Bagus berhasil masuk ke kediaman Asep. Dirasakannya tempat tinggal tetangganya itu yang lembab dan minim cahaya. Sungguh membuat tidak nyaman bagi siapa pun yang menempati rumah ini. Meski penerangan yang sedikit, Bagus dapat melihat sosok wanita yang berada sejauh satu meter dari posisinya berdiri. Bagus memangkas jaraknya dengan Hanna yang masih duduk di kursi.
Bagus terkejut ketika melihat gadis itu yang setengah telanjang. Namun, hasrat Bagus tidaklah langsung naik hanya gara-gara itu. Dirinya bukanlah Asep. Tujuan Bagus adalah murni ingin menyelamatkan gadis itu. Beragam asumsi sudah bersarang di kepala Bagus. Bisa saja Asep belum menuntaskan nafsu bejatnya terhadap wanita ini. Atau, bisa jadi sudah diperbuat Asep. Entahlah, Bagus tidak tahu. Ia mencoba membangun wanita itu agar secepatnya bisa bebas dari tempat ini, sebelum Asep datang. Bagus membuka kain yang menyumpal mulut Hanna.“Hey, kamu! Bangunlah. Ayo!” titah Bagus sambil menepuk-nepuk pipi Hanna. “Hey! Ayo, bangun! Kamu harus cepat keluar dari sini,” ucap Bagus lagi. Kini ia mengguncang bahu gadis itu. Melihat tidak ada pergerakan dari Hanna, pikir Bagus gadis itu jatuh pingsan. Lelaki itu berinisiatif untuk membawanya ke rumah. Diedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah Asep, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menutupi tubuh Hanna. Karena tidak mungkin ia membawa seorang wanita dalam kondisi seperti itu. Dilihatnya sebuah gorden berwarna cokelat yang cukup panjang dan lebar. Bagus menarik gorden tersebut. Dibukanya ikatan tangan yang ada di belakang Hanna lalu ke kakinya. Lantas, membalut tubuh gadis itu dengan gorden yang ia ambil. Bagus menggendong tubuh Hanna ke rumahnya. Sempat berpikir dari mana akan lewat karena jika melalui jendela, hanya muat untuk satu orang saja, sedangkan Bagus saat ini tengah menggendong Hanna. Lelaki itu mencoba dari pintu belakang yang syukurnya tidak terkunci. Masih bisa dibuka dari dalam. Di tengah guyuran hujan, Bagus membawa Hanna. Tubuh mereka kebasahan. Sesampainya di dalam rumah, Bagus berjalan mengendap-ngendap, takut jika ayah dan adiknya nanti terbangun. Setibanya di kamar, Bagus membaringkan tubuh Hanna di kasurnya. Bagus mengambil kain bersih yang ada di dalam lemari lalu mulai mengeringkan sekaligus membersihkan tubuh Hanna. Gerakannya terhenti ketika melihat wajah Hanna. Ditatapnya lekat-lekat. “Siapa wanita ini? Apa hubungannya dia dengan Asep? Apakah dia korban lelaki itu selanjutnya?” tanya Bagus. Tidak heran jika Asep memang lelaki terhina yang Bagus kenal. Mungkin saja wanita yang ia selamatkan ini merupakan korban Asep yang ke sekian kalinya.Usai membersihkan tubuh Hanna, Bagus hendak memakaikan baju untuk gadis itu. Ia keluar kamar, dilihatnya ada pakaian milik Tyas yang berada di keranjang, tempat yang biasa adiknya itu gunakan untuk meletakkan baju-baju yang belum disetrika. Terletak di bawah, dekat kursi panjang yang terbuat dari kayu. Bagus mengambil satu baju panjang berwarna biru muda. Sedikit kusut, asal tidak bau, tidak apa-apa, pikir Bagus. Perawakan Tyas dan Hanna hampir sama. Jadi, untuk sementara waktu, Hanna memakai baju adiknya dulu. Bagus kembali ke kamar, memakaian baju Tyas ke Hanna. Gadis itu belum juga sadar rupanya. Rasa kantuk mulai menyerang. Tidak mungkin Bagus berbaring di sebelah Hanna. Sebelum meninggalkan Hanna, diberikan sebuah selimut untuk menghangatkan tubuh gadis itu dari cuaca dingin yang menyerang situasi malam ini. Ia pun keluar kamar lalu menuju teras, merebahkan tubuh ke lantai yang dingin tanpa bantal dan selimut. Di luar dalam kondisi masih hujan. ****Beberapa jam setelahnya. Tepat pukul 02.21 WIB, pagi hari, Asep yang telah kembali seusai menerima uang dari Robby. Diparkirkannya mobil di depan rumah dengan raut wajah berseri-seri, sehabis menerima banyak uang dari Robby. Asep yang belum keluar dari mobil, masih tergambar jelas bentuk tubuh Hanna, bermaksud melanjutkan hasratnya. Ternyata, Asep sepulang dari menemui Robby, ia membeli obat kuat. Sebuah pikiran kotor agar bisa kuat melampiaskan nafsu bejatnya kepada Hanna sampai matahari terbit dari ufuk timur.Asep mengeluarkan obat dan air mineral yang tadi sudah dibelinya. Menenggak obat berbentuk pil itu. Setelah meminumnya, ia keluar dari mobil. Terlihat langit-langit dengan hujan mulai reda. Ditambah suhu yang makin dingin, dampak dari hujan yang menerjang sebelumnya. Asep tampak bersemangat setelah meneguk obat, bergegas ia meninggalkan mobil baru kesayangannya.Ia berjalan melenggang dengan raut wajah berseri, memainkan kunci mobil di ujung jari. Seperti pemburu ingin segera menyantap hasil tangkapan. Namun, seketika wajahnya berubah menjadi suram, panik karena melihat Hanna sudah tidak berada di tempat. Bagaimana wanita yang ia sekap bisa terlepas? Asep yakin bahwa ia benar-benar mengikat Hanna dengan kuat pada tempatnya. Apalagi seutas tali terlihat tidak ada bekas potongan benda tajam. Sudah tentu, ada seseorang yang membantu melepaskan gadis itu.“Bagaimana bisa? Sialan! Siapa yang berani melepaskannya dan ikut campur urusanku!” Umpatan keluar dari mulut Asep.Asep mengemasi barang pribadi miliknya, berniat melarikan diri ke tempat lain. Terlintas dalam pikiran Asep, apakah Robby menjebaknya? Namun, tidak mungkin karena Robby sudah membayar Asep dengan harga sangat tinggi.Dampak dari obat mulai terasa. Sesuatu yang liar di dalam tubuhnya makin menggila. Kegelisahan di pembuluh darah sudah menjalar. Di antara kekesalan dan nafsu makin memuncak, Asep pergi meninggalkan kediamannya kembali. Bukannya khawatir karena Hanna melarikan diri, Asep justru hendak pergi jajan, menyewa wanita lain ke tempat prostitusi. Kelakuan Asep terlihat masa bodoh, dirinya malah hendak melarikan diri dari tanggung jawab yang telah diberikan Robby tanpa pikir panjang.Pagi kembali datang. Sisa-sisa hujan semalam masih tampak jelas. Menimbulkan genangan di tanah sekaligus bulir-bulir air masih membasahi dedaunan. Mentari masih malu-malu menyapa orang-orang yang memulai aktivitas. Tyas yang sudah siap untuk berangkat sekolah, bergerak menuju kamar kakaknya agar dibelikan sarapan. “Kak, beliin Tyas sarapan, Kak,” ucap Tyas. Terlihat masih dari luar pintu kamar Bagus.Ia mengetuk pintu berkali-kali. Namun, sepertinya tidak ada sahutan dari dalam kamar. Merasa tidak ada jawaban, Tyas pun memilih untuk membuka pintu itu langsung. Matanya membulat seketika melihat sosok gadis cantik yang berada di ranjang kakaknya. “Siapa perempuan ini? Ke mana Kak Bagus?” tanya Tyas.Ia kembali menutup pintu, mencari ke setiap ruangan dalam rumah. Hanya pintu kamar ayahnya yang tidak dibuka. Tyas pikir, kakaknya tidak akan ada di dalam sana. Ketika ia berjalan menuju teras, langkahnya terhenti saat melihat kakaknya yang tidur di luar dengan posisi meringkuk. “Kakak, ngapain tidur di sini? Ayo, bangun, Kak!” titah Tyas. Menggoyangkan tubuh Bagus.Bagus terbangun. Mengucek mata perlahan, dilihatnya sang adik yang sudah berdiri di hadapannya. “Tyas, sudah mau berangkat sekolah, ya?” tanya Bagus. “Iya. Kakak bisa jelaskan, siapa cewek yang ada di kalam kamar Kakak?” jawab Tyas diakhiri tanya. Karena rasa penasaran masih menghantui dirinya.Bagus paham siapa yang dimaksud adiknya itu. “Kakak selamatin dia. Semalam kakak lihat dia dibawa oleh Asep ke rumahnya. Kakak nggak tau entah apa yang sudah dilakukan lelaki itu. Kakak menolongnya, jadi kakak bawa ke rumah kita dulu,” jawab Bagus. “Tapi itu bukan urusan Kakak! Biarin sajalah. Kan gini jadi nyusahin Kakak, sampai-sampai Kakak tidur di luar, padahal semalam hujan,” sergah Tyas dengan suara sedikit meninggi.“Dek, kita itu harus menolong sesama. Bisa jadi dia adalah korban Asep. Kalian sama-sama wanita. Coba kamu pikir jika kamu berada di posisinya. Pasti ingin ada seseorang yang menolong, kan? Tidak ada salahnya kita berbuat kebaikan, Dek,” ujar Bagus. Mendengar perkataan Bagus, Tyas pun merasa seperti sebuah aliran listrik mengalir di seluruh peredaran darahnya. Bisa Tyas bayangkan jika kejadian tersebut terjadi kepada dirinya sendiri.“Iya, Kak. Iya. Beliin Tyas sarapan, Kak. Tyas mau berangkat sekolah,” ucap Tyas. “Kakak belikan. Tapi kakak minta tolong, habis pulang sekolah, kamu jaga gadis itu, ya. Kasih dia makan juga,” pinta Bagus. Tyas menghela napas, “Siap, Kakakku,” kata Tyas. Bagus tersenyum. Diusapnya lembut kepala Tyas. Lantas, Bagus pergi untuk membeli sarapan untuk mereka sekeluarga. Namun, tiba-tiba saja ditahan oleh Tyas. “Kakak, tunggu!” Bagus menghentikan langkahnya lalu berbalik badan, menghadap Tyas kembali. “Iya, Dek, ada apa?” tanya sang kakak. Tyas mengarahk
“Sudah tau pusing, lagi sakit. Sok-sokan pula kamu dengan kondisi lemah begini!” ujar Tyas sambil merangkul tubuh Hanna yang lemah.“Bisa mati aku dimarahin Kakak, kalau kau sampai mati di sini. Tentu juga sangat merepotkan kami mengurus biaya kematianmu,” sambung Tyas dengan perkataan yang tidak sopan.Hanna membulatkan kedua bola mata, seperti ingin keluar dari tempatnya. Seorang gadis berkata tidak sopan untuk ke sekian kali kepadanya. Namun, yang terlintas di pikiran Hanna, walaupun Tyas tidak sopan kepadanya, tetapi ia sangat menurutin perkataan Kakaknya. Membuat Hanna menjadi penasaran siapa sang kakak yang terus menerus diucapkan gadis itu.“Sebaiknya kamu makan, jika tidak makan kondisimu akan makin melemah. Maaf kami tidak bisa memberimu makan yang enak seperti yang kau makan sehari-hari di luar sana,” imbuh Tyas dengan intonasi yang pelan. ***Bagus tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari terakhir. Ketika ia akhirnya bisa tidur, malah di tempat yang tidak nyaman. Di te
Bagus menoleh. Entah sejak kapan Asep datang dan seenaknya menghardik dirinya begitu saja. Tak ubahnya seperti Julio tadi. Perkataan Asep lebih menohok. Namun, Bagus rasa Asep-lah orang yang tak tahu diri!“Tampangku masih lebih mending darimu, Asep,” batin Bagus. Bagus bangkit dari duduknya sambil mengontrol emosi di dada. “Mungkin kau sudah merasa kaya sekarang. Tapi, hartamu didapat dari jalan yang tidak halal. Harusnya kau sadar akan hal itu,” ucap Bagus. Untuk hal yang satu ini, ia berani melawan. Sebab Asep sama seperti dirinya. Bukan sombong, tetapi Bagus bisa mengatakan kalau dirinya lebih baik dari Asep. Tetangganya itu, entah berapa banyak keburukan yang ia buat, entah dari mana saja ia peroleh pundi-pundi kekayaannya. Terakhir kali, ia memergoki Asep yang menyekap seorang gadis dalam rumahnya. Bagus jadi teringat akan gadis itu. Bagaimana kondisinya sekarang? Pikir Bagus. “Berani kau melawan aku, Sialan!” umpat Asep. Hampir saja satu bogem mentah mendarat ke wajah Bagus,
“Pak, apa benar di sini sedang membutuhkan kuli angkut?” tanya Bagus. Lelaki itu menatap Bagus dari atas sampai bawah lalu berkata, “Iya, benar.”“Saya mau menjadi kuli angkut di sini, Pak. Apa bisa?” tanya Bagus. Karena kesibukan melayani pembeli, pemilik toko itu tak sempat menginterogasi Bagus. Dia pun mengiyakan saja. Bagus amat senang, terlebih dia langsung bekerja hari itu juga. “Tolong angkat barang belanjaan ibu itu,” titah pemilik toko. Bagus mengangguk. Menghampiri seorang wanita yang dimaksud sang pemilik toko. Bagus menatap barang belanjaan wanita yang asyik berkipas itu sampai-sampai menelan ludah. Barang belanjaannya begitu banyak. Karena diam saja, membuat ibu berpenampilan modis tersebut tampak marah. “Kenapa kau diam saja? Cepat angkat barang-barang saya.” Bagus tersentak, tubuh gemetar melihat mengerikannya tatapan wanita itu. Bagus langsung mengangkat sepuluh karung beras di pungungnya. Satu karung beras, beratnya sepuluh kilo. Oh, tidak, Bagus merasakan ini le
“Rese banget tuh orang. Dia bisa bawa kendaraan apa enggak, sih. Dikiranya jalan itu punya nenek moyangnya apa? Bukannya lihat-lihat dulu. Dasar. Baju Kakak sampai kayak gini, kan.” Bagus justru tertawa mendengar celotehan adiknya. Hiburan di tengah duka. “Sudahlah, tidak apa-apa. Berpikir positif. Mungkin dia lagi buru-buru, jadi tidak melihat kakak,” ujar Bagus. Tyas memanyunkan bibirnya beberapa sentimeter ke depan. “Kakak, mah, baik banget orangnya,” balas Tyas. Bagus tersenyum tipis. Mengacak-acak rambut panjang sang adik. Bagus beranjak ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Begitu usai, dia pun berganti baju dengan yang bersih. Baju kotor tadi, dia letakkan di keranjang. Bersatu dengan pakaian kotor lain. Setelahnya, lelaki itu menghampiri adiknya yang duduk termenung di lantai. “Dek, kenapa melamun?” tanya Bagus. Ikut duduk di samping gadis itu. “Lagi melamun, mau sampai berapa lama wanita yang Kakak bawa itu berada di rumah kita?” Tyas melemparkan pertanyaan. Bagus tam
Kesedihan beserta kemarahan kini menyelimuti diri gadis itu. Menjerit dan meraung, dengan satu gerakan tangan menyapu seisi barang-barang yang ada di atas meja. Semua jatuh ke lantai. Pecah, berserak, termasuk foto kebersamaan mereka. Buat apa lagi masih dipajang, hubungan juga sudah kandas. Cairan berwarna merah keluar dari tangan Hanna akibat terkena goresan benda-benda tajam. Tangan yang terluka tidak terasa karena dikalahkan dengan perihnya luka hati. Terlihat darah menetes dari sayatan luka di tangan Hanna.Gadis itu melangkah gontai ke arah kamar mandi. Menghidupkan shower dan duduk di bawah derasnya air yang mengalir. Tubuhnya basah, meringkuk dengan kesedihan mendalam. Rasa dingin yang menyergap tak lagi dihiraukan. Air mata jatuh, bersatu dengan air dari shower yang mengalir. Darah masih mengucur, meninggalkan warna merah di lantai. Mengalir bersama air. Berakhir masuk ke saluran akhir. “Andai, andai aku bisa memutar waktu dan memperbaiki semuanya,” lirih Hanna. Menyigar ra
“Hah! Napas kau bau. Udah berapa lama kau tidak gosok gigi?” ucap lelaki tersebut lalu pergi meninggalkan Asep. “Dadah, Cantik. Hehe,” balas Asep sambil melambaikan tangan. Karena dalam kondisi tidak sadar, Asep sampai-sampai mengatakan lelaki berambut gondrong tersebut dengan kata cantik. Sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di salah satu rumah bercat putih. Suasana kawasan tersebut amat sepi karena seluruh warga masing-masing sudah terlelap dalam mimpi. Asep keluar dari dalam mobil, kondisinya sudah tidak semabuk tadi. Ia juga bisa mengendarai kendaraan beroda empat tersebut dalam keadaan selamat. Mungkin karena jalan raya jika sudah pukul 02.00 WIB agak lengang. Asep pun melangkah memasuki rumahnya, tetapi ia berpapasan dengan seseorang. Salah satu rumah tampak gelap gulita, membuat penghuninya mencari tahu penyebab lampu bisa padam. Hanya cahaya yang berasal dari senter bisa memberikan sedikit penerangan. “Apa mati lampu, ya?” tanya Bagus. Ia mendekat ke arah jendela
“Tyas, kaki kamu kenapa?” tanya Pipit, teman dekat Tyas. Tyas mendudukkan dirinya di sebelah gadis itu. “Sepatuku rusak, Pit,” jawab Tyas. “Tadi kamu naik apa kemari?” tanya Pipit lagi. “Jalan kaki. Capek banget,” jawab Tyas. Ia pun mengambil sebotol air mineral di dalam ranselnya yang selalu ia bawa dari rumah. Meneguknya perlahan. “Itu mah jauh banget, Yas. Kamu nggak punya uang, ya? Ya udah, nanti kamu pulang sama aku aja, ya,” tawar Pipit. Mata Tyas berbinar-binar. “Serius, Pit?” tanya Tyas. “Iya, serius,” jawab Pipit. Ditutup dengan senyum yang mengembang indah. “Makasih banyak, ya, Pit,” sahut Tyas. Memeluk sahabatnya itu. “Sama-sama. Oh, ya, tadi Pak Ryan nyariin kamu, sih,” ucap Tyas. “Ada perlu apa?” tanya Tyas. Mengernyitkan dahi. Heran mengapa wakil kepala sekolahnya tersebut mencari dirinya. “Nggak tau, deh. Ntar jam istirahat kamu coba aja ke ruangannya,” jawab Pipit yang dibalas anggukan oleh Tyas. Begitu bel istirahat berbunyi, Tyas langsung menuju ruangan wak
Banyak yang menoleh. Nada bicara yang sopan, membuat mereka heran."Ya, ada apa?" tanya salah seorang dari mereka. Lelaki berbaju hitam."Saya ingin bertemu dengan pemilik atau manager di kafe ini. Katanya di sini ada lowongan pekerjaan, apakah itu benar?" tanya Bagus."Oh, benar. Sebentar, aku panggil beliau dulu. Duduk saja," jawab lelaki tersebut.Bagus celingak-celinguk. Tak tahu harus duduk di mana. Banyak para wanita yang menguasai sofa dan melirik nakal ke arah Bagus. Membuatnya risi. Sementara bergabung dengan para lelaki di hadapannya, tatapan mereka tampak tak bersahabat."Kamu yang mau bertemu denganku?"Seorang pria dengan suara yang berat, menghampiri Bagus."Iya, benar, Pak," jawab Bagus."Aku Steven. HRD di kelab ini, katanya kamu mau bekerja di sini?" tanya sang HRD, bernama Steven.
Hanna mengeluarkan sebuah dompet dari dalam tas lalu memberikan kartu ATM kepada sang pegawai.Penjaga toko itu hanya menggesek saja lalu mengatakan terima kasih karena sudah membeli di tempat tersebut dan sering-sering berlangganan.Bagus menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tahu benda itu namanya ATM. Cara kerjanya sangat praktis, berbelanja memakai itu, tinggal gesek sudah beres. Bagus tak bisa menebak berapa banyak uang yang Hanna miliki."Ayo, kita pulang!" ajak Hanna setengah berbisik.Bagus lagi-lagi hanya bisa mengikuti dari belakang."Cincin ini, aku saja yang pegang. Urusannya sebentar, kan? Kamu bahkan tak perlu mengeluarkan uang se peser pun. Kamu tak akan sanggup membelinya," ledek Hanna."Ya. Memang aku tak punya uang untuk membelinya. Aku tak mampu menyamai atau menandingi kehidupan mewah kamu. Sedikit saja aku tidak mampu," balas B
"Tidak ada yang salah. Karena aku akan menikahi kamu mahar itu sebagai pemberian aku untukmu," jawab Bagus."Sekarang aku tanya, kamu punya apa? Uang sepuluh miliar, tiket liburan ke sepuluh negara, mobil Alphard, rumah mewah, apartemen, vila, saham?" tanya Hanna.Bagus tengah disindir. Dia sadar kalau dia tidak punya itu semua."Memang tidak ada. Aku bukanlah orang kaya. Aku akan berusaha memberikan mahar yang kamu inginkan," ujar Bagus."Nggak usah terlalu serius dengan pernikahan ini. Cuma sebatas kertas saja. Kalau aku akan minta yang mewah, kamu tidak akan sanggup. Sadar diri sajalah! Rumah kamu kumuh, handphone tak punya, makan saja susah, kerjaan seadanya, mau menuruti kemauan aku, memberi mahar? Jangan mimpi!" ledek Hanna.Bagus menipiskan bibir. Kejam sekali perkataan Hanna menghinanya tanpa rasa kemanusiaan."Aku tahu ini adalah pernikahan
"Harusnya nanya, dong. Gitu saja mesti dikasih tahu!" bentak Hanna. Melipat kedua tangan di depan dada.Hanya saat dalam keadaan duka saja mereka saling kalem. Sekarang, sudah kembali ke setelan pabrik."Berisik, Kakak ini. Kalau mau jumpa dengan Kak Bagus, tunggu saja di sini!" hardik Tyas."Ya, memang mau nunggu di sini!" Nada bicara Hanna tidak santai.Tyas memiringkan bibirnya. Mengejek Hanna.Hanna malas duduk bersebelahan dengan gadis tersebut meski sebenarnya dia merasa lelah. Dia hanya menyandarkan punggung ke dinding. Tyas bersikap biasa saja. Dia kembali membaca buku pelajaran."Berdirilah terus sampai pegel kaki! Padahal ada kursi kosong. Makan saja gengsi sampai mati," batin Tyas."Bagaimana keadaan ayah kamu?" tanya Hanna basa-basi. Mencairkan suasana yang menegang."Baik," jawab Tyas singkat tanpa berpal
Awalnya, Hanna ragu apakah ini rumah Bagus atau bukan sebab dia lupa-lupa ingat. Bagus memang pernah menyebutkan alamatnya rumahnya. Di Jalan Pukat nomor tujuh. Dia pernah menginjakkan kaki di situ karena ditolong Bagus dari kasus penculikan. Karena dalam kondisi terpuruk, tidak banyak yang Hanna ingat.Kasus penculikan? Jantung Hanna berdegup kencang."Kakak aku yang menyelamatkan kamu dari orang yang menyekapmu di samping rumah ini."Kalimat tersebut terngiang kembali di ingatan Hanna. Siapa yang bisa lupa kasus penculikan yang begitu mengerikan?"Astaga, rumah penculiknya, kan, ada di …."Hanna menggantungkan ucapannya. Kedua mata melirik ke samping kiri rumah Bagus. Sebuah rumah yang tidak bagus-bagus amat, tetapi jauh lebih baik dari rumah Bagus, itu adalah rumah penculiknya Hanna.Seketika wanita itu berlari memasuki mobilnya dan melaju dengan ce
"Untuk 1000 orang saja," jawah Hanna."Ummm, oke. Konsepnya mau bagaimana?" tanya Sisi."Kalau soal itu, terserah kamu saja. Yang penting pestanya bagus dan mewah, oke," jawab Hanna."Oke. Catering mau makanan apa? Souvenir mau apa? Surat undangan mau model yang bagaimana?" tanya Sisi."Sisi, kalau soal itu, aku serahkan ke kamu, ya. Aku hanya bagian feeting baju pengantin dan mahar saja," jawah Hanna."Baiklah. Jadi, kapan kamu akan melaksanakan pesta pernikahan itu?" tanya Sisi."Dua Minggu lagi."Jawaban dari Hanna, membuat Sisi terkejut bukan main. "Apa? Secepat itu? Gila! Lama nggak berjumpa, nggak berkabar apa pun, sekalinya komunikasi langsung bilang nikah saja, ya," cerocos Sisi."Nggak usah berlebihan. Aku minta kau rahasiakan dulu soal pernikahanku," ucap Hanna."Ciee,
"Kamu bisa tanya ke bagian administrasi, ya," jawab Dokter Frans."Baik, Dok. Terima kasih," balas Bagus.Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Bagus pamit dari ruangan tersebut. Dokter Frans memberikan semangat untuk Bagus. Begitu keluar, Bagus langsung bertolak menuju bagian administrasi."Bu, berapa biaya pengobatan ayah saya bernama Yanto?" tanya Bagus.Salah seorang pekerja tampak memainkan jarinya di keyboard, menatap layar. Mencari data yang ditanyakan oleh Bagus."Totalnya dua juta rupiah, Pak," jawab seorang pekerja di bagian administrasi.Bagus mengucapkan terima kasih dengan nada rendah. Dia berbalik badan, alangkah lemasnya. Kepala sesekali menunduk. Kondisi rumah sakit saat ini tampak ramai, seramai isi kepala Bagus saat ini.Selintas wajah Hanna di pikirannya. Perjanjian itu tertera kalau Hanna akan me
"Aku makan di kursi, nggak mungkin makan di sini," ucap Tyas. Dia mengambil plastik berisi beberapa bungkus roti yang terletak di atas meja.Ketika dia sudah berada di luar, Tyas melihat seorang dokter dan suster berjalan mendekat. Suster itu melewati Tyas, masuk ke ruang rawat ayahnya. Sementara dokter tersebut mengajak Tyas berbincang."Di mana kakak kamu?" tanya Dokter."Kakak saya sedang bekerja, Dok. Memangnya kenapa?" jawab Tyas lalu bertanya."Dokter, kondisi pasien stabil." Seorang suster keluar dari dalam ruangan Yanto, bergabung dengan pembicaraan mereka.Dokter mengangguk kecil. "Oh, begitu. Baiklah, nanti tolong Suster beri obat rutin kepada pasien, ya," balasnya."Baik, Dok," kata Suster patuh."Obat apa, ya, Dok?" tanya Tyas. Menyangkut tentang ayahnya, dia ingin tahu."Pasien harus diberi obat yang baru
Melihat Bagus yang diam, membuat Hanna khawatir. "Kenapa? Aku harap kamu tidak membatalkan kesepakatan ini. Jika iya, kamu harus menggantikan uang yang sudah aku keluarkan, saat ini juga." Hanna menekannya.Bagus sulit menelan saliva. Memang dia tidak ada niat untuk lari dari perjanjian. Dia hanya tidak bisa membayangkan, pernikahan sakral yang hanya sekali seumur hidup, dia permainkan seperti ini. Menikah dengan seorang wanita yang tidak Bagus cintai."Kamu tidak perlu takut. Aku akan tandatangani ini. Tapi sebelum itu, aku mau bertanya satu hal," ucap Bagus.Hanna menaikkan satu alisnya. "Apa?" tanyanya."Kamu benar-benar bersedia ingin membayar juga biaya perawatan ayahku setelah operasi?" tanya Bagus."Tentu saja. Tidak hanya itu, aku akan membiayai kehidupan kamu dan adikmu. Tenang saja," jawab Hanna."Oke, satu pertanyaan lagi. Jika aku mampu mengembali