Ruang keluarga itu hening tanpa ada yang berbicara. Empat orang yang duduk berhadapan hanya diam seribu bahasa. Hendra menggenggam erat tangan istrinya, melirik ke arah pintu untuk memastikan suara Arman sudah tidak terdengar lagi di luar sana.“Tampaknya dia sudah pergi.” ucap Hendra, menyebut Arman. “Mohon maaf, ini hari yang sangat berat untuk istriku. Juwita pasti butuh istirahat, maka aku harus membawanya pulang.”Sudah menunggu sejak tadi, tapi tak ada yang memulai pembicaraan. Hendra sendiri tidak ingin banyak bicara, sebab tak mau dikira mendahului. Lagi pun, statusnya di rumah itu sama sekali tidak diakui. Tak ingin membuat kesan buruk yang dianggap berpura baik untuk mengincar harta mereka, lebih baik Hendra pulang membawa istrinya. Mungkin masih butuh waktu untuk keluarga ini saling membuka hati dan memaafkan.“Hendra, Juwita, duduk lah kembali,” kata Armaja.Hendra melirik istrinya. Juwi tidak menunjukkan mimik tak suka, yang berarti dia tidak keberatan. Hendra mengiyakan
“Hendra, aku tidak tahu seperti apa perasaanmu pada putriku. Tapi jujur aku katakan, aku merasa sangat kecewa dan takut dengan semua yang sudah dialami Juwita,” ucap Armaja, membuka pembicaraan di antara mereka.Sebagai seorang ayah sangat wajar dia ketakutan. Apalagi setelah mendengar apa yang dialami putrinya, tentu Armaja tidak ingin hal itu terulang kembali. Laki-laki yang jelas asal-usulnya saja pun bisa menyakiti Juwi, apalagi yang mereka tidak tahu dari mana asal laki-laki ini?Armaja menatap Hendra serius. “Apa kau sungguh-sungguh mencintai putriku? Sejujurnya aku tidak terlalu peduli meski kau dari keluarga biasa, asalkan bisa menjadi pelindung baginya.”Hendra mengerti perkataan Armaja yang pasti ingin mendengar siapa dan dari mana asal-usulnya.“Aku memang berasal dari keluarga biasa. Kedua orang tuaku sudah tiada, sejak aku masih duduk di bangku kuliah. Tapi kalau untuk melindungi Juwita, nyawaku pun jadi taruhan. Cintaku pada Juwita tak perlu dijelaskan, mungkin Anda bisa
Maria menganga. Apa-apaan maksud laki-laki ini? Bukannya dulu juga Hendra sudah ikut bekerja dengan Juwita? Dia masih memiliki pikiran negatif untuk Hendra sehingga suka menduga-duga.Juwita pun ikut tidak percaya apa yang dikatakan suaminya. Dia menyikut lengan Hendra dan berbisik pada suaminya, “Hen, bukannya kamu sendiri yang meminta aku berdamai dengan orang tuaku? Kenapa kamu jadi....”Belum Juwi selesai bicara, Maria sudah tak tahan melihat keduanya berbisik-bisik.“Kenapa? Bukannya kamu seharusnya senang bisa bekerja bersama dengan istrimu? Hendra, jangan membuat kami berpikiran buruk. Kamu tidak sedang berpikir hanya Juwi yang bekerja lalu kamu enak-enakan di rumah, kan?” cecar Maria.“Nggak kok, Ma. Hendra nggak begitu. Mama tenang saja, kami pasti barengan kok. Iya kan, Hen?” kata Juwita membela suaminya. Tapi Hendra hanya diam menatap wajah istrinya yang berharap.“Maaf, Wi. Tapi....”“Ini yang membuat mama terlalu percaya pada orang lain ketimbang anak sendiri. Hendra berb
“Bagaimana kabar perusahaan? Semua baik, kan?”Hendra bertanya saat makan siang dengan sang istri. Juwita terlalu menikmati makanan yang dibuatkan suaminya, mulutnya penuh sampai tak bisa menjawab. Dia berkata-kata tidak jelas dari cela bibirnya yang sedikit terbuka—takut makanannya akan ikut menyembur.“Ditelan dulu, Sayang. Baru ngomong,” ucap Hendra lagi, dia seka sisa makanan dari bibir Juwita dengan induk jari.“Lagian, kamu lihat aku lagi nyuap juga malah ajak bicara.” Kali ini Juwita sudah bicara bicara dengan benar, makanannya sudah tertelan sepenuhnya.Sudah beberapa hari ini mereka harus berpisah di siang hari. Hendra sibuk dengan restoran yang semakin ramai, sementara Juwi harus menggantikan papanya mengurus perusahaan. Hanya ketika makan siang mereka bertemu. Terkadang Juwi yang datang ke resto, dan terkadang pula Hendra yang ke kantor membawakan istrinya makan siang.“Baik sih, kayak biasa. Cuma ya itu, beberapa kerja sama dengan keluarga Arman, dibatalkan sama mereka. Mu
“Haci!” juwita tiba-tiba bersin dan bulu kuduknya merinding. “Mau demam apa ya? Tapi kayaknya badan aku baik-baik saja.” Juwi bergumam sendiri berbicara pada dirinya. Alisnya mengerut sudah seperti orang yang berpikir panjang saja.“Hei!” Hendra mengibas tangan di depan wajah istrinya untuk menyadarkan. “Memangnya kalo bersin harus demam apa? Semua orang pernah begitu.”Benar. Semua orang bisa saja bersin bahkan berkali-kali dalam sehari, dan tidak selalu karena demam. Akan tetapi Juwi merasa ada yang aneh. Hatinya seperti was-was pada sesuatu yang tidak diketahui.“Iya, sih,” kata Juwita menanggapi Hendra. Meski otaknya masih terasa tidak setuju dengan itu.Hendra mengamati Juwita yang masih tampak berpikir keras. Dia jadi berpikir mungkin memang gejala demam. Apalagi yang tadinya dia baik-baik saja lalu tiba-tiba seperti tidak fokus begini.“Terkadang kita merasa tubuh baik-baik saja. Tapi tahunya malah mau demam. Apalagi belakangan ini kamu bekerja sangat ekstra, kaget kali badan
Semakin jauh mobil itu berjalan, rasa takut Juwi semakin menggerogoti perasaannya. Air mata sudah sejak tadi berjatuhan dari sudut mata yang sembab oleh tangis tertahan. Sesekali dia melirik kaca spion di atas kepala, memastikan orang itu mungkin lengah. Sialnya, harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Laki-laki itu membalas tatapan Juwita membuatnya kembali menatap jalanan.Bagaimana ini? Juwi masih berpikir mencari jalan keluar dari tangan laki-laki yang menculiknya. Jika dia mendorong pintu dan berguling ke luar, tubuhnya pasti hancur ditabrak mobil-mobil dari arah belakang. Itu sama saja mati sebelum berperang. Harus mendapat akal. Harus bisa melepaskan diri dari orang ini.Pelan-pelan Juwi mengambil ponselnya dan menekan pesan untuk Hendra.“Belok kiri, cepat!”Perintah laki-laki itu mengejutkan Juwita, dia tidak bisa mengetik pesannya.Ke mana ini? Kenapa mereka memasuki jalanan sepi yang tidak biasa dilewati mobil? Juwita melihat sekitar yang semakin jauh ke sudut kota. Jika sej
Di resto, Hendra membuka ponselnya saat mendengar sebuah pesan masuk. Itu dari Juwita istrinya, tapi tak ada sebuah huruf pun yang dikatakan di sana. Dia mengerutkan kening melihat lokasi yang Juwita kirimkan padanya.“Apa maksudnya?” gumam Hendra masih bingung.Tidak mungkin Juwita pergi ke lokasi itu, kan? Bekas Rumah Sakit yang sudah terabaikan, apa pula tujuan Juwita datang ke sana? Dia menghubungi nomor Juwita untuk bertanya. Tidak ingin dia gelisah oleh pikiran yang tak tenang.Sampai dua kali panggilan itu tidak juga mendapat respons, Hendra merasa sedikit aneh. Tak biasanya Juwi mengabaikan panggilan suaminya.Ini sudah pukul lima, biasanya pada jam segitu Juwi masih di kantor. Dia berinisiatif menghubungi telepon kantor, memastikan istrinya ada di sana. Tapi bukan Juwi, suara yang menerima telepon itu adalah asisten yang membantu Juwi di kantor.“Ini saya Hendra. Ibu Juwita sudah pulang?” tanya Hendra, pikirannya mulai sedikit terganggu.“Ibu sudah pulang sejak satu jam yang
“Kau gila, Arman, lepaskan aku!” Juwita menjerit di atas ranjang kecil tempatnya diikat. Setelah bergelut dengan Arman dan dua orang suruhannya, Juwi tidak bisa mengelak dipaksa naik ke lantai dua bangunan itu. Kini dia berada di dalam sebuah kamar rumah sakit, sepertinya bekas kamar pasien. Tempat itu sudah disulap menjadi bersih dan tidak terlihat seperti ruangan yang lama tak dipakai. Juwita hanya bisa meronta yang gerakannya lebih terbilang menggeliat. Arman tidak menghiraukan Juwita yang terus meminta dilepaskan. Dia hanya diam di tempatnya berdiri. “Arman, kau akan menyesal kalau berani melakukan ini padaku!” “Kenapa, Sayang? Aku sudah melakukannya, memang apa yang harus kusesalkan?” sahut Arman santai. Dia tarik kursi di sebelahnya dan duduk dengan kaki tersilang, tersenyum penuh arti dia menatap tubuh Juwita yang terikat di atas ranjang. Di matanya, pemandangan itu sangat menggairahkan. Apalagi pakaian Juwi yang sudah berantakan ke mana-mana, menunjukkan bagian paha yang
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.