Satu malaman penuh Hendra memikirkan hidupnya yang sangat prihatin. Sejak menikah dengan Lilis dia selalu dianggap sebagai suami yang tidak berguna, meski Hendra sudah berusaha sekuat yang dia mampu. Seakan usaha itu semuanya sia-sia di mata Lilis. Setelah pembicaraan dengan Juwita, Hendra mengubah cara pikirnya yang selama ini minder dengan kekurangan itu. Bukan Hendra yang tidak berguna, bukan pula tidak berusaha. Dia hanya berada di situasi yang tidak tepat. Ketika akhirnya mendapat kesempatan, kenapa harus disia-siakan? Akan Hendra tunjukkan bahwa dia lebih baik dari pandangan orang-orang tentangnya. Pagi ini Hendra sudah bersiap dengan pakaian kantor. Dia menuruni anak tangga menuju meja makan, seperti kebiasaannya selama ini. Ketika melihatnya, Juwita tertegun sejenak. Mereka memang tidur di kamar terpisah tadi malam, Juwita memilih tidur bersama Alan dan membiarkan Hendra meredam emosinya. "Kamu masih sakit, kenapa memaksa bekerja?" tanya Juwita hati-hati. "Untuk memanfaatk
Saat tiba di rumah, Juwita sudah menunggu di ruang tengah. Hendra melihat istrinya itu, wajah Juwi datar tanpa ekspresi. Juwi sudah tahu apa yang Hendra lakukan, sebab di kantor tadi pun semua orang sudah heboh dengan keputusan yang Hendra buat tanpa persetujuan. Sudah barang tentu pula orang-orang kantor mengabarkannya pada Juwita. "Itu menarik, ya?" ucap Juwi, saat Hendra akan melewati istrinya yang kini berdiri. "Kamu mengambil keputusan sendiri tanpa meminta persetujuan dari aku?" "Aku capek, Wi. Bisa kita biarakan itu nanti?" Hendra masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarnya. Dia pikir untuk membersihkan diri terlebih dulu, sebelum berbicara dengan Juwita. Namun, Juwi tidak sabar melihat tingkah Hendra yang seakan mengabaikan dirinya. Dia kejar Hendra sampai ke kamar. "Aku kasih kamu kekuasaan di kantor, bukan untuk berbuat semaumu. Apa kamu tahu berapa banyak kerugian dari perbuatanmu?" cecar Juwita. Tak ada kesempatan bagi Hendra untuk menenangkan pikiran terlebih du
"Mama! Papa!" Alan berseru girang melihat pasangan suami istri yang tengah memasuki ruang makan. Juwita menggandeng tangan kiri Hendra dan bibirnya tersenyum melihat reaksi Alan yang tertawa padanya. Pasangan itu terlihat sangat mesra, tidak seperti malam sebelumnya. "Iya, Sayang." Juwi melepaskan rangkulannya dari tangan Hendra, mendekati bayi itu di tempat duduknya. Juwi mengecup kening Alan layaknya seorang ibu kandung. "Dari tadi Alan nggak mau makan, Bu. Maaf," ucap Ratih membungkuk. Memang tak biasanya Alan masih di meja makan jam segitu. "Nggak apa, Ratih, mungkin Alan kangen makan malam bareng papanya," sahut Juwita, melirik Hendra di sebelahnya. Apalagi pagi tadi juga Alan tidak melihat Hendra saat berangkat dari rumah, lalu ketika pulang pun, Alan sempat menyaksikan orang tuanya bertengkar. Juwi pikir, mungkin bayi itu juga bisa merasakan hati orang tuanya tidak baik-baik saja. Tapi syukur lah sekarang Alan tampak girang, dia membuka mulutnya saat Juwita menyuap sesen
Kepala Hendra masih dipenuhi pertanyaan akan arti dari perkataan istrinya. Dia tatap Juwita sangat lama untuk mencari jawaban dari semua pertanyaan itu. Tidak ada yang ganjil di sana, Juwita terlihat tulus mengatakannya. Tapi, Hendra tidak berani meyakininya, sebab tak ingin akhirnya luka yang dia dapat dari harapan yang tidak sesuai. "Sejak Alan manggil aku mama, aku sangat senang," ucap Juwita, matanya sudah turun menatap lantai di bawah kaki mereka. "Aku udah berusaha menganggap diri aku sebagai tante bagi Alan, tapi... aku nggak bisa," lanjutnya, suara perempuan itu semakin pelan di akhir kalimatnya. "Hen, kamu... maaf kalau kamu keberatan. Tapi... apa boleh aku menganggap seperti itu?" Tentu saja itu yang sangat Hendra harapkan. Bahkan jika bisa pun, Hendra ingin Juwita lah yang Alan kenal sebagai ibu kandungnya. "Hanya di rumah ini. Aku juga nggak akan meminta banyak, jika ternyata Alan tahu Lilis lah ibunya." Suara Juwita semakin lemah, hatinya sakit untuk mengatakan, "La
Juwita termangu dengan mulut menganga. Apakah Hendra baru berkata tidak mau menceraikan Lilis? Juwi harap itu hanya salah mendengar. Di tidak rela memikirkan Hendra masih ingin bersama Lilis. "Apa kata kamu? Kamu... nggak mau cerai sama aku?" Tapi apa yang keluar dari mulut Lilis, menyadarkan Juwita. Dia tidak salah mendengar, memang Hendra berkata tidak akan menceraikan perempuan itu. Dadanya bergemuruh bagai tersambar petir, dan hatinya mencelus ke dalam. Juwita hampir saja terjatuh jika tangannya tidak segera memegangi besi di sebelahnya. Hendra masih menginginkan Lilis, bahkan setelah dia tahu istrinya berselingkuh. "Hen, kamu nggak lagi bercanda, kan?" ucap Lilis sekali lagi. Alisnya mengerut, pandangan matanya tidak percaya menatap suami yang sangat bodoh. "Aku udah nggak cinta sama kamu, Hendra! Lepaskan aku, aku berhak memiliki bahagiaku!" Dia memekik, memekkakkan telinga. "Tak ada yang bercanda di sini. Sekarang, kamu boleh pergi," sahut Hendra, sudah muak dia melihat Li
Masih sempat Lilis menggedor kamar Hendra dan Juwita, setelah meninggalkannya di anak tangga. Hendra lantas menghubungi satpam keamanan untuk menyeret Lilis keluar dari sana. Kini, suasana kembali hening seperti saat Lilis belum datang. Hendra duduk di salah satu sofa di dalam kamar, sedang Juwita menunduk di tepi ranjang. Banyak pertanyaan yang bermain di dalam kepala Juwita, tentang kenapa Hendra tidak mau menceraikan istri pertamanya. Hati Juwita tidak bisa tenang, ada rasa pesimis yang mengganjal, mengatakan Hendra tidak mungkin membuka hati untuknya. "Maaf, Wi," kata Hendra dari tempat duduknya. Juwita segera mengangkat wajah dan melihat lelaki itu. "Maaf untuk...." "Yang barusan terjadi." 'Jangan, jangan katakan alasan kenapa kamu nggak mau ceraikan Lilis. Aku nggak siap mendengarnya.' Batin Juwita merontah, dia tidak mampu mendengar sekali lagi Hendra akan membahas perasaannya pada perempuan itu. Tapi tetap saja, Juwita tidak kuasa menyuruh Hendra tidak mengatakannya. "Aku
Gebrakan besar yang Hendra buat di kantor, terdengar oleh kedua orang tua Juwita. Armaja sudah datang pagi-pagi sekali membuat keributan di kantor. Dia segera mendatangi Hendra di ruangannya, membentak menantu lali-laki yang sama sekali tidak dia inginkan. Juwita tidak di tempat, sebab dia merasa tidak enak badan hari ini. Hendra menghadapi mertuanya sendiri tanpa bantuan dari Juwi. "Maafkan saya, Pak. Tapi, jika kita tidak menuruti keinginan warga setempat, saya takut kita tidak bisa membangun bisnis di sana," ucap Hendra merendah diri. Armaja menatap Hendra dengan mata ingin membunuh. Sejak awal dia tidak menyukai Hendra menikah dengan putrinya. "Siapa yang peduli dengan keinginan warga setempat? Saya yang berkuasa, sayang yang berhak menentukan di mana bisnis saya dibangun!" sentak Armaja tak mau mendengar. Jika dilihat dari usia, Armaja belum sangat tua. Seharusnya dia masih bisa mengurus semua bisnis keluarga sesuai keinginannya. Hendra juga tidak mengerti kenapa justru Juw
Juwita berlari memasuki rumah sakit ke mana Hendra membawa papanya. Seharusnya Juwi masih beristirahat di rumah, tapi kabar itu tidak bisa dia abaikan begitu saja. Papa sakit setelah bertemu dengan Hendra, pasti akan membuat mamanya sangat marah.Benar saja dugaannya, ketika Juwi memasuki ruang tunggu ICU, dia melihat mamanya sudah berdiri di depan Hendra. Mamanya mengoceh dan menuduh Hendra sudah mencelakai suaminya."Ini udah kamu rencanakan sejak awal, kan? Kamu sengaja merayu anak kami untuk mendapatkan harta warisan Juwi!" sentak wanita berpenampilan anggun itu."Bukan begitu, Bu.""Jangan panggil aku ibu! Aku nggak pernah anggap kamu sebagai bagian dari keluarga ini!" sentaknya sekali lagi. "Kamu apakan suami aku? Pasti kamu melakukan sesuatu yang jahat sampe suami aku nggak sadarkan diri, kan?"Tuduhan demi tuduhan keluar dari mulut wanita itu, menyudutkan Hendra sangat banyak. Padahal, Hendra sama sekali tidak melakukan apa pun dari semua tuduhannya."Tidak begitu. Saya tidak
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.