Share

Bab 2

Ketika tersadar kembali, aku terbaring di sofa rumah. Hatiku masih tegang. Begitu melihat Lionel keluar dari dapur dengan membawa sepotong kue, tubuhku sampai gemetar saking ketakutannya.

Aku terkejut saat menyadari bahwa semua luka tusukan di tubuhku menghilang secara ajaib. Bahkan rasa sakitnya pun seolah-olah tidak pernah muncul sebelumnya.

Tatapan Lionel tetap lembut seperti biasa, "Kamu masih syok? Ayo, cepat makan kuenya. Bukankah kamu terus merengek ingin makan kue dari toko ini beberapa waktu yang lalu? Aku sudah mengantri dari jam lima pagi."

"Selamat ulang tahun Helena cantik. Semoga kamu bahagia selalu."

Bahagia selalu!

Aku menatap erat lengan kanan Lionel yang utuh itu. Aku sampai berkeringat dingin saking terkejutnya.

Aku terlahir kembali pada hari kecelakaan Lionel. Adegan berdarah dari kehidupanku sebelumnya masih tergambar jelas di benakku. Tanpa memedulikan tubuhku yang sedang demam tinggi, aku berusaha mati-matian ingin melarikan diri. Aku ingin melarikan diri dari iblis ini.

Lionel merasa bingung. Dia mengira dia telah melakukan kesalahan lagi yang membuatku marah. Dia mengikutiku keluar dari kompleks perumahan dengan memegang kue di tangannya.

Aku berlari semakin cepat. Semakin berlari, aku menjadi semakin sadar, lalu aku pun perlahan-lahan berhenti.

Benar juga, hari ini adalah hari ulang tahunku, dan itu adalah sehari sebelum kecelakaan mobil terjadi. Awalnya, kami sepakat untuk membuat kerajinan tangan bersama di sore hari. Asal aku nggak minum teh susu itu di tengah perjalanan dan membiarkan Lionel pergi dari hadapanku, asal semua tragedi ini nggak terjadi, maka kami tetaplah kami.'

Hari-hari yang penuh kasih dan indah itu terus terlintas dalam ingatanku. Aku menyadari bahwa aku masih mencintai Lionel.

Aku membuat keputusan. Aku ingin mengubah segalanya.

Aku berbalik dan melihat Lionel mengejarku keluar dengan tubuh yang bercucuran keringat. Dengan senyuman yang dipaksakan, dia berkata, "Bagaimana? Aku sudah menyiapkan kejutan untukmu. Apakah kamu terkejut?"

Lionel dengan lembut mengusap hidungku dengan tangannya, "Sudah sebesar ini, masih saja nakal, benar-benar anak yang iseng. Kalau kamu membuatku takut seperti ini lagi lain kali, aku nggak akan membiarkanmu makan kue yang aku buat."

Lionel mengambilkan sepotong kue dan menyuapinya untukku. Kue itu sangat manis sampai-sampai membuat hatiku merasa sedih.

Syukurlah, sekarang dia masih menjadi kekasihku yang sempurna, seorang pemuda yang penuh semangat.

Setelah makan siang, aku memanfaatkan harapan ulang tahunku agar Lionel bisa menemaniku seharian penuh untuk menahannya tidak keluar. Kami duduk di sofa sambil menonton film. Melihat waktu yang terus berlalu, aku rasanya seperti sedang menghadapi musuh yang tangguh. Akhirnya, jarum jam sudah melewati pukul enam, aku pun langsung menghela napas lega.

Lionel menatapku dengan ekspresi aneh di wajahnya, "Kok aku merasa kamu seperti akan pergi ke medan perang? Kenapa kamu begitu gugup? Apakah kamu akan cemas karena sudah mau sidang skripsi? Tenang saja, ada aku. Aku nggak akan membiarkan Putriku nggak lulus."

Aku tersenyum tenang kepadanya.

"Ngomong-ngomong, kamu mau minum teh susu? Bukankah terakhir kali kamu bilang kalau kamu ingin minum teh susu rasa talas yang baru dikeluarkan oleh Dom Dom? Aku akan membelikannya untukmu."

Napas yang baru saja lega tiba-tiba naik ke tenggorokanku. Aku langsung menariknya dengan panik, "Nggak, aku nggak mau minum. Aku nggak mau minum teh susu hari ini."

Melihat Lionel menatapku lekat, seolah mencurigai jika aku sakit, aku langsung memegang tangannya dan berkata dengan manja, "Aku baru bisa libur hari ini, jadi aku hanya ingin tinggal bersamamu lebih lama. Kamu nggak bersedia menemaniku?"

Lionel mengelus kepalaku dengan penuh kasih, "Bodoh, apa pun maumu akan aku turuti."

Aku menahannya sampai jam delapan malam. Aku pikir waktunya sudah cukup, sehingga aku pergi ke kamar mandi untuk mandi. Saat mandi, aku mendengar telepon Lionel berdering, lalu samar-samar terdengar, "Baik, Pak, aku akan segera mengantarkannya .... "

Aku bertanya kepada Lionel melalui pintu kaca, "Kamu mau keluar?"

Lionel segera mengenakan jaketnya, "Dosen pembimbing kampus kita bilang kalauada orang dari luar negeri yang berkunjung hari ini, jadi dia meminta kita untuk mengirimkan karya kelulusan kita ke sana. Mungkin kita bisa mendapatkan kuota untuk dikirim ke luar negeri terlebih dulu. Mana karyamu? Aku juga akan mengantarkannya sekalian ke sana."

Tanpa alasan lain, aku merasa sedikit panik.

Aku menghibur diriku sendiri bahwa tidak apa-apa, waktu itu telah lama berlalu. Lagi pula, jalan menuju kampus berlawanan arah dengan tempat kecelakaan mobil Lionel di kehidupan sebelumnya. Setelah dia keluar, aku terus merasa khawatir. Aku meneleponnya setiap sepuluh menit dan menyuruhnya pulang lebih awal.

Satu jam kemudian, telepon Lionel sudah tidak dapat dihubungi lagi. Aku tahu bahwa telah terjadi sesuatu.

Aku mengabaikan rambutku yang belum kering, lalu mengenakan jaket dan bergegas pergi. Sesampainya di sekolah, aku diberitahu bahwa Lionel telah pergi satu jam yang lalu. Aku berlari kencang di jalan, berharap kemunculanku dapat mencegah tragedi ini. Namun, tetap saja terlambat.

Di tengah jeritan yang tak terhitung jumlahnya dan di bawah cahaya malam yang gelap, aku melihat sekali lagi adegan mobil yang menggilas lengan Lionel bolak balik.

Bau darah, rasa nyeri, dan hawa dingin, membuatku membeku seketika di tempat.

"Sopirnya masih pemula. Dia baru saja mendapatkan SIM. Siapa sangka, hal ini akan terjadi pada hari pertama dia menyetir. Katanya, dia bisa memberi kompensasi kepadamu sebesar 10 miliar. Kalian berdamai saja."

Di depan ruang ICU, polisi menasihatiku seperti itu.

Aku berlari ke arahnya seperti orang gila dan menampar sopir itu, "Damai? Gimana damainya? Dia seorang pelukis. Tanpa tangan kanan, menurutmu, bagaimana dia bisa melukis selama sisa hidupnya? Kalian nggak hanya mengambil sebuah lengannya, tapi juga nyawanya! Dan nyawaku juga!"

Sylvia Juanda, yang merupakan sahabatku, melangkah maju dan meraihku, "Helen, jangan seperti itu. Sekarang Lionel membutuhkan uang untuk pengobatan. Kita sangat membutuhkan uang itu. Lengannya hilang, kita masih dapat memikirkan cara. Kalau nyawanya hilang, bagaimana pertanggungjawabanmu kepada orang tua Lionel?"

Aku benar-benar merasa putus asa, "Kalau begitu, berikan nyawaku saja. Aku nggak ingin Lionel menjadi seperti ini. Aku ingin dia sembuh. Aku ingin tangan kanannya menjadi sembuh."

Sylvia tidak tahan lagi dan menamparku dengan keras, "Helena, sadarlah. Semua ini sudah terjadi, apa yang bisa kamu lakukan? Sekarang hidup atau mati Lionel masih belum pasti. Dia masih menunggumu membuat keputusan untuk menyelamatkan hidupnya, tapi kamu malah menyalahi diri sendiri di sini. Apa gunanya!"

Aku terjatuh duduk ke lantai. Dinginnya lantai menyedot hawa panas dari tubuhku. Saat ini, aku seperti mayat duduk yang sedang menunggu panggilan penguasa akhirat.

Gelombang ketakutan memenuhi diriku. Sylvia terus menasihatiku bahwa setidaknya nyawa Lionel masih bisa terselamatkan dan masih ada harapan. Aku berbaring di bahunya dan menangis sesengukkan. Sylvia tidak bisa mengerti bahwa harapannya telah sirna sejak awal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status