Mas Galuh menutup telponnya setelah kami berdebat cukup sengit. Aku tak mengerti jalan pikiran lelaki itu. Kemarin seperti senang tanpa beban kami berpisah tapi kini seperti enggan dan merasa rugi. Sebenarnya apa yang tengah dia rencanakan?"Ada apa? Memangnya dia bilang apa?" cecar Vee langsung setelah sambungan itu terputus. Wajahnya terlihat cukup serius. "Dia bilang tak akan menceraikanku. Sampai mati aku tetaplah istrinya.""Apa dia gila? Sidang perceraian kalian saja akan di gelar lusa. Lalu bagaimana pula bisa dia bilang begitu," geram Vee sembari mengeluarkan kata kasar yang ditujukannya pada Mas Galuh. "Dia bilang akan mengajukan banding jika sampai hakim mengabulkan permohonan ceraiku. Jika permohonan banding itu di tolak tetap saja dia tak akan menandatangi surat apa pun yang menyatakan kami sudah bercerai. Aku benar-benar tak mengerti isi otaknya itu," ucapku tak kalah mengomelnya. "Hubungi pengacaramu dan beritahukan perihal ini, aku yakin dia punya jalan keluar." Vee
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Mas! Pergilah! Hubungan di antara kita sudah selesai."Mata Mas Galuh berubah tajam dan menata ke arah Kak Bian sekilas sebelum akhirnya kembali menatap ke arahku. Kak Bian tampak masih tenang di tempatnya berdiri. Mas"Apa karena lelaki itu? Makanya kamu gak mau kembali rujuk padaku.""Kamu tahu dengan pasti alasannya Mas. Tak usah menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi di antara kita dan merasa dirimu yang paling terluka," ujarku kesal.Aku sudah muak mendengar ucapannya yang hanya bisa menyakahkan dan memojokkan orang lain tanpa sadar akan kesalahan dirinya sendiri. Dia yang menghadirkan wanita lain dalam pernikahan kami dan kini dia juga yang menuduhku. "Cepat pergi dari sini, Mas! Pergi!"Mas Galuh menahan lenganku erat membuat lengan ini terasa perih. "Sudah cukup bermain merajuknya El. Sekarang kamu ikut aku pulang! Sampai kapanpun kamu akan tetap menjadi istriku. Tak akan ada perceraian di antara kita," ujar Mas Galuh geram seraya men
Pov. GaluhAku pulang ke rumah dalam keadaan wajah yang lebam. Baru saja sampai di depan rumah aku sudah di sambut dengan canda tawa istri keduaku bersama kedua orang tuanya. Dua orang tua yang tak memiliki pekerjaan itu menjadi beban tambahan untukku. "Mas kamu sudah pulang," sapa Rahma riang yang langsung bergelayut manja di tanganku saat aku baru saja melewatinya. Aku melirik ke arahnya sekilas dan kembali melanjutkan langkah kakiku tanpa menyapa kedua orang taunya itu."Loh, Mas. Wajahmu kenapa?" Rahma menyusul dari belakang hingga kami masuk ke dalam kamar. Tak satu patah pun keluar dari mulutku. Aku kesal. Semenjak kedua orang tuanya ikut tinggal bersama di rumah ini sejak delapan bulan yang lalu, pengeluaran kami melonjak menjadi dua kali lipat. "Mas, kamu kenapa? Aku nanya dari tadi kamu diam saja?" ucap Ratna bertanya sekali lagi seraya menahan lenganku. Menghentikan langkah kakiku yang hendak menuju kamar
Pagi-pagi sekali aku bangun, berpakaian rapi dan bersiap untuk ke kantor. Aku melangkahkan kaki menuju ruang makan untuk sarapan. Betapa terkejutnya aku yang tak mendapati apa pun di atas meja. Biasanya selalu ada menu sarapan yang terhidang, namun kali ini hanya ada meja kotor dengan bekas sisa makanan semalam. "Rahma! Rahma!" Suara bassku menggelegar ke seluruh penjuru ruangan rumah besar ini. "Ada apa sih Mas? Kita tidak sedang tinggal di hutan, gak usah teriak-teriak!" jawabnya santai. Lantah kakinya begitu gemulai menghampiriku seakan tak terjadi apa-apa. "Mana sarapanku?" "Sarapan? Apa yang mau di masak untuk sarapan. Semua bahan di kulkas habis.""Kalau habis ya belanja. Suami mau pergi kerja bukannya di urus malah menghilang entah kemana," sungutku. Pagi-pagi aku sudah dibuat naik darah dengan tingkah istriku yang tak tahu aturan, sangat berbeda sekali dengan Elliana. Kenapa hatiku tiba-tiba merindukannya.Rahma dengan santai seraya tersenyum manja mengadahkan tangan di
Hari yang aku tunggu akhirnya tiba juga. Tak pernah terpikirkan sedikit pun dalam benakku, jika nantinya aku harus duduk di kursi pesakitan ini. Menantikan ketuk palu pak hakim yang memutuskan ikatan pernikahanku dan Mas Galuh.Tak memiliki anak selama pernikahan ternyata tak cukup membuat ketuk palu hakim itu langsung bergema. Mas Galuh dengan tegas menolak serta berniat naik banding membuat keputusan sidang pun ditunda hingga dua minggu selanjutnya. Pihak Mas Galuh terutama ibunya memaksa untuk membagi seluruh harta yang aku miliki jika aku tetap ngotot ingin bercerai, tentu saja aku menolak karena semua itu murni aku dapat dari peninggalan orang tuaku. Keputusanku menolak mentah-mentah permintaan dari pihak Mas Galuh dan tetap ngotot untuk bercerai tentunya membuat mantan mertuaku meradang. Sampai-sampai dia mencegatku di depan kendaraanku dengan gagah berani. "Hey perempuan serakah! Serahkan sebagian harta yang menjadi hak anakku!" teriak mantan mertuaku yang cukup memancing p
“Ada apa, Mbak? Kenapa Mbak ngajak aku ngobrol di sini. Di sini banyak nyamuk Mbak. Kenapa tidak di dalam saja?” tanyaku dengan dahi yang berkerut karena bingung.Aku yang sedang duduk di ruang TV tiba-tiba di panggil dan diajak Kakak iparku ini ke arah taman belakang yang sunyi.Diantara semua tempat, entah kenapa dia mengajakku duduk di taman belakang dekat kolam renang.Raut wajah istri kakak iparku ini tampak begitu aneh. Kedua tangannya saling bertaut dan meremas. Matanya liar menatap ke kiri dan ke kanan seakan takut pada sesuatu atau mungkin lebih tepatnya pada seseorang, mungkin.Vina panduwinata, nama yang indah tersemat di dirinya. Katanya, orang tuanya dulu sangat suka dengan penyanyi tersebut. Berharap anaknya bisa mengikuti jejak sang idola.“Ada yang ingin Mbak sampaikan sama kamu, El. Tapi kamu harus percaya sama Mbak. Mbak gak akan mungkin membohongimu. Mbak mohon untuk sekali ini saja, kamu harus percaya sama Mbak sebelum semuanya terlambat,” bisiknya pelan.Seperti t
Kami menoleh ke belakang. Tampak Mama sedang melambaikan tangan untuk memanggil menantu yang merangkap jadi asisten rumah tangga dadakannya itu. Sontak Mbak Vina pergi menghampiri, seraya melengoskan wajahnya dariku. Kenapa jadi dia yang marah. Seharusnya aku dong, suamiku dia fitnah disini. Sikapnya yang seperti itu membuatku semakin yakin, ada niat tak baik yang dia selipkan di balik foto yang ditunjukkan padaku. Aku menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Meredam amarah yang sempat memuncak. Kembali kuusap perutku yang datar. Semenjak hamil aku suka mengusap-usap perutku ini. “Bibimu itu pasti berbohong pada, Mama. Iya, kan, sayang. Papamu orang baik, mana mungkin berbuat hal sejahat itu pada kita. Bibimu itu jahat, dia ingin merusak keluarga kecil kita. Bisa jadi sih, selama ini Bibimu itu iri melihat Mama yang lebih di sayang daripada dirinya,” celotehku pada janin yang belum bisa merespons apa pun. Aku pun kini beranjak dari dudukku, melangkahkan kaki menuju ru
"Apa maksud ucapan Mas Ridho?" tanyaku yang tak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. "Tak usah kamu dengarkan dia, El. Ridho dan Galuh suka bertengkar sejak dulu di meja makan. Mereka suka membahas hal-hal yang tak penting, itu sebabnya Almarhum Papa mereka melarang berbicara saat makan. Sudahlah, tak usah dihiraukan!" ujar Mama padaku. Dia mengambil sepotong ayam goreng dan meletakkannya ke atas piringku. Mbak Vina melihat itu dengan tatapan cemburu. Dan aku tak peduli itu, dia bisa mengambilnya sendiri jika mau. "Yang dikatakan Mama benar. Tak usah kamu dengarkan perkataan Mas Ridho, dia memang seperti itu sejak dulu. Selalu mencari celah menjatuhkanku. Ya ... mau bagaimana lagi, aku memang selalu lebih unggul darinya," timpal Mas Galuh dengan gayanya yang jumawa. Aku akui terkadang tingkat kepercayaan diri suamiku ini jauh di atas rata-rata. Aku masih kurang puas dengan jawaban suami dan mertuaku itu. Ucapan Mas Ridho dan juga Mbak Vina kini mulai berputar-putar dibenakku.