"Bagaimana keadaan Ayah?" tanya Rizal. Tidak menunggu waktu lama ia sudah sampai di rumah sakit meski sudah ku larang. Lelaki yang sudah memakai seragam toko berwarna merah hitam itu mendekat ke ranjang tempat ayah berbaring dengan selang infus di tangannya. "Ayah kelelahan dan tensi darahnya naik," jawabku seraya mengusap tangan ayah. Kutatap wajahnya yang sudah terlihat lebih segar meski saat ini tengah terpejam. "Kita nggak usah masuk bekerja hari ini," kata Rizal. "Kita?" tanyaku dengan dahi berkerut. "Iya, kita. Aku dan kamu." Rizal menunjuk dadanya lalu menunjukku. "Kalau kita bekerja, siapa yang akan menjaga Ayah di sini? Ibu pasti lelah, sementara Delia harus sekolah." Aku menggeleng. "Tidak, Zal. Aku memang berencana untuk tidak masuk, tetapi kamu jangan." Lelaki berkulit putih itu tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku sudah minta izin untuk tidak masuk hari ini. Nggak usah khawatir gaji kita kena potong. Semuanya biar aku yang urus." Aku tertawa kecil. "Memangnya kita ini s
POV MiaBetapa damainya hati ini melihat aneka tanaman bunga yang sedang mekar. Angin semilir yang berembus menerpa wajahku menambah syahdunya suasana sore ini. Sapaan salam membuyarkan lamunanku yang sedang berangan tentang masa depan memiliki suami berwajah tampan dan kaya raya. Mia yang cantik ini akan menjadi ratu yang semua keinginannya terpenuhi. "Waalaikumsalam." Aku mengerucutkan bibir saat melihat yang datang adalah Pak RT dengan sebuah buku serta pulpen di tangannya. "Ada apa, Pak?" tanyaku tanpa mempersilakan lelaki berkumis itu duduk. "Saya mau menagih dana sosial, Mbak Mia," "Mbak Mbak. Sejak kapan aku nikah dengan kakakmu. Memangnya aku setua itu sampai harus dipanggil Mbak? Panggil nama saja. Nggak usah pakai Mbak," ucapku ketus. "Baik, Mia. Saya datang ke sini karena mau menagih dana sosial." Dahiku berkerut. "Dana sosial? Buat apa? Itu bukan urusanku." "Pak Daris masuk rumah sakit. Sesuai kesepakatan kita bersama bahwa setiap ada salah seorang warga yang diraw
PoV EllySuasana di rumah sudah mulai banyak orang. Tidak terasa hari pernikahanku dengan Rizal akan digelar besok sesuai dengan rencana awal, bukan dimajukan seperti keinginan Rizal. Di dapur ada beberapa ibu-ibu yang sedang memasak untuk acara besok. Rencananya akan ada acara sederhana dengan mengundang satu RT saja. Satu minggu sudah aku tidak bertemu dengan Rizal karena aku harus menjalani masa pingitan seperti permintaan ayah meski sebenarnya aku keberatan. Seharusnya masa pingitan ini adalah selama satu bulan, tetapi aku hanya mengajukan cuti selama satu minggu saja. Satu minggu tidak bertemu dengan Rizal nyatanya rasa rindu ini semakin membelenggu. Aku rindu senyum manis dan tawa renyah yang selalu menggodaku. Ah, dia adalah lelaki sederhana yang mampu membuatku terpesona dan tidak bisa menolak saat dia menyatakan cinta. "El, aku mau bicara, boleh?" tanya Rizal saat kami tengah makan siang bersama. Waktu itu selain kami berdua ada juga Fatma yang juga teman satu pekerjaan.
PoV AuthorDi sebuah rumah megah, Irma--suami Pras tengah menunggu kepulangan suaminya dengan gelisah. Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat dan sebentar lagi malam menjelang, tetapi sang suami belum juga pulang. "Sudahlah, Bu. Nggak udah dikit-dikit dilihat, dikit-dikit nengok, kalau sudah saatnya, Ayah pasti pulang," kata Venny--sang anak yang sedang asyik dengan ponselnya. Gadis itu merasa sebal melihat ibunya terus melongok ke jendela dan sesekali melihat ke jalan menunggu ayahnya pulang. "Seharusnya ayahmu itu sudah pulang. Berapa lama sih perjalanan dari sini ke rumah sakit?" Irma mengerucutkan bibir. "Mungkin masih menunggu Elly beres-beres, Bu. Sabar aja, nanti juga pulang." "Jika benar Mas Pras harus menunggu mereka beberes dulu, aku harus minta tambah ongkos. Waktu itu berharga. Seharusnya mereka menelepon minta jemput saat semua sudah selesai bukannya malah meminta Mas Pras menunggu. Dia pikir, kita nggak punya pekerjaan apa!" Wanita yang masih terlihat cantik di
Elly tertawa saat wanita yang memperkenalkan diri dengan nama Vivi itu mengatakan calon suaminya adalah seorang boss. Namun, segera ia menguasai diri. Rizal memang boss bagi wanita yang bertugas merias dirinya itu karena dia yang akan membayar atas kerja kerasnya hari ini, bukan? Vivi meminta asistennya untuk menyiapkan semua alat yang dibutuhkan. Vivi hanya bisa tepok jidat saat Elly bilang belum mandi. "Saya pikir habis mandi langsung ganti baju dan mekap lima menit, beres. Mas Rizal tidak pernah bilang kalau saya harus mekap sebelum akad." Elly nyengir. "Iya, Pak Rizal bilang ini kejutan karena dia pikir akad nikah lebih penting dari pesta itu sendiri. Karena itu dia ingin sang pengantin tampil istimewa sehingga terlihat sempurna saat difoto," kata Vivi. Gadis yang kesehariannya selalu memakai kerudung instan sehingga sering dibilang tidak gaul dan dibilang mirip emak-emak oleh Mia itu bergegas ke kamar mandi. Hanya berselang sepuluh menit, Elly sudah selesai mandi sehingga me
Dengan percaya diri, Mia menuju rumah Elly untuk tebar pesona, tetapi di ruang tamu masih sepi. Yang ramai hanya di bagian dapur oleh ibu-ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk para tamu yang akan datang sebentar lagi. Karena masih sepi, Mia memutuskan untuk pulang dulu. Hana dan Daris dapat bernapas lega setelah memastikan semua makanan sudah siap. Sementara itu, Elly masih berada di kamar untuk mekap yang akan selesai tidak lama lagi. "Masya Allah, benarkah ini aku?" kata Elly setelah selesai dandan dan Vivi memintanya untuk bercermin. "Saya tidak bohong, kan, kalau akan membuat semua orang pangling? Bahkan Mbak sendiri pun hampir tidak mengenali wajah sendiri. Gimana? Suka nggak dengan hasil kreasi tangan saya?" tanya Vivi mata berbinar. Elly mengusap pipinya dan kembali menatap ke cermin. "Iya, Mbak. Saya suka." Vivi bernapas lega. "Saya jamin Pak Rizal akan semakin cinta dengan Nona Elly.""Elly." Elly meralat. "Iya, Elly. Saya lupa, padahal tadi sudah panggil mbak." Viv
Mia terus menatap Elly yang bergandengan tangan dengan Rizal saat memasuki mobil. Bibirnya mengerucut. Rasa kesal dan iri terus merajai hatinya. Berulang kali Lasmi menggerakkan tangan di depan wajah Elly yang tidak berkedip dari tadi. "Seharusnya aku yang di sana bukan Elly." Mia bergumam sendiri. Dilema melanda hati Mia kala semua orang termasuk ayah dan ibunya siap berangkat mengikuti acara resepsi pernikahan Elly dan Rizal yang akan diadakan di hotel berbintang itu. Ingin ikut, tetapi gengsi. Tidak ikut, tetapi penasaran. Bagaimana itu? "Ayo, Mi. Yang lain sudah pada siap berangkat itu?" Lasmi menunjuk mobil-mobil yang berbaris di jalan depan rumah Elly sampai depan rumahnya. Rizal tidak membatasi siapa saja yang akan ikut ke pesta pernikahannya. Ia memberi kebebasan pada mertuanya untuk mengajak serta keluarga besarnya. Ia juga yang mengizinkan bagi tetangga Elly yang punya mobil untuk ikut dan nanti dia yang akan mengganti uang bensin. Mendengar uang bensin dapat ganti, P
Natasya uring-uringan begitu sampai di rumah. Bayangan lelaki yang tadi tersenyum bahagia di pelaminan terus terbayang di pelupuk matanya. "Kenapa Papa tidak bilang kalau anak Om Elang itu dia?" tanya Natasya pada papanya."Memangnya kenapa? Kamu sendiri yang bilang kalau sekarang bukan zamannya lagi main jodoh-jodohan. Lagi pula kamu yang bilang kalau sudah punya pilihan sendiri, kan? Kenapa harus marah?" jawab Adrian santai. Wanita cantik berjilbab ungu itu mengusap matanya yang sudah basah oleh air mata. "Seharusnya Papa bilang ke aku kalau dia itu tampan. Setidaknya kasih lihat fotonya agar aku tidak meradang kayak gini?" Natasya menjatuhkan bobotnya di sofa empuk lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Lagi dan lagi senyum Rizal yang sangat manis kembali hadir begitu saja. Adrian mengusap pundak sang putri yang tengah menyembunyikan wajahnya itu. "Sudahlah.Tidak ada gunanya menyesal. Lelaki pilihan Papa itu sudah bahagia dengan pilihannya sendiri. Sekarang kasih tahu ke
Tangan Andra gemetar saat menanda tangani berkas persetujuan bahwa istrinya harus dilakukan tindakan operasi caesar saat akan melahirkan. Lelaki itu sebenarnya keberatan Mia dioperasi karena dia tahu biayanya lebih mahal dibandingkan dengan lahiran normal. Namun, demi keselamatan istri dan calon anaknya dia tetap tanda tangan juga. Perkara uang, bisa dipikir nanti. Dia memang sudah punya tabungan, tetapi hanya cukup untuk digunakan jika Mia lahiran normal sedangkan dia tidak berani minta pada mertuanya meski dia tahu orang tua Mia punya banyak uang. Dia tahu, mertuanya terutama sang ibu tidak menyukainya sebagai menantu karena dia hanya anak pembantu. Andra takut ibu istrinya itu tidak mau membantunya. Dan yang paling membuatnya takut adalah mertuanya mau memberi bantuan asalkan dia mau berpisah dengan Mia. Tidak. Apa pun alasannya, Andra tidak mau berpisah dengan Mia terlebih setelah adanya buah hati di antara mereka. Setelah menunggu hampir satu jam lamanya, akhirnya operasi ca
"Akhirnya kamu ketemu jodohnya juga, Vin. Ibu bilang juga apa? Lelaki tampan dan sukses seperti kamu pasti akan mendapat jodoh wanita yang cantik dan sukses juga," kata Irma seraya mengusap pucuk kepala anak lelakinya itu. Besok adalah hari pernikahan Alvin dengan seorang wanita pilihan neneknya yang masih ada hubungan kekerabatan dengan keluarga mereka. "Ibu senang kamu mau menikah dengan pilihan Nenek yang sudah pasti jelas asal usulnya. Jelas bibit bebet dan bobotnya. Cantiknya sungguhan dan kekayaannya juga bukan bohongan." Irma sengaja meninggikan suaranya agar orang-orang yang sedang berada di dapur itu mendengar ucapannya termasuk Lasmi. Di dapur sedang banyak orang yang sedang membantu memasak untuk acara esok hari. Lasmi yang sedang mengulek cabai di dapur untuk membuat sambal goreng hanya melengos mendengar ucapan Irma. Kakak iparnyanya itu sedang memuji anaknya, tetapi terdengar menyebalkan baginya. Bagaimana tidak? Lasmi merasa seolah sang kakak ipar sedang menyindir
"Minum dulu, Bu." Mia membantu Lasmi duduk setelah beberapa saat yang lalu siuman dari pingsan. Wanita itu tidak sadarkan diri setelah mengetahui fakta yang sebenarnya kalau besannya hanya seorang pembantu di rumah mewah itu. Ucapan Venny kembali terngiang di kepalanya. Ternyata keponakannya itu tidak bohong. Mau ditaruh di mana mukanya nanti saat bertemu gadis yang sudah pernah memberi tahu siapa Andra yang sebenarnya, tetapi dia malah tidak percaya. Segelas teh yang masih mengepulkan asap diangsurkan Mia pada sang ibu.Lasmi enggan menerima minuman itu dan membiarkannya tetap berada di tangan Mia. Kenyataan bahwa anak gadisnya hanya bersuamikan seorang anak pembantu membuatnya tidak berselera meski hanya minum saja. Geri mengambil alih minuman itu dari tangan Mia lalu memberikan pada sang istri. "Minum dulu agar tubuhmu sedikit bertenaga. Kulihat wajahmu begitu pucat." Akhirnya Lasmi mau minum. Dia menatap Mia seraya menyeruput sedikit demi sedikit minuman manis itu. Rasa hang
"Kenapa, Mas? Kok kayak lagi banyak pikiran gitu?" tanya Elly saat berada di meja makan dan melihat suaminya seperti tidak selera makan. "Ah, enggak. Aku nggak apa-apa, kok." Lelaki bermata teduh itu hanya membolak-balik makanan di hadapannya. Nasi di piringnya belum berkurang separuhnya padahal punya Elly sudah mulai habis. Elly menghela napas perlahan. Dia berdiri lalu mengambil piring milik Rizal. "Masakanku nggak enak, ya? Aku ganti aja, ya? Mau minta dimasakin apa? Atau mau pesan online aja." Rizal tersenyum. Diambilnya kembali piring miliknya dari tangan sang istri. "Nggak usah. Makanan ini enak. Rasanya pas di lidah. Apalagi ini juga makanan favorit aku." Lelaki itu mengambil sebiji udang goreng tepung lalu mencocolnya dengan saus dan menggigitnya. "Tetapi kenapa kayak nggak enak gitu? Tuh, lihat makanan aku sudah hampir habis sedangkan kamu masih banyak." Elly menunjuk piring Rizal. "Kalau memang ada masalah, cerita sama aku, Mas. Apa mungkin ada masalah di toko?" Lel
Andra mengumpat dalam hati. 'Siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa dia bisa tahu aku? Si@l. Kenapa orang-orang sepertinya tidak suka melihat aku bahagia sedikit saja.'"Katakan padaku, Mas. Kalau yang dibilang Venny itu tidak benar." Mia mengulangi pertanyaannya.Andra mendongak. Ditatapnya Mia yang terlihat sangat cantik sempurna di matanya. "Iya, Mia, aku__Tangan Mia terulur. Jarinya mendarat di bibir Andra. "Ssstt. Aku percaya seratus persen sama kamu karena aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri. Sepupuku itu memang begitu, dia paling nggak suka melihat aku bahagia. Dari dulu kami memang nggak pernah akur. Selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik. Namun, sekarang akulah pemenangnya. Dia pasti iri." Mia berkata sambil melirik Venny yang duduk diapit Alvin dan ibunya. Venny melotot. Dia tidak terima dengan ucapan Mia. "Eh, siapa bilang aku iri? Yang kukatakan ini be__Venny tidak melanjutkan ucapannya karena mulutnya dibekap oleh Alvin lalu mengajaknya berdiri dan menarik
"Kalau bukan Rizal yang memberi tahu pada Mia, lalu siapa? Rizal nggak mungkin berani bersumpah atas nama Tuhan.Mungkinkah ada seseorang yang tahu siapa aku sebenarnya dan orang itu kenal dengan Mia?" Andra berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Sebuah kamar berada dekat dapur yang luasnya tentu saja tidak seluas punya sang majikan. Iya, dia memang diperbolehkan pinjam barang termasuk pakaian milik Ferdi, tetapi untuk fasilitas kamar tidur tetap menempati kamar pembantu dan sama sekali tidak diperkenankan tidur di kamar majikan. Pikiran Andra gelisah. Sesekali ia mengacak rambutnya karena frustrasi. Lelaki bertubuh tinggi itu berjalan menuju jendela. Tatapan matanya tertuju pada pohon-pohon di samping rumah yang rimbun Berharap hatinya tenang jika pandangannya teralihkan. Alih-alih tenang, lelaki itu justru semakin gelisah. Lalu ia berjalan kembali menuju ranjang dan menjatuhkan bobotnya di sana dengan kasar. "Aduh, aku jadi takut Mia membatalkan pernikahan ini jika tahu siap
"Dikasih tahu tapi nggak percaya, ya, udah." Venny pulang ke rumahnya dengan menghentakkan kaki dan terus menggerutu. "Padahal di sini terlihat siapa Andra yang sebenarnya." Venny menatap video yang ia rekam di ponselnya beberapa hari yang lalu.Waktu itu Venny sedang jalan-jalan dan tanpa sengaja melewati depan rumah Andra. Dia melihat calon suami sepupunya itu sedang mengepel lantai sambil sesekali mengusap keringatnya yang bercucuran di pelipis. Dahi Venny berkerut melihat pemandangan yang tak lazim baginya itu. Wanita itu kagum dengan Andra. Jarang-jarang ada orang kaya yang mau melakukan pekerjaan rumahnya sendiri apalagi mengepel lantai yang sangat melelahkan dan membuat pinggang encok. Akan tetapi, rasa kagum itu berubah menjadi heran saat di lain kesempatan ia melihat Andra yang turun dari mobil dengan tergesa-gesa lalu berlari memutar menuju pintu mobil untuk membukanya. Saat seorang wanita tua turun dari mobil, Andra menaruh hormat dengan membungkukkan badannya. "Siapa w
"Ada apa, Mas? Mas kenal dengan calon suami Mia?" tanya Elly saat keduanya dalam perjalanan pulang dari rumah Mia. Rizal menarik tangan sang istri. "Kita bicara di dalam saja." Rizal menghela napas besar. "Sebenarnya ini rahasia. Sangat rahasia," ucap lelaki tampan berbaju batik itu setelah keduanya duduk di ranjang yang dulu menjadi kamar Elly. "Rahasia?" tanya Elly dengan dahi berkerut. "Yupz, tetapi aku sudah janji di antara kita tidak akan ada rahasia lagi, kan?" "Sebenarnya ini ada apa, Mas? Katakan saja agar aku tidak penasaran." Akhirnya Rizal menceritakan semuanya tentang siapa Andra--calon suami sepupu istrinya itu. "Hah? Maksudnya si Andra itu sebenarnya bukan orang kaya seperti yang Mia kira?" tanya Elly. Rizal mengangguk. Wanita itu ingat dengan ucapan Mia kemarin yang mengatakan kalau dirinya akan dilamar secara resmi oleh orang tampan dan kaya tujuh turunan. Punya rumah bagus dan mobil mewah. "Kalau begitu aku harus menemui Mia untuk memberitahukan ini. Sebelum
"Serius si Mia sudah ada yang mau ngelamar?" tanya Venny saat Lasmi datang mengundang keluarganya untuk datang ke rumah menyaksikan lamaran adik sepupunya itu. Lasmi tersenyum. "Tentu saja. Mia akan dilamar orang kaya yang tampan dan punya rumah mewah. Pokoknya setelah ini Mia bakal jadi ratu." Venny mencibir. Hatinya merasa terbakar. Sepupu yang selalu dia anggap sebagai rival itu menikah lebih dulu meski sebenarnya usianya memang lebih tua Mia dua tahun. Mia sudah selesai kuliah dan dirinya masih berjuang membuat skripsi. "Aku nggak percaya Mia dapat orang kaya apalagi yang tampan." Venny mendengkus. Tidak rela rasanya jika Mia mendapatkan lelaki sesuai harapan. Lasmi tersenyum sinis. "Aku nggak memaksa kamu untuk percaya, tapi yang jelas dia lebih segalanya daripada Alvin. Kakakmu itu pasti akan menyesal telah menolak Mia pada waktu itu jika pada akhirnya anakku mendapat yang terbaik." Muka Lasmi memerah. Darahnya menggelegak saat ingat penolakan Alvin atas Mia yang menaruh h