tiba saja pipiku di tekan hingga seperti ikan buntal, Ghifari seolah tidak terima apa yang aku katakan. "Spesial kata lo,
Kami berada di rumah setelah beberapa jam di RS, mengingat perkataan Bunda Delyna aku sedikit terkejut. Orang sekalem Bunda Delyna berkata seperti itu? Siapa tidak terkejut coba, aku saja di sana langsung menganga dengan mata melotot. "Lo kenapa?" tanya Adelio menepuk bahuku. Sekarang kami berada di ruang makan, tidak sempat memasak jadi sebelum pulang kami mampir membeli pizza. Aku tersenyum kecil. "Cuma keinget Bunda aja sih, gue kaget loh pas Bunda bilang gitu.""Bilang apa emangnya?" tanya Adelio mendongak ke arahku. "Masukin orang ke penjara terlihat sadis tau, kan Bunda lo kalem tuh," balasku menyuapi Adelio. Adelio dengan senang hati menerima sodoran pizza dariku, dan hanya terkekeh. "Namanya juga orang tersayang, semisal gue digituin kayak Ayah. Apa lo lakuin diem aja atau cari tau sebenernya?" papar Adelio menatapku begitu lekat. Tatapan kami bertemu, dih mana ada aku biarkan. Jika Adelio terjadi sesuatu, kan dia suamiku. "Cari tau sebenernya, dan gue masukin ke penj
Mataku melototi mendengar suara tersebut, kami berdua menoleh secara bersamaan. Di mana Ibu Aini sudah berkacak pinggang. "Gimana rasanya?" tanya Ibu Aini tersenyum kecil. "Ibu mau?" tawar Adelio menyodorkan susu kotak. Aku meneguk ludah, memilih memakan kembali bakso tersebut. Dan pura-pura tidak terjadi sesuatu. "Nggak!" sentak Ibu Aini kepada Adelio. Dengan mengelus dada, aku kembali menoleh dan mengedipkan mata beberapa kali. "Kenapa kalian berdua ke kantin di jam segini?!" Bingung ingin menjawab apa, aku melirik Adelio tersenyum tidak merasa bersalah. "Jam berapa ya?" tanya Adelio kepadaku. "Nggak tau," jawabku menggigit bibir bawah. Ibu Aini seketika emosi dengan jawaban kami berdua, aku bisa merasakan aura gelap yang keluar dari tubuhnya. "Jam aja nggak tau! Ini jam pelajaran, seharusnya kalian berdua di dalam kelas," jelas Ibu Aini menghela napas berat. Kami berdua saling menoleh, aku sedikit khawatir akan dihukum kembali. Sehingga aku berbisik ke telinga Adelio b
Di hari yang cerah, aku memilih pergi sekolah sendiri padahal Adelio memaksa meminta pergi bersama. Aku enggan karena ingin sendiri dulu, mengingat kejadian kemarin huh! Hal tidak terduga, saat aku masih dalam mobil melihat Zara turun dari mobil seseorang. "Ngapain dia?" kataku menyipitkan mata memperhatikan gerak-geriknya.Cara jalannya sangat berbeda, sedikit mengangkang. Aku menganga tidak percaya, jadi itu seriusan di aborsi?Astaga, Zara tidak punya hati please! Tapi dari wajahnya juga sangat pucat. "Dih, manusia paling jahat sih," ucapku merinding dengan tingkah Zara. Aku turun dari mobil berjalan dibelakang Zara, tidak ada yang mengibah dirinya. Padahal masalah Zara sangat besar, apa ada sesuatu membungkam mereka semua?"Kalo gue aja, di gosipin sampe seminggu lebih dih," gumamku kesal. Karena tidak ingin Zara terlihat tenang, akupun berjalan cepat dan menyenggol bahunya. "Aduh, sakit banget," keluh Zara meringis kecil melirikku tajam. Zara bergeser beberapa langkah, ak
Aku menoleh kebelakang terdapat Ibu sosialita, bahkan emasnya bertumpuk banyak di pergelangan tangan. "Nggak Bu, aku hanya bawa dia jalan-jalan aja. Soalnya anak Ibu tadi jalan sendiri samperin aku," paparku terlihat Ibu itu tidak percaya. "Bohong kamu," ucap Ibu tersebut melirik sekeliling. "Tolong ada yang mau culik anak saya."Aku menggeleng, apa banget sih. Mana mungkin aku menculik anak kecil ini, aduh gimana kalo aku ditangkap?Mana Adelio ya, aku menurunkan anak kecil itu lalu membekap mulut Ibu tersebut. "Bu, aku nggak culik anak Ibu. Kenapa sih nuduh terus?" kesalku menekan bekapan itu. Ibu itu meronta, melepaskan tanganku dari mulutnya. Ada beberapa orang mendekat memperhatikan kami. "Ini Pak, dia tadi culik anak saya," tuduh Ibu itu menunjuk ke arahku. Aku menggeleng cepat. "Kenapa Ibu nuduh aku? Coba tanya anaknya, ini tuh hanya salah paham," kataku begitu emosi. Jujur ini hal merugikan untukku, mana dituduh segala. Apa pikirannya tidak ada?"Bohong kamu, mana ada s
Malam harinya, Adelio mengajakku suatu tempat entah di mana. Yasudahlah, aku hanya mengikuti apa yang Adelio mau. Dengan jaket couple, bahkan kacamata ikut serta dari bagian kami pakai. Terlihat alay, hanya aku mengingat jika Adelio berbeda dari cowok yang lain. "Kek alay ya," celetukku di mana Adelio berpose sok keren. Adelio hanya terkekeh merangkul diriku. "Mana ada alay, lo liat nih keren banget kita," kata Adelio memutarkan diriku yang berdecak kesal. Kali ini Adelio memotret diriku yang tidak memiliki ekspresi, sampai Adelio menarik kedua sudut bibirku biar terlihat tersenyum. "Nah, ginikan cantik," lanjut Adelio kesana-kemari hanya memfotoiku saja. Sangat tidak bisa diam ya ini anak? Sifatnya sudah keluar jametnya, aku sampai tidak habis pikir bisa menikah dengan Adelio. "Bacot lo, yaudah ayo," ajakku menarik pergelangan tangannya. Adelio tidak menjawab hanya terkekeh kecil mengikutiku dari belakang. "Lo pendek ya," ledek Adelio. Aku berhenti tiba-tiba, terjadilah Ad
Pulang sekolah, bukannya balik ke rumah kami. Adelio mengajakku ke rumah keluarganya. Ternyata di sana sudah ada keluargaku juga, dan tidak aku ketahui. Sore ini akan piknik ke taman. "Lo masih pakai baju sekolah?" tanya Jean melirikku dari bawah ke atas. Di ruang tamu hanya kami berdua, karena yang lain asik mempersiapkan apa yang akan dibawa.Adelio juga katanya ingin memilihkan baju yang bagus untukku, jadi aku mengangguk saja. "Kenapa emangnya, nggak suka?" balasku memajukan diri sok songong. "Dih, gue nanya doang," sahut Jean mendorong kepalaku. Tidak sadar, jika Adelio datang menenteng baju untukku. Mana bajunya sengaja banget dilebarkan. "Adelio?! Bajunya kenapa kayak gitu?" pekikku mendekat menggulung biar Jean tidak melihatnya. Gila bajunya terlalu seksi. Mana mungkin aku memakainya untuk piknik, apa dia tidak berpikir dahulu?"Lah kenapa?" tanya Adelio bingung menatapku polos. Aku menabok tangannya, kali ini Adelio meringis sedikit menjauh. "Pake nanya lagi, ini tu