Pagi harinya, suasana yang cerah. Aku ingin berangkat, ditahan oleh Adelio. Mengajakku untuk sarapan dahulu. Aku sangat tidak menyangka, jika Adelio sempat memasakan makanan untukku. Inipun ada 2 bekal, dia begitu perhatian denganku. Nasi goreng dengan susu, perpaduan luar biasa enaknya. "Nih, lo makan yang banyak ya!" pinta Adelio, memberikan beberapa sendok nasi goreng ke piringku. Aku mengangguk semangat. "Makasih! Lo juga ya?" balasku, Adelio terpaku dengan perkataanku. Apa yang salah? Tidak apa bukan, jika aku perhatian dengannya? Adelio seperti, kehilangan akal senyum sendiri. "Adelio, lo kenapa? Gapapakan?" Aku panik memegang dahinya, please dia belum sadar. Aku jadinya sedikit ketakutan, nanti dia kesurupan bagaimana? Aku menabok pipinya, biar sadar. Aku berdiri mendekatinya. "Adelio!" pekikku, tepat di telinganya. Akhirnya, Adelio baru sadar. Menoleh ke arahku yang sedang menatap kesal Adelio. "Lo kenapa sih?" Aku menepuk pipinya, Adelio tersenyum lebar. Tidak aku
"Aku minta maaf, kalo aku sering bandel. Nggak bisa dengerin omongan, aku juga ingin berubah untuk kalian. Aku tau umur segini, seharusnya aku belajar tapi—" jeda Adelio melirikku. Dengan tatapan saling beradu, aku mengangguk membuatnya. Dia mengungkapkan semuanya. Aku yakin Adelio, pasti bisa!"Aku bandel, suka tawuran dan buat kalian pusing. Aku bakal belajar lebih giat lagi, biar Ayah bangga dengan aku. Terutama Mama, makasih sudah melahirkan aku di keluarga ini," papar Adelio, menunduk dalam. Bunda Delyna, mengusap pipinya basah. Pasti bangga, mempunyai anak seperti Adelio. "Sayang, kamu serius? Siapa yang buat kamu, mengubah pikiran kamu begini?" Bunda Delyna mendekat, memeluk Adelio penuh kasih sayang. Ayah Liam, tersenyum kecil meminum air mineralnya. "Ranesya, dia selalu ngasih tau aku yang baik. Karena nggak selamanya aku seperti ini, aku pasti akan memimpin tanggung jawab besar di perusahaan," ungkap Adelio, kedua orang tuanya langsung tersenyum lebar. "Sayang, makasih
Aku sudah di depan pintu Adelio, mengetuk berkali-kali. Sungguh, aku tidak melakukan perbuatan seperti itu. Aku menghela napas panjang, terasa lelah begitu lama menunggu. Pintu terbuka, tapi Adelio menggeserku. Tanpa bicara apa-apa, dia pergi tanpa mendengar panggilanku. "Adelio!" Kejarku, Adelio tidak menoleh sama sekali. Menaiki motornya, ingin pergi. Aku dengan secepat mungkin memberhentikannya. Adelio menoleh ke belakang. "Lepas! Gue mau ke sekolah," kesal Adelio, menatap datar diriku. "Gue mau jelasin, itu beneran bukan gue Adelio," kataku, sepertinya Adelio tidak peduli kejujuranku. Dia hanya percaya foto yang dia liat di hp, aku sangat prustasi dengan tingkahnya itu. "Gue bilang lepas! Jangan pegang motor gue." Adelio melirik tajam ke diriku, aku merasa Adelio marah. Langsung melepaskan motornya Adelio langsung meluncur pergi, meninggalkan aku sendiri membeku. Dengan langkah lunglai, menaiki mobil di garasi. Aku pergi ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Saat samp
"Stop! Kalian nggak boleh bully Ranesya!" teriak Jean, menghampiri dan melindungiku. Aku tidak habis pikir, walau semua orang berkata aku hina. Jean membelaku. "Gue emang kecewa sama lo, tapi lo tetap Adek gue," kata Jean, aku terpaku padanya. Jean menghadang untuk Trisya dan Tasya tidak melakukan hal lebih. Aku terdiam menahan tangis. "Lo masih lindungi dia? Ingat Jean, dia cewek murahan. Bisa-bisanya pelukan sama orang, apa dia suka sama Om?" tuduh Trisya, mereka semua tertawa. Tasya mengangguk, menatapku dari bawah ke atas. "Apa dia pintar karena duit Om-om?" Tasya makin menghinaku, Jean mendengar itu mengepalkan tangan tidak terima. "Dengerin gue, lo berdua lebih hina dari Adek gue! Lo manusia licik dengan mulut jelek lo itu," ejek Jean, keduanya menggeram marah. Aku ditarik Jean, menjauh dari kantin. Aku hanya mengikuti langkahnya. Sampai taman belakang, aku menunduk dalam karena merasa tidak pantas dengan semua ini. Jean mengangkat daguku. "Kalo lo emang nggak salah, b
Malam harinya, aku duduk di kamar sendiri. Memikirkan, apa Bastian akan menemukan buktinya?Huh! Aku merasa lelah dengan semuanya, aku keluar kamar tidak ada Adelio. Karena terasa panas, aku ke teras. "Adelio?" gumamku, kali ini dia merokok dengan asap mengepul. Seolah menyadari diriku, dia menoleh, tatapan sangat dingin. Aku sangat sedih, dia berbeda dari biasanya. "Lo ngapain ke sini?!" hardik Adelio, berdiri, dan memilih untuk masuk. Aku menahan tangannya. "Gue mau jelasin, itu cuma editan Adelio.""Nggak usah banyak alasan, gue tau lo semurah itu," hina Adelio, aku mendengar ucapannya, langsung melepaskan cengkraman tangan Adelio. "Sehina itu gue di mata lo sekarang Adelio?" kataku, duduk sendiri menatap malam yang gelap. Siapa sih yang ingin menghancurkan, reputasiku seperti ini? Jelas-jelas, aku tidak pernah bermasalah dengan orang. Kecuali, jika mereka mengangguku terlebih dahulu. Aku sangat lesu, tidak ada semangat lagi. "Semoga gue bisa kuat, hadapi semua ini," kataku
"Lah, serius sekarang?"Aku membaca pesan dari Bastian, jika nanti dia akan menjemputku. Bukan itu masalahnya, kami baru pulang sekolah. Tapi Bastian ingin langsung ke rumah. Duh, aku harus kasih alamat sedikit jauh dari rumah kami. "Cepat Ranesya! Sebelum dia lebih dulu di sana." Aku tergesa-gesa keluar rumah. Tanpa memedulikan ada Adelio, atau tidak di rumah. Aku berjalan kaki, hanya beda beberapa jarak. Masih dekat rumah kami, Bastian berhenti membawa mobilnya. "Naik sekarang," kata Bastian, melirikku sampai ke bawah."Iya," jawabku mengangguk, merasakan deg-degan. Apa yang sebenarnya Bastian lakukan. Mengajakku bersamanya, apa dia ingin menunjukkan sesuatu?"Mau kemana?" Aku bertanya, Bastian melirik sekilas. "Nanti lo bakal tau," balasnya, membawa mobil tersebut ke kawasan kumuh. Kenapa harus ke sini? Aku menatapnya lama, Bastian mengangguk saja. Kode apaan itu?! Aku tidak pahamlah, aku mengikutinya dari belakang. Bastian menuju satu rumah, dia masuk secara diam-diam. A
Aku pergi terlebih dahulu, tidak ada kata sarapan. Mengingat kejadian malam tadi, aku begitu sakit hati. Menghela napas panjang, aku harus sekolah. Di mana semua orang tetap menghinaku. "Males banget gue," gumamku, keluar dari mobil. Aku tidak sengaja melihat Frans mendekatiku. "Hei Ranesya," sapa Frans. "Hai juga, kenapa?" balasku, Frans tersenyum kecil. Frans menyodorkan sesuatu kepadaku. "Buat lo, bolu cokelat dari Bunda."Aku mengerutkan kening, aku merasa dia melakukan seperti dulu. Mendekati secara perlahan. "Lo jangan salah paham, gue cuma disuruh Bunda doang," kata Frans, setelah memberikan bolu. Dia langsung pergi, aku menatapnya menjauh dari sisiku. Perjalanan menuju kelas, aku mendapatkan hinaan kembali. Apa mereka tidak bosan? Aku saja muak! Aku hanya menoleh sekilas, langsung melanjutkan kembali. "Bodo amat! Bukan gue juga kok," ucapku, tiba-tiba saja dihadang Tasya dan Trisya. Aduh, kenapa sih mereka berdua? Aku menatap sinis kedua makhluk itu. "Minggir! Gue m
Aku memilih duduk di taman belakang, ternyata Adelio menghampiriku. "Ranesya, lo di sini?" Adelio duduk di sebelahku. Aku tidak menyahut Adelio, aku masih muak dengannya. Banyak tuduhan dia lakukan kepadaku. "Gue minta maaf, udah sembarangan tuduh. Gue tau, gue salah dan nggak cari tau dulu. Tapi please, maafin gue ya?" mohon Adelio, menyatukan kedua tangannya. Tidak, aku tidak akan memaafkannya! Enak saja dia! Aku sakit hati, Adelio benar-benar membuatku sedih. "Diem! Gue nggak mau ngomong sama lo!" hardikku , masih berfokus dengan hp. Aku tidak mau, aku kesal mengingat semua kejadian kemarin. Aku berdiri, mau meninggalkan Adelio. "Jangan pergi, dengerin gue dulu," rengek Adelio, memegang tanganku. Aku menatap malas dirinya, enggan untuk bersuara. "Gue minta maaf kejadian waktu kemaren, nggak mempercayai lo. Please, Ranesya. Gue juga nggak tau kalo itu di fitnah," papar Adelio, perlahan aku melepaskan diri dari Adelio. "Nggak butuh, minta maaf dari lo!" sentakku, pergi dari
Di pagi hari, berbeda dari biasanya. Saat aku terbangun, Adelio sudah berada di depanku. Siapa sangka, aku melotot tidak percaya. Bahkan, Adelio mengelus puncak kepalaku. "Lo udah bangun?" tanya Adelio mengecup keningku penuh perhatian. Aku yang masih tidak menyangka hanya bisa berkedip-kedip, yaa aku kan masih terkejut. Dengan tubuhku mundur membuat Adelio terlihat bingung. "Kenapa?" Aku menggeleng cepat, berusaha berdiri dan melirik sekitaran. Asli, aku sangat malu. "Nggak kok," jawabku sedikit gugup. "Seriusan? Kenapa wajah lo langsung tegang gitu," sahut Adelio terkekeh pelan. Yah, siapa coba tidak kaget dengan tingkahnya. Kan aku sangat terkejut, dahal dia sangat jarang begini kepadaku. Paling sesuatu hal penting, atau pergi suatu tempat dia akan menghampiriku terlebih dahulu. "Eh, nggak kok cuma tadi," balasku bingung mengigit bibir bawah. Aku mendorong tubuh Adelio. "Sana gih, lo pesen aja makanan gue laper soalnya," kataku mengalihkan pembicaraan. "Lo laper? Bentar
Sore yang cerah, cocok banget jalan-jalan di pantai. Aku dengan tergesa-gesa menarik tangan Adelio untuk cepat. "Ayolah, lo jangan lama sih!" kesalku mendengus. Adelio menggeleng kepala, saat aku menoleh. Apa dia ikutan kesal denganku? Kan aku hanya tidak ingin ketinggalan ke pantai. "Pelan-pelan aja, pantainya gak berjalan itu," peringat Adelio menahan tawa. Idih, dikira lucu gitu? Aku melepaskan tangan Adelio, bersedekap dada di depannya. Bibir yang merucut kedepan seperti bebek. "Lo kok ketawa? Nggak ada yang lucu tau," hardikku menghentakkan kaki. "Dahlah, nggak jadi aja."Aku berusaha memutarkan badan untuk balik ke kamar, namun tanganku ditahan olehnya. "Mau kemana?" tanya Adelio menatapku lekat. "Gue mau ke kamar aja, lo ngeselin soalnya," kataku mengalihkan pandangan ke tempat lain. Terdengar suara kekehannya. "Gue bercanda doang, ayo kita pergi," ajak Adelio menarikku untuk ke pantai. Tidak menolak, aku hanya mengikuti langkah kakinya turun dari lift. Aku tidak ada
Selama 1 bulan, kami dikasih libur sekolah. Adelio berencana mengajak diriku ke Bali. Sungguh aku sangat senang! Siapa sih yang tidak mau kesana? Sekarang kami bersiap-siap untuk ke bandara. "Gimana, semuanya nggak ketinggalankan?" tanya Adelio melirikku memegang koper. Aku mengangguk semangat, menggandeng tangannya. "Ayok, skuy!" seruku membuat Adelio terkekeh. Kali ini kami di antar oleh supir milik keluarga Andres, karena mengetahui tidak mungkin membawanya sendiri. Saat sampai, kedua orang tua kami sudah berada di bandara. Pasti ingin memberikan salam perpisahan untuk sebulan ini. "Kalian hati-hati ya," kata Bunda Delyna memelukku dan Adelio. Sementara Mama Cahaya menangis, aku merasa geli seolah ditinggal selamanya saja. Tapi aku tahan karena menyadari, jika aku tidak menghargai kesedihan Mamaku. "Ihh, kenapa Mama nangis?" Aku memeluk Mama Cahaya, dan mengelus punggungnya. Setelah memeluk Bunda Delyna, aku beralih ke Mama Cahaya yang kini menangkup pipiku. "Jangan band
Waktu cepat berlalu, di mana aku sudah melewati ulangan ganjil. Kali ini aku berada di depan kantor untuk pengumuman raport. Banyak guru maupun orang tua berkumpul, ini saat menegangkan. Sampai pengumuman siapa yang juara di kelasku. "Seperti biasa, juara 1 didapatkan oleh Ranesya Adipurna," ucap wali kelasku. Urutan tiga maupun dua, sudah disebutkan. Aku tersenyum lebar karena mengetahui pasti aku mendapatkan peringkat pertama. "Lo pasti bisa!" kataku tanpa suara ke arah Adelio, memperhatikanku terlihat bangga. Arghh, aku sangat senang sekali. Setiap kelas memang disebut sampailah di kelas Adelio. "Untuk Bapak Ibu-ibu, ini murid yang bandel astaghfirullah. Dia juga sering banget bolos, hanya semester ini lumayan memberikan hasil memuaskan karena jarang bolos!" jelas wali kelas dengan senyum mengembang. "Semoga kalian nggak kaget, juara ke 3 diberikan kepada Adelio Andres," kata wali kelas bertepuk tangan. Adelio menganga lebar, namun didorong teman sekelasnya.
"Nanti lo nangis darah, kalo gue bisa dapatin Ranesya," ledek Rayyen terkekeh kecil. Sebelah alisku terangkat, percaya diri sekali dirinya. Apa orang gila ini, terlalu pede bisa mendapatkan sesuatu yang dia mau?"Maaf Rayyen, gue tetap sayang Adelio," sahutku membuat keduanya menoleh. "Lo hanya orang baru dalam hidup gue, sementara Adelio udah gue kenal sejak kecil cuma waktu itu berpisah aja," jelasku membuat Adelio tersenyum puas. Sebaliknya, Rayyen begitu muram karena mengetahui pernyataan yang aku berikan. Siapa yang senang, penolakan begitu jelas. Bahkan, ini di depan banyak orang. "Gue nggak akan biarin itu terjadi, selama gue masih hidup lo harus jadi milik gue Ranesya!" kata Rayyen berdiri menatapku begitu lekat. Tidak merespon, aku hanya diam karena malas untuk menyahuti perkataan Rayyen itu. "Dan gue yang akan buat lo kehilangan segalanya," timpal Adelio ikut berdiri. Tanpa segan menarik kerah Rayyen, mereka saling bertatapan begitu tajam. "Silakan! Gue akan ambil R
Aku menatap kaget mendengar lontaran Adelio itu, aku menunduk karena kelopak mataku terasa mengeluarkan buliran bening yang jatuh. Tiba-tiba saja seseorang memeluk, aku mendongak menatap tidak percaya. "Bercanda sayang, aku percaya sama kamu," kata Adelio dengan kekehan kecilnya. Aku mengusap hidung yang basah, aku mendorong dada Adelio. "Nggak usah ngeselin deh! Gue nangis ini," omelku dengan tangisan makin keras. Adelio yang ketar-ketir mendekat, mengusap pipiku yang basah. Apa dia merasa bersalah? Sehingga mendekatiku, dih ngeselin banget sumpah. "Eh, jangan nangis dong. Aku cuma bercanda doang," kata Adelio menarikku dalam pelukannya. "Tapi bercanda lo, nggak lucu tau!" kesalku memukul dada Adelio. Lebih mengesalkan di mana Adelio terkekeh pelan, apa lucunya sih? Aku di sini dituduh loh, malah dia ikut-ikutan buat aku nangis begini. "Ngapain juga lo ketawa?" tanyaku melepaskan diri dari pelukannya. "Lo aja kalo nangis makin menggemaskan," balas Adelio mencubit pipiku. A
Saat pertanyaan Vivian terlontar, aku meneguk ludah. Untungnya aku bisa menjawab semua dengan enteng. Setelah menghadapi masalah besar, mereka berdua akhirnya pulang di jam 7 malam."Gue nggak sanggup asli," keluhku ke Adelio yang duduk di ruang santai. Adelio terkekeh mengelus puncak kepalaku. "Lo pasti ketar-ketir ye kan.""Pake nanya lagi, gue beneran takut tadi," kesalku menabok lengan Adelio. Bayangkan pertanyaan Vivian itu sangat mematikan belum lagi waktu di kamar, ada satu foto ketinggalan di meja belajar. Untungnya aku bisa menyembunyikan tepat waktu, aduh ini Tuhan lagi baik sama aku sih. "Asal mereka nggak taukan? Kita bisa berhasil," seru Adelio tersenyum manis. Alah, itu juga karena aku banyak alasan. Coba Adelio ikut kasih alasan? Mungkin sudah ketauan karena jawaban kami pasti berbeda. "Iya serah lo aja deh," balasku malas. "Ehem, lagi ngapain nih peluk-peluk," sindir seseorang dengan suara nge-bas. Aku yang menyadari orang tersebut cepat bertegak, menoleh kebe
Aku tertawa mengingat kejadian pulang sekolah, sekarang aku berada di rumah memainkan ponsel. Cuma sedikit kaget di mana dalam grup, jika Gita dan Vivian ingin berkunjung ke rumah. Asli ya, aku langsung deg-degan karena mereka sudah berada di rumah orang tuaku. "Adelio, cepetan!" teriakku menggedor pintu kamar. Pintu tersebut buka, terlihat Adelio mengusap mata sepertinya baru bangun tidur. Aku tanpa berkata, menarik tangannya. Adelio terkaget-kaget dari rautnya, ingin tertawa tapi situasi sekarang lagi tidak bagus. "Kenapa lo?" tanya Adelio menarik tanganku sesaat. "Jangan banyak tanya deh, gue gini juga mau cepat ke rumah orang tua gue. Ada Gita sama Vivian di sana," ungkapku membuat Adelio sebaliknya menarikku. Eh, kok malah aku yang ditarik-tarik. Sepertinya Adelio menyadari ketar-ketir diriku. "Ayok, cuss kita harus cepat ke rumah Papa Mama," seru Adelio mendorongku ke dalam mobil. Kasar banget sih, dasar emang ya. Apa karena ingin cepat sehingga begini jadinya. Adelio
"Maksudnya apa Om?" tanya Adelio menarikku kebelakang. Senyum miring tertampil di bibirnya. "Kamukan sudah melukai Zara? Sekarang dia berada di rumah sakit," tuduh Om tua sambil mengepalkan tangan. Eh, sejak kapan please. Aku saja selalu bersama Adelio, kapan melukai Zara murahan itu? Sampai orang tua ini menuduh Adelio. "Astaga Om, aku mana pernah melukai dia. Nggak pengen soalnya, kan aku udah ada ini," kata Adelio menoleh ke arahku sebentar. Aku tersenyum kecil, saat Adelio memberitahu kalo aku adalah pacarnya. "Alasan aja kamu! Apa saya laporkan aja kamu ke kepala sekolah," kata Om tua mendekat menarik kerah Adelio. Hal gilanya, Om tua itu mengangkat dengan mudah tubuh Adelio. Aku menganga tidak percaya, setua ini tenaganya masih oke. "Jangan sembarangan ya, aku juga nggak akan ngelakuin itu karena Zara bukan siapa-siapa," papar Adelio masih berusaha sabar. Aku menggeleng, ya untuk apa bertengkar dengan orang tua? Dia tidak akan mendengarkan. Daripada mak