Setiap hari, semakin banyak saja tingkah Alan yang membuat Juwita tertawa. Anak itu memang lucu, tingkahnya alami seperti anak pada umumnya, selalu membuat orang dewasa gemas padanya. Apalagi pipinya yang gembul terlihat lebih menggemaskan kala Alan memanyunkan bibir. "Pipi gembulnya mana, Sayang?" ucap Juwi, yang langsung ditunjukkan anak itu. Juwi tertawa terbahak-bahak, tak lupa dia cium pipi Alan yang begitu menggemaskan. "Lihat deh, Hen, pipinya lucu banget!" Juwi berbicara pada Hendra yang mengawasi keduanya dari atas ranjang, berangsur turun mendekati keduanya. "Coba tunjukin sama papa. Papa belum lihat," ucapnya. Hendra belum benar-benar pulih, meski tangannya tidak harus dibungkus dengan kain kasa lagi. Tapi dia harus sangat hati-hati mendudukkan diri di atas karpet bersama mereka. Juwita membantu Hendra duduk karena kakinya belum bisa ditekuk dengan bebas. "Mana pipi gembulnya, Sayang?" Hendra mengulangi kata-kata Juwita, ingin juga melihat wajah menggemaskan anaknya. "
Dua mata Juwita mengerjap beberapa kali. Dia gugup, tentu saja pertanyaan Hendra membuat jantungnya berdegup tidak karuan. Pertanyaan ini seperti Juwi sedang mendengar pernyataan cinta dari seorang yang dia harapkan. Sedang Hendra, merasa bersalah dia menanyakan itu pada Juwita. Dia melihat Juwita tidak nyaman, beberapa kali menggeser posisinya duduk. "Kamu nggak harus jawab, kalo itu berat," kata Hendra pada ujungnya. Bagaimana pun, Hendra sangat takut jika Juwi akan terbebani dengan pertanyaan itu, yang jelas-jelas seperti berharap Juwi akan menganggap Alan sebagai putranya juga. "Aku hanya nggak tega sama Alan. Sejak kemarin dia terus panggil kamu sebagai mamanya, aku takut itu berkelanjutan ke tahun-tahun yang akan datang. Pasti berat bagi Alan nantinya." "Berat? Maksudnya... berat bagi Alan saat tahu aku bukan mama kandungnya?" tanya Juwi, dia sedikit tersinggung tentang itu. Memang Juwita bukan ibu kandung Alan, dan selamanya tidak akan pernah Juwita bisa menggantikan pos
Lilis berjalan tertatih-tatih. Kedua pahanya terasa sangat letih setelah baru saja becinta dengan Steve. Dua hari tidak bertemu membuat Steve tidak tahan menyalurkan hasratnya sampai Lilis kewalahan. "Kamu kenapa lambat banget, sih?" Steve melihat kekasihnya itu, sudah seperti nenek-nenek saja Lilis. "Aku capek loh, Steve, mana abis tempur, belum sempet istirahat sama sekali, coba." "Baru juga empat kali, Babe." Steve memainkan sebelah matanya, dia membantu memegangi tangan Lilis. "Empat kali itu udah lebih dari minum obat!" "Ya gimana, dong? Abisnya kamu sangat menggemaskan, aku nggak tahan untuk tidak nyetubuhi kamu tiap saat." Perkataan Steve semakin vulgar. Sebelum memasuki butik, Steve berhenti di salah satu toko yang menjual berbagai jenis ponsel. Dia meminta pelayan mengeluarkan ponsel keluaran terbaru. "Ini bagus banget loh, Beb. Aku mau beli, tapi honor aku belum keluar." Steve sengaja memancing Lilis, sebab sejak uangnya cair, Lilis belum membelikan Steve sesuatu. "Pad
Hendra tengah menamani putranya bermain di ruang televisi, sementara Juwita sudah harus ke kantor mengurus pekerjaan yang sudah lama tertinggal. Hendra tidak menuntut Juwita agar terus menjaga dirinya di rumah, sebab sekarang lelaki itu sudah bisa banyak bergerak. Tidak perlu dituntun turun dari atas ranjang, bahkan Hendra sudah bisa menggendong Alan dengan tangan kirinya. 'Gosip terbaru datang dari salah satu selebritis tanah air, yang baru-baru ini karirnya mulai melejit. Steve Jordan, pria lajang 25 tahun itu baru saja memperkenalkan kekasihnya. Mari kita dengar bincang-bincang dari pasangan yang sangat berbahagia ini.' Suara di televisi mengalihkan perhatian Hendra yang sedang bermain dengan Alan. Dia seperti pernah mendengar nama yang disebutkan oleh presenter. Matanya terbelalak melihat Lilis duduk bersama dengan lelaki yang berciuman dengannya di mobil. Hendra ingat, Lilis memang pernah menyebutkan nama lelaki itu. Steve, seorang aktor yang naik daun. Tapi... benarkah Lilis a
Di kantornya, Juwi termenung seperti orang bodoh. Barusan dia meninggalkan kantin tanpa menyentuh makanannya, setelah melihat berita selebritis yang menjadi tranding topik hari itu. Lilis dan Steve yang pamer kemesraan, juga mengumumkan pernikahannya. Juwi takut Hendra juga menonton siaran itu dan membuat suaminya menjadi down. "Ini salah aku," bisik Juwita, meletakkan keningnya di atas kedua tangan yang bertumpuh di meja. "Seharunya aku kasih tau Hendra sejak awal." Juwi pikir, dengan menyembunyikan perselingkuhan Lilis, itu akan lebih baik untuk Hendra. Selain karena Hendra sangat mencintai Lilis, Juwi juga takut Hendra akan berpikir Juwita sengaja mencari kejelekan Lilis untuk menjatuhkan perempuan itu. "Tapi mana aku tahu kalo Lilis dan Steve akan sejauh ini? Aku pikir mereka hanya akan berselingkuh, tidak nekad menikah. Astaga... gimana Hendra mendengar kabar istri yang dicintainya akan menikah dengan lelaki lain?" Juwi terus berbicara sendiri. Terbayang di matanya rasa kecewa
Akan berapa kali lagi harga diri seorang Hendra terkoyak? Tidak hanya satu atau dua kali Lilis membuatnya hancur, tapi itu sudah terjadi beberapa kali. Hendra pikir semuanya akan kembali membaik jika dia Alan sudah ada di tangannya. Tapi, justru Lilis semakin nekad, tega memfitnah Hendra di depan publik demi mendapat simpatik. Lilis juga dengan tak tahu malunya mengumumkan pernikahannya dengan laki-laki berprofesi aktor itu. Kemarahan Hendra sudah di ambang batas kesabarannya. Dia berniat akan menemui Lilis dan memberi istrinya pelajaran. Dan laki-laki bernama Steve itu tidak akan lepas dari tangan Hendra, kali ini. "Ratih, tolong kamu tidurkan Alan." Hendra menyerahkan putranya pada baby sitter, lantas berjalan menuju pintu utama. Kakinya belum benar-benar pulih, Hendra terpincang-pincang menuju mobil yang terparkir di halaman samping. Tekadnya untuk memberi pelajaran pada istri yang tak tahu diri itu sudah bulat! Tidak peduli dia meski pada akhirnya akan lebih terluka lagi. "Hen
"Tidak ada yang bisa mengakhiri kontrak, kecuali aku!" sahut Juwita tegas. Matanya menatap Hendra lurus. Di saat seperti ini tidak seharusnya Juwita justru membuat lelaki itu membenci dirinya. Lihat lah tatapan mata Hendra yang penuh kilat kebencian, mampu menusuk Juwi sampai ke relung terdalam wanita itu. Juwi merasakan kesakitan di dalam dadanya, mendapati Hendra dengan emosi yang sudah tak tertahan. Apalagi saat lelaki itu mendengus, menambah kesan ejekan pada Juwita. "Karena kamu orang kaya dan bisa melakukan apa pun?" Hendra terkekeh, selama menikah dengan Juwi, ini kali pertama Hendra menunjukkan sikap angkuhnya. " Kamu yang berkuasa atas hidupku, dan bisa mengontrol segala yang ada padaku." Sekali lagi jurang itu Hendra gali di depan Juwita. Perempuan itu hampir saja terjatuh, berat tubuhnya terasa bertambah seketika, kala mendengar Hendra menilainya sangat buruk. Ah... Juwi sudah terlena dengan kebaikan Hendra belakangan ini. Dia pikir lelaki itu akan membuka sedikit hatiny
Satu malaman penuh Hendra memikirkan hidupnya yang sangat prihatin. Sejak menikah dengan Lilis dia selalu dianggap sebagai suami yang tidak berguna, meski Hendra sudah berusaha sekuat yang dia mampu. Seakan usaha itu semuanya sia-sia di mata Lilis. Setelah pembicaraan dengan Juwita, Hendra mengubah cara pikirnya yang selama ini minder dengan kekurangan itu. Bukan Hendra yang tidak berguna, bukan pula tidak berusaha. Dia hanya berada di situasi yang tidak tepat. Ketika akhirnya mendapat kesempatan, kenapa harus disia-siakan? Akan Hendra tunjukkan bahwa dia lebih baik dari pandangan orang-orang tentangnya. Pagi ini Hendra sudah bersiap dengan pakaian kantor. Dia menuruni anak tangga menuju meja makan, seperti kebiasaannya selama ini. Ketika melihatnya, Juwita tertegun sejenak. Mereka memang tidur di kamar terpisah tadi malam, Juwita memilih tidur bersama Alan dan membiarkan Hendra meredam emosinya. "Kamu masih sakit, kenapa memaksa bekerja?" tanya Juwita hati-hati. "Untuk memanfaatk
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.