“Pokoknya papa tidak suka kamu pacaran sama Robby. Putusin atau kamu bukan anak papa lagi!”
Bayangan perkataan sang papa tebersit di benak seorang wanita cantik bernama Hanna, Hanna Rihanna Kumalasari.Meski dia adalah pewaris tunggal perusahaan international Glorious Group Company, Hanna ingin mandiri, memilih tinggal di sebuah kontrakan kecil demi menyesuaikan cara hidup pasangannya. Wanita yang memiliki wajah blasteran berdarah campuran Sunda dan Eropa itu, kini harus menelan ludah atas omongannya sendiri yang lebih membela kekasihnya itu daripada menuruti perkataan sang papa. Berulang kali ucapan papanya terngiang-ngiang di kepala, membuat rasa meratapi Hanna kian mendera.“Tega kamu, Robby! Tega!” lirih Hanna. Dia berlari melibas deras hujan. Tak peduli tubuh yang basah kuyup. Dia hanya ingin menangis tanpa ada yang tahu. Biar hujan saja yang mengetahuinya dan menyamarkan air mata itu. Tentu saja, apa yang akan kamu rasakan jika mengetahui kekasih yang kamu cintai, diam-diam menikah dengan wanita lain, di saat kamu sudah menyerahkan seluruh hidup untuknya. Bahkan, rela mempertahankan hubungan yang ditentang orang tua? Pasti akan hancur sekali, seperti Hanna. Wanita itu kembali teringat rasa sakit hati yang begitu membuatnya patah. ***Lelaki itu bernama Robby, yang Hanna anggap baik dan mencintainya dengan tulus. Selama empat tahun menjalani hubungan backstreet bersamanya. Namun, lelaki itu malah menikah sama janda beranak dua. Hancur, itulah yang dirasakan Hanna. Hatinya terasa tercabik-cabik, badan lemah tak berdaya, seperti tanpa tulang.Itu juga Hanna mengetahui dari akun media sosial. Robby mengaku kerja ke luar kota, ternyata melakukan pernikahan sama wanita lain yang merupakan putri pemilik dari perusahaan nasional Win Food Solution.Dia tidak mungkin lompat-lompat kegirangan dengan apa yang menimpanya. Hanna langsung terpuruk, hatinya hancur, empat hari tidak masuk kantor, tidak keluar dari kamar, hanya keluar untuk ke toilet saja. Tidak ada nafsu makan, pikiran kalut, dan merasa depresi beberapa hari. Saat mengetahui hal itu. Hanna memilih pulang setelah lima jam berada di tengah derasnya hujan. Dia menangis sejadi-jadinya di dalam rumah. Begitu tiba di rumah, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu.“Hanna!” ucap seseorang bersamaan dengan suara bel rumah yang ditekan.Telinga Hanna menangkap suara sangat familier. Suara lelaki yang amat dia cintai, tetapi memilih bersanding dengan wanita lain. Sontak Hanna langsung mengangkat kepala, ingin memastikan suara itu, ada harapan kalau itu benar-benar Robby. Namanya juga hati perempuan belum move on, itulah perasaan yang dirasakan Hanna. Namun, tidak ada siapa-siapa. Ada sedikit perasaan kecewa hinggap pada diri wanita itu. Suara itu kembali terdengar. Hanna menarik langkah membuka pintu rumahnya.Spontan netranya membulat sejurus dengan mulut yang terbuka cukup lebar. Dia kaget bukan main saat melihat seseorang di hadapannya. Namun, tiba-tiba pandangan Hanna langsung gelap, dia terjatuh dan tidak sadarkan diri. Hanna pingsan karena tidak makan beberapa hari ini.Seseorang yang mengetuk pintu rumah Hanna, turut terkejut melihat wanita itu yang sudah ambruk di lantai. Dengan hati-hati, dia mengangkat tubuh Hanna yang kurus dan kecil lalu membaringkannya di atas tempat tidur. “Hanna, Hanna,” ucap lelaki itu. Menggoyangkan tubuh dan sesekali menepuk pipi Hanna agar bangun. Beberapa menit kemudian. Perlahan mata wanita itu terbuka, sayup-sayup dia mendengar kembali suara Robby memanggil dirinya. Bagi Hanna seperti sebuah mimpi, lelaki itu sudah menikah, tidak mungkin Robby datang menemuinya. Mata Hanna terbuka sempurna dan langsung menangkap sosok Robby yang ada di hadapannya sekarang. Kedua sudut bibir Hanna mengembang indah. Rasa rindu yang begitu menusuk kalbu, sekarang perlahan hirap karena sudah berujung temu. “Kamu nggak apa-apa, Hanna. Kenapa kamu pucat begini, sih?” tanya Robby, terlihat mengkhawatirkan Hanna. Mata Hanna bisa melihat jelas wajah panik Robby.Hanna ingin memastikan apakah ini hanya fatamorgana. Dia memberanikan diri, jemarinya bergerak menyusuri setiap sudut wajah Robby. “Kamu jahat sekali kepadaku. Kamu menikah sama orang lain,” ucap Hanna. Meluapkan kesedihannya yang terpendam selama ini. Tangannya menangkup wajah lelaki itu. “Siapa yang menikah? Aku tidak bakal menikah sama cewek lain selain kamu, Hanna,” balas Robby.“Tidak usah berbohong! Aku sudah lihat postingan cewek itu, nge-tag kamu di akun media sosial,” timpal Hanna dengan suara parau.“Sumpah, itu bukan aku yang nikah, itu sepupu aku yang nikahan, aku cuma panitia aja,” ujar Robby, mencoba meyakinkan Hanna.Sebelum Hanna membalas kalimat Robby, dengan cepat lelaki itu mencium Hanna dan memeluk erat tubuh wanita itu. Meluapkan rindu bercampur nafsu yang sudah tak tertahankan. Merasa terengah-engah, Hanna menarik diri dan menghirup napas sebanyak-banyaknya. Namun, Robby tak membiarkan hal itu berlangsung lama, dia kembali merengkuh Hanna, menciumnya kembali, dan sedikit menekan tengkuk Hanna yang terasa begitu halus di tangannya. Nafsu mereka makin meningkat. Hanna pasrah, tidak bisa melawan karena tubuhnya tidak menolak. Membiarkan Robby melakukan aksinya. Ini bukan pertama kali mereka bercinta. Kesucian Hanna direnggut pertama kalinya oleh Robby. Hanna merelakan kegadisannya atas dasar cinta dan sayangnya kepada laki-laki itu.Setelah selesai melampiaskan gairah mereka masing-masing, mereka tetap bergeming dari ranjangnya. Tanpa sehelai benang pun terpakai, kecuali selimut yang menjadi saksi bisu sekaligus menutupi tubuh mereka berdua.“Kamu percaya, kan, sama aku? Aku sayang sama kamu, Hanna, mana mungkin aku menikah sama orang lain,” ucap Robby, membelai rambut Hanna yang ada dalam pelukannya. “Iya, tapi kamu tidak bohong, kan?” lirih Hanna dengan mesra dan manja dalam dekapan sang kekasih. Menenggelamkan wajahnya ke dada bidang Robby. Seolah-olah enggan untuk berpisah. “Nggak, Sayang. Aku ke toilet sebentar, mau bersihkan diri dulu, ya,” ucap Robby. Hanna mengangguk. Satu kecupan dari Robby mendarat di kening Hanna, sebelum lelaki itu beranjak ke toilet. Hati Hanna menghangat, dirinya merasa sudah tenang dan baikan. Dia memunguti pakaiannya yang berserak di lantai dan memakainya kembali. Ketika Hanna menyisir rambutnya, perhatian wanita itu teralihkan begitu mendengar ponsel milik Robby yang bergetar di atas meja. Dengan rasa penasaran yang menghantui, Hanna tanpa ragu mengambil benda itu. Namun, sandi ponselnya diganti. Meski begitu, notifikasi di layar ponsel kelihatan jelas. Tampak pesan dari seseorang, bertuliskan kontak yang diberi nama My Wife. [Robby, Sayang, nanti pulang jam berapa? Kangen, nih, dengan keperkasaan kamu yang seperti semalam.]Hanna sangat syok, seperti tersambar petir. Baru saja dirinya dibuat berbunga-bunga, kini dia harus dijatuhkan ke dasar jurang pesakitan. Ternyata benar, Robby memang sudah menikah, tetapi dia sekarang ada di sini bersama Hanna dan baru saja usai bercinta. Robby keluar dari toilet dan melihat ponselnya ada di tangan Hanna. Dengan cepat direbut lalu melihat notifikasi yang masuk. Seketika Robby gugup setelah melihat Hanna yang memergoki dirinya, belum lagi raut wajah memerah gadis itu yang tampak siap meluapkan marah. Robby menyesal karena kelalaiannya meletakkan ponsel di atas meja Hanna.“Jelaskan kepadaku sekarang, Robby. Siapa yang mengirimmu pesan itu?” Hanna bertanya tegas.Robby memeluk Hanna, mencoba menenangkan wanita itu. “Maafin aku, Hanna. Sungguh, hanya kamu yang aku cinta dan sayang,” ucapnya dengan rayuan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Robby. Dengan mudahnya mengucapkan kata maaf.“Tega kamu perlakukan aku seperti ini!” bentak Hanna. Sekuat tenaga mendorong tubuh kekar Robby dan tak mau menatap lelaki itu.“Ini karena papa kamu sudah merendahkan aku!” kata Robby penuh emosi. Jangan pikir hanya Hanna yang bisa marah, dia juga bisa. “Apa katamu?” tanya Hanna. Adu mulut tak terelakkan. Dia menatap Robby tajam. Robby pun tak mau kalah, dia berkacak pinggang sambil melayangkan tatapan menusuk ke arah Hanna. Wanita itu sebenarnya memahami maksud perkataan Robby.“Mungkin papa aku benar, harusnya aku mendengar omongan Papa, tidak melanjutkan hubungan ini. Kamu menikahi wanita itu hanya karena harta. Berarti kamu melakukan semua ini kepadaku karena harta juga, hah? Ternyata selama ini kau picik sekali!” sergah Hanna. Matanya merah dan mulai berair
Orang di luar sana hanya berpikiran dirinya mampu menang akan kebenaran yang belum tentu benar bagi yang tertindas. Bagus sangat tidak suka dengan orang kaya, bisa membeli kekuasaan dan kebenaran. Tidak untuk orang miskin sepertinya yang harus benar-benar bekerja keras dan memiliki tekad yang kuat untuk bertahan hidup.Itulah mengapa dirinya sangat tertutup kepada orang lain. Baginya, semua orang sama saja. Hanya sedikit beberapa orang atau kerabat yang ia percayai. Bagus mengembuskan napas kasar karena lelah menguasai raga seusai membopong ayahnya sampai ke rumah. Ia pun bangkit lalu berjalan meninggalkan ayahnya yang tengah tertidur agar dapat beristirahat pada malam yang sudah larut. Begitu hendak keluar, tepat di depan pintu kamar yang gagangnya usang, ia melihat adik perempuannya yang terbangun di tengah malam. “Maaf membangunkanmu,” ucap Bagus kepada adik perempuannya yang lewat. Ia masih mengusap-usap matanya yang kantuk, sedikit lembab dan berair. Sisa-sisa dari bangun tidurny
“Hmmm ... hmmm.” Suara Hanna hanya terdengar tak jelas. Ia sedikit menjingkatkan tubuhnya dan mendongak-dongakkan kepala, seolah memberi isyarat meminta sumpalan di mulutnya itu dibuka.Pria misterius itu mengambil posisi seperti berlutut. Tangan satunya di atas lutut, dan ujung kaki satunya ditekuk di lantai sebagai penyanggah tubuh.“Apa? Ngomong yang jelas, dong! Oh, iya, kau tidak bisa berbicara dengan jelas karena benda itu mengganggu bibir indahmu,” ujar pria muda misterius itu sambil menunjuk sehelai kain yang menyumpal mulut Hanna.Kedua mata Hanna berlinang hingga akhirnya tak bisa lagi dibendung, pecah mengeluarkan bulir bening dari sudut matanya.“Wah, kau bisa menangis, ya? Jangan merengek kepadaku! Baiklah, aku bantu kau sedikit,” ucap pria misterius.Ia mengulurkan tangannya. Dengan satu tarikan kasar, merobek kain yang melekat di bahu Hanna. Hal itu membuat Hanna terkejut, bola matanya melebar, melirik bahunya yang kini terekspos, menampilkan kulit putih bersihnya. Air m
Asep kesal, ia menyumpal kembali mulut Hanna. Hendak melanjutkan aksi tak senonoh yang sempat tertunda. “Lebih baik mulutmu tersumpal begini,” ucap Asep. Mengikatkan sumpalan lebih kuat.Hanna meronta-ronta. Ia tahu bahwa akan terjadi hal yang tidak beres selanjutnya. Pikiran kotor lelaki itu. Berusaha melawan sekeras yang ia bisa, tetapi berakhir sia-sia. Fisik Asep sangat kuat, tak bisa dibandingkan dengan dirinya sendiri. Hanna lemah. Dress Hanna dilucuti dari tubuhnya. “Mmmm … mmmm.” Hanna bergumam tak jelas. Asep menggeleng lalu tersenyum miring, makin Hanna meronta, makin membuat Asep bernafsu. Apalah daya Hanna tidak sanggup melawan dalam kondisi terikat. Tubuh bagian atas Hanna dijamah oleh Asep. Saat ini kondisi Hanna setengah telanjang, baru bagian atas yang terbuka.Air mata mulai keluar dari kedua mata Hanna. Berharap terbangun dari mimpi buruk yang saat ini terjadi. Hanna, seseorang yang sangat disegani ketika berada di luar sana, malah dilecehkan di tempat kumuh sepert
Bagus berhasil masuk ke kediaman Asep. Dirasakannya tempat tinggal tetangganya itu yang lembab dan minim cahaya. Sungguh membuat tidak nyaman bagi siapa pun yang menempati rumah ini. Meski penerangan yang sedikit, Bagus dapat melihat sosok wanita yang berada sejauh satu meter dari posisinya berdiri. Bagus memangkas jaraknya dengan Hanna yang masih duduk di kursi. Bagus terkejut ketika melihat gadis itu yang setengah telanjang. Namun, hasrat Bagus tidaklah langsung naik hanya gara-gara itu. Dirinya bukanlah Asep. Tujuan Bagus adalah murni ingin menyelamatkan gadis itu. Beragam asumsi sudah bersarang di kepala Bagus. Bisa saja Asep belum menuntaskan nafsu bejatnya terhadap wanita ini. Atau, bisa jadi sudah diperbuat Asep. Entahlah, Bagus tidak tahu. Ia mencoba membangun wanita itu agar secepatnya bisa bebas dari tempat ini, sebelum Asep datang. Bagus membuka kain yang menyumpal mulut Hanna.“Hey, kamu! Bangunlah. Ayo!” titah Bagus sambil menepuk-nepuk pipi Hanna. “Hey! Ayo, bangun! Kam
“Dek, kita itu harus menolong sesama. Bisa jadi dia adalah korban Asep. Kalian sama-sama wanita. Coba kamu pikir jika kamu berada di posisinya. Pasti ingin ada seseorang yang menolong, kan? Tidak ada salahnya kita berbuat kebaikan, Dek,” ujar Bagus. Mendengar perkataan Bagus, Tyas pun merasa seperti sebuah aliran listrik mengalir di seluruh peredaran darahnya. Bisa Tyas bayangkan jika kejadian tersebut terjadi kepada dirinya sendiri.“Iya, Kak. Iya. Beliin Tyas sarapan, Kak. Tyas mau berangkat sekolah,” ucap Tyas. “Kakak belikan. Tapi kakak minta tolong, habis pulang sekolah, kamu jaga gadis itu, ya. Kasih dia makan juga,” pinta Bagus. Tyas menghela napas, “Siap, Kakakku,” kata Tyas. Bagus tersenyum. Diusapnya lembut kepala Tyas. Lantas, Bagus pergi untuk membeli sarapan untuk mereka sekeluarga. Namun, tiba-tiba saja ditahan oleh Tyas. “Kakak, tunggu!” Bagus menghentikan langkahnya lalu berbalik badan, menghadap Tyas kembali. “Iya, Dek, ada apa?” tanya sang kakak. Tyas mengarahk
“Sudah tau pusing, lagi sakit. Sok-sokan pula kamu dengan kondisi lemah begini!” ujar Tyas sambil merangkul tubuh Hanna yang lemah.“Bisa mati aku dimarahin Kakak, kalau kau sampai mati di sini. Tentu juga sangat merepotkan kami mengurus biaya kematianmu,” sambung Tyas dengan perkataan yang tidak sopan.Hanna membulatkan kedua bola mata, seperti ingin keluar dari tempatnya. Seorang gadis berkata tidak sopan untuk ke sekian kali kepadanya. Namun, yang terlintas di pikiran Hanna, walaupun Tyas tidak sopan kepadanya, tetapi ia sangat menurutin perkataan Kakaknya. Membuat Hanna menjadi penasaran siapa sang kakak yang terus menerus diucapkan gadis itu.“Sebaiknya kamu makan, jika tidak makan kondisimu akan makin melemah. Maaf kami tidak bisa memberimu makan yang enak seperti yang kau makan sehari-hari di luar sana,” imbuh Tyas dengan intonasi yang pelan. ***Bagus tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari terakhir. Ketika ia akhirnya bisa tidur, malah di tempat yang tidak nyaman. Di te
Bagus menoleh. Entah sejak kapan Asep datang dan seenaknya menghardik dirinya begitu saja. Tak ubahnya seperti Julio tadi. Perkataan Asep lebih menohok. Namun, Bagus rasa Asep-lah orang yang tak tahu diri!“Tampangku masih lebih mending darimu, Asep,” batin Bagus. Bagus bangkit dari duduknya sambil mengontrol emosi di dada. “Mungkin kau sudah merasa kaya sekarang. Tapi, hartamu didapat dari jalan yang tidak halal. Harusnya kau sadar akan hal itu,” ucap Bagus. Untuk hal yang satu ini, ia berani melawan. Sebab Asep sama seperti dirinya. Bukan sombong, tetapi Bagus bisa mengatakan kalau dirinya lebih baik dari Asep. Tetangganya itu, entah berapa banyak keburukan yang ia buat, entah dari mana saja ia peroleh pundi-pundi kekayaannya. Terakhir kali, ia memergoki Asep yang menyekap seorang gadis dalam rumahnya. Bagus jadi teringat akan gadis itu. Bagaimana kondisinya sekarang? Pikir Bagus. “Berani kau melawan aku, Sialan!” umpat Asep. Hampir saja satu bogem mentah mendarat ke wajah Bagus,
Banyak yang menoleh. Nada bicara yang sopan, membuat mereka heran."Ya, ada apa?" tanya salah seorang dari mereka. Lelaki berbaju hitam."Saya ingin bertemu dengan pemilik atau manager di kafe ini. Katanya di sini ada lowongan pekerjaan, apakah itu benar?" tanya Bagus."Oh, benar. Sebentar, aku panggil beliau dulu. Duduk saja," jawab lelaki tersebut.Bagus celingak-celinguk. Tak tahu harus duduk di mana. Banyak para wanita yang menguasai sofa dan melirik nakal ke arah Bagus. Membuatnya risi. Sementara bergabung dengan para lelaki di hadapannya, tatapan mereka tampak tak bersahabat."Kamu yang mau bertemu denganku?"Seorang pria dengan suara yang berat, menghampiri Bagus."Iya, benar, Pak," jawab Bagus."Aku Steven. HRD di kelab ini, katanya kamu mau bekerja di sini?" tanya sang HRD, bernama Steven.
Hanna mengeluarkan sebuah dompet dari dalam tas lalu memberikan kartu ATM kepada sang pegawai.Penjaga toko itu hanya menggesek saja lalu mengatakan terima kasih karena sudah membeli di tempat tersebut dan sering-sering berlangganan.Bagus menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tahu benda itu namanya ATM. Cara kerjanya sangat praktis, berbelanja memakai itu, tinggal gesek sudah beres. Bagus tak bisa menebak berapa banyak uang yang Hanna miliki."Ayo, kita pulang!" ajak Hanna setengah berbisik.Bagus lagi-lagi hanya bisa mengikuti dari belakang."Cincin ini, aku saja yang pegang. Urusannya sebentar, kan? Kamu bahkan tak perlu mengeluarkan uang se peser pun. Kamu tak akan sanggup membelinya," ledek Hanna."Ya. Memang aku tak punya uang untuk membelinya. Aku tak mampu menyamai atau menandingi kehidupan mewah kamu. Sedikit saja aku tidak mampu," balas B
"Tidak ada yang salah. Karena aku akan menikahi kamu mahar itu sebagai pemberian aku untukmu," jawab Bagus."Sekarang aku tanya, kamu punya apa? Uang sepuluh miliar, tiket liburan ke sepuluh negara, mobil Alphard, rumah mewah, apartemen, vila, saham?" tanya Hanna.Bagus tengah disindir. Dia sadar kalau dia tidak punya itu semua."Memang tidak ada. Aku bukanlah orang kaya. Aku akan berusaha memberikan mahar yang kamu inginkan," ujar Bagus."Nggak usah terlalu serius dengan pernikahan ini. Cuma sebatas kertas saja. Kalau aku akan minta yang mewah, kamu tidak akan sanggup. Sadar diri sajalah! Rumah kamu kumuh, handphone tak punya, makan saja susah, kerjaan seadanya, mau menuruti kemauan aku, memberi mahar? Jangan mimpi!" ledek Hanna.Bagus menipiskan bibir. Kejam sekali perkataan Hanna menghinanya tanpa rasa kemanusiaan."Aku tahu ini adalah pernikahan
"Harusnya nanya, dong. Gitu saja mesti dikasih tahu!" bentak Hanna. Melipat kedua tangan di depan dada.Hanya saat dalam keadaan duka saja mereka saling kalem. Sekarang, sudah kembali ke setelan pabrik."Berisik, Kakak ini. Kalau mau jumpa dengan Kak Bagus, tunggu saja di sini!" hardik Tyas."Ya, memang mau nunggu di sini!" Nada bicara Hanna tidak santai.Tyas memiringkan bibirnya. Mengejek Hanna.Hanna malas duduk bersebelahan dengan gadis tersebut meski sebenarnya dia merasa lelah. Dia hanya menyandarkan punggung ke dinding. Tyas bersikap biasa saja. Dia kembali membaca buku pelajaran."Berdirilah terus sampai pegel kaki! Padahal ada kursi kosong. Makan saja gengsi sampai mati," batin Tyas."Bagaimana keadaan ayah kamu?" tanya Hanna basa-basi. Mencairkan suasana yang menegang."Baik," jawab Tyas singkat tanpa berpal
Awalnya, Hanna ragu apakah ini rumah Bagus atau bukan sebab dia lupa-lupa ingat. Bagus memang pernah menyebutkan alamatnya rumahnya. Di Jalan Pukat nomor tujuh. Dia pernah menginjakkan kaki di situ karena ditolong Bagus dari kasus penculikan. Karena dalam kondisi terpuruk, tidak banyak yang Hanna ingat.Kasus penculikan? Jantung Hanna berdegup kencang."Kakak aku yang menyelamatkan kamu dari orang yang menyekapmu di samping rumah ini."Kalimat tersebut terngiang kembali di ingatan Hanna. Siapa yang bisa lupa kasus penculikan yang begitu mengerikan?"Astaga, rumah penculiknya, kan, ada di …."Hanna menggantungkan ucapannya. Kedua mata melirik ke samping kiri rumah Bagus. Sebuah rumah yang tidak bagus-bagus amat, tetapi jauh lebih baik dari rumah Bagus, itu adalah rumah penculiknya Hanna.Seketika wanita itu berlari memasuki mobilnya dan melaju dengan ce
"Untuk 1000 orang saja," jawah Hanna."Ummm, oke. Konsepnya mau bagaimana?" tanya Sisi."Kalau soal itu, terserah kamu saja. Yang penting pestanya bagus dan mewah, oke," jawab Hanna."Oke. Catering mau makanan apa? Souvenir mau apa? Surat undangan mau model yang bagaimana?" tanya Sisi."Sisi, kalau soal itu, aku serahkan ke kamu, ya. Aku hanya bagian feeting baju pengantin dan mahar saja," jawah Hanna."Baiklah. Jadi, kapan kamu akan melaksanakan pesta pernikahan itu?" tanya Sisi."Dua Minggu lagi."Jawaban dari Hanna, membuat Sisi terkejut bukan main. "Apa? Secepat itu? Gila! Lama nggak berjumpa, nggak berkabar apa pun, sekalinya komunikasi langsung bilang nikah saja, ya," cerocos Sisi."Nggak usah berlebihan. Aku minta kau rahasiakan dulu soal pernikahanku," ucap Hanna."Ciee,
"Kamu bisa tanya ke bagian administrasi, ya," jawab Dokter Frans."Baik, Dok. Terima kasih," balas Bagus.Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Bagus pamit dari ruangan tersebut. Dokter Frans memberikan semangat untuk Bagus. Begitu keluar, Bagus langsung bertolak menuju bagian administrasi."Bu, berapa biaya pengobatan ayah saya bernama Yanto?" tanya Bagus.Salah seorang pekerja tampak memainkan jarinya di keyboard, menatap layar. Mencari data yang ditanyakan oleh Bagus."Totalnya dua juta rupiah, Pak," jawab seorang pekerja di bagian administrasi.Bagus mengucapkan terima kasih dengan nada rendah. Dia berbalik badan, alangkah lemasnya. Kepala sesekali menunduk. Kondisi rumah sakit saat ini tampak ramai, seramai isi kepala Bagus saat ini.Selintas wajah Hanna di pikirannya. Perjanjian itu tertera kalau Hanna akan me
"Aku makan di kursi, nggak mungkin makan di sini," ucap Tyas. Dia mengambil plastik berisi beberapa bungkus roti yang terletak di atas meja.Ketika dia sudah berada di luar, Tyas melihat seorang dokter dan suster berjalan mendekat. Suster itu melewati Tyas, masuk ke ruang rawat ayahnya. Sementara dokter tersebut mengajak Tyas berbincang."Di mana kakak kamu?" tanya Dokter."Kakak saya sedang bekerja, Dok. Memangnya kenapa?" jawab Tyas lalu bertanya."Dokter, kondisi pasien stabil." Seorang suster keluar dari dalam ruangan Yanto, bergabung dengan pembicaraan mereka.Dokter mengangguk kecil. "Oh, begitu. Baiklah, nanti tolong Suster beri obat rutin kepada pasien, ya," balasnya."Baik, Dok," kata Suster patuh."Obat apa, ya, Dok?" tanya Tyas. Menyangkut tentang ayahnya, dia ingin tahu."Pasien harus diberi obat yang baru
Melihat Bagus yang diam, membuat Hanna khawatir. "Kenapa? Aku harap kamu tidak membatalkan kesepakatan ini. Jika iya, kamu harus menggantikan uang yang sudah aku keluarkan, saat ini juga." Hanna menekannya.Bagus sulit menelan saliva. Memang dia tidak ada niat untuk lari dari perjanjian. Dia hanya tidak bisa membayangkan, pernikahan sakral yang hanya sekali seumur hidup, dia permainkan seperti ini. Menikah dengan seorang wanita yang tidak Bagus cintai."Kamu tidak perlu takut. Aku akan tandatangani ini. Tapi sebelum itu, aku mau bertanya satu hal," ucap Bagus.Hanna menaikkan satu alisnya. "Apa?" tanyanya."Kamu benar-benar bersedia ingin membayar juga biaya perawatan ayahku setelah operasi?" tanya Bagus."Tentu saja. Tidak hanya itu, aku akan membiayai kehidupan kamu dan adikmu. Tenang saja," jawab Hanna."Oke, satu pertanyaan lagi. Jika aku mampu mengembali